Ashiqa masuk ke dalam kamarnya dan mengambil kopernya. Dia sudah berniat uuntuk meninggalkan rumah ini. Rama yang merasa tidak enak pada Ashiqa merasa tidak tenang dan kembali ke rumah. Rama menghela napas berat ketika mendapat Ashiqa tengah mengumpulkan bajunya dan memasukkannya ke koper.
“Dengar Ashiqa, aku minta maaf atas sikapku tadi yang sudah bersuara keras padamu tadi.”
Ashiqa hanya memandangi wajah Rama sejenak dengan tatapan tajam kemudian kembali berpaling pada baju-bajunya yang sudah selesai dia berpindah ke kopernya.
“Kau tahu aku tidak bersalah, ibumu hanya pura-pura Rama juga adikmu itu! Kau tahu di depanmu mereka bertingkah seakan sangat sayang dan hormat padamu tapi di belakangmu mereka menjelek-jelekkanmu dan berniat tidak baik kepadamu!” Ashiqa masih tersulut emosi dia berkata-kata sambil mengacungkan tangannya menunjuk ke arah pintu.
“Ini yang kamu bilang memahami karakter ibumu ? ibumu tidak sebaik itu. Aku mau pulang!”
Ashiqa mengangkat kopernya tapi Rama segera menahannya agar Ashiqa tidak pergi.
“Dengar aku dulu Shiqa. Aku meminta maaf atas nama ibuku. Aku tahu semua perbuatan mereka, aku tahu. “
Ashiqa meletakkan kopernya yang ditahan Rama dia semakin gemas dengan pernyataan suaminya.
“Kamu sudah tahu Rama? Tapi kenapa, kenapa kamu …,”
“Karena hanya Ibu Rukimini orang tuaku Ashiqa, hanya beliau dan Kareena keluargaku yang tersisa. Meski mereka ibu tiri dan adik tiriku mereka masih keluargaku. Sekian tahun aku bersabar dengan sikap mereka karena aku yakin suatu hari mereka akan sadar jika kasih sayangku kepada mereka tulus.”
Ashiqa terkejut mendengar pengakuan suaminya barusan, dia heran dan bertanya-tanya terbuat dari apa hati suaminya ini.
“Aku tahu keberadaan mereka di sini membuatmu tidak nyaman, tapi aku sangat menghormati orang tua Ashiqa, seburuk apapun ibu, ibu Rukmini tetap ibuku meski bukan beliau yang melahirkanku. Beliau sudah dua puluh tahun bersamaku, walau aku tahu kasih sayangnya tidak tulus tapi aku masih berharap suatu hari nanti ibu Rukmini menyayangiku layaknya putra kandungnya.”
Ashiqa terdiam, dia masih mencerna semua yang terjadi. Apa adil hal ini dijalani Rama dan adilkah juga untuknya.
“Jika kau tetap ingin pulang ke rumahmu aku tidak akan memaksamu untuk tinggal. Aku akan meminta Wisnu mengantarmu ke bandara. Tetapi ingatlah Ashiqa, aku tetap berada di pihakmu, aku tetap menyayangimu. Semarah apapun kita pada orang tua, kita tetap harus menjaga sikap jangan sampai kita berdosa karena suara kita yang lebih besar dari orang tua kita.” Rama melepaskan koper Ashiqa, dia sudah menyampaikan apa yang perlu disampaikan pada istrinya itu.
Sejenak Ashiqa menjadi ragu dengan keputusannya namun dia memilih tetap pada pendiriannya untuk pergi dari rumah ini. Ashiqa membuka pintu kamarnya dan tampak bi Sri tengah berdiri dengan mata yang basah.
“Tidak, Nyonya Muda, jangan pergi. Bi Sri pernah bilang kasian tuan muda jika harus menghadapi semua ini sendirian. Jangan pergi Nyonya, kepergian Nyonya justru akan membuat mereka semakin semena-mena di rumah ini. Nyonya Ashiqa hanya harus sedikit lebih bersabar lagi. Tolong pertimbangkan lagi Nyonya.”
“Sudah lah Bi, jika Ashiqa ingin pergi aku tidak akan menghalanginya. Dia sudah dewasa dan ku harap dia bisa berpikir jernih.” Rama melihat sepintas ke arah istrinya kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.
