"Aku harus mencobanya lagi," ucap Naren sembari terburu-buru menuju kamar mandi. Di tangan kanannya, dia memegang kantong plastik berwarna putih.
Naren baru kembali dari membeli tespek di apotik. Dia membuka bungkusan dan melakukan apa yang harus ia pastikan. Dia menunggu beberapa saat, detak jantungnya semakin tak karuan. Di dalam hatinya berharap apa yang dia inginkan akan terkabul hari ini.
Dia ingin memberikan kabar baik untuk Ryo, pasti suaminya itu akan sangat bahagia dan mereka berdua akan hidup damai tanpa ada cacian dari ibu mertuanya. Naren juga ingin melengkapi kodratnya sebagai wanita yang bisa mengandung dan melahirkan. Setidaknya dia ingin memberikan kesempurnaan di dalam keluarga kecilnya.
Naren mengangkat tespek dari gelas kecil. Dia memejamkan kedua mata, ada rasa takut saat akan melihatnya. Namun, dia berusaha berpikir positif bahwa hasilnya akan sesuai dengan yang dia inginkan. Sambil menyebut nama Ryo dan dengungan doa, Naren membalik tespek tersebut.
"Hah?"
Tangisnya pecah kembali, dia membuang tespek tersebut ke tempat sampah karena rasa kecewanya. Ya, negatif lagi. Tidak ada tanda-tanda dia akan hamil saat ini. Hal itu membuatnya sangat-sangat hancur. Dia merutuki dirinya sendiri, menyalahkan dirinya atas ketidaksempurnaan.
Naren lelah karena terus-menerus disalahkan. Bukan keinginannya jika dia tidak bisa hamil, bahkan untuk sekedar cek up ke dokter dia takut, takut bahwa fakta yang akan disampaikan oleh dokter semakin menggerogoti hatinya.
"KAPAN AKU HAMIL, YA TUHAN?"
Naren mengelus perutnya, dia berharap ada janin yang tumbuh di sana dan perlahan-lahan perutnya membuncit , lalu merasakan tendangan dari calon anaknya. Teman-teman seusianya pun sudah banyak yang menggendong anak, keluarga mereka bahagia. Bohong jika Naren mengatakan kebahagiaan di dalam rumah tangganya tidak hanya soal anak, nyatanya tanpa anak dirinya tidak bahagia.
Hingga waktu berlalu, dia tidak sadar sudah mengurung diri di kamar seharian. Sampai-sampai kedatangan Ryo tidak ia sadari. Ryo memasuki rumah yang terasa kosong, dia menghela napas panjang. Setiap hari seperti ini tidak ada yang spesial, kecuali sambutan hangat dari Naren dan senyumnya yang tak pernah pudar. Namun, entah di mana istrinya saat ini karena dia tidak melihatnya di manapun.
"Naren?" lirih Ryo, mereka masih belum berbaikan. Meskipun Ryo masih marah karena ucapan Naren yang pesimis itu, Ryo masih mencarinya.
Ryo menuju kamar, terlihat Naren tengah meringkuk di dalam selimut putih tebal menutupi seluruh tubuhnya. Perasaan Ryo mendingin dari panas emosinya kemarin, ya...melihat sang istri yang selalu sedih. Ryo tidak tega membangunkan sang istri.
"Apa dia sakit?" Ryo bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum menghampiri Naren.
Namun, hatinya semakin tercubit saat melihat benda panjang berwarna putih yang teronggok di dalam tempat sampah. Ryo mengambil tiga alat tes kehamilan yang berbeda-beda bentuk dan merk. Hatinya semakin sakit, Naren seolah berjuang sendirian. Melihat tespek itu yang menunjukkan negatif, membuat sekujur tubuh Ryo gemetar.
"Aku tidak ingin kamu terus-menerus seperti ini."
Ryo melupakan untuk membersihkan diri, dia menyelinap masuk ke dalam selimut dan memeluk tubuh Naren dari belakang sangat-sangat erat. Naren terkejut, dia menyibak selimut yang membungkusnya.
"Mas, kamu menangis?" Naren mengusap wajah Ryo yang basah. Ini bukan pertama kalinya, tetapi melihat Ryo seperti ini membuat Naren khawatir.
