MALAM kian larut. Haidar baru saja selesai bersih-bersih. Rak burger miliknya kini terlihat kinclong. Dika tak lagi terlihat di meja pesanan tadi. Mungkin ia sudah pulang. Ia biasa membayar burger di kasir.
Sementara Reda, salah seorang pelayan di Warkop pinggir kali, terlihat sibuk dengan telepon di sudut warung. Ia sedang menelpon pujaan hatinya yang ia kenal melalui akun F******k. Padahal ia dan wanita pujaan yang diteleponnya tiap dini hari tadi, belum pernah ketemu langsung.
“Da, aku pulang dulu ya,” kata Haidar mencoba basa-basi dengan Reda dari kejauhan.
Basa basi Haidar dibalas dengan acungan jempol oleh pemuda berwajah ‘Batak’ itu.
“Iya bang. Bang Thoyib dapat salam nih dari Dina,” ujar Reda.
“Iya. Salam balik sama pacarmu itu. Tiap malam kau ajak dia ngeronda. Sakit nanti,” balas Haidar sambil terkekeh.
Haidar tak lagi mendengar omelan Reda karena candaannya tadi. Ia bergegas ke arah Supra Fit miliknya yang terparkir di sisi kanan Warkop. Dinyalakannya dan bergegas menuju jalan raya. Simpang Lima Kota Banda Aceh terlihat sepi. Ia melaju dengan kecepatan sedang hingga akhirnya mengarah ke Simpang Jambo Tape dan lurus ke arah Simpang Mesra. Dari sana, ia kemudian belok ke kiri menuju Jembatan Laksamana Malahayati hingga akhirnya berhenti di salah satu rumah mini yang dibangun oleh NGO usai tsunami di kawasan Kahju. Rumah sewa itulah yang ditempati Haidar dan Insani selama satu tahun terakhir.
Nama terakhir adalah sebutannya untuk teman serumah tadi. Nama aslinya adalah Fiersa. Pria tadi merupakan eks mahasiswa asal Calang Aceh Jaya. Sama seperti dirinya, Fiersa tetap bertahan di Banda Aceh meski kuliah sudah lama selesai. Mereka seumuran dan seangkatan.
Fiersa kini honor di salah satu kantor pemerintahan. Keahliannya dibidang IT membuat ia dekat dengan para pria berseragam. Fiersa berharap suatu saat ia bisa lulus jadi PNS serta pulang kampung.
“Pantang pulang sebelum berseragam.” Motto inilah yang dipegang kuat oleh Insani.
Ia ingin melamar anak Balau Sawit di Calang. Konon gadis itu sedang menempuh pendidikan kebidanan di Meulaboh.
“Orangnya super cantik, Dar. Anak Balau Sawit lagi. Maharnya pasti tinggi. Tapi kalau aku lulus PNS, ayahnya pasti tak keberatan menikahkannya denganku. Kita hidup di dunia yang nilai seragam lebih tinggi dari harga diri,” ujar Fiersa suatu ketika.
Mengingat itu, Haidar tersenyum geli. Ia tak membantah apa yang disampaikan oleh Haidar. Ia mewakili pemikiran mayoritas generasi muda di Aceh saat ini. Karena menjadi PNS merupakan trend di Aceh.
“Dar, sudah pulang kau ya.” Tiba tiba suara itu terdengar. Fiersa berdiri di depan pintu menyambut kepulangannya.
“Iya. Malam tahun baru. Banyak pelanggan di Warkop. Lumayan laku burgerku hari ini,” jawab Haidar sambil memasukan sepeda motor miliknya dalam rumah.
“Jadi tak ada sisa burger yang kau bawa pulang?” tanya Fiersa lagi dengan muka mengiba.
“Sorry San. Habis total. Malam besok ya.”
Fiersa mengangguk. Ia mungkin basa basi. Pria bertubuh jangkung itu memang sering kebagian burger ‘sisa’ rak di Warkop. Mungkin hal ini pula yang membuatnya menanyakan soal burger malam ini.
Fiersa terdiam. Ia sepertinya ingin menyampaikan sesuatu.
“Ada apa?” tanyaku.
Fiersa kemudian tersenyum. Sosok itu memang mudah ditebak jika menyimpan sesuatu masalah. Ia tidak bisa diam sebelum menyampaikan sesuatu yang dilihat atau dipikirnya itu. Demikian juga dengan malam ini. Ia menungguku pulang dan langsung menyapa. Mungkin ada masalah penting yang ingin disampaikannya.
“Aku tadi lihat Sefti di Wong Solo.”
