"Segera, dan secepatnya datang ke sini!"
Naren yang mendengar suara tegas dari seberang telepon hanya bisa menganga lebar. Telepon pun diputus secara sepihak, Naren tidak bisa berkutik. Di dalam otaknya berpikir dan mengingat-ingat apa mungkin dia telah membuat kesalahan. Sayangnya, Naren sangat bersih. Dia mengajukan cuti karena sakit beberapa hari. Sebelum itu pun dia tidak melakukan kesalahan pada pekerjaannya. Namun, suara atasannya barusan seperti dia telah melakukan kesalahan besar. Naren buru-buru merapikan barang-barang, tak lupa dia merias diri meskipun masih tampak pucat. Ryo yang baru keluar dari kamar mandi pun tertegun karena sang istri terlihat sangat panik. "Kamu sudah mau masuk kerja?" Naren hanya menganggukkan kepala. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, sang bos bisa memecatnya jika Naren terlambat. "Bukannya sudah ajukan cuti? Kamu belum pulih." "Atasanku terdengar sangat marah." Naren menghentikan tangannya yang mengotak-atik tas. "Apa aku melakukan kesalahan?" Naren termenung, degup jantungnya tak bisa ia kondisikan. Ryo mengusap punggungnya, seketika Naren bersandar lemas. Demi tidak dipecat dari pekerjaannya, Naren harus berangkat dengan kondisinya yang masih tidak stabil. "Aku antar." Sesampainya di kantor, Naren disambut dengan tatapan sendu dari rekan-rekannya. Ah sial, pasti ada sesuatu yang membuat mereka semua mengasihani Naren. Naren jadi bertanya-tanya, entah apa yang telah diperbuatnya sehingga atasannya begitu sangat kesal. Deg deg deg .... Jantung kian berdetak cepat saat melihat Pak Boni, managernya melangkah tegap kearah Naren. Naren berusaha tersenyum lebar, sembari membungkukkan badannya sebagai penghormatan. "Ikut saya!" tutur Pak Boni dengan gerakan satu tangan. "Baik, Pak." Naren mengikuti ke mana tujuan Pak Boni. Hanya saja yang membuat Naren mengerutkan dahi, mereka berjalan menuju ruang CEO. Apa? Tunggu tidak mungkin, untuk apa mereka pergi kesana? Oh astaga, mungkin Naren akan dipecat karena suatu kesalahan yang Naren sendiri tidak tahu. Naren banyak spekulasi di otaknya, bisa saja itu kesalahan sang manager, tetapi dilimpahkan kepadanya. Dan Narenlah yang harus menanggung akibatnya. Ya, tidak sedikit kasus seperti ini terjadi. Banyak sekali para atasan yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk menumpang tindih kesalahannya terhadap bawahan. Jika Naren dipecat, sampai kiamat dia tidak akan memaafkan Pak Boni. Dia akan menghantui Pak Boni sampai menjadi gila jika Naren tiada. Ah amit-amit, Naren tidak akan meninggal secepat itu. Baiklah, dia harus menguatkan diri sebelum disembur dengan berbagai hinaan. "Pak Boni, sebenarnya ada apa? Apa saya telah melakukan kesalahan?" Senyap. Naren ingin meninju kepala Pak Boni yang sudah botak tengah itu. Sabar... Hanya itu yang dapat Naren gumamkan di hatinya. "Masuklah!" Terdengar suara dari dalam ruangan setelah Pak Boni mengetuk pintu. "Selamat siang, Pak Davin," ucap Pak Boni. Terlihat dari raut wajahnya yang pucat seperti menyimpan ketakutan. "Bagaimana sudah kamu temukan?" Apakah dia itu CEO di kantor ini? Naren bertanya-tanya, pasalnya wajah CEO mereka itu selalu disembunyikan dan Naren belum pernah menemuinya. Kalaupun orang di depannya saat ini benar adalah CEO, ini pertama kalinya Naren melihat wajah dari pemilik perusahaan ini. Tanpa melihat ke arah Naren dan Pak Boni, pria muda yang dipanggil Davin barusan hanya menatap lurus layar tabletnya. Naren tak karuan, dia takut setengah mati. Dia tidak ingin kehilangan pekerjaannya ini. "Sudah, Pak." Pria bernama Davin itu mendongakkan kepala. Sorot matanya tajam, dengan garis-garis wajah yang tegas. Naren tercekat sejenak saat beradu pandang dengan sang CEO. "Dia?" Sambil menunjuk Naren. "Iya, Pak. Dia salah satu karyawan terbaik di divisi kami." Naren menoleh kearah Pak Boni. Dia masih tidak mengerti, ujung jari telunjuknya mengusik lengan Pak Boni. "Pak Boni, apa maksud anda?" bisik Naren yang hanya dibalas dengan tatapan tajam dari atasannya itu. "Sebentar lagi CEO baru kita akan tiba. Jangan sampai membuat ulah dan membuatnya marah. Kondisikan karyawan dan saya sudah mengkonfirmasi dengan eksekutif yang lain."CEO baru? Lalu dia siapa?
