4
"Alvina!” teriak Prisa dengan suara nyaring saat kelas baru saja berakhir.
Aku pura-pura tidak mendengarnya. Kuayun langkah dengan tergesa. Memang sengaja sejak pagi menghindarinya. Aku bahkan tidak mengaktifkan ponsel sejak ia dan ayahnya ke rumah. Aku kesal ia yang terus saja menjodoh-jodohkanku dengan ayahnya.
Aku ini masih muda. Baru dua puluh satu tahun. Masa iya harus nikah sama duda. Ayahnya dia pula. Apa kata dunia? Memangnya di dunia ini tidak ada lagi bujangan hingga aku harus nikah sama duda ayah sahabatku sendiri?
Idih, amit-amit, deh. Kalau Om Pandu sudah kebelet kawin, kan, bisanyari yang janda lagi.
“Al ….” Ternyata walaupun sudah berusaha keras menghindarinya, ia dapat mengejarku. Aku lupa ia jago marathon. Apalagi kalau sedang kepepet dikejar satpam kampus karena parkir motor sembarangan.
"Temenin makan, yuk," ajaknya ringan seolah tidak menyadari aku sengaja menghindarinya.
"Aku mau pulang, tidak enak badan." Aku menepis tangannya. Juga terpaksa berbohong.
“Ayolah, sebentar saja. Aku lapar, belum makan dari pagi.” Ia memohon dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada. Jika sudah begini aku lemah. Tidak bisa menolaknya. Kuembus napas panjang sebelum berkata.
"Kalau di tempat kemarin, aku enggak mau!" Akhirnya kuberikan opsi.
Kening Prisa berkerut dalam. “Tempat kemarin? Resto papaku maksudnya?”
“Yaiyalah, di mana lagi?”
Aku memutar bola mata sebelum melangkah pergi. Namun, lagi-lagi Prisa menahan dengan mencekal tanganku.
"Kenapa, sih, begitu amat sama papaku?” Prisa menatap dalam.
“Papa kamu itu duda, Pris!” Aku menyesali diri setelah berkata barusan, kenapa pula kalimat itu yang keluar.
“Terus kenapa kalau duda?” Prisa melipat tangan di dada. Terlihat ia mengulum senyum.
“Au ah.” Aku kembali ingin meninggalkannya. Dan lagi-lagi ia menahanku hingga kami berjalan bersisian.
“Papaku biar duda, ganteng dan idola, loh.”
Aku memutar bola mata malas. Dia mulai promosi.
"Siapa yang nanya?" tanyaku ketus sambil terus berjalan.
"Jangan begitu. Jangan terlalu ketus. Nanti nyesel kalau papaku ada yang ngambil.” Prisa semakin menyebalkan.
"Bodo amat!" jawabku cuek.
"Al, papaku biar duda tapi keren, lho. Lihat saja bodinya. Enggak kalah sama atlet, kan? Aku bilangin, ya, dari bocah ingusan sampai nenek-nenek peot, ngefans sama papa. Malah ada tante-tante depan rumah hampir tiap hari ngirim makanan. Jadi sebenarnya, kamu beruntung banget kalau sampai jadi istrinya papa," cerocos Prisa dengan semangat empat lima.
Aku menghentikan langkah, lalu menatapnya.
"Oh, ya? Sorry aku enggak nanya. Lagian kenapa juga nggak kawin aja sama itu tante-tante? Gampang, kan?"
"Ya, itu dia. Papa enggak suka sama itu tante. Dia sukanya sama anak gadis yang seumuran anaknya." Prisa tersenyum jahil.
Aku mendelik, tetapi hanya dibalas tawa kerasnya hingga mataku menangkap sesuatu. Aku mengangguk mengerti.
"Pantes saja papamu banyak yang ngefans, hobinya TP, te-bar pe-so-na," ujarku sinis sambil menunjuk dengan dagu ke satu arah.
Prisa mengalihkan pandangan mengikuti arah daguku. Wajahnya langsung merengut melihat pemandangan di depan sana.
Om Pandu yang bersandar di pintu mobilnya dengan senyum khas yang terus mengembang, dikerubuti para mahasiswi yang terkenal centil di kampus. Prisa mengentak-entakkan kakinya dengan kesal. Lalu menyeruduk kerumunan gadis-gadis di depan sana.
Aku memutar bola mata malas. Kemudian berlalu dengan cepat sebelum Prisa atau Om Pandu melihatku. Mataku berbinar mendapati seseorang yang duduk di atas motor sambil anteng menekuri ponselnya.
"Dimas," pekikku senang. Aku berlari menghampirinya dengan hati berbunga.
"Dim, kamu di sini? Kenapa enggak bilang mau jemput? Kebetulan banget, sih!” seruku setelah berada di dekatnya.