'Dum.' Detak jantungku terasa berhenti. Aku terdiam. Namun kucoba menguasai diri. Aku tak ingin kelemahanku ini diketahui oleh orang lain, termasuk oleh Fiersa sekalipun. Kami sudah berteman lama, namun ada hal-hal yang memang harus kusimpan sendiri.
“Dia datang bersama pria muda berbaju loreng. Mereka terlihat mesra,” ujar Insani. Perkataan terakhir tadi kembali membuat jantungku terasa copot. Namun aku mencoba untuk cuek.
“Syukurlah. Akhirnya ia mendapatkan pria seperti ayahnya.”
Aku menginginkan sebuah keluarga yang normal. Sementara yang kumiliki hanyalah seorang ayah bajingan dan ibu yang bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga kaya, juga seorang kakak perempuan yang berusaha mati-matian untuk bisa pergi dari rumah kami yang terkutuk. Nggak ada seorang pun yang memperhatikanku.Satu kali aku pernah mencari ibuku ke tempat kerjanya –di sebuah rumah besar dengan pagar tinggi. Dari luar aku melihat ibuku bermain dengan tiga orang anak yang usianya lebih besar dariku di teras rumah. Mereka tertawa bahagia. Lalu aku pulang dengan sedih dan bertanya pada Ruby, “Apa Mama nggak sayang sama kita sampai dia nggak mau jagain kita dan malah jagain anak orang lain?”Usiaku sembilan tahun dan Ruby, enam belas tahun. Aku rasa Ruby tahu apa yang harus dikatakannya padaku agar aku nggak bersedih. Mungkin dia bisa menjawab dengan yakin bahwa Mama hanya bekerja a
“Bell?”Suara Nial kedengaran panik. Aku bergegas meninggalkan dapur dan menemukan dia baru keluar dari kamar dengan terburu-buru.“Ya?” sahutku.Dia agak terkejut. Dan entah mengapa menghembuskan nafas panjajng.“Kenapa?” tanyaku, heran.“Aku kira kamu kabur lagi,” jawabnya, sambil mengusap wajahnya dan rasa lelah itu masih kelihatan di sana.Logikanya, nggak mungkin aku kabur setelah semua yang terjadi di antara kami beberapa hari ini dan dia menjadikanku gadis paling bahagia sedunia dalam sekejap mata. Sekaligus menjadi matrealistis.“Kamu mimpi?”Dia nggak menjawab. Hanya bergerak menuju kursi meja makan dan duduk di sana sambil mengge
Nial sudah berangkat pagi-pagi sekali hingga aku bahkan nggak sempat bertemu dengannya. Seperti biasa, sarapan sudah ada di meja –waffle madu. Sepertinya dia tahu kalau dari semua menu sarapan sehatnya yang rata-rata menyisipkan sayur, waffle madu pilihan yang nggak bisa kutolak.Setelah sarapan aku kembali ke depan TV, memutar Fox Movies lagi. Film Transcendence sudah main sekitar sepuluh menit –aku juga sudah nonton film ini dengan Ruby. Jadi ingat Johnny Depp aktor favoritnya. Ruby selalu beranggapan hampir semua filmnya bagus. What’s Eating Gilbert Grape tahun 1993 adalah yang terbaik dari semuanya dan dia menontonnya berulang-ulang.Saat itu hobi menontonku sudah mulai berkurang karena ketegangan antara aku dan Ruby soal Alex. Aku mulai jarang menghabiskan waktu bersamanya karena Alex sering berkunjung. Ketika Ruby menonton film itu entah untuk yang ke berapa kalinya, A
Hari Kamis pagi, nggak biasanya aku dengar dia menelpon dengan seseorang di dapur dan mengenakan setelan jas lengkap warna hitam. Di meja makan sudah ada roti isi daging yang kelihatan lezat. Aku menguping tapi sama sekali nggak mengerti apa topik yang sedang dia bicarakan. Dan begitu melihatku, dia langsung menyudahi teleponnya.“Aku mau pergi,” katanya dengan cepat. Dia nggak akan duduk bersamaku di meja makan.Aku nggak menjawabnya. Itu artinya aku akan sendirian –dia pernah bilang kalau dia bukan pengangguran. Ya memang, selama di sini aku juga nggak merasa kalau dia ada sampai aku bosan dan harus mencuri kesempatan untuk kabur sejenak cuma buat mengobrol dengan Valde.“Pokoknya jangan bukain pintu untuk orang asing sampai aku pulang,” ia berpesan. “Dan jangan keluar sendirian.”