"Maafkan aku, maaf membuatmu selalu sedih."
"Aku tidak apa-apa, kok."
"Aku mencintaimu."
Darah Naren berdesir hangat, dia kembali merasakan kehangatan dari pelukan sang suami. Dia sangat bersyukur bahwa Ryo selalu ada untuknya dan selalu mencintainya. Naren berharap cinta itu tidak akan pernah pudar.
***
Ryo mengecup lembut ceruk leher Naren yang terekspos. Naren tidak menolak, dia menikmati sentuhan demi sentuhan dari tangan Ryo. Begitu hangat dan membuat tubuhnya semakin bergejolak. Dia menyukai sentuhan ini, setiap inci kehangatan yang diberikan oleh Ryo membuat Naren memintanya lebih.
Naren tidak pernah bisa menahannya, dia menarik kasar tubuh Ryo agar semakin dekat dengannya. Ryo semakin dalam, semakin dalam menelusuri bibir Naren. Entah bagaimana mengartikan rasa yang mencuat dan menggebu-gebu ini, sehingga Naren dan Ryo melupakan apa yang menjadi permasalahan diantara keduanya.
Kedua tangan mereka bertaut, menyalurkan kasih sayang hingga keseluruh tubuh. Naren mengerang kecil, tetapi mampu meningkatkan gairah pada tubuh Ryo.
"Heem lagi, Mas." Bisikan kecil dari bibir Naren yang terus menggoda sang suami. Naren tersenyum lebar saat Ryo membuka dan memejamkan kedua matanya berulang kali. Itu tandanya sang pemimpin permainan kali ini sangat menikmatinya.
"Aku mencintaimu," lirih Ryo dalam.
Naren menganggukkan kepalanya, "Ya, aku juga mencintaimu," balas Naren tak kalah menggoda.
Ah... Sialnya Ryo selalu mampu melumpuhkan sendi-sendi Naren sampai tubuhnya gemetar hebat. Naren merasakan kenikmatannya. Dia tidak membiarkan Ryo berhenti sekarang, dia ingin lebih lama. Naren berbalik memimpin, mengambil alih nahkodanya dan menekan tubuh Ryo di atas tempat tidur.
Ya... Dia pintar sekali menggoyangkan pinggulnya, menaik turunkan ritmenya, sesekali pula berputar-putar kecil. Kini Ryo yang mengerang. Namun, Naren terus menggoda dengan tawa kecilnya semakin puas.
"Sudah cukup, berhenti."
"Apa, Mas?"
"Jangan nakal! Euhm!!!"
"Baiklah sekali lagi," ujar Naren semakin mempercepat ritmenya.
Hingga...
Boom !!!
Boom !!!
Naren tercekat, Ryo pun menegang di bawahnya. Untuk yang terakhir, Naren memberi sentuhan lembut diseluruh wajah Ryo. Malam itu kelelahan mengelabuhi tubuh mereka, hanya tidur yang bisa meredakan kelelahan mereka.
"Jika aku tidak bisa memberimu anak, apa dirimu akan tetap mencintaiku?"
Hening... Ryo hampir berkelana dalam mimpinya.
"Ishh dasar, mesti tidur.. Heiii...."
"Heem?"
Ryo membuka mata, dia terkekeh kecil. Sudah menjadi kebiasaannya setelah menjalankan tugas sebagai seorang suami dia tidak bisa menahan untuk tidak tidur.
"Bagaimana?" Ryo mengusap pipi mulus Naren.
"Kalau aku tidak bisa ham-"
"Bisa! Jika kamu memikirkan itu terus, kamu bisa setres, dan jika kamu sakit bisa bermasalah juga dengan kesuburan kamu. Sudah, pikirkan yang senang-senang saja."
Naren setuju dengan apa yang dikatakan Ryo. Kalau dia sampai sakit akan lebih lama untuk mereka mempunyai anak. Naren harus sehat, dan bahagia. Seharusnya dia mengesampingkan ucapan-ucapan yang menyakiti hati demi kesehatan mentalnya.
