Para pembantu lainnya menatap terkejut sekaligus bingung saat melihat Keira berjalan di belakang Jake yang menunggangi kuda. Tidak seperti biasanya putra kedua keluarga Grant ingin berurusan dengan pembantu.
Jake begitu dingin dan jarang berbicara. Bahkan dia hanya memerintah dengan tatapan matanya. Dia seharusnya tidak perlu berusah payah mengurusi pembantu baru. Tetapi tidak ada yang bisa menebak pikiran para anggota keluarga Grant. "Ayo lanjut bekerja," sahut salah satunya memecah keheningan. Mereka kemudian melanjutkan cucian yang bertumpuk. Sedangkan Keira membawa kakinya melangkah ringan, pandangannya tertuju kepada punggung kokoh tersebut. Bagaimana nasib dirinya? Jake tidak muncul tadi malam hingga Keira tidak bisa menyimpulkan seperti apa pria ini. Apakah dia lebih kejam dan sadis dari kedua saudaranya? Terlalu banyak berpikir sampai Keira tidak sadar bahwa mereka telah sampai pada bagian barat tepatnya di kandang kuda. Jake kemudian turun dari kudanya dan menoleh. Keira otomatis menghentikan langkah, balas menatap. Mereka saling terdiam. Tatapan dingin itu seolah membekukan sekitar, hanya terdengar suara gemerisik dari kandang kuda dan tiupan angin yang membuat rambutnya menari di udara. "Cocok," ujarnya sembari memandang Keira dari atas hingga ke bawah sebanyak dua kali. "Apa?" Keira jelas tahu bahwa itu adalah kata menghina. Dia pasti melihatnya begitu pas mengenakan pakaian pembantu. Jake menatapnya datar. Dia tidak mempunyai kata lagi untuk dikatakan. Matanya terus tertuju kepadanya tanpa berkedip. Tatapan dalam yang menusuk hingga ke jiwa. "Kalian pasti sudah puas menghancurkan kehidupan seseorang," Keira melihat diamnya sebagai kesempatan untuk mengutarakan unek-uneknya. Mengira bahwa dia mungkin lebih bisa mendengarkannya dibanding dua lainnya. "Kalian tahu betapa tidak adilnya jika kebebasan direnggut tapi kalian tidak berpikir jauh ke sana, dan menghancurkan kehidupanku," dia mengambil langkah maju, tangannya terulur mengenggam kerah bajunya hingga membuat tubuh itu merunduk sedikit karena perbedaan tinggi tubuh mereka. Napasnya memburu, amarahnya bangkit lagi memenuhi ubun-ubun. Kehidupannya berubah menjadi seperti ini karena mereka! Keluarga Grant yang merupakan wujud nyata monster iblis. Matanya menghunus tajam seolah ingin membunuhnya. "Jadi lepaskan aku sekarang atau aku akan—" "Kau akan apa?" Sentak Jake memotong ucapannya. Tangannya bergerak memegang dagunya agak kuat. Keira baru ingin mengatakan sesuatu tetapi Jake meremas dagunya yang membuat katanya kembali tertelan di tenggorokan. Sialan pria ini! Tangan Keira lepas dari pakaian Jake hendak melepaskan tangan dia di dagunya, namun Jake membaca pergerakan dan menangkap kedua tangannya. "Terima saja takdirmu," bisik Jake tepat di telinganya. Suaranya menyeruak berat, napasnya menggelitik telinganya. Dia memberontak kecil yang semakin membut pria itu meremas dagunya. Sedikit perih, dia meringis samar. Ternyata mereka semua sama saja. Tidak ada yang lebih baik. Keira seharusnya sadar dari awal bahwa sekali berdarah kejam maka semua pasti kejam. Melihatnya tidak akan melakukan perlawanan lagi, Jake melepaskan cengkraman pada dagunya. Tetapi kedua tangannya masih berada dalam genggamannya. "Aku akan menghukummu." Mata Keira melotot. Belum sempat mengatakan apa pun, Jake sudah dulu menyeretnya dan