Pemuda yang tengah fokus pada ponselnya itu mendongak. Gurat kaget terlihat jelas di wajahnya.
"Ka-mu, Al? Baru pulang?" tanyanya terbata. Wajahnya yang tampan terlihat agak pucat. Tidak ada gurat kerinduan atau bahagia di sana mengingat kami baru bertemu lagi setelah beberapa hari tanpa kominukasi.
"Iya, Dim. Tadi ada kelas tambahan. Kok, kamu tahu aku belum pulang? Yuk, pulang sekarang!” ajakku dengan mengguncang tangannya. Namun, Dimas bergeming, membuatku heran. Ia seperti kebingungan.
Ada apa? Bukannya Dimas datang ke sini untuk menjemputku? Bukankah aku ini kekasih yang sudah dipacarinya selama setahun terakhir?
Aneh.
Dalam keadaan seperti itu, ponsel yang masih dalam genggamannya berdering. Mata Dimas terlihat berbinar. Ia seperti ingin mengangkat panggilan. Namun, kugagalkan dengan menarik tangannya karena di belakang sana seseorang terdengar memanggil.
"Alvina ...." Itu suara Prisa.
Tanpa menoleh dan membuang waktu, aku langsung menggeret tangan pemuda yang hari ini agak aneh. Namun, aku tidak peduli, yang penting bisa menghindari Prisa.
"Ayo, Dimas, buruan!" Aku tidak mau Prisa memaksaku ikut dengannya. Pun tak mau lagi datang ke resto Om Pandu apalagi bertemu duda aneh itu.
"Ayo, buruan sebelum Prisa datang," ajakku lagi sambil terus menarik tangan Dimas. Akhirnya, pemuda itu berdiri dan mengikuti langkahku. Walaupun raut wajahnya terlihat sangat terpaksa.
"Alvina ... tunggu! Mau ke mana kamu?” Teriakkan Prisa masih terdengar, dan aku tidak peduli.
Aku semakin menarik tangan Dimas dan mempercepat langkah. Yang awalnya hanya berjalan, kemudian berlari karena suara Prisa terus memanggil. Kami berlari dengan tanganku menarik tangan Dimas. Semakin lama semakin cepat hingga suara Prisa tak terdengar lagi. Mungkin dia lelah mengejar kami.
Sekitar dua ratus meter kami berlari di bawah terik mentari. Hingga setelah merasa aman, kami berhenti. Dimas menepis tanganku yang masih menggenggam pergelangan tangannya.
"Sebenarnya, kenapa kita lari, Al?" tanya Dimas dengan napas tersengal. Keringat membasahi wajahnya, pun denganku. Raut kesal campur heran berbaur di wajah tampannya.
Aku masih mengatur napas sebelum menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak mau ikut Prisa. Kamu tahu, kan, dia suka maksa?"
"Terus, kenapa kita lari? Aku kan, bawa motor," ujarnya lagi. Wajahnya semakin merengut.
Aku mengerutkan kening. "Oh, iya, sekarang motor kamu di mana?"
"Ya, di sana! Di tempat kamu tadi narik-narik aku," jawab Dimas ketus.
Aku memukul kening sendiri. Ya Tuhan, kenapa aku sebodoh ini?
"Ya, sudah, kamu ambil motor sana. Aku tunggu di sini, maaf ya," pintaku memohon dengan wajah memelas. Kutangkupkan kedua tangan di dada.
Dimas terdengar menghembus napas kasar.
"Ya, sudah, aku ambil motor dulu," ucapnya akhirnya walaupun dengan wajah kesal.
Dimas berjalan kembali ke arah semula. Kutatap punggung tegapnya hingga ia menghilang di persimpangan. Entahlah, ada perasaan asing di dalam sini melihat kepergiannya.
Aku bergegas menuju warung kaki lima yang menjual minuman dingin. Kerongkongan bagai tercekik setelah berlari marathon di bawah terik mentari. Disiram minuman dingin sepertinya akan sangat menyegarkan.
Setelah membeli sebotol minuman dingin, aku memutuskan menunggu Dimas dengan duduk di pagar tembok tepi jalan. Sebotol minuman hampir habis, dan jam di tangan sudah bergeser lima belas menit sejak Dimas pergi, tetapi hingga kini belum terlihat tanda-tanda dia akan kembali. Padahal waktu bolak-balik ke sini paling hanya memakan waktu lima menit, apalagi memakai motor.
Aku menekuri ujung sepatu yang memainkan kerikil di bawahnya, saat sepatu lain berhenti tepat di depan sepatuku. Itu sepatu ....
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suara itu terdengar sinis.
Aku mendongak. Terlihat wajah Prisa yang kesal menahan marah. Tangannya bertolak di pinggang.
Aku membuang muka. “Bukan urusan kamu.”
