Home / Romansa / Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar / Bab 6 : Jemari di Jurang Terlarang

Share

Bab 6 : Jemari di Jurang Terlarang

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-11-05 21:37:14

“Apa aku harus menjawabnya sekarang?” suara Maura nyaris tenggelam di antara detak jantungnya sendiri. Ada getar gugup yang tak bisa ia sembunyikan, dan keberanian yang perlahan menguap saat Revan masih memeluknya dari belakang.

Pelukan itu bukan sekadar hangat, tapi juga terasa menyesakkan. Napas Revan yang menyapu pelan di tengkuknya membuat bulu kuduk Maura berdiri. Ia menggigit bibir, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya justru semakin kaku. Ia tahu ia harus menjauh, harus mengingat siapa Revan baginya. Lelaki itu adalah kakak iparnya, kakak dari suaminya sendiri, dan Maura harus tahu akan batas itu.

Namun akhir-akhir ini Revan mulai kehilangan kendali. Sikapnya kian berani, dan Maura sendiri tak tahu harus menanggapinya seperti apa.

Apakah semua ini hanya permainan semu seperti yang dilakukan Dimas? Atau … mungkinkah Revan sungguh ingin menambal luka-luka yang telah ditinggalkan adiknya itu?

Pikiran Maura berputar tanpa arah, ia seperti terjebak di antara dua jurang yang sama-sama menakutkan. Ia benci dirinya karena masih bisa merasakan debar itu—debar yang seharusnya tidak ada. Setiap kali Revan menatapnya, hatinya bergetar, tapi di sisi lain ada rasa bersalah yang mencengkeram begitu kuat. Ia tak tahu apakah ini kelemahan, atau justru bentuk kesepian yang terlalu lama ia pendam.

“Tentu saja kamu harus menjawabnya sekarang,” bisik Revan, suaranya terdengar begitu berat. Jemari kekarnya perlahan naik, menyentuh sisi leher Maura yang dingin karena udara malam. Akan tetapi seketika terasa panas karena sentuhannya.

Maura menahan napas. Tubuhnya bergetar hebat, dan ada sebuah perasaan yang tak bisa ia pahami.

“Revan …” Maura tak tahu harus memohon agar lelaki itu berhenti mengejarnya, atau harus bagaimana.

“Aku hanya ingin tahu jawabanmu, Maura.”

“Aku …”

Belum sempat Maura menyelesaikan ucapannya, suara Dimas terdengar dari arah ruang tengah. “Maura?”

Seketika Maura tersentak. Refleks, ia mendorong tubuh Revan menjauh. Napasnya tersengal, dan jemarinya sempat gemetar saat ia buru-buru mengambil beberapa mangkuk di lemari dapur.

“I-iya, Mas!” sahut Maura dengan suara yang bergetar halus.

Derap langkah kaki Dimas terdengar semakin mendekat, membuat Maura di dapur panik seketika. Ia berusaha menetralkan diri, menata napas yang terasa tak beraturan, dan berpura-pura sibuk dengan sesuatu di meja dapur agar tak terlihat gugup.

“Kamu sudah selesai masak?” tanya Dimas ketika sudah di dapur.

“Sudah, Mas. Aku … aku baru saja selesai,” jawab Maura dengan cepat.

Dimas mengerutkan dahi ketika melihat kakaknya juga ada di dapur. “Kak Revan? Kamu juga di dapur?”

Revan menoleh, menampilkan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. “Cuma mau bantu Maura masak,” ujarnya santai. “Tapi sepertinya dia sudah selesai.”

“Oh …” Dimas mengangguk. “Baguslah, kalau begitu ayo kita makan malam sekarang saja.” Ia lalu berjalan menuju meja makan, sama sekali tidak menaruh curiga.

Suara sendok dan garpu beradu pelan, berpadu dengan aroma hangat sup ayam yang baru saja disajikan. Sesekali, Dimas menatap istrinya yang tampak tenang menyuapkan makanan, sementara Revan duduk di seberang mereka, diam dan tak banyak bicara. Tak ada percakapan berarti, hanya denting peralatan makan dan detak jam dinding yang menjadi latar belakang bagi mereka.

Namun, ketenangan semu itu tak berlangsung lama saat Dimas berkata, “Oh iya, Sayang. Aku mau bilang sesuatu.”

Maura menoleh sekilas, lalu kembali menatap piringnya. “Apa?” tanyanya datar.

