Share

5. Dikecewakan Lagi

Author: Kafkaika
last update Huling Na-update: 2025-10-23 00:16:27

“Maaf untuk yang tadi, Om…” ucap Aura pelan, menunduk. Wajahnya masih menyisakan rona malu. Perilakunya barusan, memeluk pria ini dalam keadaan berpakaian minim, sungguh tak pantas. Pria ini adalah paman suaminya. Tapi tadi Aura bertingkah seolah kehilangan akal sehat.

Pras hanya tersenyum. Ia menyodorkan segelas air. “Tak apa. Kau tadi ketakutan.”

Hanya jawaban sederhana. Tapi terasa menenangkan.

Mereka sempat berbincang sebentar tentang malam perpisahan yang berakhir kacau karena Arman meninggalkannya. Pras, yang jelas-jelas kesal pada Arman, bahkan sempat menghubungi keponakannya itu.

“Kalau kau tidak bisa menjemput istrimu sendiri, biar aku yang antar!” ucapnya tadi, tegas. Aura bisa merasakan nada marah di balik suara tenangnya.

Kini, di perjalanan pulang, mobil terasa senyap. Aura duduk di kursi penumpang dengan tubuh kaku, pikirannya berkecamuk. Kejadian tadi—tak sengaja memeluk Pras dengan tubuh setengah telanjang, lalu melihat ekspresi paman suaminya itu saat lampu menyala—semuanya terputar ulang dalam benaknya. Setiap detailnya terasa panas, membuat pipinya kembali memerah.

Ia melirik Pras diam-diam. Lelaki itu tenang, fokus menyetir, seolah tidak terjadi apa-apa. Kedewasaan dan ketenangan yang justru membuatnya makin misterius.

Pras memang berbeda. Tampan, jangkung, penampilannya rapi dan bersih. Usianya mungkin sudah kepala empat, tapi jelas belum tua. Matang. Penuh wibawa.

Aura ingat, Pras adalah pilar keluarga sejak ayah Arman meninggal. Dialah yang menjaga rumah besar keluarga Eliyas tetap utuh—menjaga bisnis, menjaga kehormatan, menjaga mereka semua agar tak runtuh.

Selama ini Aura jarang berbicara langsung dengan Pras. Kalaupun bertemu, hanya sapaan basa-basi. Tapi malam ini, mereka tiba-tiba seperti sekutu yang diam-diam memahami luka masing-masing.

“Aku minta maaf atas sikap Arman,” ucap Pras, memecah keheningan. “Dia kehilangan ibunya sejak bayi, dan ayahnya waktu remaja. Mama terlalu memanjakannya… dia tumbuh jadi anak yang sulit diarahkan.”

Aura hanya mengangguk. Ia tahu cerita itu. Bahkan Oma-nya Arman pernah berkata: “Kalau Arman marah, lebih baik diam saja. Jangan buat dia makin emosi.”

Aura menurut. Karena ia bukan siapa-siapa saat masuk ke keluarga ini. Ia hanya gadis dari keluarga miskin yang “diangkat” untuk menikah dengan Arman—lalu perlahan dibentuk menjadi wanita ideal versi keluarga Eliyas.

Tapi akhir-akhir ini, semuanya mulai goyah. Lelahnya menjadi "wanita ideal" mulai terasa menyesakkan.

“Dia sering begini padamu?” tanya Pras lagi, lembut tapi tajam.

Aura buru-buru menggeleng. “Oh… t-tidak, Om. Mas Arman mungkin hanya stres karena besok harus berangkat ke Oxford.” Tidak mungkin Aura membongkar aib rumah tangganya pada sang paman.

Pras tampak terkejut. “Oxford? Dia belum bilang apa-apa padaku.”

Aura tersenyum kaku. “Kami besok akan mampir ke rumah Oma. Mungkin sekalian berpamitan sama Om Pras juga.”

Mobil akhirnya berhenti di depan rumah. Pras keluar lebih dulu, lalu dengan santun membuka pintu untuk Aura. Sikap kecil—tapi sangat berarti. Sentuhan gentleman yang belum pernah Arman lakukan padanya.

“Terima kasih, Om,” ujar Aura, tersentuh.

“Hati-hati. Malam begini rawan masuk angin,” kata Pras.

Aura tersenyum dan hendak berjalan masuk. Tapi langkahnya tertahan saat lengan Pras tiba-tiba menarik pinggangnya. Sekejap tubuhnya masuk ke dalam pelukan pria itu.

“Hati-hati, kau hampir menginjak selokan,” suaranya tenang, tangan cepat-cepat dilepaskan setelah mengatakannya.

“I-iya, Om… makasih,” jawab Aura gugup. Ia langsung melangkah cepat masuk ke dalam rumah. Tapi pikirannya tak ikut masuk—masih tertinggal di pelukan singkat tadi. Jantungnya berdebar, merasakan kehangatan yang asing dan terlarang.

Di balik jendela, ia diam, memandangi mobil Pras yang mulai menjauh. Lalu suara dari dalam rumah membuatnya tersentak.