Tidak ada yang mau diposisi seperti ini, ini adalah ujian dari Tuhan agar Naren dan Ryo selalu kuat dan saling menyayangi. Sebagai suami istri harus menjadi support sistem satu sama lain, Naren tidak ingin membuat usaha Ryo yang selalu mendukungnya berakhir sia-sia, Naren harus bangkit detik ini juga.
Selama ada Ryo di sampingnya, segala badai bisa Naren lalui terlebih itu keluarganya sendiri. Memang menyakitkan saat dicemooh oleh banyak orang, tetapi usaha tidak akan mengkhianati hasil. Naren akan terus berjuang.
"Aku ingin lagi," kata Naren dengan nada manjanya. "Aku mau ronde dua." Naren bergelayut manja di bawah lengan sang suami.
"Oh ayolah." Ryo memekik, dia bisa merasakan nyeri pada pangkal pahanya.
"Tidak ada penolakan."
"Aku masih belum ready." Keduanya pun tertawa, sembari Naren melayangkan godaan demi godaan pada Ryo.
"Wanita ini siapa?" Naren tak bisa membendung rasa penasarannya tentang wanita yang saat ini sedang bersama suaminya. Banyaknya masalah yang terjadi diantara mereka membuat Naren curiga. Dia selalu mempercayai Ryo, tetapi ada kalanya juga dia merasa cemburu disaat Ryo bersama wanita lain. "Dia teman kerjaku. Aku dapat tugas bareng sama dia dari atasan," jawab Ryo berusaha membuat Naren percaya padanya. Naren mengangguk paham, dia memaklumi karena yakin Ryo tidak akan berbohong. "Oh ya sudah lanjutkan." Naren tersenyum kecil, walau masih ada perasaan aneh di hatinya. Mungkin karena cemburu, dia tidak ingin Ryo malu dan merasa tidak nyaman karena sikapnya. "Oh ya kamu baru mau makan siang? Mau aku pesankan sesuatu?""Tidak perlu, Mas. Temanku sudah pesan sebelumnya." Naren menahan lengan Ryo yang hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana. "Sebaiknya Mas lanjutkan saja diskusinya, aku akan duduk bareng teman-temanku." Naren menunjuk ketiga temannya yang sudah duduk di meja y
"Davin, cepat ke ruangan saya!" Davin yang mendapat perintah dari tuannya itu segera menuju ruangan Deo. "Cari tahu masalah yang sedang terjadi dengan Naren dan suaminya." Davin membelalakkan kedua matanya, dia tidak salah dengar dengan apa yang diperintahkan oleh tuannya itu. Mencari tahu tentang Naren dan masalah apa yang tengah terjadi di dalam rumah tangganya, sungguh adalah tugas yang di luar dari prediksinya. Bagi Davin pribadi bukan urusannya penasaran dengan masalah orang lain apalagi tentang masalah rumah tangga. Harusnya juga bukan urusan Deo jika karyawannya sedang dihadapi suatu masalah. Semakin lam Deo semakin aneh dan tidak menjadi dirinya sendiri. Pribadi Deo yang tertutup, pendiam, tegas, dan berwibawa seakan lenyap hanya karena Naren. Davin semakin tidak mengerti jalan pikiran tuannya itu. Selama bertahun-tahun bekerja dengan Deo, baru kali ini Davin merasa kelimpungan dengan tugas yang diberikan oleh Deo. "Untuk apa, Tuan?" Deo menajamkan tatapannya, dia tidak s
"Apa kau sudah mencetak ulang kontraknya? Mengapa tidak segera kau serahkan padaku?" Raut wajah Deo membuat Naren gemetar. Deo terlihat sangat marah, Naren diam saja dan menerima kemarahan Deo padanya. "Maaf, Pak. Akan saya serahkan secepatnya." Naren berlalu meninggalkan ruangan Deo. Dia mengambil dokumen yang sudah ia cetak sebelumnya, dan Naren mengecek kembali agar sesuai dengan yang diminta oleh atasannya.Setelah memastikan bahwa dokumen itu sesuai, Naren segera kembali ke ruangan Deo dan menyerahkan dokumen itu. Deo menatap intens wajah Naren seolah pria itu memberi isyarat agar tidak ada kesalahan lagi."Kontraknya sudah sesuai, dan Bapak bisa tanda tangan di sini." Naren menunjukkan bagian yang harus Deo bubuhi tanda tangannya. Deo menganggukkan kepala pertanda bahwa dokumen yang Naren serahkan tanpa kesalahan. "Setelah ini akan saya copy dan mengirimnya ke pihak client. Sekali lagi saya minta maaf, kalau begitu saya permisi." Naren membungkukkan badan. Setelah kepergian Na