"Tunggu!" Naren menginterupsi. "Maaf saya tidak mengerti mengapa saya dipanggil ke sini. Tolong jelaskan!" Davin mengangkat sebelah alisnya, sedangkan Pak Boni gelagapan karena telah melakukan suatu kesalahan. "Maaf Pak Davin saya terburu-buru sehingga tidak bisa menjelaskan padanya." "So?" "Saya akan menjelaskan padanya setelah ini. Tidak akan ada masalah, saya pastikan Pak Davin tidak akan kecewa." Dengan gerakan satu tangan, Davin mengusir Naren dan Pak Boni untuk segera keluar dari ruangan ini. Keduanya menurut, terlihat Pak Boni juga tidak ingin berlama-lama di ruangan yang terasa mencekam itu. "Anda berhutang penjelasan dengan saya." "Naren." Pak Boni menghentikan langkahnya. "Setelah ini kamu tidak perlu lagi bekerja di divisi kami." "Tunggu! Saya dipecat? Apa kesalahan saya, Pak?" "Tidak. Kamu tetap akan bekerja, tetapi sebagai sekretaris CEO yang baru." "APA?"Mendadak sekali? Naren masih tidak percaya, tiba-tiba dia diangkat menjadi sekretaris CEO. Dia sudah sangat nyaman dengan pekerjaan sebelumnya. Bahkan katanya... banyak karyawan yang menyerah menjadi sekretaris CEO. Banyak rumor bahwa CEO mereka sering menindas dan bertindak semena-mena. Namun, mungkin saja CEO baru mereka lebih baik dari sebelumnya. "Tidak ada penolakan dan ini perintah! Setelah ini kemasi barang-barang kamu dan segera pindah ke ruangan CEO." "Tapi, anda tidak meminta pendapat saya terlebih dahulu." "Apa itu penting? Jika kamu menolak semua karyawan akan menjadi taruhannya." "Pak Boni," mohon Naren agar dia tidak pindah dari pekerjaannya. "Hanya kamu satu-satunya karyawan yang bisa saya percaya. Tolonglah saya satu kali ini saja!" Pak Boni lebih memohon, Naren tidak bisa menolaknya dan mau tidak mau dia harus segera pindah. Menjadi sekretaris akan lebih membuatnya sibuk, dia pun harus belajar lagi menjadi sekretaris yang baik untuk CEO baru mereka. Di sinilah Naren sekarang, duduk di kursi yang terasa asing baginya. Posisi baru ini tidak membuatnya senang, dia harus memaksakan senyum saat beberapa orang datang menemuinya. ["Bersiaplah turun, CEO baru kita akan datang."] Belum sempat Naren menjawab, telepon dari Davin terputus begitu saja. Entah dari mana pria itu mendapatkan nomornya, mungkin saja dari Pak Boni. Naren menghela napas, dia keluar dari ruangan dan segera turun ke lobi untuk menyambut CEO baru. Yang Naren tahu, Davin adalah asisten pribadi yang ke mana pun berada di sisi CEO baru mereka ini. Davin tak kalah galaknya, raut wajahnya yang selalu tegas mampu membuat Naren mati kutu. "Hei selamat ya," ujar Sisilia menggoda Naren ketika mereka bertemu di lorong. Dulu mereka satu divisi, sampai pada akhirnya Naren pindah posisi. "Ayolah! Aku tidak menginginkan posisi ini." "Katanya CEO kita yang baru sangat tampan. Jika aku jadi kamu, aku akan menggodanya. Siapa yang tidak mau menjadi pasangan CEO?" Naren mencebik kesal, dia menunjukkan cicin di jari manisnya. Sisilia pun tertawa kecil, dia hanya bercanda. Sisilia tahu bahwa Naren sudah menikah, hanya saja dia ingin membuat Naren tertawa, tetapi tidak berhasil. Semua karyawan telah bersiap. Naren berdiri di samping Pak Boni. Entah mengapa degup jantung Naren berdetak kencang. Ini pertama kalinya Naren harus melayani orang besar di kantornya. "Pak Boni," cicit Naren."Hem?"
