Home / Romansa / Dalam Genggaman Tiran Tampan / Bab 8 Seharusnya Marah

Share

Bab 8 Seharusnya Marah

Author: Dama Mei
last update Last Updated: 2025-02-24 21:14:19

Langit sore tampak kelabu. Angin dingin menyapu atap gedung Hudson Group. Di sudut yang sepi, Belle duduk dengan lutut ditekuk. Memeluk dirinya sendiri. Pipinya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

Gosip kejam di kantor, Nate yang memintanya mengundurkan diri dan reputasinya yang tercoreng membuatnya merasa seolah-olah sedang dihakimi. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya di rumah.

Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuat Belle mengangkat kepala. Belle menghapus air mata dengan cepat dan bangkit berdiri.

“Maaf, aku tidak tahu ada orang di sini,”

Belle menoleh dan melihat seorang pria berdiri beberapa langkah darinya. Eddie. Dengan jaket kulit hitam dan senyum yang samar, dia terlihat begitu tenang. Hampir seperti tidak nyata.

“Maaf, aku akan pergi,” tukas Belle. Mengemasi tasnya.

“Tidak masalah,” sahut Eddie.

Ucapan itu membuat langkah Belle terhenti.

“Aku melihatmu menangis dari jauh,” kata Eddie. “Kupikir kamu butuh seseorang untuk diajak bicara,”

“Kenapa kamu ada di sini? Kamu juga bekerja di sini?” tanya Belle, memberanikan diri.

Eddie menggeleng. Tatapannya pias pada pemandangan gedung-gedung pencakar langit.

“Aku sering datang ke sini. Karena hanya di gedung ini, atapnya punya pemandangan yang indah,” aku Eddie. Sekali lagi dia menatap pias ke cakrawala.

Belle melirik Eddie. Pria itu, figurnya dari samping tampak seperti tokoh khayalan. Indah, tenang dan dingin. Belle tidak pernah tahu, ada seseorang yang begitu menawan seperti Eddie.

Eddie melirik Belle, lalu melepas jaketnya dan meletakkannya di bahu Belle. “Kamu kedinginan,” katanya.

Belle terdiam, merasakan kehangatan jaket Eddie di sekujur tubuhnya.

“Kenapa kamu menangis?” tanya Eddie, tanpa basa-basi. Dia melirik Belle. “Padahal kamu begitu keren saat melawan Dante waktu itu,”

Belle merapatkan mulutnya. Dalam otaknya kini, banyak pertanyaan. Kenapa Dante dan Eddie bisa sangat bertolak belakang padahal mereka sama-sama anggota The Dominion Club?

“Kamu tidak tahu apa yang terjadi. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku hadapi,” jawab Belle. “Orang-orang sepertimu … tidak akan pernah mengerti,”

“Memang,” timpal Eddie cepat. Dia melirik Belle sambil tersenyum. “Tapi bukankah tidak semua hal di dunia ini harus kita mengerti?”

Belle tersentak. Dia memandang Eddie, mencoba mencari celah keburukan. Tapi wajah Eddie tetap tenang. Bahkan dia tersenyum.

“Aku rasa … semua orang punya luka masing-masing. Kita tidak ada kewajiban untuk saling mengerti,” lanjut Eddie. “Kamu juga tidak mengerti aku, Belle. Aku juga begitu. Adil, bukan?”

Arah pandangan Belle mengikuti pandangan Eddie. Jauh menatap cakrawala gedung-gedung pencakar langit.

“Belle, kau tahu sebenarnya ini semua terjadi karena nyalimu sendiri,” ucap Eddie setelah mereka berdua beberapa lama diam.

“Apa maksudmu?”

Eddie menghembuskan napas keras. “Kamu mencoba membuat semua orang mengerti,” terangnya. “Tapi aku suka sikapmu. Tidak pernah ada yang bisa seperti itu sebelumnya,”

Belle menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Dia menoleh ke arah Eddie, yang masih duduk di sampingnya.

“Di mana aku bisa menemukan Dante?” tanya Belle tiba-tiba.

Eddie terdiam beberapa saat, menatap Belle. Seolah mencoba membaca pikirannya. “Kenapa kamu ingin bertemu dengannya?”

“Aku harus bicara dengannya,” kata Belle, suaranya sedikit bergetar. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Dia harus tahu apa yang dia lakukan pada hidupku,”

Eddie menghela napas, lalu memandang Belle. “Kau tahu Dante, bukan?”

