"Sudah datang, mereka sudah datang."
Riuh dan bisikan dari beberapa karyawan menggema di telinga Naren. Selama bekerja di Briliant Company, untuk pertama kalinya dia dan seluruh karyawan di perusahaan ini menyambut sang CEO. Selama ini kehidupan di kantor begitu tentram dan damai. Namun, setelah ada isu digantinya CEO baru banyak rumor-rumor yang beredar. Identitas CEO lama yang selalu disembunyikan tak membuat Naren penasaran. Namun, CEO baru yang akan menjabat saat ini membuat Naren gelisah. Pasalnya Naren akan bekerja langsung di bawah tangan CEO baru itu. Naren mendengar pintu mobil dibuka oleh seseorang, dia masih tetap menundukkan kepala. "Selamat datang di Briliant Company. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bagaimana perjalanan anda, Pak?" Tidak ada sahutan, semua orang hening dan tampak kaku. Benar dugaan Naren bahwa CEO baru itu berhati dingin. Naren masih tidak berani mengangkat kepalanya. Padahal yang berbicara dengan CEO baru itu adalah pejabat tinggi di perusahaan ini, tetapi tampak dari sifat sang CEO yang arogan dan sombong. "Huft, dia tampan tapi auranya mematikan," bisik Sisilia yang mengagumi sosok pria yang baru saja datang itu. "Suutttttt." "Sebelum memulai pertemuan, mari kami antar untuk berkeliling perusahaan ini," ucap petinggi itu tadi. "Tidak perlu. Kita langsung mulai saja." "Baik, Pak. Mari kita menuju aula besar." Suara Davin terdengar, Naren mulai hapal dengan pemilik suara berat barusan. Beberapa langkah setelahnya, orang-orang itu berhenti tepat di depan Naren. "Saya sudah pilihkan sekretaris sesuai dengan permintaan anda." Davin menepuk lengan Naren. Setelah menyiapkan diri dari beberapa menit lalu, bahkan Naren tidak menyangka bahwa dirinya akan diperkenalkan lebih awal. Dia berpikir akan memperkenalkan diri nanti saat ada di ruangan CEO. Akhirnya... Naren mendongakkan kepala. "Selamat datang di Briliant Company, Pak-" Bibir Naren tercekat, suaranya mendadak hilang saat dirinya beradu tatap dengan sosok tinggi di depannya. "D-deo?" Rupanya Naren masih ingat, terlintas beberapa potongan-potongan kenangan yang dia pikir sudah ia lupakan. Ternyata, tidak sama sekali. Davin menatap Naren, sebelah alisnya terangkat seolah Davin bisa merasakan ada hal yang aneh dengan Naren. Sedetik lalu CEO yang memiliki nama Deo itu sama terkejutnya seperti Naren. Sorot matanya bak elang ganas itu berubah lembut seperti kelinci yang kehausan. Namun, setelahnya Deo berubah kembali seperti setelan awal. Deo masih tak beralih dari wajah Naren, raut wajahnya mengisyaratkan banyak hal yang ingin diungkapkan kepada Naren. Naren mengulurkan tangan kanannya, "Perkenalkan saya Naren, sekretaris Pak Deo. Saya sangat senang bisa mendapat kesempatan untuk melayani anda." Hening, tak ada sambutan dari tangan Deo untuk menjabat tangan Naren. Naren hanya menghela napas, lalu hendak menarik tangannya kembali karena Deo sepertinya tidak sudi untuk menyentuh tangannya. Dugaan Naren salah, tiba-tiba Deo menarik tangannya dan menggenggamnya sangat erat. "Saya tidak ingin ada kesalahan," ucap Deo tanpa ada raut wajah yang bersahabat, Naren bersusah payah meneguk ludahnya sendiri. Naren hanya menganggukkan kepalanya. Dia berjalan mengekori Deo dan beberapa orang-orang penting di perusahaan ini. Sedangkan karyawan lain kembali ke tempat mereka