Satria merasa perlu merenung sejenak sebelum ia mengatakan hal yang sebenarnya pada ibunya. Lelaki itu duduk di warung kopi sambil mengisap rokok. Sudah dua jam Satria di sana dan tidak ingin beranjak. Kopi sudah berganti dengan gelas yang lain, tetapi ia belum juga menemukan cara yang tepat untuk menceritakan pada ibunya. Satria tak sanggup jika ibunya harus ikut-ikutan sakit memikirkan usaha yang dirintis suami tercintanya hangus terbakar.
"Bang, tambah kopi lagi," ujar Satria pada penjaga warung.
"Oke," jawab pemuda itu dengan senyuman. Tentu saja ia senang jika ada pelanggan yang nambah bergelas-gelas kopi di warungnya.
Satria bahkan sudah menghabiskan satu bungkus rokok untuk menenangkan pikirannya, tetapi ia belum juga menemukan jalan keluar. Pikirannya buntu dan tidak tahu harus berbuat apa. Membayangkan bagaimana reaksi ibunya nanti membuat dirinya tak sanggup berpikir.
Satria mengambil ponselnya. Sudah jam sepuluh malam dan ia t
Satria terpaksa melarikan ibunya ke rumah sakit akibat serangan jantung. Penyakit lama yang sudah tidak pernah kambuh, kini kembali menyerang ibunya tercinta setelah mendengar kabar usaha almarhum suaminya ludes terbakar.Lagi-lagi Samudra dititipkan di Mak Piah karena Bu Fitri sedang pulang kampung. Satria tidak punya pilihan lain, selain menitipkan anak sambungnya di sana. Dengan menggunakan mobil yang sudah lama berdiam diri di garasi, Toyota Vellfire putih, Satria membawa ibunya ke rumah sakit.Syukurlah Bu Mae ditangani dengan cepat karena Satria membawanya ke rumah sakit terdekat. Beda dengan rumah Sakit Haya yang jaraknya cukup jauh dari rumah.Bep! Bep!Ponselnya berdering dan kontak istrinya yang muncul di sana.["Halo, assalamualaikum."]["Bang, ke mana? Kok belum ke rumah sakit? Saya takut sendirian tidur di sini. Kalau saya disuntik mati sama orang jahat gimana? Abang kapan datang?"]["Haya, maafin Abang,
Mak Piah menyelipkan beberapa helai rambutnya ke belakang telinga sambil duduk di kursi ruang tamu. Satria yang tadi sempat datang, sudah menghilang, tetapi motornya masih parkir di depan rumahnya. Wanita tua itu yakin Satria pasti akan kembali untuk melihat Samudra. Ini kesempatan yang tepat untuknya mengambil kesempatan.Mak Piah memandang gelas air minum yang sudah ia bubuhi obat perangsang. Gelas itu akan ia berikan pada Satria saat pemuda itu bertamu nanti. Ia sudah meletakkan gelas itu persis di depannya agar ia hapal mana gelas bagiannya mana gelas bagian Satria.Tok! Tok!"Mak, buka pintunya!" seru Pak RT dari depan pintu. Mak Piah bangun dari duduknya, lalu menyambar sweeter yang ada di kursi. Ia harus menutupi kulit keriput di bawah ketiaknya saat panggilan di depan sana bukanlah suara Satria.Cklek"Eh, ada apa ini lame-lame?" tanya Mak Piah terheran melihat ada lima orang dewas
Satria yang terlalu asik bermain bersama Samudra di kamarnya, tidak tahu menahu bahwa Mak Piah baru saja dilarikan ke rumah sakit. Riuh-ramai dari halaman rumah Mak Piah sama sekali tidak terdengar oleh lelaki itu karena sambil menemani Samudra main, ia menyetel musik.Semua yang ia lalui sebulan belakangan ini benar-benar menguras emosi, tenaga, pikiran, serta tabungannya. Ia perlu santai sejenak sambil memikirkan ucapan Mak Piah tentang kutukan yang mengikutinya.Tok! Tok!Suara ketukan di jendela kamarnya membuat Satria tersentak dari lamunannya. Samudra sibuk dengan mainan bunyi-bunyian yang sengaja ia tebar di atas tempat tidur.Tok! Tok!"Ya, sebentar!" kata Satria yang bergerak cepat turun dari tempat tidur sambil menggendong Samudra."Eh, Pak RT, ada apa, Pak?""Wah, gawat Mas Satria, begini, Mak Piah ditemukan tidak sadarkan diri di kamar mandi de
Satria baru saja berhasil menidurkan Samudra lima menit yang lalu. Kini, ia tengah merapikan rambutan Aceh yang baru saja ia panen dari pohon di depan rumahnya. Besok ia akan membawanya ke tukang buah langganan untuk ditaruh di sana. Harga rambutan Aceh berbeda dengan rambutan biasa, harganya lebih mahal dan Satria bisa mendapat untung lebih banyak.Tok! Tok!"Assalamualaikum, Satria, ini Mpok Mimi," suara wanita yang tidak asing terdengar dari balik pintu rumahnya."Wa'alaykumussalam, Bu, sebentar," sahut Satria yang bergerak cepat bangun dari duduknya, lalu berjalan untuk membukakan pintu."Eh, Mpok Mimi, ada apa?""Ini loh, Ibu kamu telpon!" Mpok Mimi menyerahkan ponselnya pada Satria."Ya, halo, Bu? Ada apa? Udah deket?""Udah deket kepala lu! Ke mana aja lu gue telponin kagak bisa?""Ada di rumah lagi metikin rambutan. Ini lagi saya j
