Niken tersentak sadar seolah-olah terbangun dari mimpi yang panjang ketika membuka mata. Niken merasakan tubuhnya sakit di semua bagian. Bahkan tangannya tak bisa bebas digerakkan. Niken melirik pada tangannya yang terasa berdenyut.
“Di mana aku?” pikir Niken sambil berusaha duduk tegak.
“Anda sudah bangun, Nona? Anda bisa mendengar suara saya?” Seorang perawat tiba-tiba mendekat dan memeriksa denyut nadi Niken serta pupil di kedua matanya.
Niken merasa waspada dan ketakutan. Dia tepis tangan sang perawat dan beringsut menjauh. “Katakan di mana aku? Apa yang terjadi padaku? Dan serigala itu? Lalu bagaimana dengan dua pria di rest area?”
Gambaran potongan-potongan kulit dan daging yang dikoyak serigala besar seketika membuat Niken mual. Dia masih bisa melihat dengan jelas wajah kesakitan pria yang menodongkan belati padanya mati diterkam serigala.
Sang perawat berusaha tenang saat mendengar pernyataan Niken yang melompat-lompat dan sangat tidak jelas. Sang perawat maklum dengan kondisi pasien yang baru tersadar dari pingsan dan mengalami trauma akibat kecelakaan.
“Istirahatlah, Nona. Kondisi Anda belum sepenuhnya pulih,” ujar sang perawat. “Apa Anda ingat siapa nama Anda? Di mana Anda tinggal?”
“Kenapa?” teriak Niken. “Apakah itu penting? Apa kau akan mengirimku kembali pada mereka yang sudah mengusirku?” Air mata Niken merebak.
“Anda mengalami kecelakan lalu lintas, Nona. Apakah Anda bisa mengingat siapa nama Anda?” ulang sang perawat untuk menggali informasi dari Niken. “Anda sudah pingsan selama dua hari sejak tiba di sini.”
Niken terdiam dan mencoba mengingat detil kejadian terakhir. Dia tidak ingat jika mengalami kecelakaan. Dia hanya ingat pada dua pria dan serigala yang mencoba menyerangnya.
Sang perawat terus berbicara untuk membuat Niken mendapatkan kembali ingatannya. “Seorang pengguna jalan membawa Anda ke sini. Tidak ada cedera serius, hanya saja beberapa bagian tubuh Anda mengalami memar dan sedikit luka luar. Selebihnya, Anda baik-baik saja.”
“Bayiku?” tanya Niken yang seketika panik sambil meraba perutnya dengan tangan yang masih terpasang infus.
Perawat itu tersenyum ramah. “Beruntungnya, bayi Anda baik-baik saja, Nona. Karena itu beristirahatlah dan tunggu sampai dokter datang untuk memeriksa sebelum Anda bisa keluar dari sini.”
Niken mengembuskan napas lega. Perlahan tapi pasti ingatan-ingatan yang sebelumnya tertutup kini mulai kembali ke benak Niken. Kejadian terakhir yang masih melekat di benak Niken adalah sebuah sorot lampu depan kendaraan dan dengung keras klakson melaju ke arahnya. Lalu dia tidak ingat sama sekali.
“Mungkin malam itu aku benar-benar ditabrak oleh sebuah kendaraan? Tapi, aku sangat beruntung karena hanya luka ringan.”
Dia menunduk dan melihat perutnya yang masih rata. Dia meremas baju rumah sakit dan berpikir tak lama lagi perut itu akan membuncit.
“Perawat?” sergah Niken.
Sang perawat yang sudah hampir menuju ke ambang pintu, akhirnya berbalik kepada Niken. “Ada yang kau butuhkan, Nona?”
“Ba-bagaimana dengan tagihan rumah sakit?” Niken ketakutan.
“Pria yang membawa Anda ke sini sudah melunasi semua tagihannya.”
“Apa? Siapa yang membawaku ke sini? Apa dia yang menabrakku?” Niken sangat ingin tahu. Jika dinas sosial atau petugas kepolisian membawanya ke sini, maka dia harus segera pergi sebelum mereka menyadari identitas Niken sebagai remaja gelandangan yang sedang hamil.
