Lisa be like: Pede aja dulu :)
Natalia menghela napas. Sebagai manajer personalia yang berpengalaman, ia merasa tertantang dengan keputusan Vincent Alessio yang jarang menggunakan "jalur orang dalam" seperti ini. Natalia bertanya-tanya apakah ada kesepakatan khusus antara Vincent dan Lisa terkait posisi yang disebutkannya tadi: asisten sekretaris. ‘Apa aku tanya dulu sama Pak Vincent, ya?’ Natalia menimbang-nimbang dalam hati. ‘Tapi, Bapak kemarin sudah pesan agar aku memberinya tempat yang paling pas. Artinya, aku harus mempertimbangkan kelayakannya sesuai CV miliknya.’ Dia mengambil selembar kertas CV milik Lisa dan membacanya lagi. Sementara itu, Lisa yang sedang duduk di seberang meja Natalia tampak tenang, menjaga senyumnya, meskipun dalam hatinya diam-diam merasa cemas. ‘Iya juga ya? Kan nggak ada yang ngasih tahu aku tentang posisi itu, sebagai asisten sekretaris,’ pikir Lisa dalam kediamannya. Tapi, Lisa begitu menginginkan posisi itu dan yakin bisa mendapatkannya. Makanya dia dengan enteng menyebutkanny
"Selamat pagi, HRD Menara 2 Sutomo Group. Resepsionis Lisa di sini, ada yang bisa saya bantu?" Lisa dengan ramah menerima panggilan telepon yang berdering nyaring di meja resepsionis.Meskipun tangan Hanum terlihat sibuk menumpuk lembaran dokumen, tetapi telinganya awas memerhatikan Lisa. Dia penasaran apakah Lisa bisa menangani tugas sepele ini dengan baik. Dia merasa skeptis terhadap Lisa.Sepanjang masa tandem, Lisa terlihat santai sekali dan ‘iya-iya’ saja setiap kali Hanum menegurnya karena terkesan abai. Padahal bagi Hanum, menjadi seorang resepsionis bukanlah pekerjaan yang sepele, terlebih di perusahaan sekelas Sutomo Land Corporation, bagian HRD pula, yang kerap menjadi jembatan berbagai divisi penting di perusahaan sebesar ini.Sementara itu, di balik meja resepsionis, Lisa menerima panggilan telepon dengan percaya diri. "Indeed. You've reached the right number; this is Sutomo Land Corporation. How may we assist you?" Bahasa Inggrisnya lancar dan aksennya enak, nada suaranya
“Hmm, jadi dia ditempatkan di HRD ya.” Vincent membatin. Natalia belum memberitahu kelanjutan proses rekrutmen Lisa dan dia sendiri juga lupa untuk bertanya, lebih tepatnya dia sebaiknya tak perlu bertanya. Tapi diam-diam Vincent penasaran juga. Dan dia tadi hanya tersenyum samar ketika Rini memberitahu bahwa Lisa merupakan orangnya Natalia, artinya Lisa sudah diterima sebagai staf HRD. Tiba-tiba notifikasi pesan ponsel Vincent berbunyi. [Aku di depan ruanganmu. Nunggu dokumen yang sedang kamu tanda tangani.] Vincent menatap layar ponselnya, memperhatikan pesan singkat dari Lisa itu. Senyum tipis mengembang di bibirnya, namun segera menghilang saat ia mulai merenung. Sejenak, ia berpikir tentang langkah apa yang sebaiknya diambil. “Memangnya harus terus begini?” batin Vincent, menelengkan kepala sebagai respons atas kebimbangannya yang tak terucap. Ponselnya seolah menjadi sumber pertanyaan. Namun, segera setelahnya, Vincent mengetik pesan singkat sebagai balasan, ‘Sudah beres.
