Grita berdecak kesal. Kaisar tidak menjawab telepon darinya, tidak seperti biasanya. "Apa Kaisar udah kerja ya? "
Grita memaklumi, mungkin saja Kaisar sudah bekerja dan tidak membawa ponsel.Gadis itu sudah siap untuk pergi bekerja. Setelah sarapan roti dan susu, Grita pergi menggunakan ojek online menuju kantornya.Perusahaan tempat Grita bekerja letaknya tidak terlalu jauh dari apartementnya. Hanya memakan waktu 10 menit. Seperti biasa Grita akan tersenyum dan menyapa orang-orang di kantor. Entah ia mengenalnya atau tidak, yang terpenting adalah menjadi pribadi yang ramah."Pagi, Ta."Perempuan berambut pendek sebahu muncul dan menyapa Grita. Itu adalah Luna, rekan kerja Grita.Grita tersenyum. "Pagi. Nanti makan siang di luar lagi ya, Lun? "Luna setuju. Mereka lalu berpisah karena ruang kerja mereka berbeda. Ruang kerja Luna ada di lantai dasar sedangkan Grita ada di lantai 3, itu artinya Grita harus menaiki lift untuk sampai di ruang kerjanya.Grita menunggu lift turun. Tiba-tiba ada seseorang disamping nya. Grita tersenyum dan menyapa seseorang disamping nya ini."Selamat pagi Pak Anton, "ucap Grita ramah.Anton mengangguk kecil."Pagi, " ucap Anton datar.Lift terbuka, Grita dan Anton masuk bersama. Setelah menekan tombol pintu lift pun tertutup. Di dalam lift suasana tampak canggung dan hening. Anton terlihat cuek dengan memainkan ponselnya sedangkan Grita bingung ia harus mengobrol apa dengan atasannya itu, ia ingin menjadi karyawan yang ramah apalagi dengan direktur perusahaan ini.Kenapa aku canggung gini sih sama Pak Anton? Masa aku harus diem aja gak ngobrol, tapi aura nya Pak Anton dingin nyeremin, kan jadi segan.Sementara Grita berkecamuk dengan pikirannya sendiri, pintu lift terbuka."S-saya duluan ya, Pak, " ucap Grita dengan sedikit membungkukkan badannya."Ya."Grita keluar dari lift dengan sedikit tergesa-gesa. Ia menyempatkan diri berbalik badan dan mengangguk sopan seraya tersenyum pada Anton. Lelaki itu hanya menatap dingin tanpa membalas senyuman Grita.Begitu pintu lift tertutup, senyum Grita langsung hilang."Cuek banget sih pak Anton, mana tatapannya nyeremin lagi."***Sekarang Kara tengah berada di kamarnya membaca novel. Setelah bermain dengan Kaisar gadis itu memilih pergi ke kamarnya.Kaisar ada di lantai bawah bersama para pembantunya yang lain.Kara mengubah posisi duduknya di sofa."Kara masih penasaran deh, masa bang Kaisar bener-bener gak suka sama orang?"Kara bertanya-tanya pada dirinya sendiri."Untuk lelaki 25 tahun emangnya wajar ya gasuka sama perempuan?"Kara meletakkan novel di sampingnya. Ia mengacak rambutnya sendiri."Ih gatau deh! Kara pusing, "Gadis itu berdiri dari duduknya dan berjalan keluar kamar. Ia mau meminjam buku yang ada di ruang kerja Anton yang berada di samping kamarnya. Pintu ruang kerja Anton tidak terkunci, mungkin lelaki itu lupa."Tumben gak di kunci, "ucap Kara.Ruang kerja Anton luas. Untuk ukuran ruang kerja luasnya hampir sama dengan kamar Kara. Perhatian gadis itu teralihkan pada tumpukan buku di rak yang jumlahnya lumayan banyak itu. Anton mengoleksi lebih dari 200 buku dengan berbagai genre. Tapi kebanyakan adalah buku tentang bisnis dan misteri. Anton suka hal-hal berbau misteri."Bukunya mana ya? "ucap