"Mas, kau kembali?" tanya Alissa saat samar-samar matanya menangkap sosok pria dengan langkah terhuyung mendekat ke arahnya. Bau alkohol menguar dan tercium begitu tajam.
Dalam gelapnya kamar mereka, Alissa merasa bahwa suaminya habis minum-minum dan mabuk."Kau mabuk lagi!" Alissa mendesah kasar dan turun dari ranjang. Saat ia menyentuh tubuh pria itu, pria tersebut langsung menggendong tubuh Alissa dan membawanya ke atas ranjang. "Mas–" Alissa ingin memberontak, karena melihat keadaan sang suami yang tengah mabuk, tentu saja Alissa tidak ingin melakukan hal itu ketika suaminya tidak sadar. Suaminya bahkan tidak berbicara sepatah kata pun, ia langsung membungkam mulut Alissa dengan bibirnya hingga Alissa tidak dapat bicara lagi. Alissa mencoba mendorong sedikit tubuh suaminya karena ia kehabisan pasokan oksigen. Namun, sepertinya sang suami sudah tidak sabar. Dengan gerakan cepat kembali meraih bibir Alissa. Alissa yang sudah terbuai ikut saja permainannya tanpa penolakan lagi. Alissa sendiri, yang memang sudah lama tidak disentuh oleh suaminya, Virgo, menikmati begitu saja sentuhan hangat yang baginya memberikan kepuasan tak terkira. Malam ini dia benar-benar puas dengan permainan Virgo yang sebelumnya tidak pernah segagah ini. Alissa menghembuskan napas lega dengan senyum yang terukir di bibir kala permainan mereka sudah mencapai nirwana. Kemudian mereka terlelap dalam lelah dengan posisi saling berpelukan. Beberapa saat kemudian Alissa terpaksa melepaskan tangan pria itu dengan pelan. Wanita cantik dengan lesung pipit di kedua pipi itu menatap langit-langit kamar yang hanya nampak gulita dimana-mana, sedangkan pria di sampingnya sudah tertidur pulas dilihat dari tak ada gerakan sama sekali. "Terima kasih Mas untuk malam ini. Semoga kali ini, aku bisa mengandung anakmu agar Ibu tidak lagi mengatakan diriku mandul." Klik.Bersamaan dengan itu listrik menyala dan kamar Kembali dalam keadaan terang. "K-kau?!" Alissa menatap wajah pria yang sudah terlelap di atas ranjang. Pria itu, pria yang baru saja tidur dengannya bukanlah Virgo melainkan orang lain. Seluruh tubuh Alissa bahkan ikut gemetar dan otot-otot terasa lemas. Tanpa dia sadari dirinya telah mengkhianati pernikahannya dengan Virgo.Sontak pertanyaan Alissa membangunkan pria yang dari tadi tidur dengan tenang. Nicholas Ferdian Barata, seorang pria tampan dan mapan, CEO baru dari perusahan Alexa grup sama terkejut dan langsung terbangun, ia menatap wajah Alissa yang sedang diliputi ketakutan. Sesaat kemudian ekspresinya tak terbaca. "Apa yang kau laukan di sini?!” Alissa membekap mulut saat menyadari pria tersebut adalah Nicholas, kakak kelas yang pernah ia taksir dulu di kampus, dan juga kakak sepupu sang suami. Pria itu segera turun dari ranjang dan mengambil pakaian yang berserakan di lantai dan mengenakannya. Ia merogoh dompet lalu menaruh segepok uang di atas ranjang. "Aku rasa ini cukup.” Setelah mengatakan kalimat itu Nicholas pergi begitu saja tanpa menghiraukan Alissa yang sudah