"Ayo, pulang!" ajaknya tegas seraya menarik tanganku. Namun, aku menepisnya cepat.
"Ayo pulang, Al. Ngapain kamu di sini kayak orang bego?" ajak Prisa lagi dengan suara meninggi.
Aku menatapnya nyalang. Tidak terima dengan ucapan dan perlakuannya.
"Ya, sudah, sana kalau mau pulang. Kenapa juga ngurusin aku?” timpalku sengit.
Prisa memejamkan matanya sesaat. Sepertinya tengah meredam sesuatu di hatinya. Terbukti wajahnya semakin merah. Ia menggeleng setelahnya.
"Dengar, Al! Kamu mau nungguin Dimas sampai besok atau tahun depan juga dia enggak bakal balik ke sini. Jangan berlaku bodoh dengan membuang waktumu hanya untuk laki-laki seperti dia!" sentaknya sambil menunjuk mukaku. Suaranya penuh penekanan walaupun tidak berteriak. Mungkin sadar jika ini di tempat umum. Prisa memang sering meluap-luap jika marah. Dan kini, entah apa yang membuatya marah. Apa karena aku tidak mau ikut dengannya?
"Kamu ngomong apa, Pris? Udah, enggak usah ngurusin aku. Kalau mau pulang, pulang saja. Kenapa mesti repot?” Aku tidak mau kalah. Kujawab dengan mengangkat dagu. “Satu lagi, Pris. Jangan berkata buruk tentang Dimas hanya karena kamu mau aku sama papa kamu!" lanjutku ketus.
Bola mata Prisa melebar sempurna. Tatapan nyalang menyapu wajah ini. Kulit wajahnya bertambah merah padam. Tangannya terangkat menunjuk wajahku. Bibirnya yang bergetar siap menghaburkan sesuatu.
Namun, ternyata aku salah. Setelah beberapa lama terlibat saling tatap nyalang denganku, ia hanya mendesis kesal dengan tangan mengepal dan meninju angin. Setelahnya terlihat menelan ludah. Terlihat dari gerakan di lehernya.
“Kamu … kamu akan menyesal, Alvina Damayanti!” Setelah mengatakan itu, Prisa pergi membawa langkah-langkah kasarnya.
Ruangan itu terasa sesak. Mesin pemantau detak jantung masih berdetak tenang, tapi jantung di dada mereka tak demikian. Alvina menggenggam tangan Sadewa erat, matanya basah menahan gejolak. Pandu berdiri kaku di sisi lain, sementara Prisa dan Nino saling berpandangan di dekat pintu, seolah menimbang waktu yang tepat untuk pergi—atau menyampaikan kenyataan paling pahit itu.“Inggit mana?” Suara Sadewa kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih kuat, tapi justru membuat ruangan makin sunyi.Alvina mengusap kening Sadewa dengan gemetar. “Sayang… tenang dulu, ya. Kamu baru sadar, masih butuh istirahat. Kamu minum dulu, ya. Atau mau Bunda suapi makan sekalian? Kamu pasti lapar, ya, Nak?” Sambil berdiri, Alvina membujuk.“Tapi Inggit di mana, Bun?!” Sadewa terus mendesak, tak menghiraukan tangan sang ibu yang mengasongkan botol minum. “Tadi aku... kami... kecelakaan, kan? Aku ingat! Mobil... truk... suara keras... terus gelap! Tapi Inggit ada di sebelahku! Di mana dia sekarang? Kenapa d
Jalanan itu ramai. Terlalu ramai bagi Pandu dan Alvina yang baru saja turun dari mobil dalam keadaan panik. Suara sirene, bisik-bisik warga, lampu rotator polisi dan ambulans yang berkedip-kedip, semuanya menambah sesak di dada mereka. Alvina masih mengenakan kebaya pastel dengan sepatu hak rendah yang kini terasa seperti jerat. Napasnya memburu, matanya liar mencari.“Permisi! Maaf ... anak saya ... Sadewa!” Pandu mendorong pelan barisan warga yang berkerumun di balik garis polisi.“Bapak tidak bisa masuk. Ini area evakuasi—” seorang polisi menahan mereka.“Saya ayah korban! Anak saya dan istrinya … mereka …! Saya mohon ... izinkan saya masuk!” Suara Pandu serak, tapi penuh desakan.Polisi itu sempat ragu, namun melihat raut wajah Alvina yang hampir pingsan, dia akhirnya memberi isyarat ke rekannya. “Oke, tapi jangan halangi proses evakuasi. Hati-hati, Bu.”Mereka melewati garis polisi. Aroma besi, asap, dan darah memenuhi udara. Mobil sedan biru yang membawa Sadewa dan Inggit ringse