“Bellisa? Kamu kenapa?” Valde menatapku khawatir ketika dia menemukanku duduk sendirian di lorong nggak jauh dari kantor pengelola apartemen.Aku sengaja karena dalam pikiranku hanya itu yang ingin kulakukan saat ini. Bukannya pulang ke tempat asalku. Aku nggak mengerti dengan diriku saat ini. Apartemen ini bukan rumahku, tapi aku nggak mau pergi.“Kenapa kamu nangis?” tanya Valde lagi karena aku nggak juga menjawabnya. “Kamu dimarahin Nial lagi?”Aku mengangguk. Ya, dia selalu marah-marah. Namun, kali ini aku bertengkar dengannya. Padahal selama ini aku nggak mau begitu. Karena... kadang-kadang aku merasa dia sebenarnya memperhatikanku. Dia melarangku mandi air hangat tiap hari karena nggak ingin aku tergelincir. Dia menyuruh aku makan sayur –persis seperti Mamaku dulu. Semua keinginannya itu, aku tahu, kalau itu untu
Nial sudah masuk ke ruangan rahasianya dan aku memilih nonton TV. Namun satu jam kemudian aku langsung bosan. Aku butuh cemilan tapi Nial nggak mengizinkanku keluar sendiri. Aku terpaksa menurut karena nggak mau disalahkan gara-gara hari itu aku nggak beli apa pun di supermarket.Aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman –sebotol jus jeruk dengan bulir asli di dalamnya. Aku mengambil satu dan kulihat tempat sampah di dekat wastafel sudah hampir penuh. Itu harus segera dibuang sebelum menyebabkan bau busuk. Apartemen memiliki tempat pembuangan sampah umum di lantai satu. Setiap pagi petugas kebersihan kota akan menjemput sampah-sampah itu dengan truk besar.Begitu teraturnya tempat ini, pikirku setelah melempar kantong plastik besar itu ke tumpukan sampah yang bau itu.“Bellisa?” seseorang menegurku dan itu membuat jantungku nyaris copot.
Aku mengangkat tubuhku dari dalam air; nafasku sesak. Aku sempat nyaris hilang kesadaran. Mungkin karena panasnya cukup membuatku pusing. Tapi, aku merasa mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.Nial?Tapi, itu nggak mungkin. Dia nggak pernah memanggil namaku –karena dia bahkan nggak pernah memulai percakapan denganku. Kalaupun dia perlu untuk memberitahuku sesuatu dia menyebutku dengan ‘hei’.Setelah selesai mandi aku langsung teringat pada cucianku dipantry. Itu terlupa begitu saja gara-gara pesan ‘Aku kangen kamu’ yang kubaca di handphone-nya.Aku benci harus merasa cemburu. Dan harusnya aku nggak cemburu. Aku nggak berhak untuk cemburu. Cemburu nggak akan mengubah apa pun. Aku bukan siapa-siapanya.Aku
Dia baik –sudah cukup baik untuk orang judes dan ketus seperti dirinya. Dia memasak makanan yang enak setiap hari. Dia juga langsung membelikan mesin cuci agar aku bisa pakai baju bersih. Dia mengizinkan aku nonton TV seharian. Yah, walaupun dia bukan teman bicara yang asyik seperti Wanda atau Lulu. Tapi, dia nggak pernah menggangguku, malah sebaliknya. Dia bilang aku berisik dan terlalu banyak tanya. “Dia menelpon ke tempat kerjaku dan bilang kalau aku berhenti,” jawabku. “Dia sampai sejauh itu?” Aku mengangguk-angguk. “Aku masih bingung, Kak. Kalau sudah aman dan aku pergi dari sini, aku harus nyari kerjaan baru lagi.” Wanda nggak menjawabku. “Aku nggak mungkin tinggal di sini selamanya,” sambungku. “Semuanya bakal baik-b
“Aku pikir kamu kabur karena segitunya ingin pulang,” Nial marah karena aku memutuskan untuk menunggunya selesai di parkiran. Rupanya dia nggak suka karena itu membuatnya harus mencariku ke sana kemari. Dia terus memasang tampang masam setelah kami naik ke mobil dan siap-siap untuk pulang. “Kamu lama...,” kataku membela diri. “Aku juga nyariin kamu di tempat bahan pokok tapi nggak ketemu.” Bukankah dia cumamau belanja bahan makanan? Kenapa dia malah ke mana-mana? Ah sudahlah, orang kaya mah bebas! “Aku pergi ke toko elektronik. Mau lihat mesin cuci seperti yang ada di laundry itu.” “Kamu mau beli mesin cuci?” Entah mengapa aku jadi sedikit bersemangat. Nial mengangguk pelan tanp