“Tolong pertimbangkan lagi Nyonya, jangan buat Tuan Muda bertambah sedih. Dia sangat menyayangi Nyonya Muda.” Bi Sri mengambil tangan Ashiqa mengelusnya sejenak dan memohon pada Ashiqa untuk tetap tinggal. Ashiqa pun luluh dan dan mengangguk. Akhirnya dia mundur dan membawa kembali kopernya masuk di kamar. Perempuan muda itu bertekad tidak akan membiarkan suaminya sendirian menghadapi ibu tiri dan saudarinya yang jahat itu. Demi Rama dia akan tinggal di rumah ini, tetap berada di sisi suaminya dan belajar untuk bersabar seperti sikap suaminya selama ini.
Mata Terryn berbinar ketika dua mangkuk pesanan baksonya dan Ashiqa dihidangkan. Asap tipis mengepul dan aroma kuah bakso seketika mengosongkan perutnya. Dengan semangat Terryn menuangkan saos dan kecap serta sambal, mengaduknya sesaat dan mulai menyantapnya dengan suka cita.
“Yaa ampuun Yin, pelan-pelan doong makannya, kayak gak pernah liat makanan aja deh kamu.” Tegur sahabatnya yang terlihat sangat lapar.
“Iya Chik, aku memang udah seharian gak liat makanan. Semalam aku sibuk bantuin kak Deva buatkan maket sampai lupa makan malam. Tadi pagi gak sempat sarapan gara-gara bangun kesiangan dan ada kuliah pagi.”
“Kak Deva masih gitu yaa sama kamu, nyuruh-nyuruh terus ? kamu tuh bucin atau apa siih? gemes tau gak aku sama sikap kamu ke kak Deva. Dia juga gak peka banget kalau kamu tuh suka sama dia udah dari lama.”
“ Udaah … jangan kelamaan ngomel, makan dulu tuh baksonya entar keburu dingin, gak enak tahu.”
Ashiqa hanya geleng-geleng kepala, dia masih saja takjub dengan sahabatnya Terryn yang sanggup bersabar menghadapi kakak angkatnya Deva yang dinginnya mengalahkan kutub utara juga sikap bossy nya yang bikin geregetan. Andai Ashiqa di posisi Terryn mungkin dia gak akan sanggup menyimpan perasaan cinta dalam diam yang sudah melewati lima tahun itu.
“Chika, kamu tuh kenapa sih ? lagi ada masalah yaa ? aku perhatikan dari pestanya Angel kemarin sampai sekarang kamu tuh diaaam aja, sesekali muka ditekuk dan gak ada manis-manisnya muka kamu hari ini. kamu kenapa beb ? bagi cerita sama aku supaya kamu lega.”
Ashiqa melongo melihat mangkuk bakso Terryn yang sudah kosong dalam sekejap, sahabatnya ini benar-benar kelaparan.
“Aku cuma lagi nunggu waktu yang tepat untuk ngomong sama kamu Yin.”
Terryn bersendawa, untungnya suara sendawanya itu tidak besar dan masih ditutupi Terryn. Ashiqa menggeleng-geleng kepalanya melihat kebiasaan Terryn yang bersendawa seperti itu belum hilang juga.
“Ini adalah waktu yang tepat Chika Sayang, perutku sudah terisi dan pikiranku sudah stabil dan siap mendengarkan masalahmu.”
Ashiqa berdehem sejenak, dia sudah kehilangan selera dengan bakso yang di depannya itu. Mata Terryn menatap kasihan pada bakso Ashiqa.
“Chika, sayang banget tahu baksonya, aku adopsi yaa?”
Tanpa menunggu persetujuan Ahiqa, Terryn kembali melanjutkan makan masih dengan lahap yang sama.
“Kamu gak dikasih makan sama keluarganya kak Deva yaa ? kasian banget siih kamu.”
“Diih … fitness … dikasih laah, duit jajan juga banyak tuuh tiap bulan masuk di rekening. Cuma aku orangnya penyayang makanan.” Terryn terkekeh, setengah porsi bakso Ashiqa sudah berpindah ke perutnya. Terryn menenggak jus jeruknya tanpa sisa kali ini.
“Yin, sebenarnya aku tuh sudah nikah.” Ashiqa berkata pelan sekali dan hampir tidak terdengar telinga Terryn.
“Hah ? apa? apa tadi ? kamu sudah nikah ?!” Terryn menyelipkan rambutnya di telinganya dan memastikan dirinya tidak salah dengar dengan ucapan Ashiqa barusan.
“Aku udah nikah beberapa bulan yang lalu Yin. Ayah menjodohkanku dengan duda pilihannya.”
“What ??? Duda pilihan papa eeh ayahmu? Duda Chik ?” mata Terryn membulat. Dalam pikirannya terlintas duda tua, gemuk botak, pendek, pipi yang bergelambir dan memakai banyak cincin dengan batu permata yang mencolok.