Langit sore itu menghamparkan warna jingga yang membara. Matahari mulai turun perlahan, seolah memberikan restu kepada sepasang kekasih yang berdiri di altar sederhana berlatarkan taman penuh bunga. Musik lembut mengalun mengiringi momen sakral itu.Ya, ini pesta resepsi pernikahan Nakula dan Dinda. Akhirnya, setelah perjalanan berliku dan penuh intrik, mereka bisa melenggang ke pelaminan. Pernikahan sengaja dipercepat oleh Pandu untuk menghindari banyak godaan yang mungkin berpeluang menimbulkan kesalahpahaman lagi.Toh, Nakula sudah memiliki penghasilan meski masih kuliah. Walaupun mungkin belum sebesar penghasilan Dinda sebagai seorang manajer resto, tetapi itu sama sekali bukan hal besar. Dinda bisa menerima.Nakula terlihat gagah dengan setelan jas putih tulang, rambutnya disisir rapi, senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak pagi. Di sisinya, Dinda berdiri anggun dalam balutan kebaya modern berwarna champagne. Tatapan mereka saling menyatu, seolah dunia hanya milik mereka ber
190Hening. Ruangan luas itu menjadi sangat senyap. Wajah-wajah tegang menghiasi, sebelum akhirnya tawa Nakula membahana memenuhi seluruh ruangan.Pemuda itu tertawa terpingkal-pingkal hingga membuat tiga orang di ruangan itu saling melempar pandang. Tatapan heran tak bisa mereka sembunyikan.Ketiganya menunggu hingga sang pemuda mengabiskan sisa tawanya seorang diri. Entah apa yang lucu.“Aku serius, Mas. Aku ini sudah tua.” Dinda tidak sabar. Mungkin Nakula tidak percaya ucapannya hingga tertawa seperti itu. Gadis itu membuka tas, lalu mencari sesuatu di sana. Tangannya terulur memegangi sebuah kartu. Namun, saat ingin menyodorkan kartu itu, tangan Nakula menahannya.“Kamu simpan saja, bukankah kita harus segera menyiapkan berkas untuk ke KUA?” ujarnya saat melihat Dinda menyodorkan kartu identitasnya.“Maksudnya?” Kening Dinda berkerut dalam.Kembali Nakula menghabiskan sisa tawa yang tidak habis-habis.“Aku mengaku sudah tua, tapi belum setua Bundaku, kan?” tanya pemuda itu lagi d
189Dinda menatap nanar pemuda yang menggeret koper bajunya dengan bersemangat. Sebelah tangan sang pemuda menggeret koper, sedangkan tangan yang lain menggandeng tangannya.Sang pemuda memelankan langkah saat merasa gadis yang ia gandeng langkahnya pelan hingga agak tertinggal.“Mau aku antar ke mana?” tanya sang pemuda seraya menyunggingkan senyum. Senyum yang ia harap bisa meyakinkan gadis itu jika keputusannya untuk tinggal tidak akan disesalinya.Sang gadis tidak menjawab. Jujur hatinya masih ragu. Apa keputusannya membatalkan kepergian sudah benar atau tidak?Apa benar pemuda yang sekarang menggandengnya tidak akan mengecewakannya lagi? Bagaimana jika di kemudian hari lagi-lagi ia kecewa?Selama ini terlalu banyak ia dikecewakan orang-orang sekitar higga sulit untuknya percaya lagi terhadap mereka yang berjanji.Pemuda yang tidak lain Nakula menarik napas panjang dan mengembusnya kuat. Ia sangat mengerti kondisi Dinda saat ini. Ia pun termasuk laki-laki yang berkali-kali mengece
188“Apa yang kau lakukan? Lepasss…!” Dinda mendesis seraya mencoba melepaskan tangan yang mencekalnya. Ia ingin berteriak, tetapi tak ingin mengundang perhatian karena sadar tengah berada di mana.“Lita, kamu mau ke mana? Kau pikir bisa jauh-jauh dariku?” Lelaki itu menarik kupluk hoodie Dinda hingga terbuka dan menyisakan rambut sang gadis yang berantakan.“Kita dekat bertahun-tahun, kamu tidak akan akan bisa mengelabuiku hanya dengan pakaian seperti ini.”“Ya, kita dekat bertahun-tahun. Dan kau menghancurkan hidupku hanya dalam sekedip mata.”“Bukankah Abang sudah meminta maaf? Sungguh Abang tidak tahu jika ibu tirimu sudah menghasut Abang. Lita, Abang menyesali semuanya. Andai Abang tahu itu hanya hasutan, tentu Abang tidak akan melakukan ini.”“Seharusnya Abang mencari tahu dulu kebenaran sebuah berita sebelum mengambil keputusan besar. Jangan menerima mentah-mentah berita begitu saja.”“Abang menyesal Lita. Demi Tuhan Abang sangat menyesal. Kamu tahu seberapa besar cinta Abang s