LOGINSetelah keluar dari kamar Cornelia, Maura langsung menuju tangga untuk mencari Revan. Langkahnya masih terasa berat, hatinya dipenuhi dengan janji yang baru saja dia berikan, janji yang membuatnya terasa terluka dari dalam. Hari ini, Maura mengenakan rok panjang yang sebetis, warna krem muda yang terasa lembut saat bergeser di lantai. Di atasnya, dia memakai baju atasan kemeja lengan pendek dengan motif bunga kecil warna ungu muda, yang dibuka sedikit di leher dan diselimuti jaket cardigan tebal warna abu-abu muda. Semua pakaiannya terasa nyaman tapi tetap rapi, Maura selalu memperhatikan penampilannya meskipun hatinya sedang kacau. Ia mulai menaiki tangga, satu tangannya menopang erat pada pagar tangga yang terbuat dari kayu. Kakinya mengenakan high heels kulit warna coklat tua, yang setiap kali menapak ke anak tangga mengeluarkan bunyi "tuk ... tuk ... tuk" yang terasa keras di tengah keheningan rumah. Bunyi itu seolah menambah beban di hatinya, setiap langkah semakin memperkuat
"Maura ...?" gumam Cornelia, matanya masih terbuka lebar karena terkejut. Dia tidak menyangka wanita itu akan tiba di saat seperti ini, saat dia sedang memohon Revan untuk menikahi Alyssa. Revan juga masih terdiam, tubuhnya kaku di samping ranjang. Dia melihat Maura yang berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah dan mata yang berkaca-kaca. Apakah Maura sudah mendengar semuanya? Pikiran itu membuat hatinya berdebar kencang. Maura perlahan melangkah masuk ke dalam kamar, tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. "Ma, barusan Rena bilang Mama sedang sakit, jadi aku langsung ke sini," ucapnya dengan suara lemah, mencoba menyembunyikan ketakutan dan kesedihan yang ada di hati. Dia berjalan mendekat ke ranjang, sambil memperhatikan ibu mertuanya dengan penuh khawatir. "Mama sakit apa? Apa sudah minum obat?" Cornelia hanya bisa mengangguk perlahan, masih belum percaya bahwa Maura ada di sana. Tubuhnya terasa lebih lemah, pikirannya bingung—bagaimana dia bisa melanjut
Setelah pertemuannya dengan Usman beberapa hari lalu, tubuh Cornelia terasa sangat lelah, ia terus saja memikirkan perjodohan Revan dan Alyssa, ia takut bahwa semua rencananya akan hancur dan Revan akan menolak terus. Cornelia melangkah perlahan menuju ruang tamu, tapi kakinya terasa goyah. "Rena!" panggilnya dengan suara lemah ke arah dapur. Rena yang sedang membersihkan peralatan makan di dapur mendengar panggilan dari Cornelia. Ia pun langsung berlari keluar, wajahnya terlihat khawatir ketika melihat Cornelia. "Iya, Nyonya?" Cornelia duduk pelan di sofa, dadanya terasa sesak. "Tolong buatkan aku teh hangat, ya. Aku sedang tidak enak badan." "Baik, Nyonya," jawab Rena dengan cepat. Tapi sebelum dia kembali ke dapur, matanya melihat tubuh Cornelia yang limbung, wajah yang pucat dan kering. Dia mendekat lagi, tangannya menopang bahu Cornelia. "Nyonya, Anda tidak apa-apa? Tubuh Anda terlihat goyah. Biar saya bantu Anda ke kamar, biar lebih nyaman berbaring." Cornelia hanya bisa m
Setelah meninggalkan Revan di apartemen, Cornelia langsung menuju Cafe Seruni yang sudah dijanjikannya dengan Usman. Jalanan terasa macet, membuat hatinya semakin kesal dan cemas. Dia terus memikirkan pertarungan tadi dengan putranya, dan kekhawatiran bahwa Revan benar-benar tidak akan menerima perjodohan dengan Alyssa. Sesampainya di cafe, Cornelia langsung mencari Usman. Dia melihat pria itu sedang duduk di ujung cafe yang lebih sunyi, menghadap jendela sambil memegang cangkir kopi. Cahaya dari sorot lampu masih sedikit menyinari wajahnya, membuatnya terlihat tenang meskipun sudah menunggu lama. Cornelia mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Usman melihatnya, lalu tersenyum. "Cornelia, kamu datang juga," ucapnya sambil membuka kursi di hadapannya. "Maaf, Usman, aku terlambat," kata Cornelia dengan suara terengah-engah, langsung duduk seperti yang disarankan. Napasnya masih tergesa-gesa karena jalan macet dan kekacauan hatinya. "Tidak apa-apa," jawab Usman dengan senyum. "Sudah
Di ruang tamu, Revan dan Cornelia duduk berhadapan. Cornelia menyeduh teh dengan tangan yang tegas, sedangkan Revan duduk kaku di sofa, sementara hatinya terus saja memikirkan Maura yang masih bersembunyi di kamar. Udara terasa kaku, hanya terdengar bunyi AC yang membisik di antara mereka. "Revan, Mama sudah tidak tahan lagi melihatmu seperti ini, selalu terlihat tergesa-gesa dan tidak tenang," ucap Cornelia pertama, matanya menatap tajam ke arah anak sulungnya itu. "Mama tahu hatimu masih tertuju pada Maura, tapi itu harus berakhir sekarang." Revan mengangkat kepala, dalam benaknya penuh dengan pertanyaan. "Ma, kenapa tiba-tiba bicara tentang ini?" "Karena Mama tahu kamu masih sering bertemu dengannya, bukan?" jawab Cornelia dengan curiga. "Padahal dia adalah istri Dimas, adikmu sendiri! Mama menyuruhmu untuk menjauhi Maura, dan membuka hatimu untuk Alyssa. Dia yang pantas untukmu, Revan. Dia setia, baik hati, dan sudah menunggu kamu sejak lama." Revan menghela napas panjan
Setelah itu, Revan berbaring di samping Maura, dan masih memeluk wanita itu dengan erat. Keduanya terdiam sebentar, napas mereka juga masih terengah-engah, begitu juga dengan tubuh mereka yang masih terguncang. Cahaya senja sudah benar-benar hilang, dan kamar itu hanya diterangi oleh cahaya lampu meja yang redup. Tiba-tiba, bunyi telepon berdering keras di ruang tamu, membuat keduanya terkejut. Maura mendadak kaku, kepalanya terangkat dari dada Revan. "Siapa, ya?" bisiknya dengan suara gemetar. Revan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Jangan khawatir, biar aku lihat." Ia bangkit perlahan, mengambil selimut untuk menutupi tubuh Maura, lalu keluar kamar sambil memakai celana yang tergeletak di lantai. Maura duduk di ranjang, hatinya berdebar kencang. Dia tahu, telepon itu bisa jadi dari Cornelia, atau bahkan dari Dimas, yang mungkin sudah menyadari bahwa surat yang dia tandatangani itu adalah surat cerai. Atau apakah itu Alyssa, yang sedang mencari Revan? Beberapa saat kemudian, Rev







