Share

6. Ranjang Rumah Sakit

Niken tersentak sadar seolah-olah terbangun dari mimpi yang panjang ketika membuka mata. Niken merasakan tubuhnya sakit di semua bagian. Bahkan tangannya tak bisa bebas digerakkan. Niken melirik pada tangannya yang terasa berdenyut.

“Di mana aku?” pikir Niken sambil berusaha duduk tegak.

“Anda sudah bangun, Nona? Anda bisa mendengar suara saya?” Seorang perawat tiba-tiba mendekat dan memeriksa denyut nadi Niken serta pupil di kedua matanya.

Niken merasa waspada dan ketakutan. Dia tepis tangan sang perawat dan beringsut menjauh. “Katakan di mana aku? Apa yang terjadi padaku? Dan serigala itu? Lalu bagaimana dengan dua pria di rest area?”

Gambaran potongan-potongan kulit dan daging yang dikoyak serigala besar seketika membuat Niken mual. Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah kesakitan pria yang menodongkan belati padanya mati diterkam serigala.

Sang perawat berusaha tenang saat mendengar pernyataan Niken yang melompat-lompat dan sangat tidak jelas. Sang perawat maklum dengan kondisi pasien yang baru tersadar dari pingsan dan mengalami trauma akibat kecelakaan.

“Istirahatlah, Nona. Kondisi Anda belum sepenuhnya pulih,” ujar sang perawat. “Apa Anda ingat siapa nama Anda? Di mana Anda tinggal?”

“Kenapa?” teriak Niken. “Apakah itu penting? Apa kau akan mengirimku kembali pada mereka yang sudah mengusirku?” Air mata Niken merebak.

“Anda mengalami kecelakan lalu lintas, Nona. Apakah Anda bisa mengingat siapa nama Anda?” ulang sang perawat untuk menggali informasi dari Niken. “Anda sudah pingsan selama dua hari sejak tiba di sini.”

Niken terdiam dan mencoba mengingat detil kejadian terakhir. Dia tidak ingat jika mengalami kecelakaan. Dia hanya ingat pada dua pria dan serigala yang mencoba menyerangnya.

Sang perawat terus berbicara untuk membuat Niken mendapatkan kembali ingatannya. “Seorang pengguna jalan membawa Anda ke sini. Tidak ada cedera serius, hanya saja beberapa bagian tubuh Anda mengalami memar dan sedikit luka luar. Selebihnya, Anda baik-baik saja.”

“Bayiku?” tanya Niken yang seketika panik sambil meraba perutnya dengan tangan yang masih terpasang infus.

Perawat itu tersenyum ramah. “Beruntungnya, bayi Anda baik-baik saja, Nona. Karena itu beristirahatlah dan tunggu sampai dokter datang untuk memeriksa sebelum Anda bisa keluar dari sini.”

Niken mengembuskan napas lega. Perlahan tapi pasti ingatan-ingatan yang sebelumnya tertutup kini mulai kembali ke benak Niken. Kejadian terakhir yang masih melekat di benak Niken adalah sebuah sorot lampu depan kendaraan dan dengung keras klakson melaju ke arahnya. Lalu dia tidak ingat sama sekali.

“Mungkin malam itu aku benar-benar ditabrak oleh sebuah kendaraan? Tapi, aku sangat beruntung karena hanya luka ringan.”

Dia menunduk dan melihat perutnya yang masih rata. Dia meremas baju rumah sakit dan berpikir tak lama lagi perut itu akan membuncit.

“Perawat?” sergah Niken.

Sang perawat yang sudah hampir menuju ke ambang pintu, akhirnya berbalik kepada Niken. “Ada yang kau butuhkan, Nona?”

“Ba-bagaimana dengan tagihan rumah sakit?” Niken ketakutan.

“Pria yang membawa Anda ke sini sudah melunasi semua tagihannya.”

“Apa? Siapa yang membawaku ke sini? Apa dia yang menabrakku?” Niken sangat ingin tahu. Jika dinas sosial atau petugas kepolisian membawanya ke sini, maka dia harus segera pergi sebelum mereka menyadari identitas Niken sebagai remaja gelandangan yang sedang hamil.

“Seorang pria yang membawa Anda ke sini. Dia berkata menemukan anda pingsan di jalan setelah mengalami tabrak lari. Apakah Anda tidak ingat kejadian detailnya? Kami sudah menghubungi kepolisian untuk meminta bantuan. Saya yakin keterangan yang akan Anda berikan bisa membantu Anda untuk keluar dari situasi rumit ini.”

Niken terdiam dengan wajah pucat. “Polisi datang ke sini?”

Seketika tubuh Niken menggigil hebat. Dia berusaha bersikap baik-baik saja di depan sang perawat hingga perawat itu pergi.

“Tidak bisa,” teriak Niken pada diri sendiri. “Aku harus pergi dari sini! Mereka tak boleh menanyaiku tentang apa pun. Aku tak ingin berakhir di rumah penampungan milik dinas sosial. Meskipun aku melihat kejadian pembunuhan malam itu, tapi aku tak bisa mengatakan apa pun demi keselamatanku dan bayi ini.”

Niken mengusap lembut perutnya.

“Malam itu, aku hanya beruntung karena kemunculan seekor serigala. Entah apa yang terjadi jika tak ada serigala itu.”

Niken segera bangkit diam-diam. Setelah memastikan tak ada orang lain yang akan masuk ke ruang perawatan, Niken mencabut jarum infus dan segera mengganti pakaian.

