Langit sore tampak kelabu. Angin dingin menyapu atap gedung Hudson Group. Di sudut yang sepi, Belle duduk dengan lutut ditekuk. Memeluk dirinya sendiri. Pipinya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir.
Gosip kejam di kantor, Nate yang memintanya mengundurkan diri dan reputasinya yang tercoreng membuatnya merasa seolah-olah sedang dihakimi. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi keluarganya di rumah.
Namun, suara langkah kaki di belakangnya membuat Belle mengangkat kepala. Belle menghapus air mata dengan cepat dan bangkit berdiri.
“Maaf, aku tidak tahu ada orang di sini,”
Belle menoleh dan melihat seorang pria berdiri beberapa langkah darinya. Eddie. Dengan jaket kulit hitam dan senyum yang samar, dia terlihat begitu tenang. Hampir seperti tidak nyata.
“Maaf, aku akan pergi,” tukas Belle. Mengemasi tasnya.
“Tidak masalah,” sahut Eddie.
Ucapan itu membuat langkah Belle terhenti.
“Aku melihatmu menangis dari jauh,” kata Eddie. “Kupikir kamu butuh seseorang untuk diajak bicara,”
“Kenapa kamu ada di sini? Kamu juga bekerja di sini?” tanya Belle, memberanikan diri.
Eddie menggeleng. Tatapannya pias pada pemandangan gedung-gedung pencakar langit.
“Aku sering datang ke sini. Karena hanya di gedung ini, atapnya punya pemandangan yang indah,” aku Eddie. Sekali lagi dia menatap pias ke cakrawala.
Belle melirik Eddie. Pria itu, figurnya dari samping tampak seperti tokoh khayalan. Indah, tenang dan dingin. Belle tidak pernah tahu, ada seseorang yang begitu menawan seperti Eddie.
Eddie melirik Belle, lalu melepas jaketnya dan meletakkannya di bahu Belle. “Kamu kedinginan,” katanya.
Belle terdiam, merasakan kehangatan jaket Eddie di sekujur tubuhnya.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Eddie, tanpa basa-basi. Dia melirik Belle. “Padahal kamu begitu keren saat melawan Dante waktu itu,”
Belle merapatkan mulutnya. Dalam otaknya kini, banyak pertanyaan. Kenapa Dante dan Eddie bisa sangat bertolak belakang padahal mereka sama-sama anggota The Dominion Club?
“Kamu tidak tahu apa yang terjadi. Kamu tidak tahu apa yang sedang aku hadapi,” jawab Belle. “Orang-orang sepertimu … tidak akan pernah mengerti,”
“Memang,” timpal Eddie cepat. Dia melirik Belle sambil tersenyum. “Tapi bukankah tidak semua hal di dunia ini harus kita mengerti?”
Belle tersentak. Dia memandang Eddie, mencoba mencari celah keburukan. Tapi wajah Eddie tetap tenang. Bahkan dia tersenyum.
“Aku rasa … semua orang punya luka masing-masing. Kita tidak ada kewajiban untuk saling mengerti,” lanjut Eddie. “Kamu juga tidak mengerti aku, Belle. Aku juga begitu. Adil, bukan?”
Arah pandangan Belle mengikuti pandangan Eddie. Jauh menatap cakrawala gedung-gedung pencakar langit.
“Belle, kau tahu sebenarnya ini semua terjadi karena nyalimu sendiri,” ucap Eddie setelah mereka berdua beberapa lama diam.
“Apa maksudmu?”
Eddie menghembuskan napas keras. “Kamu mencoba membuat semua orang mengerti,” terangnya. “Tapi aku suka sikapmu. Tidak pernah ada yang bisa seperti itu sebelumnya,”
Belle menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. Dia menoleh ke arah Eddie, yang masih duduk di sampingnya.
“Di mana aku bisa menemukan Dante?” tanya Belle tiba-tiba.
Eddie terdiam beberapa saat, menatap Belle. Seolah mencoba membaca pikirannya. “Kenapa kamu ingin bertemu dengannya?”
“Aku harus bicara dengannya,” kata Belle, suaranya sedikit bergetar. “Aku tidak bisa terus seperti ini. Dia harus tahu apa yang dia lakukan pada hidupku,”
Eddie menghela napas, lalu memandang Belle. “Kau tahu Dante, bukan?”