“Syukurlah kau sudah pulang.”

Itu suara Arman. Pria yang sudah dengan kejam meninggalkannya tadi.

Meski begitu, Aura tidak bisa mengabaikannya.

“Iya, Mas… Mas belum tidur?” Aura mencoba tersenyum, menyembunyikan sisa trauma dan debaran jantung. “Padahal besok pagi kita ke rumah Oma, kan?”

Seperti biasa, Arman dengan cepat berubah sikap. Pria itu memeluk Aura. Sikapnya yang labil ini membuatnya frustrasi, tapi tak pernah bisa ia tunjukkan.

“Maaf, Sayang… Maafkan aku, ya,” ujar Arman.

Aura menahan napas. Lelah. Tapi ia tetap membalas pelukan itu. “Iya, Mas… Aura juga minta maaf. Tadi terlalu bawel…”

Arman meletakkan telunjuknya di bibir Aura, lalu mencium bibir istrinya dengan intens. Tanpa berkata banyak, ia mengangkat tubuh Aura dan membawanya ke kamar.

Aura menatapnya heran, namun dia tahu suaminya ingin bercinta. Sebenarnya sudah malas melayaninya. Namun tak sengaja melirik nakas, Aura jadi tahu, suaminya ini baru saja meminum obat kuat.

Hatinya jadi sedih. Pasti tadi Arman sangat sebal pada dirinya sendiri karena tak bisa menyenangkannya padahal besok mereka sudah berpisah.

Meski lelah, Aura kembali berusaha membantu suaminya menemukan ritme bercinta mereka. Dia tak segan melakukan blow job lalu lebih agresif, mempertahankan suasana romantis yang mulai memanas.

Aura merindukan saat begini. Aura haus dengan kegiatan yang menggelora bersama sang suami yang jarang sekali bisa mereka lakukan. Terkadang, sebagai wanita, dia mengalami lonjakan hormon yang membuat keinginan bercinta menjadi bergolak, meminta kompensasi untuk dipenuhi. Tak jarang dia bersikap seperti wanita jalang di depan suaminya.

Desahan Aura mulai terdengar nyaring. Arman pun mengerang. Namun tiba-tiba gerakan Arman mendesak di saat Aura baru menikmati permainan mereka.

Ahhh… Sudah keluar, Sayang,” ucap Arman, nyaris tanpa ekspresi. Sebuah akhir yang cepat dan egois, meninggalkan Aura dalam kekecewaan yang sudah terlampau sering ia rasakan.

.

.

.

<Next>

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   134. Aura Baik-baik Saja

    Pras sudah tak bisa berpikir jernih begitu mendengar kabar itu. Kepalanya seperti dipenuhi kabut pekat, dan dada terasa menyesak seolah tak cukup ruang bagi napasnya sendiri.Tanpa menimbang apa pun, dia langsung memerintahkan untuk menyiapkan helikopter perusahaan di Bandung agar bisa tiba di Jakarta dalam waktu kurang dari satu jam.Tadinya Pras bersikeras ingin mempiloti sendiri helikopter itu. Semasa muda, menerbangkan helikopter adalah hobinya.Namun Rico memohon agar tuannya menggunakan kebijaksanaan. Sudah terlalu lama Pras tidak menerbangkan helikopter, dan kondisi emosionalnya yang kacau dapat berakibat fatal.Karena itu Rico segera menghubungi pilot perusahaan. Dalam hitungan menit, pilot itu akan tiba.“Saya hubungi Tata lagi, Pak, menanyakan keadaan Bu Aura. Untuk sementara, saya harap Pak Pras bisa tenang dulu,” ucap Rico hati-hati.Pras hanya mengangguk, meski wajahnya tampak kosong. Shock masih memenuhi seluruh rautnya. Dia tidak bisa menerima kemungkinan bahwa Aura meng

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   133. Hampir Jatuh

    Beruntung ketika itu seseorang yang kebetulan melintas refleks meraih lengan Aura, menahan tubuhnya sebelum sempat terjerembab menghantam lantai.Aura terhuyung. Jantungnya masih berdegup di tenggorokan ketika ia buru-buru menegakkan tubuh. Saat hendak mengucapkan terima kasih, tatapannya sontak membeku—seolah waktu diseret mundur paksa.Wanita yang menolongnya adalah… Vanesha.Teman yang pernah sangat dekat dengannya.Teman yang kini bahkan tak sudi menyebut namanya lagi.“Te—”Kata itu tercekat. Hilang ditelan rasa kaget, syok… dan sedikit pedih.Ada sekilas kesedihan melintas di matanya. Karena ia tahu—kalau saja Vanesha sadar siapa yang ditolongnya, mungkin tangan itu tak akan terulur sama sekali. Mungkin Vanesha bahkan akan memalingkan wajah, membiarkannya jatuh. Mungkin itu lebih sesuai dengan keadaan mereka sekarang.Vanesha tampak tertegun menatap perut Aura yang semakin membuncit. Aura tahu, sekarang jelaslah alasan pertengkaran tadi. Jelaslah apa yang sampai ke telinga Vanes

