Share

4. Meminta Tolong Paman

Penulis: Kafkaika
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-23 00:15:03

Meski hatinya terasa pedih karena setiap umpatan sang suami, Aura tetap berlari mengejar Arman. Dia tidak ingin ditinggalkan begitu saja—tidak seperti ini.

Namun langkahnya terhenti saat menyadari ia masih mengenakan gaun "haram" itu—gaun yang sejak awal Arman tentang. Napasnya memburu. Dada sesak. Tapi ia mencoba menenangkan diri.

Dengan tangan gemetar, Aura meraih ponsel dari atas meja dan segera mencoba menghubungi Arman. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tidak diangkat. Napasnya makin tak beraturan, tapi ia terus mencoba. Baru pada panggilan kelima, suara itu terdengar.

“Mas Arman... maaf,” ucap Aura lirih, nadanya memelas. “Tolong jangan marah...”

Ia berharap Arman melunak, berharap suaminya kembali ke kamar hotel yang telah mereka pesan bersama—bukan begini akhir malam mereka.

Tapi suara Arman dingin. Bahkan lebih dingin dari AC kamar yang tak ia rasakan lagi sejak tadi.

“Aku sudah di perjalanan pulang. Kalau kamu masih mau pulang, pesan taksi atau ojek online!”

“Mas...”

Tapi panggilan itu langsung terputus. Arman memutus sambungan tanpa ragu. Aura menunduk, matanya memburam oleh air mata yang tak bisa ditahan lagi.

Sampai kapan suaminya akan begini?

Perih di hatinya bahkan menutupi rasa sakit di hidungnya, yang tadi terbentur tembok akibat dorongan kasar Arman. Baru saat ia menyentuh wajahnya, ia sadar. Darah mengalir dari lubang hidungnya. Mimisan.

Dia meringis. Kejam sekali pria itu padanya.

Aura panik. Dengan buru-buru, ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkannya. Namun, lampu tiba-tiba padam.

Semua gelap.

Aura menjerit. Tangannya meraba-raba dalam gelap, mencari pegangan. Tapi pintu kamar mandi… tak bisa dibuka. Ia menarik, mendorong, bahkan menggedor-gedor, tapi tetap tertutup rapat. Napasnya makin tersengal.

Ketakutan mulai menguasai.

Untungnya, saat masuk tadi, ia membawa ponselnya. Dalam kegelapan, tangannya yang gemetar meraba permukaan meja wastafel, hingga menemukan benda tipis itu. Cepat-cepat ia menyalakan senter dan mencoba menghubungi Arman.

Namun seperti yang ia duga, panggilannya tak dijawab. Berkali-kali dicoba, hasilnya nihil. Suaminya memilih pergi... bahkan di saat ia ketakutan begini.

“Siapa... siapa yang harus kuhubungi?” isaknya di tengah gelap.

Telunjuknya bergerak tak tentu di layar ponsel. Lalu berhenti di satu nama: Om Pras.

Pria itu… tadi ada di hotel ini juga. Satu-satunya orang yang dia kenal di tempat ini.

Meski awalnya ragu, Aura tetap menekan tombol panggil. Tak ada waktu untuk gengsi. Ia butuh pertolongan.

Tak disangka, panggilannya langsung tersambung.

“Ada apa, Ra?” Suara Pras terdengar tenang di seberang. Aura langsung merasa sedikit lega.

“Om... tolong aku. Aku terjebak di kamar mandi hotel. Listrik padam, aku enggak bisa buka pintunya. Gelap semua... aku takut,” ucap Aura cepat dan gugup, tangisnya tak bisa ia tahan lagi.

“Oke. Jangan takut. Tadi pihak hotel sudah konfirmasi—ada kesalahan teknis, semua lampu padam. Kamu... bersama suamimu?”

Pertanyaan itu membuat Aura diam sejenak. Tapi ia tak bisa berbohong dalam kondisi seperti ini.

“Enggak, Om... Mas Arman udah pulang. Dia... marah sama aku,” jawabnya jujur.

Suara napas berat terdengar dari seberang. Lalu, suara Pras yang dalam kembali berbicara, tenang namun tegas.

“Baik. Tenanglah. Aku akan ke kamarmu sekarang.”

Aura menunggu dalam ketegangan. Ia mencoba sekali lagi membuka pintu, menyalakan senter, berteriak—semuanya sia-sia. Waktu terasa berjalan lambat.

Kegelapan membuat pikirannya mulai liar. Bayangan hantu, rambut panjang, sosok yang mengintai dari pojokan ruangan mulai memenuhi pikirannya. Kenapa kamar mandi selalu terasa jadi tempat paling menyeramkan dalam film horor?

Tiba-tiba terdengar suara dari luar pintu.

“Aura?!”

“Aaaaah!”

Jeritan Aura lepas begitu saja. Barusan ia membayangkan hantu, dan kini suara Pras datang begitu mengejutkan.