Dia membuka lemari kecil di sisi ranjang. Ternyata sang perawat memang menyimpan barang-barang Niken yang terlihat kumal dan tidak berharga di sana. Meski demikian hanya itu barang-barang yang Niken miliki saat ini.

Niken mengganti baju rumah sakit dengan pakaiannya sendiri yang terasa sedikit kebesaran di tubuhnya. Pakaian itu dia dapatkan dari donasi di tempat penampungan tunawisma. Niken tak bisa memilih. Satu-satunya ransel yang dia miliki, dia sandang di punggung. Ransel itu pun dia dapat dari tempat sampah. Dia harus celingkukan sebelum membuka pintu agar tak ketahuan.

Tepat pada saat Niken keluar, di ujung lorong dia melihat dua petugas kepolisian datang bersama sang perawat. Mereka menuju ke kamar tempat Niken dirawat. Niken segera menyembunyikan wajah dan berbalik mencari arah lain untuk kabur.

“Mereka tidak boleh menemukanku!” gumam Niken. “Mereka tidak boleh membawaku ke mana pun. Aku tak ingin berpisah dengan anakku hanya karena aku masih di bawah umur dan dianggap tidak kompeten memiliki seorang bayi. Aku harus pergi dan bertahan demi bayi ini.”

Niken berjalan sejauh mungkin meninggalkan rumah sakit. Dia tak ingin dikenali oleh siapa pun dan tidak ingin terlihat berkeliaran di sekitar sana. Sampai sore hari, dia masih berjalan di sepanjang trotoar kota. Dia yakin masih berada di negara bagian tak jauh dari hutan sebelumnya dia diserang oleh dua pria asing dan seekor serigala.

“Aku sangat lapar,” pikir Niken. Dia duduk di sebuah emperan toko yang hampir tutup dan menenggak air yang dia dapatkan dari taman. “Aku menyesal kenapa tadi tidak memasukkan makanan di rumah sakit ke dalam tas? Sekarang aku tak mempunyai sepeser uang pun untuk membeli makanan.”

Niken menggigit bibirnya dan menoleh ke sepanjang jalan tempatnya berada saat ini. Kota itu sangat kecil dan tidak banyak orang yang beraktivitas.

“Bagaimana caraku bisa mendapatkan uang di sini?” pikir Niken.

Gadis itu berjalan sedikit lebih jauh lagi hingga tiba di stasiun bawah tanah. Niken berdiri di puncak anak tangga yang mengarah ke stasiun bawah tanah. Niken memperhatikan seorang pemusik jalanan sedang memainkan biola. Para pejalan kaki dan pengguna kareta, sesekali akan melemparkan uang koin ke kotak biola pria itu.

Niken terus memperhatikan pria itu tanpa banyak bicara. Setengah jam kemudian, sang musisi jalanan mulai menghentikan permainan biolanya. Dia kumpulkan uang saweran di dalam kotak biola dan mulai beranjak meninggalkan stasiun. Pria pemain biola itu melewati Niken.

“Tunggu, Tuan!” tegur Niken.

Pemain biola jalanan yang berusia sekitar 50-an tahun dengan rambut keperakan dan ditutup dengan topi itu menoleh kepada Niken. Dia tersenyum dengan hangat. Niken bisa merasakan tatapan orang-orang seperti pria itu juga dirinya yang terbiasa hidup di jalanan. Mereka mencoba menghindari masalah.

“Maaf, Tuan, apa kau akan pulang?” tanya Niken dengan ragu-ragu. “Apa pertanyaanku tidak sopan?” pikirnya.

“Yeah, sudah waktu untuk pulang, Gadis Muda. Aku sudah terlalu lama bermain biola di bawah sana dan aku sangat lelah. Apa kau perlu sesuatu dariku? Atau... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

Niken sedikit gugup hingga telapak tangannya berkeringat. Dia mengusapkan telapak tangannya ke permukaan baju sebelum berkata dengan malu-malu.

“Bisakah aku menyewa biolamu untuk beberapa jam ke depan?”

Pria itu mengerutkan kening. “Apa maksudmu dengan menyewa biolaku?”

Senyum pria itu memudar. Dia menatap dingin pada Niken dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sebelum mulai mencibir.

“Oh, rupanya kau juga seorang gelandangan? Meski kau seorang gelandangan, seharusnya kau punya modal untuk bertahan hidup. Apa kau pikir bisa mengambil satu-satunya biola ini dariku? Tak akan kubiarkan.” Lalu pria itu mencoba berpaling dan pergi meninggalkan Niken.

“Tunggu, Tuan!” sergah Niken. “Sekali lagi, aku tidak bermaksud untuk merebut atau mencuri biola itu darimu. Sudah kukatakan padamu, aku akan menyewanya untuk beberapa jam ke depan.”

Pria itu menyeringai nakal pada Niken. “Aku pikir kau lebih jago permainan yang lain daripada biola. Tapi, baiklah, kenapa tidak? Berapa kau akan membayar untuk biolaku?”

“Bagaimana jika dua Coll untuk setiap jam? Aku hanya butuh waktu tiga jam. Apa kau keberatan?”

“Dua Coll itu terlalu murah. Ck, bagaimana kalau kau serahkan saja tubuhmu dan aku akan membayarmu 10 Coll/jam?” bisik pria itu ke arah telinga Niken.

“10 Coll?” pikir Niken. Dia menelan ludah dan melirik pada pria di sampingnya yang terus menyeringai nakal ke arah Niken.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status