masing-masing. Naren duduk di pojok depan di aula yang sangat luas ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa lagi, yang bisa dia lakukan hanya menghela napas dan menggerakkan kedua kakinya sesekali. Naren butuh teman, dia sepertinya butuh buku panduan agar dia tahu apa saja tugas-tugas menjadi sekretaris. Dia tidak mau membuat kesalahan dan berujung diomeli oleh atasan barunya itu. Terlebih.... atasan barunya saat ini adalah mantan kekasihnya. Mantan kekasih yang dulu menghilang secara tiba-tiba dari hidupnya. Naren tidak menyangka dia akan bertemu kembali dengan Deo. Naren menghela napas kembali. "Huh, sesak sekali di sini." Naren mengibaskan kedua tangan di depan wajah. Dia lelah dan mengantuk. Naren ingin merebahkan punggungnya yang terasa pegal. Namun, dia merasakan ada hawa-hawa mematikan yang menuju ke arah Naren. Naren mendongak, benar saja tatapan intens itu tengah menyalang kearahnya. Seharusnya Deo fokus saja melihat layar yang tengah menayangkan beberapa project penting, atau seharusnya Deo memperhatikan seseorang yang kini tengah menjadi pusat perhatian. Lalu, mengapa Deo lebih fokus menatap Naren? Perlahan-lahan Naren menundukkan kepalanya, dia tidak nyaman dengan tatapan itu. Naren lebih suka jika mereka berdua pura-pura tidak saling kenal. Lebih baik seperti itu, Naren akan berpura-pura bahwa tidak pernah terjadi hubungan apapun antara dirinya dan Deo. Sepertinya Deo juga nyaman dengan keadaan seperti ini, buktinya Deo biasa-biasa saja saat bertemu dengan Naren saat perkenalan tadi. "Kapan ini berakhir?" Naren mulai menguap, tayangan demi tayangan pada layar tidak membuatnya tertarik. Naren menantikan jam istirahat segera tiba.DrrrtttttPonselnya bergetar, dia segera melangkah keluar dari aula agar tidak mengganggu jalannya rapat. Naren melangkah menuju toilet, hanya di sana Naren bisa berbicara dengan leluasa.
"Halo, Mas?"
["Bagaimana keadaanmu?"]
"Aku baik-baik saja," balas Naren dengan senyum malu-malu karena mendapat perhatian dari suaminya.
["Syukurlah, aku risau kamu kenapa-kenapa."]
"Aku baik. Kamu bisa melanjutkan pekerjaanmu, Mas."
Setelah berbincang kecil, telepon terputus. Naren merasa lega bisa mendengar suara orang terkasihnya. Sesak di dadanya seketika menguap.
"Aaaaaaa...."
Naren terkejut. SUNGGUH!
Tiba-tiba ada seseorang di belakangnya dan kini tengah menarik lengannya sangat kuat. Ya, Naren hampir saja terpeleset karena terkejut ada Deo di belakangnya.
"Pak Deo ngapain di toilet wanita?" Pria itu hanya diam, Memandang lebih intens dari sebelumnya. Degup jantung Naren kian meronta, sialnya dia tidak bisa menyembunyikan tubuhnya yang gemetaran saat ini.
"Maaf toilet pria ada di sebelah kiri, Bapak." Naren menjauhkan diri.
"Apa dia cabul? Mengapa dia mengikutiku ke sini?"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria bernama Deo dan berstatus orang paling penting di perusahaan ini pergi begitu saja meninggalkan Naren yang masih terkejut. Naren menyentuh dadanya, berusaha menormalisasikan degup jantungnya.
"Apa-apaan dia? Dia sebenarnya masih ingat aku atau tidak ya?"
Naren menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Ah tidak, dia masih berusaha. Dia masih mencari tahu bagaimana menjadi sekretaris yang kompeten melalui situs blog ataupun youtube. Naren masih asing dengan pekerjaannya ini.
