Home / Urban / DOWN UNDER DOWN / SALAH TINGKAH

Share

SALAH TINGKAH

Author: Bias Sastra
last update Last Updated: 2021-07-11 02:43:46

Sefti semakin sering mengirim pesan singkat usai pertemuan di Lapangan Tugu. Namun Haidar tetap mencoba untuk berpikir positif. Ia menduga jika si gadis Jawa itu sedang mencari teman baru selama di Aceh.

Sefti mengirim pesan di pagi hari, siang hingga saat malam tiba. Sedangkan Haidar mencoba menanggapi sebiasa mungkin.

Perempuan cantik itu juga mulai sering terlihat di depan RKU 3 yang menjadi ‘markas’ mahasiswa jurusan Sejarah selama ini. Keberadaan Sefti di sana, turut menjadi pembahasan serius kop mahasiswa ‘cap sikureung’ itu.

Kepada Haidar, Sefti beralasan kebetulan lewat, ketemu teman hingga diajak kawan ke kantin FKIP karena makanannya enak. Kebetulan pula, saat Sefti terlihat di FKIP, ada Haidar di sana. Namun Haidar sendiri tetap mencoba berpikir positif. Ia tidak mau ke pikiran macam-macam.

“Tak mungkin ia menyukaiku. Ia terlalu cantik untukku yang bukan siapa-siapa. Wanita cantik sepertinya pasti banyak disukai lelaki,” pikir Haidar.

“Lagian, kalau gadis itu suka pun, dia pasti mundur jika mengetahui latar belakangku.  Aku adalah lelaki sebatang kara. Orangtua mana yang mau menikahi anaknya dengan lelaki miskin seperti diriku,” gumam Haidar lagi.

“Bang Haidar, kenapa orang Aceh sangat benci dengan orang Jawa,” tanya Sefti saat mereka bertemu di kantin FKIP. Kepada Haidara, Sefti mengaku sedang menunggu seorang teman yang kebetulan kuliah di FKIP.

Sefti ke kantin, dan ternyata ada Haidar di sana yang menikmati segelas kopi sambil baca buku. Ia kemudian duduk di depan pemuda itu. Bau mawar seolah sedang mekar di sekeliling kantin. Beberapa pengunjung menoleh ke arah gadis itu.

Ekpresi wajah Sefti kali ini terlihat kaku. Aura-nya sedikit berbeda. Wajahnya terlihat serius.

Haidar mencoba tersenyum. Ia tak ingin gadis muda itu masuk dalam persoalan konflik yang baru saja reda di Aceh.

“Siapa bilang,” jawab Haidar dengan memasang mimik wajah serius.

Sefti menarik nafas panjang. “Sefti sudah setahun lebih di Aceh. Banyak orang ramah kepada Sefti saat awal ketemu. Kemudian justru menghindar saat tahu kalau Sefti berasal dari Jawa,” katanya kemudian. Pertanyaan itu cukup menohok.

Haidar mencoba santai. Ia tahu jika Sefti adalah gadis cerdas. Menghadapi pertanyaan dari gadis seperti Sefti, maka butuh jawaban yang tepat dan masuk akal.

“Mungkin karena konflik di masa lalu. Sebenarnya, orang Aceh tak membenci orang Jawa. Mereka hanya kecewa dengan janji-janji pemerintah pusat yang berada di tanah Jawa,” kata Haidar sambil mencari kata kata yang tepat untuk diungkapkan.

Jawaban Haidar ini membuat wajah Sefti kembali tersenyum.

“Syukurlah kalau begitu,” ujar sang gadis sambil mencoba memberi senyum termanisnya untuk lawan bicara di depan. Haidar hampir terbuai dengan senyuman itu. Dia cepat-cepat beralih pandang kembali ke buku.

“Sefti tidak apa-apa kok dibenci oleh seluruh warga Aceh, asal bukan Bang Haidar,” katanya tiba-tiba sambil menatap Haidar dengan penuh kelembutan.

Kalimat itu membuat Haidar tersentak. Bukunya hampir jatuh dari tangan. Ia hampir salah tingkah. Namun Haidar mencoba bersikap biasa walaupun jantungnya berdetak kencang. “Mungkin Sefti sedang menggodaku untuk candaan biasa,” pikirnya saat itu.

“Sef, jangan bercanda seperti itu. Kamu bisa membuat para lelaki salah tingkah kalau mendengarkannya,” ujar Haidar.

Tapi Sefti tetap menatapnya dengan penuh kelembutan.

“Jadi Bang Haidar bukan laki-laki?” balas Sefti lagi dengan mimic serius. Tapi pertanyaan kali ini justru membuat alis Haidar berkerut.

“Maksudnya?”

Sefti tersenyum mendengar respon Haidar. Gadis itu memamerkan deretan gigi putih bersihnya yang menawan.

“Tadi Abang bilang, kalau aku buat lelaki salah tingkah kalau mendengarkan… Bang Haidar justru cuek saja kah, berarti…” ujar Sefti penuh makna. Kini giliran Haidar yang tertawa lepas.

“Oh, tidak-tidak. Aku lelaki normal kok,” ujarnya sambil tersenyum. Si gadis terlihat cukup nyaman dengan tawanya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOWN UNDER DOWN   Epilogue

    Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a

  • DOWN UNDER DOWN   Part of Somthing

    “Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge

  • DOWN UNDER DOWN   Evil Man

    Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A

  • DOWN UNDER DOWN   Bad Liar

    Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”

  • DOWN UNDER DOWN   Going Crazy

    “Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu

  • DOWN UNDER DOWN   Terkekang

    Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status