หน้าหลัก / Romansa / Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar / Bab 7 : Senyum yang Menyimpan Racun

แชร์

Bab 7 : Senyum yang Menyimpan Racun

ผู้เขียน: Vanilla_Nilla
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-11-05 22:21:34

Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Maura dalam-dalam, seperti sedang menilai perasaan di balik wajah cantik yang kini diliputi kecewa.

“Kenapa emangnya?” ucap Revan pelan. “Bukankah itu justru bagus untukmu?”

Maura memicingkan mata. “Bagus? Kamu pikir apa yang bagus dari melihat wanita itu tinggal di rumah yang sama denganku? Aku sudah mencintai dia selama bertahun-tahun. Aku rela meninggalkan keluargaku demi dia, tapi apa balasannya, dia malah mengkhianatiku dan bercinta dengan adik sepupuku sendiri, bahkan sekarang … sekarang dia akan membawa selingkuhannya ke rumah. Dan kamu …”

Maura menatap lekat ke arah Revan dengan getir. Apa lelaki itu tidak tahu betapa sakitnya ia kini, dengan keputusannya yang mengizinkan Nabila tinggal bersama mereka?

“Kamu malah membiarkannya tinggal di sini,” lanjut Maura sambil menahan air matanya yang hampir tumpah.

Revan memandangi wanita rapuh yang ada di hadapannya, ia sama sekali tak berniat untuk menyakiti hati Maura. “Maura, bukan begitu maksudku. Maksudku adalah … kalau Nabila tinggal di sini, kamu bisa mengawasinya. Kamu bisa mencari bukti … perselingkuhan mereka.”

Maura tertegun. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Bukti?”

“Ya,” jawab Revan dengan tenang. “Dan kalau kamu sudah mengumpulkan buktinya … kamu tahu harus apa, kan?”

Suasana di meja makan mendadak sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar pelan di antara mereka. Maura menunduk, menatap sendok di tangannya, sementara pikirannya kacau oleh kata-kata Revan barusan.

Tiba-tiba kursi di hadapannya bergeser pelan. Revan berdiri, ia berjalan mengitari meja, berhenti tepat di samping Maura. Aroma maskulin tubuhnya samar-samar tercium, membuat Maura menahan napas tanpa sadar.

Lelaki tampan itu lalu menyodorkan sesuatu — sebuah gantungan kunci kecil berbentuk daun perak, benda yang langsung membuat Maura terpaku. “Kamu tidak lupa kalau punya aku, kan?”

Maura menoleh pelan, menatap benda itu dengan mata membulat. Itu bukan sekadar gantungan kunci, itu simbol kecil dari masa lalu mereka, masa di mana hubungan mereka masih sebatas sahabat dekat.

Suara Maura bergetar. “Kamu harus ingat … aku belum memberimu jawaban.”

Revan tersenyum smirk yang membuat udara seolah menegang di antara mereka.

“Aku tidak peduli, cepat atau lambat, kamu pasti akan datang padaku.”

Tanpa menunggu balasan, Revan berbalik, melangkah pergi meninggalkan meja makan. Suara langkah sepatunya perlahan menghilang di lorong, meninggalkan keheningan yang terasa begitu panjang.

Sementara Maura masih duduk di tempatnya, matanya menatap kosong pada punggung Revan yang semakin jauh. Jemarinya menggenggam sendok begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih.

Maura menyadari … bahwa ia tidak hanya sedang berhadapan dengan suaminya yang berkhianat, tapi juga dengan lelaki lain yang perlahan menariknya ke dalam jurang yang sama.

Dengan perasaan yang masih kesal, Maura mulai merapikan piring-piring kotor di meja makan. Tangannya bergerak cepat, namun hatinya berantakan. Ia masih bisa merasakan sisa ketegangan barusan—tatapan Revan, ucapannya yang menggoda, dan kini Dimas datang lagi padanya yang justru membuat dadanya makin panas.

“Sayang,” ucap Dimas sambil menatap Maura yang sibuk di dapur, “kamu sepertinya capek mengurus rumah sendirian. Bagaimana kalau kita cari pembantu saja?”

Sendok di tangan Maura nyaris terlepas. Ia menoleh cepat. “Tidak usah. Aku masih bisa mengurusnya sendiri.”

“Tapi beneran, kamu tidak apa-apa?” Dimas mencoba meyakinkan.