hampir menangis karena ucapannya yang menghujam sampai ke ulu hati. Alissa menatap Nicholas tanpa kata. Amarah yang hampir meledak di dada ia coba tahan. Setelah punggung pria itu tak terlihat lagi tangisnya pecah seketika. "Apakah ia tidak mengenaliku?” Alissa mengepalkan tangan. Setelah meniduri dirinya Nicholas pergi begitu saja tanpa menyempatkan diri untuk meminta maaf, bahkan meninggalkan uang seperti memperlakukan wanita bayaran tanpa ucapan terima kasih. "Dan ia pikir aku pelacur! Oh tidak, lebih hina dari pelacur karena aku bahkan tak ada harganya di mata pria itu." Ia kembali menangis, terisak dalam penyesalan dan sakit hati. Setelah semalaman menangis akhirnya ia terlelap dalam posisi meringkuk di atas ranjang. "Ah silau!" Alissa mengucek mata kala tidurnya terganggu dengan sinar yang menyorot mata. Saat ia membuka mata, cahaya mentari telah menembus melalui sela-sela kaca yang tidak terbungkus oleh gorden. Rupanya Alissa semalam lupa menarik tirai jendela hingga silau menerpa retina saat ia membuka netranya. Ia melirik uang yang ditinggalkan Nicholas, meraih, meremas kasar, dan melemparkan begitu saja hingga berserakan di lantai. Sesaat kemudian dia memungutnya kembali dan berniat akan melempar uang itu ke wajah Nicholas apabila berjumpa lagi. Segera ia memasukkan ke dalam tas kerjanya. "Astaga sudah jam 7!" Alissa kelabakan, ia melempar tas kemudian bergegas masuk ke kamar mandi. Gara-gara semalam menangis terus membuat dirinya bangun terlambat karena dini hari baru terlelap. "Mati aku!" rutuknya saat melihat jam sudah pukul setengah 8 pagi. Ia segera meraih tas kembali kemudian mengendarai motor matic menuju kantor tempat ia bekerja dengan kecepatan tinggi. "Kau telat lagi! Langsung menghadap ke ruangan HRD!" seru atasan Alissa, Alissa hanya mengangguk lemah lalu berjalan menuju ruangan HRD. Dari jarak yang tidak terlalu jauh Nicholas melihat Alissa dan pria itu mengernyitkan dahinya. "Suruh wanita tadi langsung menghadapku!" perintahnya lalu berjalan santai menuju pintu lift."Bu Alissa disuruh menghadap ke ruangan presdir langsung!" Mendadak urat syaraf Alissa kembali tegang.Kalau sudah berurusan dengan pemimpin perusahaan dia yakin dirinya pasti akan dipecat. Dengan langkah gontai ia meninggalkan ruangan HRD dan menuju ruangan presiden direktur. "Masuk!" Setelah mengetuk pintu terdengar suara pria dari dalam. Dengan tangan gemetar Alissa membuka pintu dan berjalan mendekat dengan posisi menunduk. Ia melirik, atasannya duduk di kursi kebesaran dengan posisi membelakangi dan memutar kursi. "Duduklah.” Titah Nicholas.Deg.Alissa mematung, ia takut apabila Nicholas memanggilnya karena kejadian tadi malam. Meski ia dilanda perasaan cemas, tetapi Alissa tetap menggeser kursi sebelum akhirnya duduk dengan pelan. "Kenapa bisa terlambat?" Pria itu berbalik dan tentu saja langsung membuat Alissa syok. Pria yang duduk di hadapannya kini adalah pria yang telah menghangatkan ranjangnya semalam di tengah gempuran cuaca yang begitu dingin. Ia