“Ini aku. Pras,” suara itu meyakinkan.

“Om Pras! Tolong aku!” jerit Aura sambil menggedor pintu.

“Oke, jangan berdiri di dekat pintu. Aku akan buka paksa.”

Aura segera mundur, berdiri menepi, dan tak lama kemudian terdengar suara dorongan keras dari luar.

BRUK!

Pintu terbuka.

Tanpa pikir panjang, Aura langsung berlari dan memeluk Pras erat. Ketakutannya masih begitu nyata. Tubuhnya gemetar, dan pelukannya penuh kecemasan.

Pras terkejut. Tubuh wanita muda itu menempel di dadanya. Lembut, hangat, dan penuh ketakutan. Tangannya secara refleks membalas pelukan itu, mengelus punggung Aura yang ternyata... tak terlindungi.

Hanya kulit dan gaun tipis itu yang menyentuh tangannya.

“It’s okay… jangan takut,” ucap Pras pelan.

Dan seketika...

CETAK!

Lampu kamar kembali menyala.

Aura dan Pras masih dalam pelukan. Namun begitu cahaya terang menyapu seluruh ruangan, mereka berdua membeku. Mata mereka saling bertemu—dan kesadaran itu datang bersamaan.

“Ohh...” Aura spontan mendorong tubuh Pras, wajahnya merah padam. Kedua lengannya menyilang menutupi dada dan bagian bawahnya. Ia lupa... ia masih mengenakan gaun yang nyaris tembus pandang itu.

Di depan paman suaminya.

Bukan hanya Aura yang salah tingkah. Pras juga tampak canggung. Namun ia segera bertindak, menarik selimut dari atas tempat tidur dan menyampirkannya ke tubuh Aura.

“Maaf,” ucap Aura pelan, nyaris tak terdengar.

Pras tak berkata apa-apa. Hanya menatapnya, sejenak. Wajahnya serius, namun ada sesuatu dalam tatapan itu yang sulit dijelaskan. Bukan hanya kasihan—tapi mungkin... lebih dari itu.

.

.

.

<Next>

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   134. Aura Baik-baik Saja

    Pras sudah tak bisa berpikir jernih begitu mendengar kabar itu. Kepalanya seperti dipenuhi kabut pekat, dan dada terasa menyesak seolah tak cukup ruang bagi napasnya sendiri.Tanpa menimbang apa pun, dia langsung memerintahkan untuk menyiapkan helikopter perusahaan di Bandung agar bisa tiba di Jakarta dalam waktu kurang dari satu jam.Tadinya Pras bersikeras ingin mempiloti sendiri helikopter itu. Semasa muda, menerbangkan helikopter adalah hobinya.Namun Rico memohon agar tuannya menggunakan kebijaksanaan. Sudah terlalu lama Pras tidak menerbangkan helikopter, dan kondisi emosionalnya yang kacau dapat berakibat fatal.Karena itu Rico segera menghubungi pilot perusahaan. Dalam hitungan menit, pilot itu akan tiba.“Saya hubungi Tata lagi, Pak, menanyakan keadaan Bu Aura. Untuk sementara, saya harap Pak Pras bisa tenang dulu,” ucap Rico hati-hati.Pras hanya mengangguk, meski wajahnya tampak kosong. Shock masih memenuhi seluruh rautnya. Dia tidak bisa menerima kemungkinan bahwa Aura meng

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   133. Hampir Jatuh

    Beruntung ketika itu seseorang yang kebetulan melintas refleks meraih lengan Aura, menahan tubuhnya sebelum sempat terjerembab menghantam lantai.Aura terhuyung. Jantungnya masih berdegup di tenggorokan ketika ia buru-buru menegakkan tubuh. Saat hendak mengucapkan terima kasih, tatapannya sontak membeku—seolah waktu diseret mundur paksa.Wanita yang menolongnya adalah… Vanesha.Teman yang pernah sangat dekat dengannya.Teman yang kini bahkan tak sudi menyebut namanya lagi.“Te—”Kata itu tercekat. Hilang ditelan rasa kaget, syok… dan sedikit pedih.Ada sekilas kesedihan melintas di matanya. Karena ia tahu—kalau saja Vanesha sadar siapa yang ditolongnya, mungkin tangan itu tak akan terulur sama sekali. Mungkin Vanesha bahkan akan memalingkan wajah, membiarkannya jatuh. Mungkin itu lebih sesuai dengan keadaan mereka sekarang.Vanesha tampak tertegun menatap perut Aura yang semakin membuncit. Aura tahu, sekarang jelaslah alasan pertengkaran tadi. Jelaslah apa yang sampai ke telinga Vanes

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   132. Tidak Sengaja Bertemu Lagi