“Aku tidak peduli,” jawab Belle tegas. “Kalau dia ingin menghancurkan hidupku, dia harus tahu juga bagaimana rasanya dihancurkan,”

Eddie mengamati wajah Belle. Seakan mempertimbangkan apakah Belle cukup punya nyawa untuk maju menghadapi Dante.

Akhirnya, dia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi berjanjilah, kamu akan berhati-hati,”

“Aku janji,” Belle mengangguk. Tekadnya semakin tidak terbendung.

Eddie melipat tangannya di depan dada, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Biasanya, Dante ada di Hudson Clubhouse setelah jam kerja. Itu tempatnya berkumpul. Tapi, Belle—” Eddie tiba-tiba terdiam.

Belle menunggu apa yang akan Eddie katakan.

“Jangan datang sendirian,” lanjut Eddie.

Dahi Belle berkerut. “Kenapa? Apa dia akan membunuhku?”

“Tentu tidak,” Eddie tertawa. Lalu dia mengacak rambut Belle.

Hati Belle berdesir saat tangan Eddie menyentuh kepalanya. Seharusnya, Belle marah diperlakukan seperti itu. Tapi terkhusus untuk Eddie, dia diam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dalam Genggaman Tiran Tampan   Bab 141 Terlihat Damai

    Lex mengangkat alis dan berdiri. “Baiklah, sebelum semua ini berubah menjadi lebih emosional, aku punya ide,”Jamie menghela napas. “Lex punya ide adalah kalimat pembuka untuk kekacauan,”“Tenang saja,” kata Lex. “Ini hanya pesta kecil. Satu malam terakhir sebelum Dante resmi menjadi suami yang dijinakkan oleh Belle. Aku rasa kita pantas merayakannya, bukan?”Belle menoleh pada Dante. “Kau yakin ini ide yang bagus?”Dante menarik Belle ke sisinya. Tangannya melingkar di pinggang Belle. “Apapun asal kau di sisiku,”Lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat ke seluruh ruangan, membuat atmosfer mewah itu tampak lebih lembut. Lex berdiri di tengah ruangan seolah dia adalah pembawa acara pesta mewah. “Oke, karena semua sudah berkumpul, aku rasa inilah saatnya mengenang sedikit sejarah memalukan dari sang calon pengantin pria,”Jamie menatap Lex datar. “Kau selalu butuh panggung, ya?”“Kalau bisa punya spotlight sekalian, kenapa tidak?” Lex mengedipkan mata ke arah Lila, yang duduk s

  • Dalam Genggaman Tiran Tampan   Bab 140 Dunia Luar Menghilang

    Secara bisnis, Valeria Hudson tidak punya pilihan lain. Dengan tekanan dari para pemegang saham, ancaman pencopotan jabatan, dan fakta bahwa Richard Grentham justru menaruh syarat aneh dalam kesepakatannya, Valeria terpaksa mundur beberapa langkah.Secara publik, dia mendukung keputusan Dante untuk menikah dengan Isabella Monaghan. Dia bahkan menghadiri rapat berikutnya dengan profesional, menyatakan bahwa keluarga Hudson selalu memprioritaskan masa depan perusahaan, bahkan jika itu berarti menerima keputusan yang tidak masuk akal.Tapi dibalik itu, dia tidak pernah benar-benar menerima Belle. Dan wanita seperti itu, bagi Valeria, adalah ancaman lebih besar daripada ribuan saham yang jatuh.Beberapa hari kemudian, di hari yang tenang, Dante datang ke restoran keluarga Monaghan bersama Belle. Patrick menyambut mereka dengan senyum lebar dan canggung. Emily menyeka air mata haru tanpa suara. Liam, meskipun sempat menyeringai geli, akhirnya merangkul Dante seperti seorang kakak ipar yang

  • Dalam Genggaman Tiran Tampan   Bab 139 Sebagai Saksi

    Ruang rapat utama Hudson Group dipenuhi ketegangan pagi itu. Di ujung meja oval panjang yang terbuat dari kayu mahoni hitam mengilap, Valeria Hudson duduk anggun dalam balutan setelan biru tua. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tetapi matanya menyala tajam.Dante belum hadir. Namun di sekeliling meja, para pemegang saham utama dan anggota dewan direksi sudah duduk dengan wajah serius. Sebagian membuka laptop, sebagian menunggu dengan tangan bertaut di meja. Presentasi yang barusan ditampilkan memperlihatkan potensi nilai kapitalisasi perusahaan jika akuisisi tanah milik Richard Grentham berhasil dilakukan. Tanah yang sudah bertahun-tahun diincar dan menjadi jantung dari ekspansi Hudson Group di wilayah tengah.Namun sekarang, semua tergantung pada satu hal. Pemilik lahan hanya bersedia menjual tanahnya jika Dante Hudson, pewaris Hudson Group, menikahi Isabella Monaghan.Suara protes mulai terdengar di antara kursi-kursi rapat.“Proyek ini akan menggandakan nilai saham dalam dua kuarta