“Seorang pria yang membawa Anda ke sini. Dia berkata menemukan anda pingsan di jalan setelah mengalami tabrak lari. Apakah Anda tidak ingat kejadian detailnya? Kami sudah menghubungi kepolisian untuk meminta bantuan. Saya yakin keterangan yang akan Anda berikan bisa membantu Anda untuk keluar dari situasi rumit ini.”
Niken terdiam dengan wajah pucat. “Polisi datang ke sini?”
Seketika tubuh Niken menggigil hebat. Dia berusaha bersikap baik-baik saja di depan sang perawat hingga perawat itu pergi.
“Tidak bisa,” teriak Niken pada diri sendiri. “Aku harus pergi dari sini! Mereka tak boleh menanyaiku tentang apa pun. Aku tak ingin berakhir di rumah penampungan milik dinas sosial. Meskipun aku melihat kejadian pembunuhan malam itu, tapi aku tak bisa mengatakan apa pun demi keselamatanku dan bayi ini.”
Niken mengusap lembut perutnya.
“Malam itu, aku hanya beruntung karena kemunculan seekor serigala. Entah apa yang terjadi jika tak ada serigala itu.”
Niken segera bangkit diam-diam. Setelah memastikan tak ada orang lain yang akan masuk ke ruang perawatan, Niken mencabut jarum infus dan segera mengganti pakaian.
Dia membuka lemari kecil di sisi ranjang. Ternyata sang perawat memang menyimpan barang-barang Niken yang terlihat kumal dan tidak berharga di sana. Meski demikian hanya itu barang-barang yang Niken miliki saat ini.
Niken mengganti baju rumah sakit dengan pakaiannya sendiri yang terasa sedikit kebesaran di tubuhnya. Pakaian itu dia dapatkan dari donasi di tempat penampungan tunawisma. Niken tak bisa memilih. Satu-satunya ransel yang dia miliki, dia sandang di punggung. Ransel itu pun dia dapat dari tempat sampah. Dia harus celingkukan sebelum membuka pintu agar tak ketahuan.
Tepat pada saat Niken keluar, di ujung lorong dia melihat dua petugas kepolisian datang bersama sang perawat. Mereka menuju ke kamar tempat Niken dirawat. Niken segera menyembunyikan wajah dan berbalik mencari arah lain untuk kabur.
“Mereka tidak boleh menemukanku!” gumam Niken. “Mereka tidak boleh membawaku ke mana pun. Aku tak ingin berpisah dengan anakku hanya karena aku masih di bawah umur dan dianggap tidak kompeten memiliki seorang bayi. Aku harus pergi dan bertahan demi bayi ini.”
Niken berjalan sejauh mungkin meninggalkan rumah sakit. Dia tak ingin dikenali oleh siapa pun dan tidak ingin terlihat berkeliaran di sekitar sana. Sampai sore hari, dia masih berjalan di sepanjang trotoar kota. Dia yakin masih berada di negara bagian tak jauh dari hutan sebelumnya dia diserang oleh dua pria asing dan seekor serigala.
“Aku sangat lapar,” pikir Niken. Dia duduk di sebuah emperan toko yang hampir tutup dan menenggak air yang dia dapatkan dari taman. “Aku menyesal kenapa tadi tidak memasukkan makanan di rumah sakit ke dalam tas? Sekarang aku tak mempunyai sepeser uang pun untuk membeli makanan.”
Niken menggigit bibirnya dan menoleh ke sepanjang jalan tempatnya berada saat ini. Kota itu sangat kecil dan tidak banyak orang yang beraktivitas.
“Bagaimana caraku bisa mendapatkan uang di sini?” pikir Niken.
Gadis itu berjalan sedikit lebih jauh lagi hingga tiba di stasiun bawah tanah. Niken berdiri di puncak anak tangga yang mengarah ke stasiun bawah tanah. Niken memperhatikan seorang pemusik jalanan sedang memainkan biola. Para pejalan kaki dan pengguna kareta, sesekali akan melemparkan uang koin ke kotak biola pria itu.