Kara sambil matanya menelisik buku-buku di rak. Ternyata buku yang Kara cari ada di rak paling atas."Kok di atas sih, Kara ngambilnya gimana coba. " Kara berjinjit untuk menggapai buku itu, tapi percuma saja. Lalu ia mencoba untuk melompat, hasilnya sama saja. Dengan tinggi 155 sangat mustahil jika Kara bisa menggapai buku itu.Kara kesal tapi tetap mencoba mengambilnya dengan melompat. Sebuah tangan tiba-tiba mengambil buku itu. Kara menoleh ke belakang. Kara berhadapan dengan dada bidang Kaisar. Karena tinggi badan Kara hanya sebatas dada Kaisar."Kalau kesusahan bilang, nona." Kaisar menyerahkan buku di tangannya kepada Kara. Gadis itu mengambilnya lalu tersenyum."Terimakasih, "Kaisar mengangguk. "Maaf saya masuk tanpa izin. Saya akan keluar, "ucap Kaisar lalu berjalan keluar. Kaisar sebenarnya sedang ingin memastikan bahwa Kara benar-benar ada di kamarnya. Tapi saat ia naik dan menuju kamar Kara, pintu kamarnya terbuka lebar dan tidak ada siapapun di dalamnya. Mencoba untuk tenang, Kaisar menuju ke ruangan di sebelah kamar Kara,berharap Kara ada disana. Benar saja, gadis itu ada di dalam tengah melompat-lompat untuk meraih buku.Kaisar mengaku bahwa Kara lucu. Wajahnya, sifatnya dan tingkah lakunya benar-benar seperti anak kecil. Benar-benar tidak terlihat seperti remaja 16 tahun karena wajahnya memang seperti anak kecil.Saat sedang menuruni tangga Kaisar berpas-pasan dengan Bi Ina yang hendak naik ke atas."Non Kara ada di kamarnya, Nak? "tanya Bi Ina dengan kedua tangan membawa nampan berisi segelas susu cokelat dingin dan beberapa roti."Di ruang kerja pak Anton, Bu. "Mendengar hal itu Bi Ina bergegas naik ke atas. Dilihat dari wajahnya sepertinya wanita itu tampak cemas dan khawatir. Kaisar tak tahu apa maksudnya, ia memilih cuek dan tak mempedulikannya.Pintu ruang kerja Anton terbuka sedikit, Bi Ina membukanya pelan. "Non Kara?".Kara menyaut dari dalam. Bi Ina masuk dan menemukan gadis itu tengah duduk di sofa dekat jendela sambil membaca buku."Nona sedang apa disini? "tanya Bi Ina.Kara menunjukkan buku di tangannya. Bi Ina meletakkan nampan di atas meja samping sofa. Kara menutup buku lalu meletakkannya dan meminum susu cokelat.Bi Ina duduk di lantai sambil memperhatikan setiap gerakan Kara dari meminum susu sampai memakan roti."Nona sudah lama disini? "tanya Bi Ina. Kara menjawab dengan anggukan karena mulutnya penuh dengan roti."Jadi Kaisar juga sedari tadi bersama Non Kara disini? "Kara menelan roti di mulutnya."Enggak, "ucap Kara lalu melanjutkan makan roti.Bi Ina mengubah posisi duduknya. Ia ingin menyampaikan sesuatu pada Kara tapi ia bingung cara mengatakannya."Non Kara tau kan kalau gak ada yang boleh masuk ke ruangan kerja tuan, kecuali Non Kara sendiri." ucap Bi Ina, "Bibi sendiri juga sebenarnya gak boleh masuk, apalagi nak Kaisar. "Kara tak tahu apa maksud pembicaraan Bi Ina. Ia hanya mendengarkannya."Bibi hanya menyarankan jangan memperbolehkan siapapun masuk ke ruangan tuan termasuk Kaisar. Dia orang asing, kita tidak tau sifatnya seperti apa."Kara mengernyitkan keningnya, ia tidak suka dengan ucapan Bi Ina yang mencurigai Kaisar. "Bang Kaisar tadi masuk cuma buat bantuin aku ngambil buku doang kok, dia baik. Gak mungkin dia mau