"Apa kau sudah siap menerima takdir hidupmu, Keira Hale?"
Keira sangat tidak suka namanya disebut olehnya. Nada suara pria itu terdengar merendahkannya. Begitu pula dengan tatapan matanya. "Apa sekarang giliranku?" Siapa lagi? Matanya otomatis mengarah pada sumber suara yang lain. Dari sudut ruangan gelap, pria lain muncul. Kali ini bukan bawahan karena dia mengenakan setelan jas abu-abu. Tubuhnya menjulang tinggi dan begitu kekar. Pria itu mengenakan kacamata bening yang membingkai wajah, seringai jahat tersungging di bibirnya saat menatap ke arahnya. Keduanya memiliki sedikit kemiripan yang Keira simpulkan bahwa mereka pasti bersaudara. "Apa aku sudah bisa membawanya ke ranjangku?" Mata Keira melotot. Gila! yang benar saja. Dia sama sekali tidak sudi disentuh oleh tangan-tangan kotor mereka. Namun, saat ini dia tidak dapat melakukan perlawanan. Membayangkan disentuh oleh salah satu dari mereka membuat Keira merinding. Perasaan mual menjalar ke perutnya. "Diamlah. Siapa yang menyuruhmu bicara?" Cullen melirik tajam, kedua alisnya berkerut. "Oh ayolah kak," pria itu berujar dengan main-main. "Jangan membuatku mengatakannya dua kali Samuel," dia menghembuskan asap rokoknya, lalu membuangnya ke lantai, dan menginjak apinya hingga padam. Samuel menyeringai, mengangkat bahunya. Tatapannya dipenuhi oleh keinginan jahat. "Dia mempunyai bodi yang lumayan. Aku bahkan bisa merasakannya tanpa menyentuhnya." Pria sialan! Napas Keira memburu, amarah terbakar di dalam tubuhnya. Andai kata tidak terikat seperti ini, dia pasti sudah melayangkan tamparan keras ke mulutnya yang tidak tahu malu. Ekspresi Cullen berkerut kesal. Samuel memang tidak bisa mengendalikan diri dan selalu dapat membuat Cullen marah dengan segala tingkah lakunya. Tetapi dia hanya remah kecil yang hanya memerlukan satu gertakan untuk berhenti. Sekarang mereka mempunyai sesuatu yang harus diselesaikan. "Keira Hale, mulai besok kau tidak akan hidup sebagai pewaris keluarga Hale lagi. Melainkan sebagai pembantu di keluarga Grant," Cullen berujar puas melihat tubuh gadis itu menegang mendengar ucapannya. Sungguh mengejutkan bukan? Keira mematung, matanya memandang tanpa berkedip. Apa tadi? Pembantu? Sosok seperti dirinya menjadi pelayan pada keluarga musuh ayahnya? "Yang benar saja!" Suaranya menolak dengan seruan sinis. Mereka memandangnya dengan tatapan merendahkan. "Aku tidak terima," lanjutnya bersama amarah yang terlihat jelas. Cullen menatap tajam. Sorot matanya seperti bilah pisau yang menusuk. "Apa kami membutuhkan pendapatmu?" "Apa?!" "Terima saja nasibmu. Salah satu bentuk pembalasan dari dosa masa lalu ayahmu. Ini bahkan belum bisa dikatakan cukup mengingat betapa besar dosa Alan Hale kepada keluarga Grant," Cullen menekan suaranya pada setiap kata. Kepalanya begitu pusing memikirkan segalanya yang terjadi dengan secepat kilat. Keadaan berubah tanpa memberinya kesempatan untuk melakukan perlawanan. Keira terdiam memikirkan ayahnya. Semua ini terjadi karena kesalahannya. Seharusnya dia bisa memberitahu agar Keira bisa mencari cara supaya bisa keluar dari situasi ini. Tetapi semua sudah terlambat. Keira yang tidak tahu apa pun mengenai dosa dan balas dendam, dipaksa menerima nasib menyedihkan. Pada suasana lengang yang berlangsung sejenak, suara pintu berderit memenuhi pendengaran. Keira tidak bisa menoleh untuk melihat lagi siapa yang