memandang Nicholas dengan aura penuh kebencian. Kemarahannya membuncah dan dia tidak bisa mengontrol emosi saat ini. “Apakah setelah melakukan itu, kau kembali tidur?” Nicholas sama sekali tidak melihat raut kebencian dari wajah Alissa, sehingga ia dengan bebasnya berbicara seperti itu kepadanya. Tangan Alissa yang gemetar menyentuh tas dan mengeluarkan uang yang Nicholas berikan semalam. Wanita dengan lentik bulu mata yang indah itu langsung melempar segepok uang ke wajah Nicholas, dan tentu saja pria itu terkejut. "Saya tidak butuh uang Anda!" Nicholas bangkit dari duduknya dan menatap Alissa dengan tatapan datar sambil menggelengkan kepala. Sungguh Alissa sangat kurang ajar. "Anda pikir saya wanita simpanan hingga seenaknya memperlakukanku seperti semalam?" Alissa mengepalkan tangan, emosinya belum mereda. "Kalau begitu, jadilah simpananku." Nicholas masih bersikap tenang dengan tangan dilipat di dada. "Apakah Anda tidak mengenali saya, Tuan Nicholas?” Alissa mulai memprovokasi Nicholas dengan pertanyaan itu."Terima kasih," ucap Nicholas seraya menepuk pundak Aska. "Sama-sama. " Aska tersenyum tulus meskipun hatinya menyimpan kepedihan. "Jaga dia baik-baik, jangan kecewakan lagi," ujar Aska pada Nicholas. "Dan kamu Alissa, kembalilah kepada kebahagiaanmu. Aku senang jika melihatmu bahagia," ucapnya kemudian. Alissa hanya mengangguk lemah tanpa berani melihat wajah Aska. "Sudah sana kasihan pak penghulunya sudah menunggu." Nicholas menyentuh tangan Alissa lalu menggenggamnya. Jantung Alissa berdegup kencang. Nicholas membawa Alissa duduk di depan penghulu. "Aska apa-apaan ini?" Melati tidak terima dan hendak melangkah ke arah Nicholas dengan wajah murka, namun Tuan Barata langsung menggenggam tangan istrinya dan menahan. "Sudah Ma, kasihan putra kita. Mama tidak mau kalau sampai dia depresi, kan? Cobalah terima pilihannya. Hanya Niko yang tahu mana yang baik untuk dirinya. Mama mau seumur hidup anak kita tidak menikah?" Akhirnya Melati mengurungkan diri. "Terlebih apa T
"Tugasmu menjaga Alissa sudah selesai, kembalikan dia padaku!' Nada tegas Nicholas membuat mata Alissa membelalak. Tangannya reflek menutup mulut.Aska memandang Nicholas dengan senyuman sinis. "Sudah sadar Tuan Niko? Kemana saja Anda selama ini? Bukankah aku telah menyerahkannya tapi Anda sendiri yang menolak?" Aska tertawa hambar. "Sekarang sudah terlambat!' Nada suara Aska tak kalah tegas.Nicholas memandang Aska dengan tatapan menusuk. Aska balas menatap tajam seolah tidak ada ketakutan dalam hatinya. Alissa melirik Aska lalu Nicholas kemudian dia menunduk. Kedua tangannya saling terpaut dan meremas satu sama lain."Jadi kau tidak mau patuh?""Aku bukan lagi bawahanmu!"Nicholas mendesah kasar. Dia berjalan cepat ke arah kedua mempelai lalu menarik cepat tangan Alissa. Alissa yang tidak fokus langsung terseret menjauh."Hentikan Niko, kamu jadi perhatian semua orang!" Melati menegur sembari menghampiri putranya. Namun Nicholas sama sekali tidak menghiraukan."Tuan lepasin saya!"