“Aku tidak peduli,” jawab Belle tegas. “Kalau dia ingin menghancurkan hidupku, dia harus tahu juga bagaimana rasanya dihancurkan,”
Eddie mengamati wajah Belle. Seakan mempertimbangkan apakah Belle cukup punya nyawa untuk maju menghadapi Dante.
Akhirnya, dia mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi berjanjilah, kamu akan berhati-hati,”
“Aku janji,” Belle mengangguk. Tekadnya semakin tidak terbendung.
Eddie melipat tangannya di depan dada, berpikir sejenak sebelum menjawab. “Biasanya, Dante ada di Hudson Clubhouse setelah jam kerja. Itu tempatnya berkumpul. Tapi, Belle—” Eddie tiba-tiba terdiam.
Belle menunggu apa yang akan Eddie katakan.
“Jangan datang sendirian,” lanjut Eddie.
Dahi Belle berkerut. “Kenapa? Apa dia akan membunuhku?”
“Tentu tidak,” Eddie tertawa. Lalu dia mengacak rambut Belle.
Hati Belle berdesir saat tangan Eddie menyentuh kepalanya. Seharusnya, Belle marah diperlakukan seperti itu. Tapi terkhusus untuk Eddie, dia diam.
Setelah suasana sedikit tenang dan luka Cassie sudah dibalut, Eddie mengajaknya duduk di bangku kayu panjang di teras belakang restoran. Cassie menatap langit, lalu menunduk pelan. "Aku menyesal, Ed,"Eddie yang duduk di sampingnya tak langsung menoleh. "Menyesal yang mana?” timpalnya. “Meninggalkanku demi pangeran itu, atau menyesal karena dia bukan seperti yang kau bayangkan?"Cassie tersenyum pahit."Keduanya, mungkin," Dia menarik napas. "Saat itu, aku pikir aku membuat pilihan terbaik. Demi statusku, demi masa depan. Tapi aku kehilangan satu-satunya pria yang benar-benar peduli padaku… tanpa syarat,"Eddie masih diam. Tangannya terlipat, pandangannya lurus ke kebun kecil di belakang restoran."Aku lihat caramu memandang Belle," lanjut Cassie. "Penuh ketulusan. Dan... aku cemburu. Bukan karena Belle, tapi karena aku tidak pernah bisa menghargaimu saat kau jadi milikku,""Aku mencintaimu dulu, Cass. Tapi aku sudah melepasmu kini," suara Eddie akhirnya terdengar. Tenang, tapi menyim
Di dalam mobil, suasana sempat sunyi sesaat. Cassie menyetir pelan menyusuri jalan desa yang teduh dengan pepohonan. Musik klasik mengalun lembut dari radio mobil. Belle duduk tenang di sampingnya, memandangi jendela.Cassie menoleh sekilas. "Kau memang baik, Belle. Tidak heran Eddie merasa nyaman bersamamu,"Belle menoleh, tersenyum tipis. "Dia juga baik. Banyak membantu keluargaku,"Cassie tertawa pelan. "Aku dulu terlalu sibuk melihat masa depanku sendiri… sampai lupa, hati seseorang tidak bisa dilukai begitu saja,"Belle tidak menjawab. Matanya kembali menatap keluar.Cassie ikut terdiam. Untuk pertama kali sejak mereka masuk mobil, ekspresinya menunjukkan sedikit kerapuhan. Tangannya menggenggam kemudi sedikit lebih erat.“Bolehkah aku menanyakan sesuatu, Belle?”Belle menatapnya, tenang. “Apa?”Cassie menoleh, mata cokelatnya tajam. “Hubunganmu dengan Dante… seperti apa sebenarnya?”Belle terdiam sesaat. Dia menunduk, merasakan detak jantungnya berubah saat nama Dante disebut. “
Restoran kecil keluarga Belle sudah mulai dipadati pelanggan. Belle mengenakan apron berwarna krem, rambutnya diikat rapi ke belakang, tengah melayani pelanggan dengan senyum ramah. Sementara Eddie berada di dapur, membantu mengatur bahan makanan.Suasana riuh itu tiba-tiba mereda ketika sebuah mobil mewah berhenti di depan restoran. Pintu terbuka perlahan dan dari dalamnya keluar seorang wanita anggun dengan setelan linen putih gading yang sempurna. Kacamata hitam besar menutupi separuh wajahnya.Cassie.Eddie yang sedang menyusun bahan di meja langsung membeku begitu sosok itu melangkah masuk. Senyumnya lenyap, ekspresinya menegang dalam sekejap. Eddie mematung di tempat, mata tidak berkedip menatap wanita yang dulu pernah dia lamar—dan yang kemudian meninggalkannya demi gelar bangsawan.Belle juga ikut menoleh begitu melihat Eddie berubah drastis. Tatapannya kemudian beralih ke pintu masuk… dan dia segera memahami segalanya.Cassie membuka kacamatanya dengan anggun, matanya langsun