masuk? Apakah anggota keluarga Grant yang lain? Namun saat melihat ekspresi keras di wajah Cullen, sepertinya tebakan Keira salah. "Sudah datang? Bawa mereka kemari," suara Cullen memerintah tanpa meninggalkan celah. Terdengar suara langkah kaki, Keira melirik kepada kedua pria yang diseret oleh bawahan lain. Matanya membelalak kecil melihat bawahan yang tadi membawanya ke sini dipaksa berlutut oleh teman yang membawanya. Cullen berdiri dari kursinya, tubuhnya menjulang tinggi. Apakah mereka semua setinggi itu? Melihat dari kejauhan, Keira memperkirakan tinggi kedua pria itu sepertinya berada pada kisaran 190 cm. Tetapi bukan itu yang terlalu menarik perhatiannya, melainkan ekspresi marah pada wajah Cullen yang seolah ingin membunuh. "Siapa yang menyakitinya?" Huh? Menyakiti siapa? "Apa aku menyuruh kalian menyentuhnya? Jawab!" Suara Cullen berseru. Matanya mengerjap-ngerjap kecil. Keira sibuk menebak situasi apa sih yang terjadi saat ini? Kemudian tatapan Cullen berpindah ke arahnya. Mata abu-abu seolah menusuk jiwa, Keira balas menatapnya dengan berani. "Ti-tidak, Bos." "Siapa diantara kalian yang melayangkan tangan kepadanya? Jawab atau aku akan melubangi kepala kalian berdua?" Salah satunya segera bersujud, suaranya terbata-bata. "B-bukan saya, Bos. Ma-maafkan saya, tetapi Bon yang menamparnya." Pria bernama Bon dengan cepat berlutut juga. Seluruh tubuhnya bergetar ketakutan. "A-ampuni saya, Bos. S-saya menamparnya karena dia terus memberontak." Keira kemudian menyadari bahwa yang mereka maksud adalah dirinya. Dia baru merasakan sudut bibirnya yang menyengat perih. Dia bahkan tidak menyadari tadi bahwa tamparan itu menyebabkan sudut bibirnya terluka. "Angkat kepala kalian! Berdiri!" Sentak Cullen dengan nada mematikan. Keduanya tidak mempunyai hak untuk melakukan perlawanan. Tubuh mereka bergetar hingga tidak bisa berdiri tegak. Buk! Satu tinju Cullen melayang ke wajah Bon begitu keras hingga membuat tubuh pria itu terjatuh ke belakang. Sedangkan yang satunya lagi selamat dan segera mundur ke belakang. "Kau pikir siapa bisa melayangkan tamparan kepadanya? satu-satunya yang bisa menyakitinya hanya kami, keluarga Grant! Bawahan sepertimu hanyalah sampah!" Amarah Cullen meledak, kakinya menendang kasar tubuh tersebut. "Bangun!" Perintahnya. Bon dalam keadaan lemah tetap memaksa dirinya untuk bangun. Tubuhnya menjaga keseimbangan agar dapat berdiri sempurna tetapi belum sempat saat Cullen kembali menghajarnya. Bak! Buk! Dia melakukan tanpa ampun hingga membuat hidung Bon mengeluarkan darah, wajahnya pun sudah babak belur. "Kalau kau pingsan aku akan langsung membunuhmu," ucap Cullen begitu rendah saat terus menghajarnya. Mau tidak mau Bon terus menjaga kesadarannya meski sudah setipis tisu. Setelah puas menghajar, Cullen melepaskan tubuh Bon yang terkulai lemas di lantai. Tetapi dengan cepat kembali dalam gaya berlutut. "Kau sudah menyiapkannya?" Cullen menghembuskan napas kasar, menoleh pada Samuel yang berjalan keluar dari kegelapan dengan pisau besar di tangannya. Keira yang sejak tadi diam menonton, menahan napas. Apa! Apa yang akan mereka lakukan? "Kau menamparnya menggunakan tangan kanan atau kiri?" Cullen bertanya sembari menendang kecil kepalanya, sedangkan Samuel tersenyum kesenangan di sebelahnya. "T-tangan Kanan, Bos," jawab Bon pasrah. "Kau tahu konsekuensinya, kan? Samuel, lakukan." Samuel