로그인Brak!Suara bantingan keras terdengar dari arah kamar. Arman yang sedang di ruang tengah langsung melangkah cepat, jantungnya berdegup tak karuan.Begitu pintu terbuka, dia mendapati Julie tengah membongkar lemari. Beberapa koper tergeletak sembarangan di lantai. Arman langsung mengenali koper-koper itu—barang-barang Aura yang dulu tak sempat dibawanya, namun selama ini tersimpan rapi.“Apa yang kau lakukan, Julie?” tanya Arman terkejut.Julie menoleh dengan wajah penuh amarah. “Wanita itu benar-benar niat, ya. Barang-barangnya masih ditinggal semua, seolah kau akan memakainya lagi.” Tangannya menunjuk koper-koper itu dengan jijik. “Kalau mau pergi, ya pergi sekalian! Apa dia pikir kau masih akan menunggunya?”“Mungkin cuma tak sengaja tertinggal,” jawab Arman pelan. “Atau nanti akan diambil. Tapi Om Pras pasti tidak akan membiarkannya kembali ke rumah ini.”Julie tertawa sinis. “Ya jelas! Om Pras bisa memberinya segalanya. Tapi kenapa juga dia tega meninggalkan sampah-sampah begini?”
“Kak Della?” sapa Aura ragu.Wanita itu menoleh, lalu tersenyum. “Oh, kita ketemu di sini, Ra.”Della—sepupu Vanesha, sekaligus pegawai di perusahaan keluarga Eliyas. Berbeda dengan Vanesha yang begitu terpukul saat tahu hubungan Aura dengan Pras, Della justru tipe yang santai dan cenderung masa bodoh. Ia tak suka ikut campur urusan orang lain.“Kak Della tinggal di sini?” tanya Aura penasaran. Sudah berbulan-bulan ia tinggal di apartemen ini, tapi sama sekali tak tahu kalau Della juga penghuni di sini.“Baru seminggu pindah, Ra,” jawab Della ringan. “Itu pun karena dapat bonus perusahaan. Patungan sama suami. Pengen juga punya apartemen yang nyaman dan berkelas begini.”Della sendiri tampak sedikit terkejut melihat Aura. “Jadi kamu dan Pak Pras tinggal di sini, ya?”Aura mengangguk.“Wah, kebanggaan dong. Bisa tetanggaan sama big boss dan istrinya yang cantik,” canda Della.“Kak Della bisa saja,” balas Aura sambil tersenyum tipis.Aura memang ingat betul, Della suka bercanda dan pemb
“Dasar gila!”Aura menggerutu sambil langsung menghapus pesan-pesan itu tanpa perlu membacanya.Arman seharusnya paham, dia tak lagi membutuhkan penjelasan apa pun. Mereka sudah bercerai. Sudah memilih jalan masing-masing. Harusnya selesai. Kenapa harus mengirim pesan-pesan seperti itu padanya?Kalau Pras sampai tahu soal ini, dia bisa benar-benar marah.Aura mulai menyadari satu hal—Pras ternyata tak selalu sedewasa yang selama ini dia kira, terutama jika menyangkut rasa cemburu.Tadi saja, kalau Aura tak segera menahannya, Pras pasti sudah menghajar Arman. Padahal mereka masih berada di rumah sakit.Sambil membuat segelas susu hangat dan mengupas buah untuk camilan, pikiran Aura terus terusik oleh sikap Arman. Dia benar-benar tak mengerti, sebenarnya bagaimana hubungan pria itu dengan Julie. Kenapa Arman bersikap seolah tak mencintainya? Padahal kehampaan rumah tangga mereka dulu jelas-jelas karena Arman tak pernah sepenuhnya tertarik pada Aura—dan diam-diam masih terikat dengan wan
“Sudah, kita mau menengok Oma kan?” Aura menarik lengan Pras dan mengajaknya masuk ke ruang rawat Oma Eliyas.Pras tak mau membuat Aura panik, jadi dia menurut saja. Lain kali kalau Arman masih mencoba memancing amarahnya, Pras tidak akan selamanya diam.Entahlah, untuk urusan lainnya Pras bisa menghadapinya dengan tenang dan santai. Tapi kalau sudah menyangkut Aura dengan Arman, dia selalunya cemburu dan kesal.Mungkin karena Pras merasa sudah merebut Aura saat masih bersama Arman—apapun alasan di balik semua itu.Di dalam, Oma Eliyas ternyata sedang beristirahat. Tari menyampaikan bahwa dokter baru saja memberikannya obat yang menyebabkan efek ngantuk. Pras dan Aura tak menganggu istirahatnya.Keduanya hanya saling diam saja dan duduk menatap wanita yang terbaring itu tanpa mengatakan apapun. Pras masih terlihat kesal dan Aura lebih baik tak menyinggungnya dulu.“Oma masih tidur, Mas. Kita tengok lain kali saja, ya? Aku lelah.” Aura baru mengangkat suaranya, menambahkan dengan kata l
“Apa ada masalah serius, Dok?”Pras berdiri tak jauh dari ranjang pemeriksaan, wajahnya jelas menunjukkan kepanikan yang belum sepenuhnya reda. Sejak menerima telepon dari Tata, ia langsung menghentikan rapat tanpa peduli tatapan peserta lain. Aura dan anaknya jauh lebih penting daripada agenda apa pun.Aura masih menjalani beberapa pemeriksaan tambahan. Pras menunggu dengan gelisah, mondar-mandir kecil seperti singa yang terkurung.“Mas…,” panggil Aura setelah dokter selesai memeriksanya.Pras langsung menghampiri, meraih Aura ke dalam pelukan. “Ada apa, Sayang? Kamu kenapa bisa sampai begini?”Entah kenapa, setiap kali Aura pergi tanpa dirinya, selalu saja ada kejadian yang membuat jantung Pras hampir copot.Aura belum sempat menjawab ketika dokter mendekat, wajahnya justru tampak santai, bahkan tersenyum kecil.“Tenang saja, Pak. Tidak ada yang serius,” ujar dokter itu. “Hanya flek ringan dan tidak berlanjut menjadi pendarahan. Kondisi janin baik.”Aura menunduk, wajahnya memanas m
Menunggu Pras menyelesaikan satu meeting-nya lagi, Aura mengirim pesan singkat. Dia ingin turun ke lounge dan memesan minuman yang dulu sering dipesannya saat masih bekerja di perusahaan ini. Masih jam kerja. Pasti belum banyak orang. Setidaknya, dia bisa duduk sebentar, menenangkan diri, menikmati suasana tanpa perlu banyak basa-basi.Namun, tak disangka, Aura justru kembali bertemu dengan Mieke. Kali ini wanita itu tidak sendiri. Ada seorang gadis di sampingnya—gadis yang dulu sempat membuat Aura cemburu karena terlalu sering bersikap genit pada Pras.Mereka berpapasan di lorong menuju lounge. Tidak ada sapaan. Hanya tatapan sinis yang dilemparkan sekilas, dingin dan penuh penilaian. Aura sama sekali tidak menanggapi. Dia berjalan melewati mereka begitu saja.Aura memang bukan tipe orang yang haus dihormati. Tidak disapa pun tak masalah baginya. Jangankan sekadar diacuhkan, dicaci dan dihina pun sudah terlalu sering ia telan. Hidup mengajarkannya untuk kebal.Mungkin orang akan meny