"Huh, mari kita coba." Naren bangkit dengan beberapa lembar kertas berisi jadwal kegiatan yang sudah ia cetak.
Naren mengetuk pintu, tetapi suara detakan jantungnya lebih nyaring daripada ketukan pintu ini.
"Maaf, Pak Deo, saya ingin menyerahkan beberapa schedule untuk satu minggu ke depan."
"Hem, taruh saja," balas Deo singkat.
"Jika ada yang Bapak tidak mengerti, tolong hubungi saya."
"Saya bukan bapak kamu."
"Huh?"
Naren mencoba mencerna apa yang dikatakan bosnya.
"Saya tidak suka panggilan dari kamu itu. Bapak? Saya bukan bapak kamu," terangnya lagi. Kini keduanya saling adu tatap, seolah tatapan itu tak bisa Naren hindari.
"Lalu apa? Tuan?" Deo memandangnya sinis seolah Naren telah melakukan kesalahan besar. Tidak penting apapun panggilannya terhadap pria itu, Naren tidak salah sama sekali bahkan panggilan bapak itu adalah panggilan wajah dan biasa digunakan oleh semua orang. "Tuan Deo?" Braakkk...Deo tampak kesal, dia bangkit dan tiba-tiba mencengkeram lengan Naren. Semakin lama Deo menyebalkan, Naren menghempas tangan kekar itu dari lengannya. Entah apa mau pria itu, Naren hanya berusaha bekerja dengan baik, tetapi nyatanya dia tidak mendapatkan balasan positif. "Kalau begitu panggil saja seperti barusan."Naren menghela napas berat, "Memang seharusnya seperti itu, Pak." Naren membungkukkan badannya dan hendak pergi dari ruangan ini. "Saya pamit undur diri.""Naren."Naren menghentikan langkahnya, sebelah alisnya terangkat karena Deo memanggil namanya. Ternyata Deo masih ingat dengan nama panggilannya ini. Beberapa menit berlalu Deo masih diam, Naren terus menunggunya. Entah apa yang dipikirkan o
"Sudah datang, mereka sudah datang."Riuh dan bisikan dari beberapa karyawan menggema di telinga Naren. Selama bekerja di Briliant Company, untuk pertama kalinya dia dan seluruh karyawan di perusahaan ini menyambut sang CEO. Selama ini kehidupan di kantor begitu tentram dan damai. Namun, setelah ada isu digantinya CEO baru banyak rumor-rumor yang beredar. Identitas CEO lama yang selalu disembunyikan tak membuat Naren penasaran. Namun, CEO baru yang akan menjabat saat ini membuat Naren gelisah. Pasalnya Naren akan bekerja langsung di bawah tangan CEO baru itu. Naren mendengar pintu mobil dibuka oleh seseorang, dia masih tetap menundukkan kepala. "Selamat datang di Briliant Company. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bagaimana perjalanan anda, Pak?" Tidak ada sahutan, semua orang hening dan tampak kaku. Benar dugaan Naren bahwa CEO baru itu berhati dingin. Naren masih tidak berani mengangkat kepalanya. Padahal yang berbicara dengan CEO baru itu adalah pejabat tinggi di
"Segera, dan secepatnya datang ke sini!"Naren yang mendengar suara tegas dari seberang telepon hanya bisa menganga lebar. Telepon pun diputus secara sepihak, Naren tidak bisa berkutik. Di dalam otaknya berpikir dan mengingat-ingat apa mungkin dia telah membuat kesalahan.Sayangnya, Naren sangat bersih. Dia mengajukan cuti karena sakit beberapa hari. Sebelum itu pun dia tidak melakukan kesalahan pada pekerjaannya. Namun, suara atasannya barusan seperti dia telah melakukan kesalahan besar. Naren buru-buru merapikan barang-barang, tak lupa dia merias diri meskipun masih tampak pucat. Ryo yang baru keluar dari kamar mandi pun tertegun karena sang istri terlihat sangat panik. "Kamu sudah mau masuk kerja?" Naren hanya menganggukkan kepala. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, sang bos bisa memecatnya jika Naren terlambat. "Bukannya sudah ajukan cuti? Kamu belum pulih.""Atasanku terdengar sangat marah." Naren menghentikan tangannya yang mengotak-atik tas. "Apa aku melakukan kesalahan?" N
