“Nah, kan. Baru juga malam pertama kamu sudah tulalit gini, bikin kesal aja. Kamu mau tidur di ranjang apa di sofa, silakan pilih!” Suaranya meninggi.“Kenapa harus memilih, Mas?” Aku masih tak mengerti."Apa kamu pikir kita akan tidur bareng? Yang benar aja aku tidur dengan cewek tulalit macam kamu! Ya udah kamu di ranjang sana, biar aku yang di sofa.”Pria itu langsung merebahkuan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar. Sementara aku masih tertegun dengan semua kalimatnya barusan. Seperti ini kah pria yang baru saja menikahiku? Baru beberapa jam yang lalu aku menyandang status sebagai istrinya, tapi kini aku sudah mendengar kalimat hinaan darinya. Tulalit? Ia menyebutku gadis tulalit? Lalu kenapa ia menikahiku jika ia menganggapku tulalit? Ingin sekali kutanyakan padanya malam itu, tapi akhirnya aku memilih diam karena tubuhku pun sudah terlalu lelah setelah seharian berdiri di pelaminan menerima ucapan selamat dari para undangan.Lalu hari-hari selanjutnya, bulan-bulan berikutnya
Pagi ini, setelah Mas Adam berangkat bekerja, aku pun mulai bersiap mengunjungi butik kecilku. Seperti inilah aktivitasku sehari-hari. Belum hadirnya anak dalam rumah tanggaku dengannya membuatku memilih menghabiskan hariku di butik yang kuberi nama “Ayya Boutique”. Aku sangat mencintai aktivitasku ini. Suatu kepuasan tersendiri bagiku jika pelanggan butikku merasa puas dengan penampilan mereka setelah mencoba beberapa fashoin koleksi butik. Beberapa produk butikku juga kurancang sendiri, karena memang dari remaja dulu aku suka sekali menggambar model-model baju yang ada dalam imajinasiku.Dulu, diawal membuka Ayya Boutique aku hanya bekerja sendiri, menjaga butik sendiri, merancang dan menggambar sendiri hingga akhirnya butikku mulai berkembang hingga kini aku sudah mempekerjakan dua orang karyawan perempuan dan satu karyawan laki-laki. Sebenarnya perkembangan butik ini sangat membanggakan bagiku, meskipun Mas Adam tak pernah mengakui itu dan selalu menghina butik sederhanaku ini.Na
Aku masih berkutat dengan pertanyaan seputar Bella ketika pintu depan butik dibuka dari luar. Lalu seorang gadis bertubuh tinggi semampai dengan rambut pirang sebahu memasuki butik. Aku terpesona oleh penampilan gadis itu, tanpa perlu bertanya lagi, aku sudah yakin jika gadis yang kini sedang terseyum ramah itu adalah Bella, mantan tunangan Mas Adam. Tiba-tiba saja aku merasa kerdil di hadapannya.Dengan berusaha menghilangkan rasa gugup, aku menyambut dan menyapanya. Baru kali ini aku menyesali kenapa Mama Indah datang di jam istrirahat seperti ini sehingga hanya aku sendirian yang menghadapi pelanggan kelas atas ini. Rasa gugupku seketika menguap ketika gadis cantik itu menyapaku dengan ramah, bahkan ketika aku masih terpaku mengagumi kecantikannya.“Hai, dengan Cahaya, ya. Kenali aku Bella,” ucapnya tersenyum sambil mengulurkan tangannya.“Oh, hai Bella. Iya saya Cahaya. Terima kasih ya sudah mampir ke butik sederhana ini,” sambutku.“Boleh lihat koleksi gamisnya?” tanya gadis cant
“Ah, pokoknya jangan ngomong yang nggak-nggak. Jangan bikin aku malu di hadapannya dengan jawaban-jawaban murahanmu! Kamu nggak selevel dengan dia, Ay.”Klik. Aku memilih mengakhiri telpon. Kesal sekali rasanya mendengar kalimat Mas Adam. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja menelpon hanya untuk membandingkan aku dengan mantan tunangannya. Ponseku kembali berdering, kali ini Mas Adam mengirim pesan di applikasi hijau.[Kamu jadi istri bener-bener nggak punya sopan santun ya. Suami lagi ngomong, telponnya diputus. Awas saja kalau kamu malu-maluin aku di depan Bella. Dia bukan tandinganmu.] Isi pesan dari Mas Adam.Aku berdecak kesal.“Adam bilang apa, Nak? Maaf tadi Mama yang ngabarin kalau Bella sedang ada di butikmu.” Suara ibu mertuaku mengejutkanku.“Nggak apa-apa, Ma. Tadi Mas Adam cuma memastikan aja.”“Ay.”“Iya, Ma.”“Mama dengar percakapan kalian tadi. Omongan suamimu jangan diambil hati ya, Nak. Mungkin Adam lagi gugup karena ini pertama kalinya Bella kembali ke Indones