"Mengapa CEO kita diganti, Pak? Emm maksud saya, CEO yang dulu dipecat?" Pak Boni menoleh hendak menatap wajah Naren yang penuh ingin tahu.
"CEO yang dulu itu hanya sementara maka dari itu identitasnya disembunyikan. Namun, yang sekarang ini adalah penerus asli dari tetua sebelumnya. Entah bagaimana prosesnya yang jelas CEO sekarang ini punya kuasa penuh."
Naren menganggukkan kepala, walau tidak paham dengan prosedur eksekutif atau orang-orang penting di kantornya. Yang harus Naren lakukan sekarang adalah menjadi karyawan yang baik.
Mobil-mobil berwarna hitam tiba, berjejeran seolah mobil yang mengangkut rombongan presiden. Naren menundukkan kepala, detak jantungnya semakin tak karuan. Dia memiliki firasat yang buruk, rasanya ingin menyerah dari pekerjaannya ini padahal dia belum memulainya.
"Selamat datang di Briliant Company." Naren mendongakkan kepala sembari tersenyum saat berhadapan dengan CEO barunya.
Seperti ada sengatan listrik, Naren tak bisa berpaling. Wajah itu...wajah yang dulu pernah ia kagumi. Tak hanya Naren, pria di depannya ini pun tercekat dan membisu seolah Naren adalah orang lama yang selalu ia cari-cari.
"D-deo?"
"Wanita ini siapa?" Naren tak bisa membendung rasa penasarannya tentang wanita yang saat ini sedang bersama suaminya. Banyaknya masalah yang terjadi diantara mereka membuat Naren curiga. Dia selalu mempercayai Ryo, tetapi ada kalanya juga dia merasa cemburu disaat Ryo bersama wanita lain. "Dia teman kerjaku. Aku dapat tugas bareng sama dia dari atasan," jawab Ryo berusaha membuat Naren percaya padanya. Naren mengangguk paham, dia memaklumi karena yakin Ryo tidak akan berbohong. "Oh ya sudah lanjutkan." Naren tersenyum kecil, walau masih ada perasaan aneh di hatinya. Mungkin karena cemburu, dia tidak ingin Ryo malu dan merasa tidak nyaman karena sikapnya. "Oh ya kamu baru mau makan siang? Mau aku pesankan sesuatu?""Tidak perlu, Mas. Temanku sudah pesan sebelumnya." Naren menahan lengan Ryo yang hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana. "Sebaiknya Mas lanjutkan saja diskusinya, aku akan duduk bareng teman-temanku." Naren menunjuk ketiga temannya yang sudah duduk di meja y
"Davin, cepat ke ruangan saya!" Davin yang mendapat perintah dari tuannya itu segera menuju ruangan Deo. "Cari tahu masalah yang sedang terjadi dengan Naren dan suaminya." Davin membelalakkan kedua matanya, dia tidak salah dengar dengan apa yang diperintahkan oleh tuannya itu. Mencari tahu tentang Naren dan masalah apa yang tengah terjadi di dalam rumah tangganya, sungguh adalah tugas yang di luar dari prediksinya. Bagi Davin pribadi bukan urusannya penasaran dengan masalah orang lain apalagi tentang masalah rumah tangga. Harusnya juga bukan urusan Deo jika karyawannya sedang dihadapi suatu masalah. Semakin lam Deo semakin aneh dan tidak menjadi dirinya sendiri. Pribadi Deo yang tertutup, pendiam, tegas, dan berwibawa seakan lenyap hanya karena Naren. Davin semakin tidak mengerti jalan pikiran tuannya itu. Selama bertahun-tahun bekerja dengan Deo, baru kali ini Davin merasa kelimpungan dengan tugas yang diberikan oleh Deo. "Untuk apa, Tuan?" Deo menajamkan tatapannya, dia tidak s