Dimas menyandarkan punggung di kursi, ekspresinya tampak santai. “Kemarin Nabila hubungi aku. Kosannya lagi direnovasi, jadi dia minta izin buat tinggal di sini dulu. Kamu nggak keberatan, kan?”

Denting logam terdengar nyaring. Sendok di tangan Maura terlepas dan jatuh ke piring, membuat dua pasang mata serentak menatap ke arahnya.

“Apa tadi kamu bilang?” suara Maura bergetar halus, tapi tatapannya tajam, menembus ke arah Dimas.

“Nabila mau tinggal di sini,” ulang Dimas.

Kalimat itu menancap dalam di dada Maura.

Nabila.

Adik sepupu yang selama ini begitu dekat dengannya, yang selalu ia anggap seperti adik sendiri. Apa pun yang Maura miliki, selalu ia bagi untuk Nabila, tanpa pikir panjang. Tapi kini, pertanyaan itu menghantam benaknya tanpa ampun: apakah adiknya itu juga ingin merebut sesuatu yang paling berharga darinya—suaminya sendiri?

Apa Dimas benar-benar ingin membawanya ke rumah ini? Ataukah itu hanya alasan agar mereka bisa lebih leluasa bertemu tanpa perlu bersembunyi?

Tangan Maura gemetar saat mengambil sendok yang jatuh, mencoba menyembunyikan guncangan di dadanya dengan senyum tipis yang nyaris tak terbentuk.

“Sayang, kenapa kamu diam?” Dimas bertanya ketika istrinya hanya diam saja, alih-alih menjawab.

Maura menarik napas dalam, menahan diri agar suaranya tetap stabil. “Kenapa dia nggak menghubungiku langsung?” tanyanya pelan.

“Dia bilang sudah menghubungi kamu. Tapi kamu nggak angkat.”

“Oh.” Maura mengangguk pelan, lalu tersenyum getir. “Aku tidak sempat pegang ponsel.” Tangannya kembali bergerak, menyuapkan makanan yang kini rasanya hambar. “Terus, kamu mau aku bilang apa?”

“Ya aku cuma mau tahu kamu setuju atau nggak.”

“Kenapa tanya aku? Rumah ini rumah kamu, kan? Jadi silakan saja bawa siapa pun yang kamu mau.”

“Sayang, jangan gitu dong,” ujar Dimas mencoba menenangkan. “Rumah ini juga rumah kamu.”

Maura menatap piringnya lama sebelum berucap lirih, “Kalau begitu, terserah kamu.”

Keheningan kembali menelan meja makan. Dimas menghela napas pendek, lalu menoleh pada kakaknya. “Kak Revan, menurut Kakak gimana? Kalau Nabila tinggal di sini nggak apa-apa, kan?”

Revan yang sejak tadi diam hanya mengangkat pandangan perlahan. Tatapannya bertemu dengan Maura, dan dalam sekilas itu, ada sesuatu yang lewat, rasa bersalah, mungkin, atau justru simpati.

“Tentu saja,” jawabnya dengan suara berat. “Kalau memang perlu, biarkan saja dia tinggal.”

Maura menatap Revan lama. Tatapan yang berusaha ia sembunyikan di balik wajah datarnya, namun jelas menyimpan ribuan pertanyaan yang tak terucap. Ia tahu Revan tidak bermaksud menyakitinya, tapi kata-kata itu tetap menusuk, terutama ketika keluar dari mulut seseorang yang tahu segalanya.

“Baiklah,” ujar Dimas dengan lega. “Kalau begitu aku kabari Nabila besok.”

Tak ada yang membalas. Hanya suara sendok yang kembali beradu pelan dengan piring, sementara Maura menatap kosong ke arah sup yang mulai dingin. Rasanya perih, seperti sedang menelan air mata sendiri.

Sejak menikah, Maura dan Dimas belum juga membeli rumah baru. Mereka masih menempati rumah keluarga besar milik Mahendra, almarhum ayahnya sendiri. Rumah yang mereka tempati sangatlah luas, megah, dan sarat kenangan masa kecil dua bersaudara itu.

Ayah mereka, Aditya Mahendra, meninggal delapan bulan yang lalu akibat penyakit jantung koroner. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, terutama bagi sang istri, Cornelia, yang kemudian memutuskan kembali ke Belanda untuk sementara waktu guna mengurus keluarga besarnya di sana.

Sejak saat itu, rumah besar itu hanya dihuni oleh tiga orang: Dimas, Maura, dan Revan.