"Hei Naren."Naren terkejut, lalu bangkit dari tempat duduknya sampai-sampai menatap ujung meja. Naren akhirnya sadar dari lamunannya. Dia mengerjapkan kedua matanya, di depannya saat ini berdiri sosok Davin yang menatapnya penuh tanda tanya. Sebelumnya Davin mengetuk meja Naren beberapa kali, tetapi Naren tetap dalam lamunannya. Akhirnya Davin mengguncang bahu Naren karena ada hal mendesak yang harus mereka bahas. "Kau kenapa? Masih tidak enak badan?" tanya Davin ada sedikit khawatir karena wajah Naren pucat tidak seperti biasanya. Davin takut Naren justru pingsan di kantor yang nantinya akan menambah pekerjaan untuk Davin. Naren menggelengkan kepalanya, "Aku baik-baik saja. Maaf aku melamun barusan," kata Naren sembari mengusap kedua matanya yang berair. "Kalau begitu apa kau bisa mencetak kontrak yang baru saja dikirim oleh Lion Company?" Naren menyanggupi, dia mencari file yang beberapa menit lalu ia unduh di komputernya. "Oh ya, nanti bawa kontrak itu ke ruangan Pak Deo." Da
"Kamu dari rumah ibu ya, Mas?"Naren mengikuti langkah Ryo saat pria itu baru saja datang. Dengan wajah kesal dan marah, Naren menodong suaminya dengan berbagai pertanyaan. Namun, sampai kamar mereka, Ryo tetap diam."Ngapain kamu ke sana? Untuk apa?""Mengapa tidak mengajakku?"Naren akhirnya berhenti mengikuti suaminya, dia memilih keluar dari kamar dan menenangkan diri di sofa ruang tamu karena Ryo tetap tidak mau membuka suara. Naren merasa diabaikan, pasti seperti apa yang ia pikirkan. Ibu Ryo pasti menjelek-jelekkan tentang dirinya, atau memaksa Ryo untuk segera berbuat sesuatu agar dirinya cepat hamil. Setelah pulang kerja, Naren mendapatkan pesan dari adik iparnya yang menanyakan keberadaan Naren karena tidak ikut ke rumah mertuanya bersama Ryo. Seketika Naren terkejut, karena Ryo tidak memberi kabar apapun padanya. Naren pun beberapa kali menghubungi Ryo, tetapi tidak mendapat balasan. Naren semakin gelisah, apapun yang berhubungan dengan keluarga Ryo selalu membuatnya takut
"Aku kira kamu membenciku."Keduanya saling beradu tatap, hanya saja Deo tetap diam seperti enggan mengeluarkan suara atas pertanyaan Naren barusan. Naren menunggu dengan sabar dan berharap bahwa mantan kekasihnya itu mau menceritakan alasan yang sebenarnya mereka bisa berpisah bahkan menjadi orang yang sangat asing saat ini. Sayangnya Deo tetap bungkam sampai dua waiters pria dan wanita menghampiri meja mereka berdua. Waiters tersebut menaruh makanan yang telah dipesan di hadapan Naren dan juga Deo. Naren memutar bola matanya kesal, disaat yang ia tunggu-tunggu sudah sedikit lagi akan tercapai, tetapi dia harus menundanya lagi entah sampai kapan. Naren turut diam, dia mengambil garpu dan pisau daging. Untuk yang pertama kalinya, Naren masih kesulitan memotong daging steak yang cukup tebal ini. Naren melirik kesekitar dan mempelajari cara memotong daging dengan melihat orang-orang disekitarnya. "Ini."Tiba-tiba Deo menarik paksa piring Naren dan menggantinya dengan milik Deo. Naren