macam-macam, "ucap Kara.Bi Ina berdiri dari duduknya dan mengambil nampan yang isinya sudah kosong. "Bibi hanya menyarankan saja, Non.""Kalau Kaisar gak boleh masuk Bibi juga gak boleh, "ucap Kara dengan nada tak suka. Bi Ina mengangguk."Iya, bibi tau. "Bi Ina keluar ruangan. Kara menatap kepergiannya dengan tatapan penuh tanda tanya. Ia masih bingung dengan ucapan Bi Ina. Apakah wanita itu mencurigai Kaisar sebagai orang asing yang akan berbuat jahat pada dirinya dan keluarganya?.Tapi Kara yakin Kaisar bukanlah orang jahat seperti yang Bi Ina kira. Kara harap perkiraannya tentang Kaisar benar.***Sore itu, langit mulai meredup, mengusir sisa-sisa cahaya mentari yang menggantung di atas kota. Udara mulai sejuk, menyusup ke sela-sela jaket para pejalan kaki yang bergegas pulang. Di antara hiruk pikuk yang perlahan memudar, Kaisar memilih untuk tetap berjalan kaki, menikmati suasana sore yang menenangkan pikirannya.Ia berhenti di sebuah kedai kopi kecil di pinggir jalan, memesan secangkir kopi panas yang mengepul harum. Saat ia menyandarkan tubuhnya ke pagar pembatas trotoar, matanya menangkap iring-iringan kendaraan melintas di jalan seberang. Rombongan mobil dan motor, sekitar dua mobil dan beberapa motor, melaju dalam kecepatan sedang namun jelas memiliki tujuan yang sama. Ada sesuatu dalam mereka yang terasa familiar.Kaisar mengerutkan dahi. Ia meneguk kopinya, tapi pikirannya tak tenang. Tatapannya mengikuti rombongan itu hingga menghilang di tikungan. Dan tiba-tiba, seperti lampu menyala dalam pikirannya, ia teringat. Kendaraan itu adalah milik kelompok Dodi.Ia membuang
Pintu rumah Anton diketuk oleh seseorang di sore harinya. Di luar, langit mulai berubah warna, rona jingga merambat pelan dari ufuk barat, mewarnai dinding-dinding rumah dengan bayangan panjang. Di dalam, Anton tengah duduk di ruang utama, matanya fokus menelusuri baris-baris tulisan dalam berkas yang sudah ia periksa entah berapa kali. Konsentrasinya buyar oleh suara ketukan itu. Ia meletakkan berkas di meja, berdiri, dan melangkah ke arah pintu.Dengan langkah waspada, ia membuka pintu. Terlihatlah seorang pria paruh baya berdiri di sana. Tubuhnya gemuk, kulit kepala mengilap tanpa sehelai rambut, dan sebuah senyum lebar menampakkan kumis tebal yang ikut bergerak-gerak ketika dia berbicara."Selamat sore," sapa pria itu dengan suara berat namun ramah."Sore," jawab Anton singkat. Matanya memindai pria itu dari atas ke bawah.Pria itu tampak mencuri pandang ke dalam rumah. Matanya cepat menjelajah ke arah ruang tamu, rak buku, dan meja kerja Anton seolah ingin merekam segalanya dalam
"Rumah ibunya Anton, di mana?"Obrolan pesan singkat itu berakhir begitu saja. Hening. Seolah menyisakan gema di benak Dodi yang terus-menerus memutar pertanyaan itu dalam kepalanya. Ia memandangi layar ponsel yang kini sudah padam. Tak ada balasan lagi dari Grita. Hanya itu yang bisa ia dapat. Rumah Anton kosong, sepi, tak ada satu pun tanda kehidupan. Dan ketika Dodi mencoba menekan Grita untuk bicara, satu-satunya informasi yang keluar dari bibir perempuan itu hanyalah bahwa Anton pergi ke rumah ibunya, nenek dari Kara.Masalahnya, Dodi tidak pernah tahu Anton masih memiliki seorang ibu. Ia bahkan tak tahu apakah ibu itu benar-benar masih hidup. Selama ini, latar belakang Anton seperti misteri yang tak pernah bisa dibuka, bahkan oleh orang-orang yang cukup dekat dengannya. Dan kini dengan keadaan yang semakin genting, semua informasi menjadi penting. Termasuk silsilah keluarga.Dodi mendongak dari layar ponselnya dan menatap salah satu anak buahnya yang duduk di kursi sebelah. Tata