Maura mengangkat wajahnya, menatap suaminya dalam diam. “Apa kamu tidak percaya kalau aku bisa mengurus rumah ini sendiri?”

Dimas tersenyum samar, mencoba meredakan suasana. “Baiklah … aku percaya. Nanti Nabila juga tinggal di sini, biarkan dia membantu kamu untuk mengurus rumah.”

Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang Dimas sadari.

“Baik,” jawab Maura datar, berusaha menahan suaranya agar tidak pecah.

Begitu Dimas pergi, Maura langsung melempar lap ke atas meja dengan kesal. Napasnya memburu, dada sesak oleh amarah yang tak bisa dikeluarkan.

“Membantuku mengurus rumah, huh? Atau kamu perlahan ingin menggeser posisiku dengan wanita itu?”

***

Saat Maura tengah memotong tangkai bunga di ruang tamu, suara bel rumah tiba-tiba berbunyi pelan. Maura menegakkan tubuhnya yang sempat membungkuk, lalu menarik napas panjang. Ia sudah tahu siapa yang datang.

Tangannya sedikit bergetar saat membuka pintu. Dan benar saja, di depan sana berdiri Nabila, dengan senyum selebar mungkin dan wajah yang tampak polos.

“Kak Maura!” seru Nabila riang sebelum langsung memeluk erat tubuh Maura. “Ya ampun, Kak! Aku kangen banget sama Kakak!”

Maura membalas pelukan itu perlahan. Senyum kecil tersungging di bibirnya, tapi matanya kosong. “Kakak juga kangen, Bil,” ujarnya pelan, menepuk bahu Nabila dengan lembut. “Masuklah, sudah kakak siapkan kamar untuk kamu.”

Nabila melepas pelukannya, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. “Serius, Kak? Aduh, makasih banget. Aku takut malah nyusahin Kak Maura, soalnya kosanku masih belum selesai direnovasi.”

Maura hanya mengangguk, menahan napas dalam-dalam agar suaranya tidak bergetar. “Tidak apa-apa. Rumah ini luas, jadi kamu bisa tinggal di sini.”

Nabila tersenyum, lalu masuk. Sementara Maura menutup pintu perlahan di belakangnya, mencoba menutup pula rasa sesak yang kembali naik ke dada.

Ia menatap punggung gadis muda itu yang kini berjalan ke ruang tamu, tertawa kecil sambil melihat-lihat sekeliling. Dari luar, Nabila terlihat seperti gadis manis yang polos. Tapi di balik senyum itu, Maura tahu, ada rahasia kotor yang sedang mereka bagi—rahasia yang Dimas pikir tak akan pernah ia ketahui.

Tangannya mengepal di balik apron, jemari gemetar menahan emosi. ‘Senyumlah, Maura,’ gumamnya dalam hati. ‘Kamu harus tetap terlihat baik di depan mereka.’

Tapi seberapa lama ia bisa berpura-pura, sementara wanita itu kini tinggal di bawah atap yang sama dengannya?

“Taruh saja barang-barangmu di kamar, ya. Kakak buatkan teh dulu untukmu,” ucap Maura datar, namun tetap terdengar ramah.

Nabila tersenyum cerah, sambil mengangguk cepat. “Baik, Kak.”

Gadis itu lalu bergegas masuk ke kamar dengan membawa koper dan tas ranselnya, sementara Maura melangkah ke dapur.

Beberapa menit kemudian setelah membuat teh, Maura mengetuk pintu kamar Nabila.

Tok! Tok! Tok!

“Iya masuk, Kak,” sahut Nabila.

Maura membuka pintu, menatap kamar yang kini sudah rapi. “Kamu cepat sekali beres-beresnya.”

“Ah, itu cuma sedikit, Kak. Aku nggak mau nyusahin Kak Maura. Terima kasih, ya, sudah ngizinin aku tinggal di sini.”

Maura tersenyum samar sambil meletakkan cangkir di meja kecil dekat ranjang. “Ini tehnya. Minumlah, biar badanmu hangat.”

“Terima kasih, Kak.”

Senyum Nabila tampak tulus, tapi Maura tahu senyum itu tidak polos seperti dulu.

