Share

TERNODA LAGI

3

Dua hari semenjak kejadian di rumah makan itu, aku tidak keluar rumah. Aku kesal dengan Prisa dan ayahnya. Saat itu aku sampai pingsan mendengar perkataan Prisa yang seolah mendukung ucapan ayahnya tempo hari. Apa mereka berdua sudah tidak waras? Bahkan mereka bermakar memutuskan sesuatu tanpa meminta persetujuanku dulu.

Aku pingsan saking kaget dan tidak percaya dengan ucapan mereka. Dan sesaat sebelum kesadaran benar-benar hilang, entah nyata atau sekadar halusinasiku saja, aku melihat Dimas memasuki resto bersama seorang wanita.

Aku meyakini jika itu hanya halusinasi saja. Namanya orang mau pingsan kan, pasti kerja organ tubuh sudah kacau. Aku yakin Dimas tidak seperti itu. Setahun kami berpacaran, ia pasangan yang setia, tidak banyak tingkah, sangat romantis dan kami juga sudah merencanakan hubungan ke jenjang lebih serius. Dia kekasih idaman setiap wanita.

Selama dua hari aku tidak keluar rumah. Selama itu pula Prisa bolak-balik menjengukku. Takut terjadi sesuatu denganku katanya. Lebay.

Entahlah, Prisa mendadak jadi sangat perhatian. Walaupun dari dulu juga baik. Jika dulu dia datang membawa oleh-oleh untuk ibu, sekarang dia selalu membawakan makanan kesukaanku. Dia bilang buat calon ibu. Aku semakin kesal jika ia sudah bicara seperti itu. Siapa yang mau jadi ibu tirinya? Gila aja aku harus nikah dengan ayahnya.

Sore ini, suara gadis itu sudah terdengar lagi. Ia mengucap salam dengan riang. Seperti biasa pula, dengan lancangnya langsung masuk tanpa menunggu dipersilakan. Itu sudah biasa dilakukannya sejak lama, karena dia sudah menganggap kami keluarganya. Akan tetapi, ada yang berbeda dengan kedatangannya hari ini. Dia tidak sendiri. Aku mendengar ada suara orang lain yang menyertainya. 

Ya Tuhan, dia mengajak papanya. Aku buru-buru menghampiri saat mendengar ibu mempersilakan Om Pandu masuk. 

"Stop, Om. Jangan masuk rumahku!" seruku dengan napas terengah-engah karena berlari dari kamar. Kedua tanganku terangkat. 

Ibu, Om Pandu, serta Prisa menatapku heran setelah saling melempar pandang. 

"Kenapa, Neng? Kok, tamunya enggak boleh masuk? Nggak sopan, loh," tegur ibu dengan raut wajah kurang suka atas sikapku. Aku mengangkat dagu dengan percaya diri.

"Maaf, Bu. Tapi, Alvi sudah bersumpah kepada diri sendiri. Tidak boleh ada laki-laki asing masuk ke rumah ini, kecuali calon suamiku nanti," jelasku tegas. 

Mereka bertiga terperangah mendengar penjelasanku. 

"Sekali lagi, maaf. Alvi harap kalian menghormati keputusan ini. Termasuk ibu sama ayah. Itulah sebabnya selama ini kalau ada pacar Alvi datang pun, tidak pernah diajak masuk. Itu sudah keputusan Alvi. Ingat, cuma laki-laki yang akan jadi suamiku nanti yang boleh masuk!" lanjutku tak terbantah. Bahkan dengan suara penuh penekanan di akhir kalimat.

Ibu tampak mengangguk-angguk walaupun tersirat rasa tak enak hati kepada Om Pandu. Sementara pria itu malah mengulum senyum tidak jelas.

Dasar meresahkan! Aku berdecak sebal. 

"Maaf, Pak Pandu, anak saya memang suka aneh-aneh, mungkin karena waktu lahirnya sungsang, jadi organ kepalanya ada yang bergeser sedikit. Silakan duduk di teras saja, ya. Tidak apa-apa, kan?" ujar ibu akhirnya dengan raut masih tidak enak hati. 