  • Dalam Genggaman Tiran Tampan   Bab 138 Beautiful Disaster

    Kabut tipis menyelimuti jalan menuju mansion keluarga Hudson, rumah megah yang menjulang seperti benteng tak tertembus di antara pohon-pohon cemara tua. Sebuah mobil hitam elegan berhenti perlahan di pelataran depan. Dari dalamnya, Lila Stewart turun dengan langkah tegap namun hati-hati, mengenakan setelan kerja berwarna abu-abu tua dan mantel wol yang melindungi tubuhnya dari udara dingin pagi.Dia menatap bangunan megah di hadapannya. Tempat yang dulu terasa asing, dan kini terasa lebih dingin dari yang dia ingat.Seorang pelayan membukakan pintu besar berlapis ukiran emas, lalu mempersilakan Lila masuk. Suara sepatu hak tingginya bergema di lantai marmer, memantul di lorong megah yang dipenuhi lukisan keluarga dan vas porselen yang terlalu mahal untuk disentuh.Di ujung ruangan, Valeria Hudson telah menunggunya. Duduk anggun di atas sofa beludru, mengenakan gaun biru tua yang sempurna, wajahnya tetap tenang dan tersenyum. Namun sorot matanya tajam seperti biasa.“Lila Stewart,” sap

  • Dalam Genggaman Tiran Tampan   Bab 137 Membuatmu Menyesal

    Keesokan harinya, dunia bisnis Hudson Group dikejutkan oleh kabar yang menyebar lebih cepat daripada proposal investasi apa pun. Di ruang-ruang rapat yang biasanya dipenuhi suara ketikan laptop dan diskusi, kini bisik-bisik beredar seperti badai yang tak terlihat.Nama Richard Grentham kembali disebut-sebut. Bukan karena keengganannya menjual lahan yang telah membuat proyek ekspansi Hudson Group tertahan selama dua tahun terakhir, tapi karena sebuah kabar yang jauh lebih mengguncang.Richard dikabarkan akan menjual tanahnya kepada Hudson Group. Dengan satu syarat, Dante Hudson harus menikahi Isabella Monaghan.Gosip itu pertama kali muncul dari mulut seorang staf keuangan yang mendengar obrolan para konsultan properti dari anak perusahaan. Tak lama, kabar itu menyebar seperti angin. Grup obrolan internal mulai ramai, dan para pemegang saham mulai mengajukan pertanyaan ke manajemen.Namun, tidak ada yang lebih terkejut daripada Valeria Hudson. Dia sedang duduk di kursinya yang megah, m

  • Dalam Genggaman Tiran Tampan   Bab 136 Pulang Bersamaku

    Mobil hitam milik Dante berhenti di depan sebuah bangunan kaca tua yang berdiri di atas bukit kecil. Rumah kaca itu tampak sepi, namun terawat. Lampu gantung tua di dalamnya memancarkan cahaya kekuningan, membentuk siluet tanaman-tanaman tropis dan meja kayu panjang di tengah ruangan.Dante membuka pintu mobil dan melangkah keluar, jasnya berkibar tertiup angin malam. Udara dingin menusuk kulit, tapi langkahnya mantap. Dia berjalan menapaki batu-batu kecil yang membentuk jalan setapak menuju rumah kaca, lalu mengetuk pintu kaca besar dengan satu ketukan berat.Pintu terbuka sebelum Dante sempat mengetuk kedua kalinya.Richard Grentham berdiri di sana, mengenakan mantel wol tua yang disampirkan asal di bahu. Tangannya menggenggam secangkir teh yang masih mengepulkan uap. Matanya menyipit saat melihat Dante.“Hudson,” sapa Richard dengan nada datar. “Akhirnya datang juga,”“Grentham,” Dante membalas dengan anggukan kaku, lalu melangkah masuk. “Terima kasih… sudah bersedia bertemu,”Rich

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status