tertawa, menoleh ke arahnya sejenak. "Ini untukmu, Nona Hale." Saat pisau itu melayang ke tangan Bon yang dijulurkan ke depan. Keira segera menutup matanya. Gila ini gila! Jantungnya bertabuh begitu kencang, mual menggerogoti isi perut, kepalanya berdetak sakit saat mendengar lolongan kesakitan Bon. Mereka termasuk manusia jenis apa? Atau apakah masih dapat dikatakan manusia? Mereka lebih terlihat seperti monster kejam tanpa hati. Karena semua kejadian tak masuk akal yang terjadi begitu cepat, Kesadaran Keira menurun. Dia perlahan-lahan tak sadarkan diri. Satu-satunya yang dia dengar sebelum benar-benar pingsan adalah suara Cullen yang memerintah. "Bawa dia ke peristirahatan pembantu."Bagaimana caranya untuk tidur jika pikiran berkecamuk? Memikirkan segalanya yang tiada habisnya. Tubuh Keira meringkuk di atas kasur, helaan napasnya terdengar berat setiap kali menghembuskan napas. Jam dinding menunjukkan pukul satu dini hari, dan sejak tadi yang dilakukan hanyalah menatap kosong ke arah jendela. Waktu berlalu begitu saja meski dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk tertidur. Memejamkan mata yang hanya berakhir gusar karena semua pikiran tetap bersarang di pikirannya. Tidak kuat dengan pikiran yang menganggu, Keira memilih bangkit dari kasur, dan mengendap keluar dari kamar. Langkah kakinya goyah berjalan di lorong yang sepi. Dia pun tidak tahu ingin ke mana, mencoba mengosongkan pikiran dan berakhir melangkah menuju taman mansion. Kepalanya mendongkak memandang langit malam yang cerah. Bulan bersinar penuh menyinari bumi, membuat bayangan Keira terbentuk sempurna di rerumputan. Suasana begitu sunyi, angin sepoi bertiup cukup kencang menerbangkan helai ram
Seharian Keira menghabiskan waktu di dalam kamar. Sekadar melamun di depan jendela atau menatap ikan di akuarium. Raganya seolah melayang setelah percakapan dengan Cullen berapa jam lalu. Kini Keira kembali memikirkan betapa tidak berguna dirinya yang masih hidup hingga sekarang. Apa waktunya menyusul ayahnya? Pikiran itu terus menganggu, seperti menghasut melakukan sesuatu yang gila. Namun Keira masih berusaha menahan diri, dan memikirkan berbagai macam kemungkinan baik yang ada ke depannya. Siapa yang tahu semua akan berubah nantinya, jika makna di balik surat ayahnya telah terungkap? "Apa yang bisa kulakukan?" Gumamnya malas. Menghela napas panjang, Keira kemudian bangkit, dan berjalan keluar dari kamar. Setidaknya dia ingin mencari angin segar dan menjernihkan pikiran yang berkecamuk. Langkahnya pelan menelusuri koridor, beberapa kali bertemu muka dengan pembantu yang dulu satu kamar dengannya, dan kebanyakan dari mereka menghindar. Saat berbelok di ujung koridor, bertepata
"Untungnya kalian tiba tepat waktu tadinya, jadi mereka berdua masih bisa selamat. Memang terkadang hal gila selalu terjadi sini." Amanda keluar dari ruangan, menghembuskan napas panjang. Keira yang sejak tadi duduk di bangku segera berdiri, entah kenapa dia malah tetap duduk di sana sepanjang waktu, padahal dia bisa saja pergi ke kamarnya. Pikirannya masih linglung, tangannya mengenggam erat liontin tersebut. Dia menatap Amanda agak lama, kemudian bersuara. "Mereka selamat?" "Tentu mereka selamat, ini bukan pertama kali aku menangani hal semacam ini. Dapat dikatakan mereka sudah kebal terhadap peluru?" Amanda mengusap keringatnya, bersandar di dinding. Terlihat jelas jika dia kelelahan setelah mengurus dua orang sekaligus. Skillnya tidak main-main, tetapi Keira menganggap itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa seseorang melakukan operasi pengangkatan peluru terhadap dua orang sekaligus? Hal tersebut tidak sampai di otaknya, seperti hal mustahil. Tapi mungkin, Amanda sehebat itu, t