Aku memutar bola mata. Apa-apaan Ibu? Sungsang dibawa-bawa. Aku berdecak sebal, lalu hendak berlalu, tetapi ibu mencekal tangan ini.

"Al, tolong buatkan minuman untuk Pak Pandu!" perintah ibu tegas. 

"Tidak mau! Ibu saja yang buat!” tolakku mentah-mentah. 

"Tidak sopan, kamu. Pak Pandu itu tamu, kalau ayah tahu, kamu bisa dimarahi," ucap ibu lagi setengah marah, tetapi setengah berbisik. 

Prisa yang dari tadi duduk manis di sofa ruang tengah hanya senyum-senyum tidak jelas melihat ibu memarahiku. 

Dengan malas, aku ke dapur membuatkan teh hangat untuk Om Pandu. Bagaimanapun, titah ibu tak bisa dibantah. Aku tidak mau durhaka karena melawannya. 

Kumasukkan perasan lemon yang banyak ke dalam minuman Om Pandu. Kecut, kecut, deh. Maksudku agar dia kapok datang ke sini. 

"Pris, ini berikan papamu!" Aku menyodorkan nampan berisi minuman untuk Om Pandu kepada Prisa. 

"Tuan rumahnya siapa? Masa tamu harus mengantar minuman?" Prisa menjawab tanpa menoleh. 

Aku mengentakkan kaki. Prisa menyebalkan. 

"Tapi, ini buat papamu."

"Ibu ...." Prisa malah berteriak hendak mengadu kepada ibu. Aku buru-buru melotot ke arahnya. Dasar pengaduan! Lalu, dengan berat hati aku mengantarkan minuman itu ke depan. 

Om Pandu duduk di kursi rotan di teras, sementara ibu menemaninya mengobrol berbatas meja, karena ayah belum pulang kerja.

Aku menarik napas panjang lebih dulu sebelum keluar. Om duda itu langsung tersenyum manis saat melihatku muncul di pintu. Padahal tadinya aku mau mundur lagi, tetapi dia terlanjur melihatku. 

Perlahan aku melangkah menuju meja, diiringi tatapan Om Pandu yang tak lepas memandang diri ini. Duh, panas dingin itu menyerangku lagi. Kenapa selalu seperti ini setiap kali berdekatan dengannya? Benar-benar meresahkan. 

Kini tanganku yang memegang baki malah gemetar, padahal meja pemisah antara ibu dan Om Pandu semakin dekat. 

Siapa juga yang tidak gemetar ditatap terus seperti itu? Lihatlah! Bahkan bibirnya terus menyunggingkan senyum manis. Kalau terus begini, lama-lama aku bisa pingsan lagi. 

Meja sudah semakin dekat, dan tanganku juga semakin gemetar. Aku merasa seperti seorang pesakitan yang akan diadili di depan hakim dan jaksa.

Dua pasang mata itu terus menatapku tak berkedip. Bila ibu menatapku keheranan, sedangkan Om Pandu menatapku karena ... ah, entahlah. Pokoknya meresahkan. 

Akhirnya, aku tiba di depan meja, dan kupikir sudah meletakkan nampan dengan benar di sana. Namun, ternyata tidak. Karena tangan yang gemetar dan pandangan yang tidak fokus, nampan yang kusimpan tidak tepat di atas meja. Alhasil, gelas yang kubawa oleng, dan sukses menumpahkan isinya yang masih lumayan panas itu ke dada Om Pandu. 

Om Pandu tersentak kaget. Pasti karena dadanya panas tersiram teh yang kubawa. Terbukti dari wajahnya yang memerah. 

Mataku terbelalak. 

Ya Tuhan, apa yang kulakukan? Aku yang panik, refleks menghampirinya dan langsung mengusap-usap dadanya dengan ujung bajuku. 

"M-maaf, Om ... maaf, Alvi enggak sengaja," ucapku panik dan takut.