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   132. Tidak Sengaja Bertemu Lagi

    Aura mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap air matanya tidak tumpah dan Tata tidak melihatnya menangis. Perempuan itu tentu akan langsung melaporkan semuanya kepada sang tuan, dan seperti biasa Pras akan mencemaskannya berlebihan, lalu melarangnya lagi menemui keluarganya.Dia menarik napas dalam-dalam di taman kecil di samping rumah, mencoba menyingkirkan rasa sedih dan luka yang sejak tadi membendung di dadanya. Aura menyayangi Oma Eliyas seperti neneknya sendiri, tetapi saat ini dirinya tak ubahnya orang asing yang tidak penting untuk dipedulikan. Berkali-kali ia meminta maaf, berkali-kali pula ia memohon dimaklumi—namun semua itu terasa seperti angin lalu, tak pernah benar-benar masuk ke hati sang nenek.Dan ketika teringat betapa dulu Oma Eliyas begitu membenci Veny, namun sekarang dengan mudahnya memaafkan semua kesalahannya… dada Aura semakin sesak. Itu seperti penegasan paling jelas tentang siapa dirinya di mata wanita itu sekarang. Bukan siapa-siapa lagi. Hanya gadis mis

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   131. Pandai Mencari Alasan

    Jika kata-kata tuduhan Veny itu diucapkannya sebelum Aura tahu tentang Mikayla yang bukan putri kandung Pras, juga sebelum tahu semua keburukan Veny selama ini, mungkin Aura masih akan merasa insecure. Mungkin dia hanya akan menunduk dan menerima semua caci makinya.Tapi tidak untuk saat ini. Ketika bahkan Aura sendiri merasa begitu muak atas apa yang sudah dilakukannya terhadap pernikahannya dengan Pras.Kini Aura menatapnya dengan berani dan membalikkan semua ucapannya hanya dengan kalimat sederhana.“Anda sadar dengan tuduhan itu? Apa Anda lupa bagaimana Anda sebelum ini?”Veny terkejut Aura ternyata membalikkan kata-katanya. Namun bukan Veny kalau dia langsung menyerah.“Setidaknya aku bukan wanita menjijikkan sepertimu. Yang berselingkuh dengan paman dari suamimu. Dari sudut manapun, orang akan jijik melihat kelakuanmu.”“Terserah Anda, Nyonya. Tapi aku bangga kini bisa menjadi wanita dari pria sebaik Om Pras. Aku malah kasihan padamu. Matamu buta sampai menyia-nyiakan pria sesem

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   130. Bertemu Veny

    Selesai satu permainan cinta mereka, Pras mencium Aura dan menyempatkan berkomunikasi dengan putranya yang masih ada di dalam kandungan.Saat menempelkan telinganya di kulit perut Aura, tak diduga ada gerakan lembut, dan itu sudah membuat Pras bahagia setengah mati.“Dia mendengarku, Ra. Kau bisa merasakannya, kan?” ujar Pras heboh seperti orang yang menang undian saja.Aura ikut tersenyum melihat Pras sebahagia itu. Ketika dunia membencinya karena hubungan terlarang ini, ternyata dia masih bisa menjadi alasan seseorang berbahagia karena kehamilannya. Dia tidak butuh banyak orang yang menerimanya. Satu saja sudah cukup. Asal seperti Pras—yang mencintainya dengan sepenuh hati.Hanya saja, Pras begitu jeli pada raut wajah Aura. Hal yang disembunyikan di balik senyumnya pun terlihat oleh Pras.“Ada masalah apa kamu?” tanya pria itu menatap lekat.Bahkan Aura bingung. Bagaimana Pras bisa tahu apa yang disembunyikannya.“Apa, Om?” tanya Aura, memastikan apakah Pras bertanya tentang rencana

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   129. Anak Siapa?

    “Yakin itu anak Om?”Pertanyaan itu diucapkan Arman dengan nada penuh sinis dan meledek. Membuat Pras tiba-tiba terbakar emosi. Rasanya ingin memiting tangan anak ini saja, tapi Pras merasa itu tak perlu.“Kenapa? Kenapa kau bertanya begitu?”Pras bertanya balik seolah memberikan ruang pada Arman untuk merasa besar kepala bahwa ucapannya sudah berhasil mengaduk-aduk perasaan Pras. Tentu, Pras tahu, Arman hanya ingin berulah karena masih merasa sakit hati.“Lima bulan usianya… padahal kami baru bercerai tiga bulan yang lalu lho, Om. Aku pikir Om bukan pria bodoh.”Pras tersenyum miring, lalu berjalan lebih mendekati Arman agar bisa mengatakan dengan serius, “Aku mencintai Aura bagaimanapun keadaannya, kalaupun janin itu bukan anakku, aku tetap tak peduli. Kau lupa bagaimana aku?”Pras mengingatkan Arman bahwa anak orang saja dia akui, apalagi kalau kemungkinan itu adalah anak Arman, keponakannya sendiri.“Sekarang seharusnya aku yang bertanya padamu, yakin itu anakmu?”Berkata begitu P

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status