Niken terus memperhatikan pria itu tanpa banyak bicara. Setengah jam kemudian, sang musisi jalanan mulai menghentikan permainan biolanya. Dia kumpulkan uang saweran di dalam kotak biola dan mulai beranjak meninggalkan stasiun. Pria pemain biola itu melewati Niken.
“Tunggu, Tuan!” tegur Niken.
Pemain biola jalanan yang berusia sekitar 50-an tahun dengan rambut keperakan dan ditutup dengan topi itu menoleh kepada Niken. Dia tersenyum dengan hangat. Niken bisa merasakan tatapan orang-orang seperti pria itu juga dirinya yang terbiasa hidup di jalanan. Mereka mencoba menghindari masalah.
“Maaf, Tuan, apa kau akan pulang?” tanya Niken dengan ragu-ragu. “Apa pertanyaanku tidak sopan?” pikirnya.
“Yeah, sudah waktu untuk pulang, Gadis Muda. Aku sudah terlalu lama bermain biola di bawah sana dan aku sangat lelah. Apa kau perlu sesuatu dariku? Atau... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”
Niken sedikit gugup hingga telapak tangannya berkeringat. Dia mengusapkan telapak tangannya ke permukaan baju sebelum berkata dengan malu-malu.
“Bisakah aku menyewa biolamu untuk beberapa jam ke depan?”
Pria itu mengerutkan kening. “Apa maksudmu dengan menyewa biolaku?”
Senyum pria itu memudar. Dia menatap dingin pada Niken dari ujung kepala sampai ke ujung kaki sebelum mulai mencibir.
“Oh, rupanya kau juga seorang gelandangan? Meski kau seorang gelandangan, seharusnya kau punya modal untuk bertahan hidup. Apa kau pikir bisa mengambil satu-satunya biola ini dariku? Tak akan kubiarkan.” Lalu pria itu mencoba berpaling dan pergi meninggalkan Niken.
“Tunggu, Tuan!” sergah Niken. “Sekali lagi, aku tidak bermaksud untuk merebut atau mencuri biola itu darimu. Sudah kukatakan padamu, aku akan menyewanya untuk beberapa jam ke depan.”
Pria itu menyeringai nakal pada Niken. “Aku pikir kau lebih jago permainan yang lain daripada biola. Tapi, baiklah, kenapa tidak? Berapa kau akan membayar untuk biolaku?”
“Bagaimana jika dua Coll untuk setiap jam? Aku hanya butuh waktu tiga jam. Apa kau keberatan?”
“Dua Coll itu terlalu murah. Ck, bagaimana kalau kau serahkan saja tubuhmu dan aku akan membayarmu 10 Coll/jam?” bisik pria itu ke arah telinga Niken.
“10 Coll?” pikir Niken. Dia menelan ludah dan melirik pada pria di sampingnya yang terus menyeringai nakal ke arah Niken.
Niken muak mendengar bisikan dan nada bicara pria asing yang tak dikenalnya itu. Dia juga muak pada tatapannya yang merendahkan dan melecehkan. Niken muak pada semua laki-laki yang hanya menginginkan tubuhnya.Tanpa sadar, Niken sudah mendorong pria itu hingga hampir terpelanting jatuh dari anak tangga. Stasiun bawah tanah dalam keadaan sepi. Niken panik. Dia hampir menjerit ketika menyadari perbuatannya bisa mengakibatkan pria itu cedera jika dia benar-benar jatuh dari tangga.Untungnya pria itu segera mengendalikan diri. Dia tak sampai menggelinding ke dasar tangga yang mungkin akan membuat tulangnya patah. Hanya biola pria itu yang terjatuh dan dia sangat marah. pria itu segera bangkit untuk mengambil biolanya dan menuju ke arah Niken yang masih mematung dengan wajah pucat.“Pelacur cilik sialan!” umpat pria itu. “Kau sudah merusak biolaku satu-satunya. Kau harus bertanggung jawab. Tak peduli apa pun yang terjadi kau harus membayarnya dengan tubuhmu malam ini.”Sambil memegang biol