Pandangan Maura terhenti pada sebuah kotak kecil berwarna abu di atas laci. Benda itu tampak mencolok di antara pernak-pernik lain yang baru saja Nabila keluarkan dari kopernya. Ada sesuatu di dalam diri Maura yang bergetar, rasa ingin tahu bercampur firasat aneh yang tak bisa ia jelaskan.

Perlahan, ia mendekat. Maura membuka kotak itu pelan-pelan, dan napasnya langsung tercekat. Di dalamnya terbaring sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati kecil bertatahkan berlian. Persis seperti yang ia miliki. Sama persis, dari bentuk rantainya hingga ukiran kecil di sisi liontin.

“Ini … kalung milikmu?”

“Iya, Kak,” jawab Nabila tanpa beban.

Maura menelan ludah, matanya masih terpaku pada kalung itu. “Bagus sekali.”

“Iya,” Nabila tersenyum sambil menunduk malu. “Itu … pacarku yang ngasih.”

Ucapan itu membuat seluruh tubuh Maura seakan membeku. “Pacar?” ulangnya pelan. “Sejak kapan kamu punya pacar?”

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 84 : Apa Kamu Juga Mencintaiku?

    Setelah keluar dari kamar Cornelia, Maura langsung menuju tangga untuk mencari Revan. Langkahnya masih terasa berat, hatinya dipenuhi dengan janji yang baru saja dia berikan, janji yang membuatnya terasa terluka dari dalam. Hari ini, Maura mengenakan rok panjang yang sebetis, warna krem muda yang terasa lembut saat bergeser di lantai. Di atasnya, dia memakai baju atasan kemeja lengan pendek dengan motif bunga kecil warna ungu muda, yang dibuka sedikit di leher dan diselimuti jaket cardigan tebal warna abu-abu muda. Semua pakaiannya terasa nyaman tapi tetap rapi, Maura selalu memperhatikan penampilannya meskipun hatinya sedang kacau. Ia mulai menaiki tangga, satu tangannya menopang erat pada pagar tangga yang terbuat dari kayu. Kakinya mengenakan high heels kulit warna coklat tua, yang setiap kali menapak ke anak tangga mengeluarkan bunyi "tuk ... tuk ... tuk" yang terasa keras di tengah keheningan rumah. Bunyi itu seolah menambah beban di hatinya, setiap langkah semakin memperkuat

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 83 : Janji yang Terluka

    "Maura ...?" gumam Cornelia, matanya masih terbuka lebar karena terkejut. Dia tidak menyangka wanita itu akan tiba di saat seperti ini, saat dia sedang memohon Revan untuk menikahi Alyssa. Revan juga masih terdiam, tubuhnya kaku di samping ranjang. Dia melihat Maura yang berdiri di ambang pintu, wajahnya memerah dan mata yang berkaca-kaca. Apakah Maura sudah mendengar semuanya? Pikiran itu membuat hatinya berdebar kencang. Maura perlahan melangkah masuk ke dalam kamar, tangannya sedikit gemetar, tapi ia mencoba untuk tetap tenang. "Ma, barusan Rena bilang Mama sedang sakit, jadi aku langsung ke sini," ucapnya dengan suara lemah, mencoba menyembunyikan ketakutan dan kesedihan yang ada di hati. Dia berjalan mendekat ke ranjang, sambil memperhatikan ibu mertuanya dengan penuh khawatir. "Mama sakit apa? Apa sudah minum obat?" Cornelia hanya bisa mengangguk perlahan, masih belum percaya bahwa Maura ada di sana. Tubuhnya terasa lebih lemah, pikirannya bingung—bagaimana dia bisa melanjut

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 82 : Harapan yang Menyakitkan

    Setelah pertemuannya dengan Usman beberapa hari lalu, tubuh Cornelia terasa sangat lelah, ia terus saja memikirkan perjodohan Revan dan Alyssa, ia takut bahwa semua rencananya akan hancur dan Revan akan menolak terus. Cornelia melangkah perlahan menuju ruang tamu, tapi kakinya terasa goyah. "Rena!" panggilnya dengan suara lemah ke arah dapur. Rena yang sedang membersihkan peralatan makan di dapur mendengar panggilan dari Cornelia. Ia pun langsung berlari keluar, wajahnya terlihat khawatir ketika melihat Cornelia. "Iya, Nyonya?" Cornelia duduk pelan di sofa, dadanya terasa sesak. "Tolong buatkan aku teh hangat, ya. Aku sedang tidak enak badan." "Baik, Nyonya," jawab Rena dengan cepat. Tapi sebelum dia kembali ke dapur, matanya melihat tubuh Cornelia yang limbung, wajah yang pucat dan kering. Dia mendekat lagi, tangannya menopang bahu Cornelia. "Nyonya, Anda tidak apa-apa? Tubuh Anda terlihat goyah. Biar saya bantu Anda ke kamar, biar lebih nyaman berbaring." Cornelia hanya bisa m