"Aku tidak sakit Pa, Ma." Nicholas selalu menolak tatkala kedua orang tuanya memintanya agar mau diperiksa oleh dokter. "Tapi akhir-akhir ini kamu-" "Ada yang salah denganku?" Nicholas menggeleng. "Tidak ada yang salah dengan diriku Ma, Pa, tapi apa yang ada di sekitarku tampaknya salah." "Apa maksudmu Nik?" Nicholas menggelengkan kepalanya sekali lagi. "Apa Papa dan Mama tidak merahasiakan sesuatu dariku?" Nicholas menatap wajah kedua orang tuanya secara bergantian. Melati terkejut. "Aku tidak mengerti Maksudmu." Entah memang tidak paham atau hanya pura-pura tidak mengerti Melati menatap ke arah lain. Dari dalam jendela suasana hari terlihat cerah. Namun, di hati ketiga orang di dalam rumah tampak suram. "Apa benar Laura itu istriku? Siapa sebenarnya Alissa?" Mata Nicholas memerah. Dia merasa ditipu oleh orang tuanya sendiri. "Ya," jawab Melati datar, ekspresinya pun hambar. "Cukup! Kepalsuan ini jangan diteruskan Ma!" sentak Nicholas. Melati meremas kedua tanganny
"Tuan Nicholas tadi ada yang memberimu surat undangan, saya sudah menaruhnya di atas meja Tuan." Pagi-pagi sekali sekretaris memberitahu Nicholas. Pria itu menatap sekretarisnya tanpa ekspresi lalu mengangguk cepat. "Permisi!" Sang sekretaris menutup pintu dan pergi. Nicholas melihat meja, namun mengabaikan surat undangan yang ditaruh sekretarisnya. Pertama kali yang dia lakukan adalah menyesap kopi panas lalu menghela napas panjang. Merentangkan kedua tangan kemudian larut dalam tumpukan kertas yang membungkus seluruh konsentrasinya. Ketika sampai jam makan siang pria itu masih enggan beranjak dari kursinya. Sekretarisnya mengingatkan untuk makan, tetapi pria itu hanya meminta sekretarisnya untuk membawakan roti. Kesibukannya berlangsung hingga sore. Pada waktu pulang tangannya tidak sengaja menyenggol meja dan kertas undangan jatuh ke lantai. Pada saat itu Nicholas baru menyadari dia telah mengabaikan kertas itu. Nicholas berjongkok dan meraihnya. Pertama kali melihat nama p
Aska termenung ketika menerima telepon dari Laura. Wanita itu menyatakan menyerah setelah satu bulan mencoba membantu agar Nicholas mengingat masa lalu bersama Alissa dengan panduan Aska. "Kak Aska! Kak Aska baik-baik saja, kan?" "Oh ya, maaf aku lagi tidak enak badan," ucap Aska berbohong. Laura meminta Aska untuk beristirahat dan jangan terlalu memforsir memikirkan kisah asmara orang lain. "Baiklah sekarang aku harus mengambil keputusan, aku akan menikahi Alissa." Setelah mengatakan kalimat ini Aska langsung mengakhiri panggilan telepon. Laura tercengang, sesaat kemudian bibirnya cemberut. Sungguh ia tidak setuju dengan keputusan Aska. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Solusinya hanya satu yaitu membuat Nicholas kembali pada Alissa, tetapi ia tidak bisa mewujudkan itu. "Apa pria itu tidak tahu aku masih naksir padanya?" lirih Laura seraya menghela napas kasar. "Tuhan! Kenapa Engkau pertemukan kami lagi jika Kak Aska bukan jodohku?" Laura mengacak rambut. Haruskah dia be
Setelah diusir Nicholas dari ruang kerja, Aska keluar dari perusahaan sambil memijit kencing. Dia berpikir seharusnya Nicholas berterima kasih padanya bukan malah marah dan mengusir. Kalau dia tidak memberitahu ini lalu menikahi Alissa, ketika suatu saat Nicholas mengingat semua, apa yang akan terjadi? Aska tidak dapat berpikir dengan jernih hingga ia memutuskan untuk berjalan-jalan di luar. Dia menunggu Nicholas menelepon untuk mengajak pergi ke pertemuan dengan salah satu kliennya hari ini. Sayangnya hingga hari menjelang siang tidak ada panggilan satupun yang masuk ke ponsel Aska. Pria itu hanya bisa menghela napas berat kemudian pulang ke rumah dengan menelan kecewa. "Kak malam ini jadi, kan?" Tepat jam 6 malam Laura menelponnya. "Jadi." Sebenarnya Aska sudah tidak ingin bertemu dengan Laura setelah Nicholas membentak dirinya. Namun, dia juga tidak ingin membuat Laura kecewa kalau tidak menepati janjinya. Dia melirik jam di tangan kemudian menyetir mobil menuju alamat yang La