“Nona, ini aku!” tegur Axel yang sudah berdiri di ujung gang sambil memasang wajah khawatir.“Jauhi aku!” teriak Niken. “Jangan mendekat! Aku akan berteriak jika kau melakukan sesuatu yang buruk padaku. Aku tahu sejak awal bahwa kau tak benar-benar tulus menolongku. Tak ada manusia yang benar-benar baik di dunia ini.”Niken terengah-engah.“Itu kusadari setelah aku menjadi gelandangan,” pikir Niken kemudian.“Tunggu, Nona. Kau pasti salah paham padaku. Aku tak bermaksud menyakiti atau ingin mengambil keuntungan darimu. Tapi, ya, aku memang mengikutimu dengan satu alasan.”“Apa yang kau inginkan dariku? Aku tak memiliki apa pun, Tuan. Aku bahkan tak memiliki sepeser pun uang untuk makan. Aku tak mampu. Aku tak memiliki apa-apa. Jika yang kau inginkan adalah tubuhku, kupastikan sebelum membuat keputusan itu, kau akan menyesal.”Suara Niken bergetar lirih. Dia benar-benar ketakutan. Sekuat tenaga dia menahan air mata agar tak tumpah. Niken sampai harus berpegangan ke dinding di antara du
Niken tak punya pilihan dan dia menerima ajakan Axel untuk makan malam. Mereka duduk berhadapan di salah satu bangku dengan pemandangan sungai yang indah di malam hari. Niken merasa sedikit aman karena tak sendirian. Ada beberapa orang lain lagi yang juga duduk menikmati pemandangan sungai di malam hari.Sudut mata Niken terus waspada memperhatikan sekitar. Dia mendapati dua pria berpakaian serba hitam yang sebelumnya membuat Niken pingsan karena ketakutan. Mereka berdiri tak jauh dari tempat Axel berada.“Siapa mereka?” tanya Niken. “Tukang pukulmu?”“Mereka hanya asistenku,” ujar Axel dengan tenang. Dia buka kantung makanan dan menyerahkan roti lapis kepada Niken. “Maaf jika mereka membuatmu ketakutan sebelumnya.”Niken menggeretakkan rahang. Dia masih mengingat jelas bagaimana dua pria menodongkan belati padanya di rest area karena menyaksikan sebuah pembunuhan. Saat ini, kedua asisten Axel juga mengingatkan Niken pada kedua penjahat itu.“Kau tak bisa menipuku, Tuan Marais. Kataka
“Apa?” teriak Niken dengan sangat terkejut. Dia ingin memastikan bahwa apa yang dia dengar tidak salah.Axel masih duduk nyaman di bangkunya. Dia menumpukan satu kaki di atas kaki yang lain sambil bersandar dengan penuh percaya diri.“Kou bisa tinggal denganku.” Axel berkata dengan sangat tenang dan penuh keyakinan.“Apa kau gila?”Niken menelan ludah dan menatap tak percaya pada Axel.“Bagaimana dia bisa berkata mengajak orang asing tinggal serumah dengan begitu santainya?” pikir Niken.“Apa kau sebenarnya menginginkan sesuatu dariku? Aku yakin tuntutan untuk membayar utang itu hanya alasan untuk meminta sesuatu yang lebih dariku. Apa sebenarnya tujuanmu?”Niken benar-benar ketakutan. Dia tidak siap mendengar pengakuan pria kaya di hadapannya. Niken tidak ingin terlibat dengan siapa pun saat ini, apalagi orang yang berpengaruh.“Aku bisa hidup di jalanan dan bertahan untuk diriku sendiri dan calon bayi di dalam perutku. Aku bisa bekerja apa saja; menyanyi, bermain musik, atau apa pun
“Carlos, biarkan dia pergi.”Axel memerintahkan kedua anak buahnya untuk menyingkir dan membiarkan Niken pergi. Niken yang sudah siap untuk melawan akhirnya hanya berjalan tenang meninggalkan Axel. Sebelum pergi, Niken sempat menoleh pada Axel dan mengangguk untuk memberikan ucapan terima.“Ranty, tunggu!” sergah Axel. Dia terlihat sangat berat hati membiarkan Niken pergi malam itu. “Aku mohon pertimbangkanlah lagi tawaranku. Simpanlah kartu namaku jika suatu saat kau berubah pikiran atau membutuhkan bantuan. Jangan ragu untuk menghubungiku kapan pun kau membutuhkannya.”“Yah, aku pasti akan menghubungimu ketika uangku sudah cukup untuk melunasi utang-utang itu, pasti.”Axel terlihat muram memandangi punggung Niken yang berjalan menjauh. Kedua pengawalnya berdiri di dekat Axel dan menggumamkan sesuatu.“Perlukah kami mengawasi gadis itu seperti sebelum-sebelumnya, Bos?”“Tidak. Malam ini biarkan dia sendirian. Aku khawatir dia akan curiga dan semakin tidak percaya jika tahu kalian ter
“Keluar dari sini dasar gelandangan sialan!” teriak petugas kereta di stasiun berikutnya.Pria itu mendorong Niken keluar dari kereta karena dia tak mampu menunjukkan tiket juga tak mampu membayar ongkos perjalanan.Niken berjalan menjauh dengan tubuh gemetar hebat. Dia peluk tubuhnya sendiri dengan menyilangkan kedua lengan ke dada. Niken menundukkan kepala untuk menghindari tatapan sinis dan mencemooh orang-orang yang ada di stasiun.“Aku masih beruntung karena mereka tidak membawaku ke kantor polisi. Jika sampai itu terjadi mungkin aku akan dijebloskan ke penjara atau dikirim ke dinas sosial. Maka, mereka akan tahu jika aku seorang remaja yang hamil dan tak memiliki rumah.”Niken berdiri di belakang tiang besar penyangga peron bawah tanah. Dia bersandar pada tiang itu dan tubuhnya melorot ke lantai. Niken berjongkok sambil memeluk kedua lututnya. Dia benar-benar menangis sesenggukan seperti orang gila.“Apa yang har
Niken benar-benar berhenti. Tubuhnya membeku dan tak bergerak sama sekali. Sedang satu kakinya sudah menapak ke pijakan bus. “Nona, tunggu!” tegur sang petugas. Niken tak berani berbalik atau menoleh. Petugas itu berjalan mendekat ke arahnya dan membungkuk untuk memungut sesuatu di belakang Niken. Dia serahkan benda itu pada Niken. “Ini tanda pengenalmu terjatuh. Kau harus lebih berhati-hati. Tanpa tanda pengenal ini, kau tak akan bisa mengikuti seminar Dokter Axel Marais hari ini.” “Beruntung!” pikir Niken. Niken menundukkan wajah sambil menerima tanda pengenal itu dari sang petugas. Dia mengucapkan terima kasih sebelum benar-benar menaiki bus dan membaur di antara para mahasiswa yang lain. Niken meremas tanda pengenal itu dan cepat-cepat menyelipkannya di kantong celana. “Maafkan aku,” pikir Niken. “Siapa pun di antara kalian yang kehilangan tanda pengenal ini, aku terpaksa meminjamnya. Aku benar-benar membutuhkannya agar bisa masuk dan bertemu dengan Axel hari ini.” Niken m
“Apa yang terjadi di sini?” Dua pria yang berjaga di depan pintu masuk ballroom dan juga Niken menoleh bersama ke arah datangnya suara. Axel Marais berdiri di sana dengan didampingi dua pengawal tampannya. “Tuan Marais?” ujar salah satu petugas penerima tamu. “Aku sudah meminta gadis ini untuk pergi, tapi dia menolak dan tetap berkeras menunggu Anda di sini.” “Anda tidak perlu khawatir Tuan Marais. Kami akan membereskannya,” ujar petugas yang lainnya. “Kami mohon maaf atas gangguan ini.” “Apa yang kalian pikir lakukan?” desis Axel pada kedua petugas itu. “Gadis ini adalah tamuku. Aku memang sedang menunggu kedatangannya. Kalian sudah bersikap kurang ajar pada tamuku.” Kedua petugas itu tergagap dan saling menatap tak percaya. Mereka segera menunduk untuk meminta maaf berkali-kali pada Axel dan juga Niken. Axel beralih pada Niken dan mendekati gadis itu. “Ada apa?” Nada suara Axel berubah lembut seketika saat berhadapan dengan Niken. “Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa mereka men