Kuperintahkan pada Iin, karyawan butik yang lebih dulu kembali ke butik setelah jam istirahat untuk merapikan kembali beberapa koleksi butik yang masih tergeletak di sofa setelah dipilah pilih oleh Bella dan maminya tadi. Aku sendiri, entah mengapa ingin segera pulang setelah dongkol dengan isi percakapanku dengan Mas Adam tadi dan juga masih berpikir kenapa Bella memintaku untuk mempertemukannya dengan Mas Adam.“In, aku pulang duluan, ya,” pamitku pada karyawanku.“Tumben, Mbak. Biasanya juga betah berlama-lama di butik.”“Aku lagi pusing, In. Rasanya pengen refreshing.”“Mbak Aya udah makan?”Ah, iya. Aku sampai lupa kalau aku belum makan siang. Kedatangan mama dan temannya tadi membuatku melewatkan jam makan siangku. Akhirnya aku meminta Iin menemaniku mencari cemilan pengganti makan siangku.“Kamu ada rekomendasi kafe yang asik nggak In. Yang bisa untuk tempat nongkrong sekaligus pesan cemilan untuk ngisi perut,” tanyaku setelah beberapa saat melajukan mobilku di jalan raya.“Hmm
Ternyata benar apa yang dikatakan Iin tadi, Twin House ini benar-benar asik. Suasana gazebonya sangat syahdu, dari gazebo juga kita bisa melihat tingkah lucu anak-anak yang sedang bermain di bangunan sebelah kiri yang dicat warna-warni dan dilengkapi dengan fasilitas bermain. Lalu di bagunan sebelah kanan gazebo yang bentuknya sama, kita bisa melihat kafe yang dipenuhi orang-orang dewasa. Kafe sebelah kanan juga tak kalah menariknya karena didekorasi ala-ala coboy. Sementara pilihan duduk di gazebo benar-benar pilihan yang tepat untuk menikmati pemandangan kedua sudut bangunan yang berbeda tema itu.Kuseruput strawberry smoothie yang direkomendasikan Iin, lalu memesan beberapa cemilan ringan untuk mengisi perut sambil memandangi beberapa anak yang terlihat bermain dengan riang di bangunan sebelah kiri.“Cahaya!”Aku menoleh ketika mendengar namaku dipanggil oleh seseorang. Wanita cantik yang menggandeng tangan seorang gadis kecil terlihat menghampiriku dari arah bangunan sebelah kiri.
Otakku segera berputar, menghubungkan semua isi percakapanku dengan Iin dan Imelda tadi. Hingga aku bisa langsung menyimpulkan siapa owner Twin House yang diidolakan oleh kedua gadis yang sedang duduk bersamaku di gazebo ini. Ya, pastilah Ivan pemilik Twin House ini. Bukankah kata Mas Adam, temannya itu punya beberapa coffeeshop? Mungkin Twin House ini adalah salah satu coffeeshop miliknya.“Hei, Aya! Kok malah ngelamun sih. Ini nih owner nya Twin. Kamu masih ingat Ivan kan?” Imelda menepuk pundakku.“I-iya, Mel,” jawabku gugup.Bukan tanpa sebab aku gugup, sejak menoleh ke arah suara tadi, Ivan tak pernah melepaskan tatapan tajamnya dariku. Ingatanku kembali melayang pada kejadian di depan pintu toilet coffeeshopnya tempo hari.“Kamu beneran nggak apa-apa, Aya? Apa kamu sering diperlakukan seperti ini?”Pertanyaan yang masih sering terngiang di telingaku, sementara si pemilik tatapan tajam bak mata elang itu kini sudah duduk bergabung dengan kami di gazebo.“Tumben kunjungan ke Twin,
“Cahaya Kirana.” Aku yang memilih menunduk dan pura-pura sibuk dengan ponselku setelah Iin pamit ke toilet tadi menengadahkan wajah mendengar pria di hadapanku itu menyebut nama lengkapku.“Kamu ingat nama lengkapku?” tanyaku, sebab aku tak menyangka pria itu masih mengingat nama lengkapku setelah beberapa tahun tak bertemu.“Ingatlah, Ay. Aku hafal nama itu, nggak akan pernah hilang dari ingatanku. Bukankah sudah kubilang aku adalah salah satu pengagummu dulu, bagaimana aku bisa melupakan nama gadis yang membuatku tiba-tiba saja bertindak bodoh dengan mengirimkan sebatang coklat dan setangkai bunga padanya.”Aku tersenyum, kembali teringat kejadian itu. Suasana menjadi lebih santai, aku tak lagi merasa segugup tadi.“Maaf ya, dulu gara-gara aku, kamu jadi dibully habis-habisan.”“Dibully gara-gara coklat itu bukan siksaan bagiku, Ay. Justru yang membuatku merasa tersiksa dan tak punya semangat adalah ketika kamu tiba-tiba saja berhenti kuliah dan menghilang dari kampus. Membuat kampu