“Sereeem Chiiik …,” Terryn bergidik dia merinding membayangkan sahabatnya yang cantik jelita itu dalam dekapan laki-laki tua yang sudah bau tanah.
“Heeh … kamu bayangin apa siih sampai merinding kayak gitu ? jangan ngeres deeh.”
“Yaa habisnya kamu bilang nikah sama duda, terus kamu mau-mau aja dinikahin sama laki-laki bangkotan kayak gitu. Yaa serem laah.”
Ashiqa membuang napas dan melihat sahabatnya itu dengan tatapan gemas.
“Pernah dengar gak Ramadhan Al farizi ? dia pemilik beberapa perusahaan konstruksi, trading, ekspor impor dan memiliki saham besar di sejumlah pusat perbelanjaan terkenal di negeri ini.”
“Hmmm … iya kayaknya pernah dengar tuuh kak Deva pernah obrolin orang itu sama ibu Imelda dan kayaknya dia juga penyumbang dana terbesar untuk beasiswa di kampus kita. Memangnya kenapa?”
“Kamu pernah lihat langsung orangnya?”
“Hmmm.. gak pernah paling cuma sekilas aja di tivi atau berita di internet. Ada apa sih ?”
Ashiqa mengeluarkan ponselnya dan membuka galeri foto yang menyimpan foto pernikahannya dengan Rama lalu menunjukkannya ke Terryn.
“Ini suami aku yang statusnya duda itu, namanya Ramadhan Alfarizi, umurnya belum lewat tiga puluh lima.”
“Wooaaaaah … duren … yaaa ampuuun … duda keren, ganteng banget Chik yaa ampuun.” Mata Terryn membeliak kaget, duda dalam pikirannya sangat jauh dari yang dihayalkannya barusan.
Mantan duda suami Ashiqa berpostur tinggi, atletis, kulitnya kencang, hidung mancung dan warna kulit yang sexy eksotis.
“Udah ngeliatinnya, iler kamu udah mau netes aja tuh.”
Ashiqa mengambil kembali ponselnya yang masih dipegang erat Terryn.
“Tapi ini rahasia yaa Yin, kamu gak boleh bocorin ini sama teman-teman di kampus.”
“Siap laksanakan Bu Komandan. Eeh tapi aku kan bukan bigos ? aku gak pernah tuuh buat berita dan disebarin ke kampus.” Terryn pura-pura protes.
“Jadi sebenarnya kamu kenapa Chik? Kamu ada masalah sama suami kamu itu?”
“Masalah siih gak Yin, dia laki-laki yang baik banget. Penyabar dan romantis, aku sebenarnya beruntung dapat duda high quality itu meski awalnya aku keberatan.”
“Eeh iyaa yaa, saat itu kamu kan masih sama Arkhana kan?”
“Iya itu yang bikin aku sedih. Arkhana, aku belum sempat meminta maaf atas perpisahan kami yang menyakitkan Yin. Aku merasa bersalah dengan apa yang dialami Arkhana gara-gara aku.”
“Aku memang sempat ketemu sama Arkhana sebelum aku pindah ke sini bareng kak Deva dan kak Aluna. Dia bilang kalau kalian udah putus dan kamu akan dijodohkan dengan laki-laki lain tapi aku gak sempat kepikiran kalau kamu beneran dinikahkan. Tapi kamu bahagia kan Chik?”
Ashiqa terdiam, kalimat tanya terakhir Terryn memantul beberapa kali dalam kepalanya. Apa benar dia bahagia saat ini dengan Rama? Apa wanita di dunia ini tidak akan bahagia mempunyai suami yang baik seperti Rama ?