"Apa kau sudah mencetak ulang kontraknya? Mengapa tidak segera kau serahkan padaku?" Raut wajah Deo membuat Naren gemetar. Deo terlihat sangat marah, Naren diam saja dan menerima kemarahan Deo padanya. "Maaf, Pak. Akan saya serahkan secepatnya." Naren berlalu meninggalkan ruangan Deo. Dia mengambil dokumen yang sudah ia cetak sebelumnya, dan Naren mengecek kembali agar sesuai dengan yang diminta oleh atasannya.Setelah memastikan bahwa dokumen itu sesuai, Naren segera kembali ke ruangan Deo dan menyerahkan dokumen itu. Deo menatap intens wajah Naren seolah pria itu memberi isyarat agar tidak ada kesalahan lagi."Kontraknya sudah sesuai, dan Bapak bisa tanda tangan di sini." Naren menunjukkan bagian yang harus Deo bubuhi tanda tangannya. Deo menganggukkan kepala pertanda bahwa dokumen yang Naren serahkan tanpa kesalahan. "Setelah ini akan saya copy dan mengirimnya ke pihak client. Sekali lagi saya minta maaf, kalau begitu saya permisi." Naren membungkukkan badan. Setelah kepergian Na
"Hei Naren."Naren terkejut, lalu bangkit dari tempat duduknya sampai-sampai menatap ujung meja. Naren akhirnya sadar dari lamunannya. Dia mengerjapkan kedua matanya, di depannya saat ini berdiri sosok Davin yang menatapnya penuh tanda tanya. Sebelumnya Davin mengetuk meja Naren beberapa kali, tetapi Naren tetap dalam lamunannya. Akhirnya Davin mengguncang bahu Naren karena ada hal mendesak yang harus mereka bahas. "Kau kenapa? Masih tidak enak badan?" tanya Davin ada sedikit khawatir karena wajah Naren pucat tidak seperti biasanya. Davin takut Naren justru pingsan di kantor yang nantinya akan menambah pekerjaan untuk Davin. Naren menggelengkan kepalanya, "Aku baik-baik saja. Maaf aku melamun barusan," kata Naren sembari mengusap kedua matanya yang berair. "Kalau begitu apa kau bisa mencetak kontrak yang baru saja dikirim oleh Lion Company?" Naren menyanggupi, dia mencari file yang beberapa menit lalu ia unduh di komputernya. "Oh ya, nanti bawa kontrak itu ke ruangan Pak Deo." Da
"Kamu dari rumah ibu ya, Mas?"Naren mengikuti langkah Ryo saat pria itu baru saja datang. Dengan wajah kesal dan marah, Naren menodong suaminya dengan berbagai pertanyaan. Namun, sampai kamar mereka, Ryo tetap diam."Ngapain kamu ke sana? Untuk apa?""Mengapa tidak mengajakku?"Naren akhirnya berhenti mengikuti suaminya, dia memilih keluar dari kamar dan menenangkan diri di sofa ruang tamu karena Ryo tetap tidak mau membuka suara. Naren merasa diabaikan, pasti seperti apa yang ia pikirkan. Ibu Ryo pasti menjelek-jelekkan tentang dirinya, atau memaksa Ryo untuk segera berbuat sesuatu agar dirinya cepat hamil. Setelah pulang kerja, Naren mendapatkan pesan dari adik iparnya yang menanyakan keberadaan Naren karena tidak ikut ke rumah mertuanya bersama Ryo. Seketika Naren terkejut, karena Ryo tidak memberi kabar apapun padanya. Naren pun beberapa kali menghubungi Ryo, tetapi tidak mendapat balasan. Naren semakin gelisah, apapun yang berhubungan dengan keluarga Ryo selalu membuatnya takut
"Aku kira kamu membenciku."Keduanya saling beradu tatap, hanya saja Deo tetap diam seperti enggan mengeluarkan suara atas pertanyaan Naren barusan. Naren menunggu dengan sabar dan berharap bahwa mantan kekasihnya itu mau menceritakan alasan yang sebenarnya mereka bisa berpisah bahkan menjadi orang yang sangat asing saat ini. Sayangnya Deo tetap bungkam sampai dua waiters pria dan wanita menghampiri meja mereka berdua. Waiters tersebut menaruh makanan yang telah dipesan di hadapan Naren dan juga Deo. Naren memutar bola matanya kesal, disaat yang ia tunggu-tunggu sudah sedikit lagi akan tercapai, tetapi dia harus menundanya lagi entah sampai kapan. Naren turut diam, dia mengambil garpu dan pisau daging. Untuk yang pertama kalinya, Naren masih kesulitan memotong daging steak yang cukup tebal ini. Naren melirik kesekitar dan mempelajari cara memotong daging dengan melihat orang-orang disekitarnya. "Ini."Tiba-tiba Deo menarik paksa piring Naren dan menggantinya dengan milik Deo. Naren