memaksanya naik ke atas kuda. Setelahnya, Jake ikut naik, memeluknya dari belakang dan menyuruh kudanya jalan dengan menendang lembut. Seolah memahami perintah kuda tersebut berjalan maju. "Turunkan aku." Meski meminta seribu kali pun, Jake tidak akan menurutinya. Dia malah bersikap santai, membawa tangan ke sisi pinggang, meremas pelan. "Hentikan!" Keira bergerak tidak nyaman yang hampir membuatnya kehilangan keseimbangan. Tetapi pegangan Jake erat padanya, dan membuat Keira otomatis memegang tali kekang mengendalikan kuda yang bergerak agak tak beraturan. Napasnya memburu. Pria gila ini! Keira mengenggam tali kekang kuda begitu erat, berusaha fokus pada hamparan di depan. Takut menabrak pagar atau hal lainnya. Akan tetapi Jake ingin bermain-main sementara. Kakinya menendang lembut kuda dua kali sebagai perintah untuk berlari. Menerima kode tersebut, kudanya seketika berlari yang membuat Keira panik. "Jangan main-main!" Keira berteriak kesal berusaha menghentikan laju kuda namun tidak berhasil. Sepertinya kuda ini hanya jinak dan menurut kepada pemiliknya. Semua menjadi semakin buruk saat tangan Jake meremas pinggangnya dan bibirnya menyentuh lekuk lehernya. Mengirim gelombang listrik ke tubuhnya. Rambutnya yang tertiup angin bahkan tidak menghalangi aksi pria tersebut. Leher Keira yang halus terpampang lebih jelas lagi saat satu tangan Jake berpindah meraup rambutnya agar tidak berterbangan lagi. Bibirnya leluasa bergerak di kulit halus tersebut, memberinya ciuman pada beberapa bagian yang menggoda. Napasnya tersenggal, Keira bergerak gelisah dan tidak nyaman. "Kubilang hentikan." Tetapi Jake mana mau mendengarnya. Lagi pula dia menikmati ini. Rasanya begitu memuaskan dapat menekan Keira ke tombol paling bawah dan membuatnya kewalahan hanya karena ciuman kecil di lehernya. "Hentikan! Hentikan!" Suara Keira meninggi saat kuda hampir menabrak pagar. Namun sebelum semua terjadi, kudanya lebih dulu melompati pagar setinggi dada orang dewasa. Keira menahan napas sejenak, lalu menghembuskan lega. Hampir saja mereka terjatuh. "Turunkan aku!" "Baiklah," Jake melakukan opsi terakhir dan memiringkan kepala dan membawa bibirnya ke titik sensitif di belakang telinganya, mengigit lembut. Keira tersentak, mengigit bibirnya untuk menahan suaranya. Saat fokusnya terbawa olehnya, Jake tiba-tiba menarik diri dan melepas pegangan kepadanya. Tubuhnya ditarik keluar dari kuda, pegangan pada tali kekang terlepas, dan Jake dengan mudah menjatuhkannya ke salah satu tumpukan jerami. Tubuhnya terjerembap menghantam jerami yang seketika berterbangan, dan berserakan di udara. Keira terbatuk kecil, buru-buru bangun, pakaian serta rambutnya dipenuhi jerami. Dia segera membersihkan meski di rambutnya masih terdapat beberapa jerami yang tersangkut. Dia kemudian memandang punggung Jake yang perlahan menjauh. Dasar pria sialan! Keira terpaksa menahan perasaan kesal dan beranjak pergi, kembali ke tempat pencucian. Ketika tiba ternyata cucian sudah selesai. Mereka yang baru saja bersiap ingin menjemur pakaian menoleh serentak. Lily berlari menghampirinya dengan keranjang besar di pelukannya. "Kau baik-baik saja??" Keira hanya mengangguk. "Ada jerami di rambutmu." "Tuan Jake melakukan apa?" "Apakah dia menyakitimu?" Setelah Lily, mereka kemudian melempar pertanyaan masing-masing yang tidak Keira jawab. Hanya