“Yaaah … dia bengong … hey Chika. Aku tanya kamu bahagia gak sama suami kamu ini ?” tanya Terryn lagi. Ashiqa hanya mengangguk sambil mengingat-ingat kembali momen romantic mereka.“Aku mungkin perempuan yang paling bahagia di muka bumi ini Yin.”Ingatan Ashiqa terlempar jauh ke belakang saat malam pertamanya dengan Rama, dia memarahi Rama dengan menyebutnya Datuk Maringgih, saat itu Rama hanya tertawa mendengar omelan Ashiqa. Saat di resort waktu Ashiqa nyaris tenggelam seperti anggota Baywatch Rama melompat masuk ke dalam kolam renang menyelamatkan dirinya. Peristiwa yang paling heroik dan mengesankan, momen itu mereka dekat sekali secara fisik karena Rama menggendong Ashiqa kembali ke kamar hotel mereka. Yang paling fantastis adalah makan malam mereka di sebuah kapal yacht milik Rama dan menikmati malam indah kembang api.“Wooyy … udah melamunnya. Kata orang siih ujian
Malam ini Ashiqa tidak bisa memejamkan matanya, sudah berkali-kali dia mengubah posisi tidurnya. Seperti ada yang kurang dan tidak nyaman padahal semuanya sama saja seperti biasanya. Pikirannya tertuju sosok laki-laki yang seharusnya ada di sampingnya saat ini, Ashiqa ingin menghirup lagi aroma parfumnya, mendengar suaranya dan hangat pelukannya.‘Apa ini yang dinamakan rindu yaa?’ keluh Ashiqa dalam hati. Dia menatap ponselnya, suaminya belum juga menelponnya kecuali saat Rama baru saja tiba di hotel tempat dia menginap.Tok … tok … tok …Suara ketukan di pintu kamarnya membuat pikiran Ashiqa tentang Rama memudar seketika.“Siapa?” tanya Ashiqa sambil turun dari tempat tidurnya.Ketukan itu terdengar lagi dan membuat Ashiqa semakin bergegas menuju pintu dan membukanya.“Bi Sri ? ada perlu apa malam-malam begini?” Ashiqa cukup heran asisten rumah tangganya menemuinya di malam yang hampir larut.“Nyonya besok ke kampus gak?” tanya Bi Sri agak ragu-ragu dan bersuara pelan. Dia menoleh
Ashiqa membeliak dengan sangat terkejut, perintah Kareena sangat jelas agar laki-laki itu berbuat hal yang tidak senonoh kepadanya. Ashiqa masih meronta dengan sekuat tenaga dalam pelukan laki-laki yang tidak dikenalinya itu.“Hentikan! Jangan kurang ajar kalian!!” bentak Ashiqa yang semakin berusaha menghentikan kegilaan ipar dan ibu mertuanya yang hanya berdiri dengan santai menikmati “pertunjukan” di atas tangga menuju kamar Ashiqa.“Apa kalian tidak takut dengan Rama? Dia tidak akan diam saja dengan perbuatan kalian!” ancam Ashiqa lagi. Dia merasakan tenaganya mulai berkurang dan tidak dapat lagi melakukan perlawanan pada laki-laki yang bernama Jack itu.“Yang Rama tahu nanti adalah, kamu kedapatan sedang berselingkuh dengan laki-laki ini dan laki-laki ini kabur begitu saja setelah kedapatan berbuat mesum bersama kamu di kamar tidur Rama. Selama ini Rama mendengarkan kata-kataku jadi tidak sulit untuk meyakinkan dia kalau kamu itu hanya ingin hartanya dia saja dan punya pria idama
“Bagaimana dengan ibu dan Kareena,Rama?” Ashiqa berusaha untuk duduk dan segera Rama membantunya dan memberi bantal di belakang punggungnya.“Tidak usah membahas mereka tidak ada lagi toleransi bagi mereka di rumah ini.” sahut Rama dengan acuh. Rautnya wajahnya terlihat sedih bercampur marah.“Aku akan meminta bi Sri membawakan makan malam untukmu.”“Tapi mereka akan tinggal di mana Rama?”Rama menatap Ashiqa sambil menghela napas.“Sayang, mereka punya rumah sendiri dan dua apartemen. Mereka tidak akan kesulitan menemukan tempat bernaung. Meski tunjangan dariku sudah ku hentikan tapi kontrak kerja Kareena masih panjang dan cukup untuk mereka. Yaa asal mereka tahu diri dalam menggunakan uang mereka.”Ashiqa terdiam dan tidak menanyakan hal itu lagi , dia menyibak selimutnya karena harus ke kamar mandi. Nyeri di sekujur tubuhnya dan pergelangan kakinya membuat gerakannya agak lambat.“Kau mau kemana?” tanya Rama mengulurkan tangannya kepada Ashiqa.“Aku hanya ingin ke kamar mandi saja,