Awalnya, Maura tak keberatan. Ia pikir tinggal di rumah keluarga suaminya akan terasa hangat dan penuh nuansa kekeluargaan. Namun, seiring waktu, suasana itu perlahan berubah. Rumah yang dulu terasa lapang kini seperti menyempit, dipenuhi udara berat yang sulit dijelaskan, dan rahasia-rahasia yang tumbuh diam-diam di antara mereka.

Tak lama kemudian, dering ponsel memecah keheningan. Dimas melihat layar sejenak, lalu bangkit. “Sayang, aku angkat dulu, ya.”

Maura hanya mengangguk tanpa menatapnya. “Silakan.”

Beberapa detik setelah Dimas pergi, suara lembutnya terdengar samar dari ruang tamu, nada yang jauh lebih hangat dibandingkan saat berbicara dengannya. Maura menutup mata sebentar. Ia tahu siapa yang ada di seberang panggilan itu, dan mengetahui kebenaran terkadang jauh lebih menyakitkan daripada menebaknya.

Revan masih duduk di kursi, memutar pelan cangkir teh yang mulai dingin. Pandangannya sesekali jatuh pada Maura, membaca gelisah yang jelas terpancar dari wajah gadis itu.

Akhirnya, Maura tak sanggup lagi menahan diri. Ia menatap Revan dengan mata yang tajam. “Kenapa kamu mengizinkan dia tinggal di sini?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 85 : Harga dari Sebuah Keputusan

    Waktu terasa berhenti. Maura berdiri diam di tepi balkon, matanya masih tidak berani menghadapi Revan. Hatinya berdebar kencang sampai akan meledak, dan kata-kata "apa kamu juga mencintaiku?" terus berputar di kepalanya. Aku mau ngomong apa? pikirnya, menggigit bibirnya sampai terasa sakit. Semua yang dia rasakan selama ini, rasa sayang yang tidak bisa dia ungkapkan, kesedihan melihat Revan dekat dengan Alyssa, rasa sakit karena harus membujuknya menikahi orang lain, semua itu terasa menyesakkan. Revan tetap menatap Maura, matanya masih penuh harapan. Dia tidak mau mendesak, tapi hatinya juga tak tahan menunggu. Sudah lama dia menyukai Maura, tapi tak berani mengaku karena dia tahu Maura masih menikah dengan Dimas. Tapi sekarang, dengan semua yang terjadi, ia berharap Maura juga mencintainya. Setelah sejenak terdiam, Maura akhirnya mengangkat kepala. Matanya yang berkaca-kaca bertemu dengan pandangan Revan, dan dia melihat kebenaran di mata lelaki itu. Dia mengambil napas panjang,

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 84 : Apa Kamu Juga Mencintaiku?

    Setelah keluar dari kamar Cornelia, Maura langsung menuju tangga untuk mencari Revan. Langkahnya masih terasa berat, hatinya dipenuhi dengan janji yang baru saja dia berikan, janji yang membuatnya terasa terluka dari dalam. Hari ini, Maura mengenakan rok panjang yang sebetis, warna krem muda yang terasa lembut saat bergeser di lantai. Di atasnya, dia memakai baju atasan kemeja lengan pendek dengan motif bunga kecil warna ungu muda, yang dibuka sedikit di leher dan diselimuti jaket cardigan tebal warna abu-abu muda. Semua pakaiannya terasa nyaman tapi tetap rapi, Maura selalu memperhatikan penampilannya meskipun hatinya sedang kacau. Ia mulai menaiki tangga, satu tangannya menopang erat pada pagar tangga yang terbuat dari kayu. Kakinya mengenakan high heels kulit warna coklat tua, yang setiap kali menapak ke anak tangga mengeluarkan bunyi "tuk ... tuk ... tuk" yang terasa keras di tengah keheningan rumah. Bunyi itu seolah menambah beban di hatinya, setiap langkah semakin memperkuat