Vincent duduk di tengah kebisingan ruang rapat yang seharusnya penuh keseriusan. Meskipun suasana rapat terlihat santai, tetapi kepekaan mata tajam sang CEO selalu memerhatikan setiap detail di sekitarnya. "Bagaimana dengan konsep pemasaran yang baru kita luncurkan?" tanya Vincent kepada seorang karyawan yang sedang presentasi, mewakili departemen pemasaran. Ardi membuka presentasinya dengan senyum penuh keyakinan di wajahnya. Sementara itu, di kursi eksekutifnya, Vincent menyimak dengan serius. “Kami telah merumuskan konsep pemasaran yang inovatif untuk apartemen baru kita, Pak.” Mata Ardi berbinar dan senyuman melebar.Vincent melihat layar presentasi dengan tatapan tajam, mengangguk sebentar. “Lanjutkan,” ujarnya dengan nada penuh wibawa.Ardi menjelaskan konsepnya dengan semangat, menggunakan gerakan tangan untuk menyoroti poin-poin utama. “Kami ingin menekankan gaya hidup perkotaan yang modern dan kenyamanan tinggal di sini,” jelasnya.Vincent mengangkat alisnya sedikit, menun
“Gue tahu elu sekarang udah ada kerjaan, tapi kudu tetap luangkan waktu buat update chapter, dong! Tuh, ranking novel elu melorot lagi, hampir tersisih dari 10 besar!”Lisa memutar bola mata. Langkahnya gontai sepanjang menyusuri lantai marmer lobi gedung Menara 2 Sutomo Group yang berkilap. Dia lelah, ditambah sekarang dapat omelan dari Ninik. “Nek, tahu nggak sih lu,” Lisa cemberut, “posisi gue di perusahaan ini kan sebagai resepsionis, tapi kok gue kayak OB aja ya, disuruh antar dokumen ke sana-sini. Gue kayak nggak dihargai sebagai resepsionis yang mestinya cuma duduk manis di belakang meja menyambut tamu. Sialan banget kan?” Lisa mendengkus kesal.“Idih, diomelin editor lah kok malah curcol? Cuma elu penulis rese yang pernah gue handle, Lisa!” Lisa meringis sambil menjauhkan ponselnya dari telinga karena suara Ninik yang mulai melengking tinggi.“Berisik banget sih suara elu, Nek? Nggak dilempar pulpen tetangga kubikal elu apa?”“Nggak! Tenang aja, orang-orang di sini mah kupin
“Tuan? Tuan? Apa Anda di dalam?” Gagang pintu bergerak-gerak, Damien akhirnya menoleh seraya mengumpat, “Sial!” Rambut pria itu acak-acakan dan matanya nanar. Bibirnya basah dan sedikit memerah. Kancing kemejanya hampir terbuka seluruhnya, menampakkan dadanya yang bidang dan otot perut sixpacknya yang menawan. Damien tampak begitu seksi dan juga nakal dengan penampilannya yang berantakan seperti ini. “Tuan? Tuan? Bila Anda tidak menjawab, kami akan mendobrak pintunya.” Gagang pintu ruangan arsip itu kembali bergerak-gerak. Damien berteriak. “Diamlah kalian, aku aman!” Detik itu juga suara gaduh gagang pintu dan ribut-ribut para bodyguard seketika redam. Damien tersenyum usil melihat bagaimana tangan Alessandra gemetaran saat mengancingkan blusnya. Sepasang payudaranya yang menggemaskan tampak membusung dari balik bra berenda. “Perlu bantuanku, Alessa?” Wajah Alessandra memerah, dan dia berusaha mengalihkan pandangan. “Damien, ayo cepat keluar dari sini. Sebentar lagi kau kan h
Para penumpang yang kebanyakan orang kantoran saling berdesakan di dalam bus. Keringat dingin mengucur di kening Lisa, meskipun bus transjakarta yang ditumpanginya menghembuskan hawa dingin dari AC. Lisa berpegangan erat pada gantungan tangan di atasnya, seakan itu adalah nyawanya. Lisa memaksakan diri tetap masuk kerja meskipun lambungnya masih terasa nyeri. Dia tahu tak boleh cengeng dengan keadaan. Bagaimanapun dia harus mengandalkan dirinya sendiri. Dia tak punya siapa-siapa untuk mengurus dirinya kalau sampai jatuh sakit. Bus transjakarta telah meninggalkannya di salah satu halte terdekat gedung Menara Sutomo Group, dan tantangan selanjutnya adalah menavigasi kerumunan orang menuju kantornya. Di tengah kepadatan manusia, Lisa berusaha mempertahankan langkahnya, tak ingin tertinggal di antara mereka. Ketika kakinya berhasil menapak lantai lobi gedung Menara 2 Sutomo Group, Lisa tak langsung menuju lift. Dia berjalan ke arah sofa tamu yang terletak di sudut lobi dan menghempaska
“Lisa. Kamu sakit?” Lisa mendongak pada pria bersetelan jas hitam rapi yang tinggi menjulang di hadapannya. Kening Lisa mengerut melihat sosok mantan suaminya tiba-tiba bersikap sepeduli ini padanya. “Lambung kamu sakit?” Ardi duduk di sebelah Lisa. Lisa segera menggeser bokongnya menjauh. Dia tak nyaman dekat-dekat dengan pria yang pernah menjadi suaminya ini. Lagipula aneh baginya melihat Ardi tiba-tiba berubah baik padanya, padahal selama 2 tahun pernikahan mereka, pria itu malah mengabaikannya. “Aku nggak apa-apa.” Lisa menyahut dengan nada acuh tak acuh. “Tapi kamu pucat.” Pria itu memandangi Lisa lekat-lekat. “Kenapa tiba-tiba kamu peduli?” Ardi menghela napas, mengumpulkan kesabarannya. Dia merasa maklum bila Lisa menunjukkan sikap antipati seperti ini, setelah apa yang terjadi selama 2 tahun pernikahan mereka yang berjalan dingin. “Lisa. Bagaimanapun, aku sudah janji pada mendiang mamamu, bahwa aku—” “Nggak perlu.” Lisa menyahut sebelum Ardi sempat menyelesaikan ucap