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 81 : Perjodohan dan Surat Cerai

    Setelah meninggalkan Revan di apartemen, Cornelia langsung menuju Cafe Seruni yang sudah dijanjikannya dengan Usman. Jalanan terasa macet, membuat hatinya semakin kesal dan cemas. Dia terus memikirkan pertarungan tadi dengan putranya, dan kekhawatiran bahwa Revan benar-benar tidak akan menerima perjodohan dengan Alyssa. Sesampainya di cafe, Cornelia langsung mencari Usman. Dia melihat pria itu sedang duduk di ujung cafe yang lebih sunyi, menghadap jendela sambil memegang cangkir kopi. Cahaya dari sorot lampu masih sedikit menyinari wajahnya, membuatnya terlihat tenang meskipun sudah menunggu lama. Cornelia mendekat dengan langkah tergesa-gesa. Usman melihatnya, lalu tersenyum. "Cornelia, kamu datang juga," ucapnya sambil membuka kursi di hadapannya. "Maaf, Usman, aku terlambat," kata Cornelia dengan suara terengah-engah, langsung duduk seperti yang disarankan. Napasnya masih tergesa-gesa karena jalan macet dan kekacauan hatinya. "Tidak apa-apa," jawab Usman dengan senyum. "Sudah

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 80 : Harapan Mama vs. Hati Sendiri

    Di ruang tamu, Revan dan Cornelia duduk berhadapan. Cornelia menyeduh teh dengan tangan yang tegas, sedangkan Revan duduk kaku di sofa, sementara hatinya terus saja memikirkan Maura yang masih bersembunyi di kamar. Udara terasa kaku, hanya terdengar bunyi AC yang membisik di antara mereka. "Revan, Mama sudah tidak tahan lagi melihatmu seperti ini, selalu terlihat tergesa-gesa dan tidak tenang," ucap Cornelia pertama, matanya menatap tajam ke arah anak sulungnya itu. "Mama tahu hatimu masih tertuju pada Maura, tapi itu harus berakhir sekarang." Revan mengangkat kepala, dalam benaknya penuh dengan pertanyaan. "Ma, kenapa tiba-tiba bicara tentang ini?" "Karena Mama tahu kamu masih sering bertemu dengannya, bukan?" jawab Cornelia dengan curiga. "Padahal dia adalah istri Dimas, adikmu sendiri! Mama menyuruhmu untuk menjauhi Maura, dan membuka hatimu untuk Alyssa. Dia yang pantas untukmu, Revan. Dia setia, baik hati, dan sudah menunggu kamu sejak lama." Revan menghela napas panjan

  • Dalam Dekap Hangat Kakak Ipar   Bab 79 : Kecurigaan Cornelia

    Setelah itu, Revan berbaring di samping Maura, dan masih memeluk wanita itu dengan erat. Keduanya terdiam sebentar, napas mereka juga masih terengah-engah, begitu juga dengan tubuh mereka yang masih terguncang. Cahaya senja sudah benar-benar hilang, dan kamar itu hanya diterangi oleh cahaya lampu meja yang redup. Tiba-tiba, bunyi telepon berdering keras di ruang tamu, membuat keduanya terkejut. Maura mendadak kaku, kepalanya terangkat dari dada Revan. "Siapa, ya?" bisiknya dengan suara gemetar. Revan mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Jangan khawatir, biar aku lihat." Ia bangkit perlahan, mengambil selimut untuk menutupi tubuh Maura, lalu keluar kamar sambil memakai celana yang tergeletak di lantai. Maura duduk di ranjang, hatinya berdebar kencang. Dia tahu, telepon itu bisa jadi dari Cornelia, atau bahkan dari Dimas, yang mungkin sudah menyadari bahwa surat yang dia tandatangani itu adalah surat cerai. Atau apakah itu Alyssa, yang sedang mencari Revan? Beberapa saat kemudian, Rev

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status