"Alvina, apa yang kamu lakukan, Nak? Kamu ceroboh sekali. Lihat, Pak Pandu kepanasan, kasian dia, kamu kayak anak kecil saja." Omelan ibu langsung saja berhamburan dari mulutnya. Wanita yang cerewetnya menurun padaku itu terlihat tak enak hati. 

Mendengar omelan ibu, aku tambah panik. Aku semakin menggosok-gosok dada Om Pandu dengan keras, hingga lelaki itu mengaduh.

"Cepat ajak Pak Pandu ke kamar mandi. Nanti ibu carikan baju Ayah buat ganti. Mudah-mudahan ada yang pas di badan Pak Pandu," lanjut ibu seraya memukul tanganku yang masih saja menggosok dada Om Pandu. 

"I-iya Bu. Ayo, Om, aku antar ke kamar mandi, nanti pinjam baju Ayah buat ganti," ucapku masih panik.

Aku menunjukkan letak kamar mandi. Prisa yang masih duduk di ruang TV hanya memandang heran, tak lama gadis itu tersenyum ke arah papanya.

Kenapa anak itu? Papanya kena musibah bukannya kasihan, malah senyum-senyum seraya mengacungkan dua jempolnya. Dasar aneh! Ah, sudahlah. Kasihan Om Pandu. Aku segera menyusul ibu ke kamarnya. 

Aku membawa baju ayah yang sudah ibu pilihkan. Sebuah kemeja batik lengan panjang warna coklat bermotif bunga.

Apa Om Pandu mau pakai baju ini? Ini kelihatan sangat tua, sedangkan dia selalu terlihat rapi dan klimis dengan kemeja pas badan yang menonjolkan otot-otot hasil olahraga teraturnya.

Masa bodo! Daripada dia kedinginan, kan?

Aku menuju kamar mandi dengan membawa baju ayah yang akan kupinjamkan hingga sampai di depan pintu. 

"Aaarrghh ...." Aku berteriak keras, lalu menyandarkan punggung di dinding kamar mandi sambil menutup mata. 

Kenapa Om Pandu tidak menutup pintu kamar mandi? Mataku kan, jadi ternoda lagi. 

Aku menggeleng-gelengkan kepala, lalu memegang dada yang mendadak bergemuruh hebat karena melihat Om Pandu bertelanjang dada lagi. 

"Mana bajunya, Al?" Kepala Om Pandu muncul di pintu kamar mandi. 

Aku menyodorkan baju itu dari jarak jauh, dengan punggung masih menempel di dinding dan mata terpejam. Setelah dirasa baju berpindah tangan, baru berani membuka mata. 

Ya Tuhan, mataku, otakku, kamu ternoda lagi. Aku memegang mata dan kepala bergantian, lalu mengacak rambut frustrasi. 

"Kenapa, Al?" Tanpa kusadari Om Pandu sudah berdiri dengan jarak sangat dekat. Tangan kanannya bertumpu di dinding tepat di sisi kepalaku. Sementara matanya menatap penuh intimidasi. Wajah kami sangat dekat.

Mau apa dia? Apa bibirku juga mau mengikuti jejak mataku yang sudah tak perawan? Wajahnya semakin mendekat hingga hanya berjarak beberapa inci. Aku memalingkan wajah ke samping sambil memejamkan mata. 

"Om tidak mau tahu, ya, kamu harus bertanggung jawab. Sudah dua kali kedudaan Om ternoda sama kamu," ujarnya setengah berbisik di depan telingaku hingga embusan napasnya terasa hangat di permukaan kulit. 

Aku menelan saliva dengan susah payah. Seluruh bulu di tubuh ini meremang. 

"Dan, Om mau menagih janjimu."

"Janji apa, Om?" tanyaku parau dengan memberanikan diri, tetap dengan mata terpejam, tetapi sedikit mengintip. 

"Janji, kalau hanya lelaki yang akan menjadi suamimu yang boleh masuk rumah ini," ujarnya disertai seringai aneh.

Aku terbelalak hebat. Teringat janji yang kuucapkan dengan penuh keyakinan tadi. 

“Ingat, Ibu dan Prisa saksinya,” lanjut Om Pandu penuh kemenangan.

Tubuhku membeku seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status