Pagi itu juga, dengan berbondong-bondong, Dodi dan antek-anteknya kembali datang ke rumah Anton. Mobil-mobil mereka berderet di halaman depan, mengepulkan debu kering. Dodi yang pertama kali turun dari mobil, mengerutkan kening curiga. Begitu melangkah masuk ke halaman, langkahnya berhenti.Ia mengernyitkan kening. Tidak ada siapa pun di sana. Sunyi.Dodi menyuruh anak buahnya menyebar ke seluruh penjuru rumah untuk mencari keberadaan Anton dan yang lainnya. Suasana terasa aneh. Pintu rumah terkunci rapat, pos satpam kosong tak berpenghuni, bahkan rumah depan untuk karyawan pun tampak sepi."Tidak ada siapapun di sini," lapor salah satu anak buah dengan wajah tegang.Dengan kasar, Dodi menendang sebuah pot bunga yang ada di teras sampai pecah berantakan. Pecahan tanah dan keramik beterbangan, mencerminkan betapa amarah menguasai dirinya."Sialan! Kemana mereka!" Dodi menggeram, suaranya menggetarkan halaman kosong itu.Ia tidak bisa berpikir jernih. Pikirannya dipenuhi rasa frustrasi
Keadaan markas menjadi bak kapal pecah saat Sean kembali pada keesokan harinya. Botol-botol alkohol kosong berserakan di lantai, puntung rokok tersebar di mana-mana, serta orang-orang yang ada di sana tepar di segala penjuru markas. Bau menyengat alkohol, asap rokok basi, dan keringat memenuhi udara, membuat Sean harus menahan napas sejenak sebelum melangkah lebih jauh.Ia berdiri di ambang pintu, mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Suara dengkuran dan gumaman orang mabuk terdengar bersahut-sahutan. Beberapa tubuh tergolek di sofa, lantai, bahkan ada yang tidur setengah bergelantungan di atas meja.Sean mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Dodi. Ia tak menemukannya di ruang utama, jadi ia beralih mencari ke ruangan Dodi, sebuah ruangan kecil di sudut markas yang biasanya selalu ramai dengan aktivitas. Kini, lorong menuju ruangan itu sepi, hanya langkah sepatu Sean yang terdengar menggema.Begitu pintu dibuka, tak terlihat siapapun ada di sana. Ruangan itu kosong, hanya
Sean memutuskan untuk pulang ke apartemennya. Meninggalkan markas yang kini penuh dengan orang-orang yang mabuk, termasuk Dodi. Sean tidak suka keramaian penuh bau alkohol seperti ini, jadi dia memutuskan untuk pulang saja.Sean menaiki motornya dan melaju di jalanan kota yang sepi. Pikirannya terus terpusat pada peristiwa tadi. Ia khawatir dengan kondisi Kara, ia takut gadis itu kenapa-napa, tapi sekali lagi tak ada yang bisa ia lakukan.Motor Sean melaju kencang hingga sampai ke apartemennya. Ia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya yang lelah, lelah secara fisik dan mental.Di kota yang sama namun di tempat yang lain, kediaman Anton masih ramai karena kepindahannya. Malam itu juga Daniel mengantarkan Grita ke rumah Rei, sambil membawa pria yang ada di ruang bawah tanah tadi. Tentu saja dengan tali terikat dan mata ditutup kain. Leo tidak bisa membawanya karena dia memakai sepeda motor, jadi dia meminta Daniel untuk membawannya. Sementara yang lain tetap kembali ke pekerjaannya mem