menatap mereka satu per satu dengan wajah tanpa ekspresi. Berpikir bahwa Keira mengalami hal yang sulit selama bersama Jake beberapa waktu lalu, mereka lalu memilih diam dan berjalan ke arah jemuran. Untungnya Nia tidak ada di sini, jadinya Keira bisa diam menonton lebih dahulu, mengamati, lalu mulai membantu mereka menjemur. Dia menjepit pakaian-pakaian agar tidak terjatuh oleh angin yang cukup keras hari ini. Sambil menjemur, sambil Keira memikirkan kehidupan barunya. Dia bukan lagi pewaris Hale yang dihormati melainkan pembantu musuh ayahnya. "Jadi siapa namamu? Kau belum mengenalkan namamu," Lily yang berdiri di dekatnya bertanya. Ah iya, sejak tadi Keira belum memperkenalkan namanya. Dia menjepit pakaian lainnya yang baru saja digantung Lily. "Keira." Lily tersenyum. "Oh, salam kenal ya Keira. Kalau ada yang kau tidak tahu silakan tanya padaku." Dia meliriknya, memperhatikan ekspresi riang di wajah wanita tersebut. Apakah dia senang berkerja di sini? "Kau bilang tadi berasal dari negara selatan. Bagaimana bisa kau ke sini?" "Oh itu," Lily terdiam sejenak, merenung, "aku dibawa ke tempat ini oleh Tuan Samuel." Oh pria gila satunya lagi. "Kenapa bisa?" Lily memandangnya terkejut, mengerjap kecil. "Eh?? Bukannya kau dibawa juga oleh Tuan Samuel?" "Maksudmu?" "Semua pembantu muda yang bekerja di sini karena keinginan Tuan Samuel. Dia sering berpergian ke luar negeri dan mencari wanita cantik yang bisa dia tiduri. Setelah bosan dia akan menyimpannya sebagai pembantu." Cerita yang menjijikkan. Keira menghembuskan napas. "Jadi kau termasuk?" "Semuanya termasuk. Tuan Samuel penggila wanita dan tidak pernah puas dengan satu wanita. Kenapa kau kaget begitu? Apakah bukan dia yang membawamu?" Bagaimana ya, Keira menjawabnya? Apakah jujur saja jika dia pewaris tunggal keluarga Hale. Namun, dia segera mengenyahkan pikiran tersebut. Itu bukan ide yang bagus. Saat dia terdiam, Lily berbicara lagi, kali ini dia memelankan suaranya. "Atau kau dibawa oleh Tuan Paul?" Huh siapa lagi itu? Keira hanya memandang Lily. "Tuan Paul adalah paman yang mengasuh ketiganya saat Tuan Harnes dibunuh oleh seseorang," bisik Lily. Mata Keira membelalak kecil mendengarnya. Apakah dia bisa mendapat sedikit informasi dari wanita ini? "Tapi melihat kebingunganmu, sepertinya bukan Tuan Paul," Lily menghela napas panjang, "syukurlah, kalau bisa jangan sampai bertemu atau berurusan dengannya." "Kenapa?" "Kalau kau sudah bertemu dengan ketiga bersaudara Grant dan melihat sifatnya, Tuan Paul lebih dari itu. Untungnya dia jarang di mansion, jadi hanya perlu menjaga diri saja agar tidak bertemu dengannya." Keira mendengarkan semuanya secara rinci, mengangguk pelan. Lily memberinya anggukan kecil. "Apalagi kau begitu cantik Keira. Bahkan aku takut kau akan menjadi mangsa Tuan Paul hanya dengan sekali melihatmu. Pokoknya kau harus menjaga diri." "Apakah dia pernah memangsa pembantu?" "Tidak," Lily menggeleng, memeras air dari pakaian, kemudian menggantungnya, "tapi entahlah, aku berpikir kau terlalu mewah untuk menjadi pembantu." Keira tidak menanggapi ucapannya dan menjepit pakaian. Mereka lalu melakukannya hingga seluruh pakaian habis. "Akhirnya!" Lily berseru senang. Mereka berjalan bersama-sama meletakkan kembali keranjang ke tempat cucian. Besoknya akan terisi sendiri kok. Sinar matahari mulai menyengat, Keira mendongkak menatap langit biru yang bersih. "Cepat, nanti menu enak makan siangnya habis," Lily menarik lengannya, membuatnya sedikit tersentak. Dia kemudian mengikuti langkah mereka. Keira lagi-lagi menyadari bahwa kehidupan benar-benar sudah berubah.Bagaimana caranya untuk tidur jika pikiran berkecamuk? Memikirkan segalanya yang tiada habisnya. Tubuh Keira meringkuk di atas kasur, helaan napasnya terdengar berat setiap kali menghembuskan napas. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, dan sejak tadi yang dilakukan hanyalah menatap kosong ke arah jendela. Waktu berlalu begitu saja meski dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tertidur. Memejamkan mata yang hanya berakhir gusar karena semua pikiran tetap bersarang di pikirannya. Tidak kuat dengan pikiran yang menganggu, Keira memilih bangkit dari kasur, dan mengendap keluar dari kamar. Langkah kakinya goyah berjalan di lorong yang sepi. Dia pun tidak tahu ingin ke mana, mencoba mengosongkan pikiran dan berakhir melangkah menuju taman mansion. Kepalanya mendongkak memandang langit malam yang cerah. Bulan bersinar penuh menyinari bumi, membuat bayangan Keira terbentuk sempurna di rerumputan. Suasana begitu sunyi, angin sepoi bertiup cukup kencang menerbangkan helai ram
Seharian Keira menghabiskan waktu di dalam kamar. Sekadar melamun di depan jendela atau menatap ikan di akuarium. Raganya seolah melayang setelah percakapan dengan Cullen berapa jam lalu. Kini Keira kembali memikirkan betapa tidak berguna dirinya yang masih hidup hingga sekarang. Apa waktunya menyusul ayahnya? Pikiran itu terus menganggu, seperti menghasut melakukan sesuatu yang gila. Namun Keira masih berusaha menahan diri, dan memikirkan berbagai macam kemungkinan baik yang ada ke depannya. Siapa yang tahu semua akan berubah nantinya, jika makna di balik surat ayahnya telah terungkap? "Apa yang bisa kulakukan?" Gumamnya malas. Menghela napas panjang, Keira kemudian bangkit, dan berjalan keluar dari kamar. Setidaknya dia ingin mencari angin segar dan menjernihkan pikiran yang berkecamuk. Langkahnya pelan menelusuri koridor, beberapa kali bertemu muka dengan pembantu yang dulu satu kamar dengannya, dan kebanyakan dari mereka menghindar. Saat berbelok di ujung koridor, bertepata
"Untungnya kalian tiba tepat waktu tadinya, jadi mereka berdua masih bisa selamat. Memang terkadang hal gila selalu terjadi sini." Amanda keluar dari ruangan, menghembuskan napas panjang. Keira yang sejak tadi duduk di bangku segera berdiri, entah kenapa dia malah tetap duduk di sana sepanjang waktu, padahal dia bisa saja pergi ke kamarnya. Pikirannya masih linglung, tangannya mengenggam erat liontin tersebut. Dia menatap Amanda agak lama, kemudian bersuara. "Mereka selamat?" "Tentu mereka selamat, ini bukan pertama kali aku menangani hal semacam ini. Dapat dikatakan mereka sudah kebal terhadap peluru?" Amanda mengusap keringatnya, bersandar di dinding. Terlihat jelas jika dia kelelahan setelah mengurus dua orang sekaligus. Skillnya tidak main-main, tetapi Keira menganggap itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa seseorang melakukan operasi pengangkatan peluru terhadap dua orang sekaligus? Hal tersebut tidak sampai di otaknya, seperti hal mustahil. Tapi mungkin, Amanda sehebat itu, t
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk