Malam itu juga Belle berdiri di depan The Dominion Club, sebuah bangunan megah dengan lampu-lampu kristal. Pintu masuknya dijaga oleh dua pria berseragam. Keduanya memandang Belle dengan tatapan penuh curiga. Belle menarik napas panjang, membenahi blazer tipis yang dia kenakan.
Ini bukan tempatnya, dia tahu itu. Tapi dia tidak peduli.
“Maaf, Nona. Ini tempat khusus untuk anggota dan tamu undangan,” Salah satu penjaga menghentikannya.
Belle menatap penjaga itu dengan mata melotot. “Aku di sini untuk bertemu Dante Hudson,” katanya dengan suara ketus.
Penjaga itu mengerutkan dahi, tampak ragu. “Nama Anda?”
“Belle. Bilang itu,”
Setelah jeda singkat, penjaga itu berbicara melalui earpiece-nya. Beberapa saat kemudian, dia membuka pintu.
“Silahkan masuk, Nona Belle,”
Belle melangkah masuk. Musik jazz lembut mengalun dan kelompok-kelompok kecil orang berpakaian mahal mengobrol sambil menikmati minuman mereka. Namun, perhatian Belle hanya tertuju pada satu orang: Dante.
Di tengah ruangan, Dante duduk di sebuah sofa mewah. Dikelilingi oleh beberapa anggota Dominion Club—Lex, Vicky, dan Jamie. Mereka tertawa, sesekali mengobrol.
Belle menggenggam erat tas kecil di tangannya. Mencoba mengendalikan rasa gugup.
Belle mendekat dan langkahnya menarik perhatian. Dante adalah orang pertama yang menyadari kehadirannya. Mata pria itu menyipit saat melihat Belle. Bahkan bibirnya melengkung membentuk seringai kecil.
“Lihat siapa yang datang,” seru Lex, menunjuk Belle. “Apa yang membawamu ke sini, nona kelas menengah?”
Tawa kecil terdengar dari banyak orang di tempat itu. Tapi Belle tidak terintimidasi. Dia menatap Dante langsung ke matanya.
“Dante Hudson, kita perlu bicara,” tandas Belle. Dia mencoba untuk bicara lebih lantang, demi mengusir gugup.
Dante mengangkat alis sambil terus menyeringai. “Kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk itu? Kau tahu, ini bukan tempat untuk orang sepertimu,”
“Aku tidak peduli,” jawab Belle. “Kau sudah menghancurkan reputasiku di kantor. Apa yang kau inginkan sebenarnya?”
Dante berdiri dari sofa. Tubuh tinggi dan posturnya yang tegap, mendominasi, membuat Belle harus menegakkan dagu untuk mempertahankan keberaniannya.
Dante kini tertawa. Ekspresinya tampak begitu puas saat melihat kemarahan di wajah Belle.
“Apa yang aku inginkan?” Dante mengulangi. “Kau datang ke sini, hanya untuk menanyakan itu?”
“Aku mungkin bukan siapa-siapa dibandingkan denganmu,” Belle sedikit mendekat. Dia mengepalkan tangannya erat. “Tapi aku tidak akan diam sementara kau dan kelompokmu menghancurkan hidupku. Aku akan melawanmu, Dante! Apapun yang terjadi,”
Ruangan menjadi hening. Anggota Dominion Club yang lain tampak terkejut dengan keberanian Belle. Namun Dante hanya tersenyum tipis.
Dari sisi sofa, Vicky mendengus pelan sambil mengambil gelas champagne yang ada di meja. “Kau … berisik,” umpatnya. “Selain orang yang tidak berguna, kau juga pandai merusak suasana,” Dia berdiri, berjalan mendekati Belle dengan langkah anggun.
“Aku rasa,” lanjut Vicky sambil mengangkat gelasnya. “Kau butuh sesuatu untuk mendinginkan kepala sombongmu itu,” Vicky mengarahkan gelasnya pada Belle.
Belle tidak bergerak, menatap langsung ke arah Vicky. Tapi sebelum Vicky bisa mengangkat gelasnya lebih tinggi, Jamie tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya dan meraih tangan Vicky dengan cepat.
“Sudah cukup, Vic!” kata Jamie.
Vicky menoleh ke Jamie, wajahnya kesal. “Apa maksudmu? Jadi kau membiarkan dia berbicara seperti itu pada Dante? Pada kita?”
Jamie menghela napas dan melepaskan cengkeramannya perlahan. “Kita punya cara lain untuk menangani orang seperti dia,” Jamie memandang Belle sedikit kesal. “Jangan kotori club-ku,”
Vicky mendengus, wajahnya masih dipenuhi rasa kesal. Namun, dia menurunkan gelas champagne-nya dan kembali duduk dengan ekspresi masam.
Dante yang sejak tadi memperhatikan semuanya, kini bergerak satu langkah mendekati Belle. “Jadi … sampai mana kita tadi?” Dia menyeringai.
Belle tidak bergeming. Meskipun jantungnya berdebar kencang. “Lakukan apapun yang kau mau, Dante. Aku tidak akan lari darimu!”
Sebuah senyum penuh arti muncul di wajah Dante. “Benarkah? Benarkah kau tidak akan lari dariku?”
Belle mengangkat dagunya demi menyeimbangkan tinggi Dante. Namun tetap, Belle tidak seimbang.
“Aku bahkan tidak pernah tidur dengan pria manapun sepanjang hidupku!” aku Belle tiba-tiba. Suaranya bergetar. “Jadi bagaimana bisa kalian menyebarkan rumor menjijikkan seperti itu?”
Tatapan semua orang kini tertuju pada Belle. Bahkan Lex sampai menganga lebar tidak percaya. Sementara Dante, seakan dia tidak berkedip mendengar pengakuan apa adanya itu.
Sebuah langkah pelan mendekati mereka. Eddie muncul, dengan ekspresinya yang tenang.
“Belle? Benarkah kau tidak pernah tidur dengan pria manapun?” sapa Eddie.
“E-Eddie?” Belle terkejut mendengar suara Eddie. Dia menoleh ke belakang.
Pria itu berdiri dengan mata lebar. Tentu saja dia mendengar pengakuan mengejutkan itu. Kini suasana yang semula tegang, sedikit mencair.
“Ed, kau dengar dia, kan? Dia masih perawan!” teriak Lex. Dia tertawa kencang sekali, lalu melakukan tos dengan Jamie.
Vicky memutar bola matanya, semakin kesal. “Dasar wanita kampungan!” gerutunya.
Eddie menunduk, untuk menyamakan kedudukan dengan Belle. “Belle?” Kemudian dia berjalan, ikut duduk bersama Lex dan Jamie.
Sementara itu, Dante melangkah maju. Mendekat hingga jaraknya tidak lebih dari beberapa langkah dari Belle.
“Kau melawan seperti ini ... Apa kau melakukannya karena berharap aku akan menidurimu?” tanya Dante. Lalu menyeringai sinis.
Pernyataan itu menghantam Belle seperti bom. Vicky terkekeh kecil. Lex menyeringai, sementara Jamie hanya menghela napas panjang. Dan Eddie tidak berekspresi.
“Apa maksudmu?” Suara Belle bergetar, wajah merah. Dia merasa sangat malu dan dihina habis-habisan oleh Dante.
Dante menyeringai, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana dengan santai. “Aku hanya penasaran,” jawabnya. “Orang-orang sepertimu biasanya mencari cara untuk mendapatkan keuntungan dari pria seperti aku. Kau melawan karena apa, Belle? Karena kau ingin perhatian? Atau karena kau ingin sesuatu yang lebih?”
Wajah Belle semakin memerah. Bukan karena rasa malu. Itu adalah amarah yang tidak bisa lagi dia tahan.
“Kau ... sangat menjijikkan,” kata Belle, penuh kebencian.
Dante tertawa kecil. Kini sorot matanya berubah lebih gelap. “Di dunia ini, orang seperti aku yang memegang kendali. Kau harus terima itu,”
“Kau salah!” sambar Belle. “Orang sepertimu memegang kendali karena ada yang mau dikendalikan. Tapi tidak denganku. Tidak akan!”
Ruangan kembali sunyi. Dante tertegun, tidak menduga jawaban itu. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berani melawannya seperti Belle.
Belle tidak menunggu jawaban. Dia berbalik cepat dan berjalan keluar dari ruangan itu, meninggalkan Dante dan anggota Dominion Club lainnya.
Semua masih terdiam, begitu pula Dante yang masih berdiri. Dia benar-benar tercengang dengan perlawanan Belle.
Eddie menatap Dante dengan ekspresi datar. “Kau benar-benar sudah keterlaluan kali ini, Dan,” gumamnya.
Dante tetap berdiri di tempat. Diam, dengan rahangnya mengeras. Tapi di balik ekspresi dingin itu, pikiran Dante penuh gejolak. Belle berhasil mengganggu keseimbangannya, dan itu adalah sesuatu yang tidak bisa dia biarkan begitu saja.
“Tapi menarik, sangat menarik,” ujar Lex. Dia berhasil memecah keheningan. “Ternyata si mungil dan manis itu belum pernah ditiduri siapapun. Apa aku perlu menjadi yang pertama?”
Jamie spontan meninju lengan Lex. “Kau … diam,” bisiknya. Dia memberi isyarat pada Lex untuk diam. Kemudian melirik ke arah Dante yang masih mematung.
Setelah suasana sedikit tenang dan luka Cassie sudah dibalut, Eddie mengajaknya duduk di bangku kayu panjang di teras belakang restoran. Cassie menatap langit, lalu menunduk pelan. "Aku menyesal, Ed,"Eddie yang duduk di sampingnya tak langsung menoleh. "Menyesal yang mana?” timpalnya. “Meninggalkanku demi pangeran itu, atau menyesal karena dia bukan seperti yang kau bayangkan?"Cassie tersenyum pahit."Keduanya, mungkin," Dia menarik napas. "Saat itu, aku pikir aku membuat pilihan terbaik. Demi statusku, demi masa depan. Tapi aku kehilangan satu-satunya pria yang benar-benar peduli padaku… tanpa syarat,"Eddie masih diam. Tangannya terlipat, pandangannya lurus ke kebun kecil di belakang restoran."Aku lihat caramu memandang Belle," lanjut Cassie. "Penuh ketulusan. Dan... aku cemburu. Bukan karena Belle, tapi karena aku tidak pernah bisa menghargaimu saat kau jadi milikku,""Aku mencintaimu dulu, Cass. Tapi aku sudah melepasmu kini," suara Eddie akhirnya terdengar. Tenang, tapi menyim
Di dalam mobil, suasana sempat sunyi sesaat. Cassie menyetir pelan menyusuri jalan desa yang teduh dengan pepohonan. Musik klasik mengalun lembut dari radio mobil. Belle duduk tenang di sampingnya, memandangi jendela.Cassie menoleh sekilas. "Kau memang baik, Belle. Tidak heran Eddie merasa nyaman bersamamu,"Belle menoleh, tersenyum tipis. "Dia juga baik. Banyak membantu keluargaku,"Cassie tertawa pelan. "Aku dulu terlalu sibuk melihat masa depanku sendiri… sampai lupa, hati seseorang tidak bisa dilukai begitu saja,"Belle tidak menjawab. Matanya kembali menatap keluar.Cassie ikut terdiam. Untuk pertama kali sejak mereka masuk mobil, ekspresinya menunjukkan sedikit kerapuhan. Tangannya menggenggam kemudi sedikit lebih erat.“Bolehkah aku menanyakan sesuatu, Belle?”Belle menatapnya, tenang. “Apa?”Cassie menoleh, mata cokelatnya tajam. “Hubunganmu dengan Dante… seperti apa sebenarnya?”Belle terdiam sesaat. Dia menunduk, merasakan detak jantungnya berubah saat nama Dante disebut. “
Restoran kecil keluarga Belle sudah mulai dipadati pelanggan. Belle mengenakan apron berwarna krem, rambutnya diikat rapi ke belakang, tengah melayani pelanggan dengan senyum ramah. Sementara Eddie berada di dapur, membantu mengatur bahan makanan.Suasana riuh itu tiba-tiba mereda ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan restoran. Pintu terbuka perlahan dan dari dalamnya keluar seorang wanita anggun dengan setelan linen putih gading yang sempurna. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya.Cassie.Eddie yang sedang menyusun bahan di meja langsung membeku begitu sosok itu melangkah masuk. Senyumnya lenyap, ekspresinya menegang dalam sekejap. Eddie mematung di tempat, mata tidak berkedip menatap wanita yang dulu pernah dia lamar—dan yang kemudian meninggalkannya demi gelar bangsawan.Belle juga ikut menoleh begitu melihat Eddie berubah drastis. Tatapannya kemudian beralih ke pintu masuk… dan dia segera memahami segalanya.Cassie membuka kacamatanya dengan anggun, matanya langsun
Sejak pagi, Belle sudah berada di restoran kecil keluarganya. Membantu menyiapkan hidangan, melayani pelanggan, dan membersihkan meja. Tangannya bergerak lincah, namun hatinya terasa berat. Wajah Dante, kata-katanya, semua itu berputar tak henti dalam benak Belle."Belle, tolong ambilkan saus tambahan di dapur!" seru Liam dari balik meja kasir.Belle segera mengangguk dan bergegas ke belakang. Di dapur, Belle bersandar sejenak pada meja, menarik napas panjang. Tangannya gemetar tanpa dia sadari."Kau harus kuat, Belle," gumamnya pelan.Tetapi mengusir Dante dari hidupnya... tidak pernah terasa semenyakitkan ini."Belle?" suara langkah kaki terdengar mendekat.Belle menoleh dan melihat Eddie berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas air dingin di tangannya."Kau kelihatan lelah," kata Eddie, menyerahkan salah satu gelas padanya. "Istirahatlah sebentar,"Belle memaksakan senyum kecil dan menerima gelas itu. Eddie mengamati Belle dalam diam."Kalau ada yang mengganggumu, kau tahu kau bi
Begitu tiba, langkah Dante cepat memasuki klub eksklusif itu. Musik jazz mengalun lembut, lampu-lampu temaram mewarnai ruangan dengan cahaya emas yang redup. Semua orang menoleh sesaat, mengenali sosok dominan itu. Lalu buru-buru menundukkan kepala. Tidak ada yang berani mengganggu Dante Hudson malam ini.Di sudut ruang utama, Jamie sedang berbicara dengan seorang bartender. Tetapi langsung menghentikan kegiatannya saat melihat Dante. Dia berjalan cepat menghampiri, ekspresinya cemas.“Kau darimana saja?” tanya Jamie. “Kata Fabian kau cuti dua hari. Apa yang terjadi? Mana Belle?”Dante tidak langsung menjawab. Dia mengambil tempat di sofa kulit hitam, membiarkan dirinya tenggelam sesaat."Aku hampir menghancurkan wanita yang paling kucintai," gumam Dante.Jamie menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di hadapan Dante. Dia menyandarkan tubuhnya santai ke sofa, tetapi sorot matanya serius.“Apa yang kau lakukan padanya?” tanya Jamie. Suaranya rendah.“Kau tahu, aku selalu mencoba untuk me
Dante melangkah keluar dari kamar dengan jas yang sudah rapi, hanya butuh mengenakan jas luar untuk segera menuju mobil. Langkah kakinya terhenti begitu dia melangkah keluar menuju beranda depan. Pandangannya membeku.Di sana, berdiri Belle bersama Eddie. Mereka tampak bercakap ringan di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat pagar rumah. Eddie berdiri dengan tangan di saku, wajahnya tenang, dan senyum tipis terukir di bibirnya.“Belle…” suara Dante terdengar datar namun membuat Belle dan Eddie serempak menoleh.Belle buru-buru mendekat. “Kau sudah bersiap?”Dante tidak langsung merespons. Tatapannya menusuk ke arah Eddie, yang tetap berdiri di hadapannya.Eddie memberi anggukan sopan. “Hati-hati di jalan, Dan,”Dante mengeraskan rahangnya. “Apa yang kau lakukan di sini sepagi ini, Ed?”Hening menegang di antara mereka. Belle menarik lengan Dante pelan.“Dante, hentikan,” bisik Belle.Dante akhirnya menarik napas panjang, lalu menoleh pada Belle. “Apa maksudmu berdiri berdua dengannya