"Berkas tadi, yang kuserahkan begitu saja pada Dodi, itu adalah berkas palsu."Leo menatapnya tak percaya, menahan napas sejenak seolah memastikan apa ia tak salah dengar. Malam itu udara terasa dingin menusuk kulit, dan bayangan pepohonan yang bergerak di bawah cahaya bulan menambah suasana mencekam."Sungguh?" tanyanya dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.Anton mengangguk pasti. Tatapannya kembali lurus ke depan, seolah menembus gelapnya malam. Dua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya, berusaha menahan dingin yang menggigit. Pohon-pohon di sekitar mereka bergerak pelan mengikuti irama angin, berdesir lembut namun menghadirkan suasana muram."Aku tidak akan pernah menyerahkan apapun yang ku punya pada orang lain. Yang menjadi milikku akan selamanya menjadi milikku," ucap Anton tegas, suaranya berat namun penuh keteguhan.Leo tertawa pelan, nada tawanya lebih mirip helaan napas lega bercampur kekaguman. Anton tetap Anton yang dulu, pikir Leo. Pria yang keras kepala namu
Kara menolak saat Vano mengajaknya ke kamarnya untuk beristirahat. Tubuh mungilnya gemetar, matanya kosong, jelas sekali kejadian mengerikan tadi masih menghantuinya. Vano mengerutkan kening, kebingungan harus bagaimana. Ia tahu dirinya tidak pandai menangani trauma seperti ini, apalagi terhadap seorang perempuan seperti Kara.Kalau saja Bi Ina atau salah satu pembantu perempuan lainnya masih di sini, mereka pasti tahu harus berbuat apa. Sayangnya, tadi pagi Anton memutuskan untuk memulangkan semua staf rumah tangga, agar mereka terhindar dari kemungkinan bahaya. Keputusan yang benar di satu sisi, namun membuat mereka kehilangan sosok-sosok yang biasanya bisa menenangkan Kara."Yaudah, Kara mau di mana?" tanya Vano dengan suara yang dibuat selembut mungkin, berusaha agar gadis itu merasa aman.Kara tidak menjawab. Ia hanya memeluk lututnya sendiri sambil menunduk. Napasnya pendek-pendek, seolah-olah ia berusaha keras menahan ketakutan yang menyeruak dari dalam dirinya.Vano menunggu d
Anton menghela napasnya kasar, ia menoleh pada Raven.”Bawakan berkas di laci mejaku.”Leo menatapnya tak percaya, ia menyentuh bahu Anton."Kau yakin?" tanya Leo."Aku harus menyelamatkan mereka," jawab Anton. Ia lalu kembali menatap Raven, pria itu lalu masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Detik-detik berlalu terasa begitu lambat. Jantung Anton berdegup keras, seakan menghantam dadanya dari dalam. Ia mengepalkan tangannya erat, menahan emosi yang berkecamuk hebat.Dodi tertawa puas. Akhirnya setelah sekian lama, berkas itu akan menjadi miliknya, dan Anton akan jatuh sejatuh-jatuhnya. Mata Dodi bersinar-sinar, bibirnya terus menyunggingkan senyum kemenangan. Tak lama, Raven muncul dari dalam rumah, membawa sebuah berkas di tangannya, lalu menyerahkannya pada Anton.Anton menatap berkas itu sejenak, hanya karena tumpukan kertas ini ia harus mengorbankan orang-orang yang disayanginya. Luka di hatinya yang lama pun kembali menganga. Ia tak mau kehilangan lagi, cukup istri dan ana