    Aura mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap air matanya tidak tumpah dan Tata tidak melihatnya menangis. Perempuan itu tentu akan langsung melaporkan semuanya kepada sang tuan, dan seperti biasa Pras akan mencemaskannya berlebihan, lalu melarangnya lagi menemui keluarganya.Dia menarik napas dalam-dalam di taman kecil di samping rumah, mencoba menyingkirkan rasa sedih dan luka yang sejak tadi membendung di dadanya. Aura menyayangi Oma Eliyas seperti neneknya sendiri, tetapi saat ini dirinya tak ubahnya orang asing yang tidak penting untuk dipedulikan. Berkali-kali ia meminta maaf, berkali-kali pula ia memohon dimaklumi—namun semua itu terasa seperti angin lalu, tak pernah benar-benar masuk ke hati sang nenek.Dan ketika teringat betapa dulu Oma Eliyas begitu membenci Veny, namun sekarang dengan mudahnya memaafkan semua kesalahannya… dada Aura semakin sesak. Itu seperti penegasan paling jelas tentang siapa dirinya di mata wanita itu sekarang. Bukan siapa-siapa lagi. Hanya gadis mis

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   131. Pandai Mencari Alasan

    Jika kata-kata tuduhan Veny itu diucapkannya sebelum Aura tahu tentang Mikayla yang bukan putri kandung Pras, juga sebelum tahu semua keburukan Veny selama ini, mungkin Aura masih akan merasa insecure. Mungkin dia hanya akan menunduk dan menerima semua caci makinya.Tapi tidak untuk saat ini. Ketika bahkan Aura sendiri merasa begitu muak atas apa yang sudah dilakukannya terhadap pernikahannya dengan Pras.Kini Aura menatapnya dengan berani dan membalikkan semua ucapannya hanya dengan kalimat sederhana.“Anda sadar dengan tuduhan itu? Apa Anda lupa bagaimana Anda sebelum ini?”Veny terkejut Aura ternyata membalikkan kata-katanya. Namun bukan Veny kalau dia langsung menyerah.“Setidaknya aku bukan wanita menjijikkan sepertimu. Yang berselingkuh dengan paman dari suamimu. Dari sudut manapun, orang akan jijik melihat kelakuanmu.”“Terserah Anda, Nyonya. Tapi aku bangga kini bisa menjadi wanita dari pria sebaik Om Pras. Aku malah kasihan padamu. Matamu buta sampai menyia-nyiakan pria sesem

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   130. Bertemu Veny

    Selesai satu permainan cinta mereka, Pras mencium Aura dan menyempatkan berkomunikasi dengan putranya yang masih ada di dalam kandungan.Saat menempelkan telinganya di kulit perut Aura, tak diduga ada gerakan lembut, dan itu sudah membuat Pras bahagia setengah mati.“Dia mendengarku, Ra. Kau bisa merasakannya, kan?” ujar Pras heboh seperti orang yang menang undian saja.Aura ikut tersenyum melihat Pras sebahagia itu. Ketika dunia membencinya karena hubungan terlarang ini, ternyata dia masih bisa menjadi alasan seseorang berbahagia karena kehamilannya. Dia tidak butuh banyak orang yang menerimanya. Satu saja sudah cukup. Asal seperti Pras—yang mencintainya dengan sepenuh hati.Hanya saja, Pras begitu jeli pada raut wajah Aura. Hal yang disembunyikan di balik senyumnya pun terlihat oleh Pras.“Ada masalah apa kamu?” tanya pria itu menatap lekat.Bahkan Aura bingung. Bagaimana Pras bisa tahu apa yang disembunyikannya.“Apa, Om?” tanya Aura, memastikan apakah Pras bertanya tentang rencana

  • Dalam Pelukan Hangat Paman Suamiku   129. Anak Siapa?

    “Yakin itu anak Om?”Pertanyaan itu diucapkan Arman dengan nada penuh sinis dan meledek. Membuat Pras tiba-tiba terbakar emosi. Rasanya ingin memiting tangan anak ini saja, tapi Pras merasa itu tak perlu.“Kenapa? Kenapa kau bertanya begitu?”Pras bertanya balik seolah memberikan ruang pada Arman untuk merasa besar kepala bahwa ucapannya sudah berhasil mengaduk-aduk perasaan Pras. Tentu, Pras tahu, Arman hanya ingin berulah karena masih merasa sakit hati.“Lima bulan usianya… padahal kami baru bercerai tiga bulan yang lalu lho, Om. Aku pikir Om bukan pria bodoh.”Pras tersenyum miring, lalu berjalan lebih mendekati Arman agar bisa mengatakan dengan serius, “Aku mencintai Aura bagaimanapun keadaannya, kalaupun janin itu bukan anakku, aku tetap tak peduli. Kau lupa bagaimana aku?”Pras mengingatkan Arman bahwa anak orang saja dia akui, apalagi kalau kemungkinan itu adalah anak Arman, keponakannya sendiri.“Sekarang seharusnya aku yang bertanya padamu, yakin itu anakmu?”Berkata begitu P

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status