Haya masuk ke dalam kamar mandi, diikuti oleh Satria. Pintu sengaja tidak ditutup rapat karena Samudra ada di atas karpet; depan televisi. Satria yang melarang Haya untuk menutup rapat pintu kamar mandi, karena khawatir akan bayi delapan bulan di depan sana."Bang, sini saya bukain!" bisik Haya dengan suara mendayu. Satria pun mengangguk. Kamar mandi yang sempit, membuat gerak Satria dan Haya terbatas.Keduanya sudah tanpa busana. Satria melancarkan serangan pada Haya dan disambut penuh sukacita oleh wanita itu."Pelan, Bang, dengkul saya kebentur bak," bisik Haya dengan mata terpejam."Memang sempit, Ya, t-tadi Abang bilang apa?"Bugh!"Aw! Sakit!" rintih Haya saat lagi-lagi dengkulnya terbentur dinding bak.Satu jam tiga puluh menit pun berlalu. Asep belum juga sampai, begitu pun Haya. Konsentrasinya terpecah karena dengkulnya yang nyeri.
Innalilahi wa innaa ilaihi roji'un. Telah berpulang ke Rahmatullah saudara Satria Kuat dan sang Istri Nurhayati. Baru saja di rumahnya. Mari kita doakan ...."Woy, orangnya gak jadi meninggal! Bukan meninggal, tapi demam!" teriak Pak RT pada marbot masjid yang mengumumkan perihal wafatnya Satria.Maaf, tidak jadi meninggal rupanya. Mohon dimaafkan informasi yang salah ini. Terima kasih.Puluhan warga berkumpul di depan rumah Satria, mereka berbondong-bondong ingin melihat keadaan Satria dan istrinya yang menurut gosip beredar, meninggal dalam keadaan mengenaskan di dalam kamar. Banyak warga yang memotret penampakan rumah Satria dengan caption innalilahi.Foto pun tersebar cepat kepada teman-teman Satria. Seluruh karyawannya, serta para penyewa kontrakannya. Termasuk Ramlan, pemuda itu kaget dengan berita duka cita yang diterima dari salah satu temannya."Kenapa, Bang?" tanya seorang wanita yang duduk di belakang kemudi Ramlan. Saa
"Sayang, kamu masih demam," kata Satria saat meraba kening Haya dengan punggung tangannya. Handuk kecil basah kembali ia rendam ke dalam baskom air, lalu ia peras kuat dan ditaruh kembali di kening istrinya."Bang, AC kamar matikan saja. Saya kedinginan," pinta Haya pada suaminya. Satria pun menuruti keinginan Haya. Malam ini, Samudra tidur bersama Bu Mae karena Bu Mae tidak mau Samudra sakit lagi, karena tertular penyakit ibunya.Satria masih setia menemani Haya sama terus memijat kedua kaki istrinya. Hanya memejamkan mata, tetapi tidak tidur. Seharian ini ia sudah banyak tidur sehingga mata yang terasa panas tidak bisa dilelapkan, hanya bisa dipejamkan saja."Apa yang dirasa, Ya?" tanya Satria sambil berbisik."Matanya panas, Bang. Kepala juga sakit banget. Padahal udah minum obat," jawab Haya lemah."Sabar ya, besok insyaAllah kamu sembuh." Haya hanya bisa mengangguk lemah tanpa mau membuka mata. Rasanya sungguh berat sekali da
Siang ini, Salsa baru saja kembali dari rumah sakit. Ia masih menempati apartemen yang disewa oleh papanya. Bukan tinggal di apartemen milik suaminya. Fajar sudah berangkat ke Amerika untuk urusan pekerjaan. Ia meninggalkan Salsa dan wanita hamil bernama Sintya begitu saja.Salsa memandang pemandangan lalu-lintas dari kamar apartemennya yang berada di lantai enam. Ia termenung memikirkan nasib pernikahan yang tidak tahu harus bagaimana dan ke mana. Ia tidak mau dengan Fajar, tetapi ia juga belum ditalak oleh suaminya. Semua hubungan dibuat menggantung oleh pria itu."Bunda baru tahu kalau Fajar udah berangkat. Apa yang ada di kepalanya meninggalkan istri yang sakit dan seorang wanita hamil di Jakarta sana? Bunda tidak habis pikir bagaimana Papa kamu bisa menjodohkan kamu dengan lelaki seperti itu," omel Juwi sambil mengupas buah apel untuk putrinya."Kenapa kamu tidak bilang, Bunda? Apa dia pamit sama kamu?" cecar Juwi yang masih penasaran."Mas Faj