Saat berada di luar ruangan, penjahat itu berhenti, cengkaramannya semakin mengencang. Sebelah tangannya bergerak, menempelkan ujung pistol di pelipis Keira, mulai menekan pelatuk. Keira yang tidak bisa melawan, mulai memikirkan segala kejadian yang pernah terjadi dalam hidupnya. Lebih tepatnya mengenang kehidupan sebelum berakhir di tangan penjahat tersebut. Dalam hidupnya, Keira belum pernah mencapai sesuatu yang betul-betul diimpikan. Dia menjalani kehidupan dengan sangat datar, tanpa ambisi, dan cita-cita. Mungkin inilah hukuman untuk seseorang yang tidak pernah menikmati kehidupan dengan semestinya. "Terimalah kematianmu," bisik penjahat tersebut. "Eh?" Matanya membulat, terkejut. "Samuel?" "Huh?" Cengkraman pada lehernya mengendur, Keira menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menjauh dan berbalik, memandangnya dengan keterkejutan yang masih sama. "Kau Samuel, kan?" "Huh?!""Tidak perlu berbohong, aku tahu itu kau," tangan Keira bergerak hendak menarik topeng, tapi pria
"Aku tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Keira. Kau menghilang setelah hari kelulusan, bahkan chatku saja tidak dibalas. Kau ke mana selama ini?"Mereka kini berada di ruangan tanpa pintu tempat penyimpanan barang cadangan. Keira berdiri di depan Evan, memandangnya. Mereka memang sudah lama tidak bertemu, oiya Evan merupakan teman kampus Keira, mereka dulunya satu jurusan dan sering berada di kelas yang sama. Evan adalah pria yang pernah Keira pikirkan sebagai pilihan untuk kabur. Ya, dia pria yang memliki kapal pesiar yang berlabuh mengelilingi dunia. Termasuk dari keluarga kaya raya di dunia. Dia pria tampan berambut pirang, yang baik hati dan sering menolongnya dahulu. Bahkan saat status Keira hanyalah mahasiswa yang mendapatkan bantuan dari sekolah dulunya. Alan sangat tidak ingin jika seseorang mengetahui siapa Keira sebenarnya, maka dari itu, sepanjang hidupnya Keira lebih banyak menyembunyikan dirinya yang sebenarnya. Di kampusnya dia dikenal sebagai gadis miskin ta
Nia memasuki ruangan Cullen dengan setengah hati, ada rasa gugup, takut, sekaligus kesal melihat bagaimana Keira dapat menghindari hukuman begitu mudah. Meski Nia tahu bahwa wanita itu bukan seorang pembantu sepertinya, tapi seharusnya diberi hukuman juga, kan? Keluarga Grant yang dia tahu adalah keluarga yang tidak segan menghukum seseorang yang melakukan keributan atau bertengkar di mansion. Namun di sinilah Nia sekarang, berdiri sembari menahan getaran di kaki, menunduk saat Cullen melayangkan tatapan membunuh ke arahnya. Tatapan Cullen saja sudah seperti hukuman. Nia merasa seolah tatapan itu menembus ke dalam jiwa dan merobeknya secara perlahan. Dia sangat tersiksa hingga menimbulkan sesak di dadanya. Hukuman apa yang akan Nia terima? Selama berada di mansion, dia sudah berapa kali dihukum dan dapat dibilang sudah terbiasa, maka dari itu, dia menenangkan diri dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja saat waktu berlalu nantinya. "Anda memanggil saya Tuan?" Pintu terbuk