“Udaah aah … gak perlu tahu detailnya bagaimana yang penting aku baik-baik saja dan pernikahanku masih aman. Aku minta kamu ke sini buat temenin makan bukan temenin puyeng.” Ashiqa mencubit pipi sahabatnya itu dengan gemas.“Kabar Kak Deva dan kak Aluna bagaimana ?”tanya Ashiqa untuk mengalihkan pikiran Terryn.“Masih seperti biasa teriakin aku babu kumal gitu, kak Aluna makin sibuk aja maklum dia kan kuliah di kedokteran.”Bi Sri keluar membawa cemilan dan kue-kue lainnya untuk Terryn juga minuman hangat.“Chik, kamu tahu gak kalau Arkhana itu ada di kota ini juga?” tanya Terryn hati-hati sambil mengangkat cangkir minumannya dan menyesapnya.Ashiqa berhenti mengunyah, mendengar nama itu disebut masih menyisakan dentuman di dadanya. Susah payah akhirnya makanan itu lewat dari tenggorokan Ashiqa.“Kenapa kamu bisa tahu ada Arkhana juga di kota ini Yin?” Ashiqa pura-pura tidak tahu dan ingin mendengar versi Terryn tentang Arkhana.“Tempo hari aku ke Rumah Sakit antaerin kak Aluna makan
Rama tertegun dengan apa yang telah dilakukan istrinya. Dia menatap Ashiqa yang masih menutup matanya meski wajahnya sudah menjauh dari wajah Rama. Ada raut kesedihan yang terbaca di kerutan sudut mata Ashiqa yang terpejam erat.“Hey … ada apa Sayang?” Rama kembali memeluk istrinya dan membelai kepalanya dengan lembut.Ashiqa menggigit bibirnya dia tak mungkin menceritakan tentang Arkhana ke suaminya . Dia tak mampu membayangkan jika Rama akan marah padanya lalu memulangkannya kepada orang tuanya. Perempuan ini sudah terlanjur cinta pada Rama.“Apa kau bertemu dengan ibu dan Kareena di jalan ? apa mereka berbuat yang tidak baik lagi padamu?”Ashiqa menggeleng pelan, Rama tak lagi bertanya dan memberi Ashiqa waktu, kelak jika dia sudah bisa menceritakan pasti akan diceritakannya tanpa Rama meminta.“Kau sudah berbuat nakal sore ini dan kau layak dihukum.” Rama memegang dagu istrinya dan mengangkat dagu itu dengan kedua jarinya.“A-aku dihukum?” tanya Ashiqa dengan sedikit terkejut.“Iy
Ashiqa nyaris melonjak dengan gembira ketika melihat hasil ujiannya mendapat nilai yang sangat memuaskan. Dia tak sabar untuk menunjukkannya kepada Rama suaminya. Segera langkahnya tertuju pada fakultas di seberang sana tempat Terryn belajar. Dia ingin menemui sahabatnya dan mengetahui hasil ujian Terryn. Ashiqa tahu Terryn juga akan meraih nilai yang tinggi karena selama ini dia dan Terryn selalu menjadi juara umum di sekolah mereka.“Yiiiin … Terryyyn …!” Ashiqa berlari kecil sambil menyongsong sahabatnya yang terlihat sama cerianya."Aku berhasil mendapat nilai terbaik!"“Chikaaa … nilaiku juga bagus semua!” mereka berpelukan dengan riang.“Apa rencana liburanmu Yin?” tanya Ashiqa dengan suka cita, kerja kerasnya selama ini terbayar dengan hasil yang tidak mengecewakan.“Aku ingin pulang kampung dulu Chik, aku kangen sama ibu. Kamu sendiri ?” mereka berjalan bersisian menuju tempat parkir mobil.“Entahlah, mungkin Rama akan mengajakku liburan , tapi belum tahu kemana.” Ashiqa meng
Makan malam telah tersedia, Ashiqa membantu bi Sri menata makanan di meja. Bi Sri dari tadi menatap Ashiqa yang sedari tadi yang lebih banyak diam.“Waaah … apa istriku yang memasak lagi malam ini Bi?” Rama menarik kursinya dan memandangi menu makanan yang menerbitkan seleranya.“Iya Tuan, Nyonya berbakat sekali dalam memasak hanya sekali lihat Nyonya langsung paham dan hasil tangannya pasti enak.”Ashiqa hanya terdiam saja dan ikut menarik kursinya. Dia menyendok nasi dan menurunkannya di piring Rama seperti kebiasaannya setiap kali makan bersama dengan suaminya. Tapi kali ini tanpa ekspresi, wajah Ashiqa dingin tanpa senyuman.Rama cepat menangkap keanehan istrinya tapi dia masih belum ingin bertanya. Ashiqa menatap jemari Rama dan tidak terlihat cincin pernikahan itu di jari Rama. Hal yang membuat Ashiqa semakin bertambah sebal. Dia tidak jadi mengambilkan lauk untuk Rama dan hanya mengambil untuk dirinya sendiri.“Sayang, aku sudah pesan tiket untuk kita liburan. Kita berangkat be