Sejak pagi, Belle sudah berada di restoran kecil keluarganya. Membantu menyiapkan hidangan, melayani pelanggan, dan membersihkan meja. Tangannya bergerak lincah, namun hatinya terasa berat. Wajah Dante, kata-katanya, semua itu berputar tak henti dalam benak Belle."Belle, tolong ambilkan saus tambahan di dapur!" seru Liam dari balik meja kasir.Belle segera mengangguk dan bergegas ke belakang. Di dapur, Belle bersandar sejenak pada meja, menarik napas panjang. Tangannya gemetar tanpa dia sadari."Kau harus kuat, Belle," gumamnya pelan.Tetapi mengusir Dante dari hidupnya... tidak pernah terasa semenyakitkan ini."Belle?" suara langkah kaki terdengar mendekat.Belle menoleh dan melihat Eddie berdiri di ambang pintu, membawa dua gelas air dingin di tangannya."Kau kelihatan lelah," kata Eddie, menyerahkan salah satu gelas padanya. "Istirahatlah sebentar,"Belle memaksakan senyum kecil dan menerima gelas itu. Eddie mengamati Belle dalam diam."Kalau ada yang mengganggumu, kau tahu kau bi
Begitu tiba, langkah Dante cepat memasuki klub eksklusif itu. Musik jazz mengalun lembut, lampu-lampu temaram mewarnai ruangan dengan cahaya emas yang redup. Semua orang menoleh sesaat, mengenali sosok dominan itu. Lalu buru-buru menundukkan kepala. Tidak ada yang berani mengganggu Dante Hudson malam ini.Di sudut ruang utama, Jamie sedang berbicara dengan seorang bartender. Tetapi langsung menghentikan kegiatannya saat melihat Dante. Dia berjalan cepat menghampiri, ekspresinya cemas.“Kau darimana saja?” tanya Jamie. “Kata Fabian kau cuti dua hari. Apa yang terjadi? Mana Belle?”Dante tidak langsung menjawab. Dia mengambil tempat di sofa kulit hitam, membiarkan dirinya tenggelam sesaat."Aku hampir menghancurkan wanita yang paling kucintai," gumam Dante.Jamie menarik napas dalam-dalam, lalu duduk di hadapan Dante. Dia menyandarkan tubuhnya santai ke sofa, tetapi sorot matanya serius.“Apa yang kau lakukan padanya?” tanya Jamie. Suaranya rendah.“Kau tahu, aku selalu mencoba untuk me
Dante melangkah keluar dari kamar dengan jas yang sudah rapi, hanya butuh mengenakan jas luar untuk segera menuju mobil. Langkah kakinya terhenti begitu dia melangkah keluar menuju beranda depan. Pandangannya membeku.Di sana, berdiri Belle bersama Eddie. Mereka tampak bercakap ringan di bawah pohon besar yang tumbuh di dekat pagar rumah. Eddie berdiri dengan tangan di saku, wajahnya tenang, dan senyum tipis terukir di bibirnya.“Belle…” suara Dante terdengar datar namun membuat Belle dan Eddie serempak menoleh.Belle buru-buru mendekat. “Kau sudah bersiap?”Dante tidak langsung merespons. Tatapannya menusuk ke arah Eddie, yang tetap berdiri di hadapannya.Eddie memberi anggukan sopan. “Hati-hati di jalan, Dan,”Dante mengeraskan rahangnya. “Apa yang kau lakukan di sini sepagi ini, Ed?”Hening menegang di antara mereka. Belle menarik lengan Dante pelan.“Dante, hentikan,” bisik Belle.Dante akhirnya menarik napas panjang, lalu menoleh pada Belle. “Apa maksudmu berdiri berdua dengannya