"Aku harus mencobanya lagi," ucap Naren sembari terburu-buru menuju kamar mandi. Di tangan kanannya, dia memegang kantong plastik berwarna putih. Naren baru kembali dari membeli tespek di apotik. Dia membuka bungkusan dan melakukan apa yang harus ia pastikan. Dia menunggu beberapa saat, detak jantungnya semakin tak karuan. Di dalam hatinya berharap apa yang dia inginkan akan terkabul hari ini. Dia ingin memberikan kabar baik untuk Ryo, pasti suaminya itu akan sangat bahagia dan mereka berdua akan hidup damai tanpa ada cacian dari ibu mertuanya. Naren juga ingin melengkapi kodratnya sebagai wanita yang bisa mengandung dan melahirkan. Setidaknya dia ingin memberikan kesempurnaan di dalam keluarga kecilnya. Naren mengangkat tespek dari gelas kecil. Dia memejamkan kedua mata, ada rasa takut saat akan melihatnya. Namun, dia berusaha berpikir positif bahwa hasilnya akan sesuai dengan yang dia inginkan. Sambil menyebut nama Ryo dan dengungan doa, Naren membalik tespek tersebut. "Hah?"Ta
Bulan telah menunjukkan keindahan cahayanya. "Kamu di mana sih, Mas?" Dengan perasaan khawatir karena Ryo tidak kunjung pulang ke rumah, Naren hanya bisa mondar-mandir di depan pintu rumahnya sembari menelepon sang suami. Namun, tidak ada jawaban dari Ryo. Angin malam semakin dingin dan dinginnya serasa menembus ke tulang-tulang. Naren tidak sanggup lagi berdiri di luar, akhirnya dia memilih untuk masuk dan menunggu Ryo di ruang tamu. Sambil memandangi ponselnya yang menyala, rasa sedih semakin mencuat karena Ryo seakan melupakannya. Ryo pergi begitu saja disaat Naren membutuhkannya. Naren tahu bahwa Ryo kesal dengan ucapannya, tetapi kesedihan yang Naren alami juga akibat dari keluarga Ryo sendiri. Naren ingin Ryo memahami dan mengerti apa yang dirasakan hatinya saat ini, bukan malah pergi dan tidak memberi kabar sama sekali."Ayo angkat!" Pandangan Naren tertuju ke depan, dia mendengar suara gesekan sandal dari luar rumah. Cepat-cepat dia berdiri, berharap sang suami pulang ke r
"Punya istri kok gak berguna sih, Yo...." Dentingan sendok memekak keras di atas meja kaca. Semua yang ada di meja makan itu menunduk dalam. Ujung kemeja yang dikenakan Naren sampai lusuh karena terus-menerus ia remas kuat. Air mata rasanya sudah beku karena sering ditempa kata-kata menyakitkan dari sosok wanita yang Naren anggap sebagai ibu. Baru kali ini Naren merasa direndahkan oleh orang yang ia sayangi sendiri. Ibu mertua yang selalu baik kepadanya mulai acuh bahkan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan kepada Naren. Dua bulan yang lalu sang ibu mertua masih perhatian terhadapnya, entah mengapa setelah itu tidak hanya mertuanya, tetapi seluruh keluarga dari suaminya mulai membencinya. "Harusnya ibu tidak berbicara seperti itu," ucap Ryo, suami Naren. "Dia istriku, Bu. Naren juga anakmu," lanjutnya juga tidak terima dengan perkataan sang ibunda. Naren menarik lengan Ryo karena tidak ingin suaminya bertengkar dengan ibunya. Naren tidak ingin dia yang akan disalahkan dan diang