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 83 : Janji yang Terluka

    "Maura ...?" gumam Cornelia, matanya masih terbuka lebar karena terkejut. Dia tidak menyangka wanita itu akan tiba di saat seperti ini, saat dia sedang memohon Revan untuk menikahi Alyssa. Revan juga masih terdiam, tubuhnya kaku di samping ranjang. Dia melihat Maura yang berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah dan mata yang berkaca-kaca. Apakah Maura sudah mendengar semuanya? Pikiran itu membuat hatinya berdebar kencang. Maura perlahan melangkah masuk ke dalam kamar, tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. "Ma, barusan Rena bilang Mama sedang sakit, jadi aku langsung ke sini," ucapnya dengan suara lemah, mencoba menyembunyikan ketakutan dan kesedihan yang ada di hati. Dia berjalan mendekat ke ranjang, sambil memperhatikan ibu mertuanya dengan penuh khawatir. "Mama sakit apa? Apa sudah minum obat?" Cornelia hanya bisa mengangguk perlahan, masih belum percaya bahwa Maura ada di sana. Tubuhnya terasa lebih lemah, pikirannya bingung—bagaimana dia bisa melanjut

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 82 : Harapan yang Menyakitkan

    Setelah pertemuannya dengan Usman beberapa hari lalu, tubuh Cornelia terasa sangat lelah, ia terus saja memikirkan perjodohan Revan dan Alyssa, ia takut bahwa semua rencananya akan hancur dan Revan akan menolak terus. Cornelia melangkah perlahan menuju ruang tamu, tapi kakinya terasa goyah. "Rena!" panggilnya dengan suara lemah ke arah dapur. Rena yang sedang membersihkan peralatan makan di dapur mendengar panggilan dari Cornelia. Ia pun langsung berlari keluar, wajahnya terlihat khawatir ketika melihat Cornelia. "Iya, Nyonya?" Cornelia duduk pelan di sofa, dadanya terasa sesak. "Tolong buatkan aku teh hangat, ya. Aku sedang tidak enak badan." "Baik, Nyonya," jawab Rena dengan cepat. Tapi sebelum dia kembali ke dapur, matanya melihat tubuh Cornelia yang limbung, wajah yang pucat dan kering. Dia mendekat lagi, tangannya menopang bahu Cornelia. "Nyonya, Anda tidak apa-apa? Tubuh Anda terlihat goyah. Biar saya bantu Anda ke kamar, biar lebih nyaman berbaring." Cornelia hanya bisa m

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 81 : Perjodohan dan Surat Cerai

    Setelah meninggalkan Revan di apartemen, Cornelia langsung menuju Cafe Seruni yang sudah dijanjikannya dengan Usman. Jalanan terasa macet, membuat hatinya semakin kesal dan cemas. Dia terus memikirkan pertarungan tadi dengan putranya, dan kekhawatiran bahwa Revan benar-benar tidak akan menerima perjodohan dengan Alyssa. Sesampainya di cafe, Cornelia langsung mencari Usman. Dia melihat pria itu sedang duduk di ujung cafe yang lebih sunyi, menghadap jendela sambil memegang cangkir kopi. Cahaya dari sorot lampu masih sedikit menyinari wajahnya, membuatnya terlihat tenang meskipun sudah menunggu lama. Cornelia mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Usman melihatnya, lalu tersenyum. "Cornelia, kamu datang juga," ucapnya sambil membuka kursi di hadapannya. "Maaf, Usman, aku terlambat," kata Cornelia dengan suara terengah-engah, langsung duduk seperti yang disarankan. Napasnya masih tergesa-gesa karena jalan macet dan kekacauan hatinya. "Tidak apa-apa," jawab Usman dengan senyum. "Sudah

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 80 : Harapan Mama vs. Hati Sendiri

    Di ruang tamu, Revan dan Cornelia duduk berhadapan. Cornelia menyeduh teh dengan tangan yang tegas, sedangkan Revan duduk kaku di sofa, sementara hatinya terus saja memikirkan Maura yang masih bersembunyi di kamar. Udara terasa kaku, hanya terdengar bunyi AC yang membisik di antara mereka. "Revan, Mama sudah tidak tahan lagi melihatmu seperti ini, selalu terlihat tergesa-gesa dan tidak tenang," ucap Cornelia pertama, matanya menatap tajam ke arah anak sulungnya itu. "Mama tahu hatimu masih tertuju pada Maura, tapi itu harus berakhir sekarang." Revan mengangkat kepala, dalam benaknya penuh dengan pertanyaan. "Ma, kenapa tiba-tiba bicara tentang ini?" "Karena Mama tahu kamu masih sering bertemu dengannya, bukan?" jawab Cornelia dengan curiga. "Padahal dia adalah istri Dimas, adikmu sendiri! Mama menyuruhmu untuk menjauhi Maura, dan membuka hatimu untuk Alyssa. Dia yang pantas untukmu, Revan. Dia setia, baik hati, dan sudah menunggu kamu sejak lama." Revan menghela napas panjan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status