LOGINAura dan Arman tiba di rumah Oma Eliyas pagi itu. Sang Nyonya Besar sudah menunggu mereka di ruang makan, dengan sarapan yang tersaji rapi. Wajahnya berseri melihat pasangan muda itu datang.
“Wah, kau tambah cantik saja, Aura. Berapa lama kita tak bertemu? Oma sampai pangling,” ucapnya hangat.
Aura tersenyum malu. “Ah, Oma bisa saja...”
Arman memandang istrinya penuh kebanggaan. Aura memang berdandan lebih cantik pagi ini. Ia ingin tampil sempurna, agar suaminya membawa kenangan yang indah sebelum berangkat ke Oxford.
“Dukung semua langkah suamimu, Ra,” ucap Oma kemudian, serius namun lembut. “Dia sedang meniti masa depannya.”
“Iya, Oma. Aura pasti dukung Mas Arman sepenuhnya.”
Nyonya Eliyas mengelus lembut lengan Aura, isyarat kasih yang tak banyak kata. Ia memang sangat menyayangi cucunya, dan kini berusaha juga menyayangi menantunya seperti anak sendiri.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Pras muncul dari arah lorong, hanya mengenakan kaus abu-abu yang melekat pas di tubuhnya. Meski santai, kharismanya tetap tak luntur. Ia duduk di kursi kosong, tepat di samping Aura.
Aura menunduk sopan. “Selamat pagi, Om.”
“Pagi, Aura,” jawab Pras singkat, dengan senyum tipis dan suara bariton khasnya. “Lanjutkan sarapanmu.”
Sejak kehadiran Pras, Aura jadi lebih diam. Ia tidak bisa seleluasa tadi saat mengobrol dengan sang Oma. Lagi pula Aura juga masih malu atas kejadian semalam. Dia hampir telanjang di depan pria ini. Jadi, bertemu Pras, ada rasa canggung yang tak bisa dijelaskan. Perasaan bersalah itu seperti jarum, menusuk perlahan setiap kali ia berhadapan dengan Pras.
Arman, seolah tak menyadari kecanggungan itu, justru bertingkah iseng. Ia merangkul Aura sambil menoleh ke pamannya.
“Om, Oma tadi memuji istriku cantik. Menurut Om, gimana? Aura cantik, nggak?”
“Mas, apa-apaan sih...” Aura menyikut pelan suaminya.
Oma tertawa geli melihat keisengan cucunya. Pras hanya mengangkat wajah, menatap Aura sejenak—dan entah mengapa, Aura merasa tatapan itu terlalu dalam, seolah ia bisa membaca semua yang tersembunyi.
“Hmm, cantik...” jawab Pras akhirnya. “Pintar kamu cari istri.”
Arman tersenyum lebar, bangga atas validasi pamannya. Aura hanya bisa ikut tersenyum, meski jantungnya sempat berdetak tak menentu.
Selesai sarapan, Arman datang mengabari bahwa mereka harus segera berangkat ke bandara untuk check-in. Aura langsung bergerak ke dalam, memeriksa kembali barang-barang suaminya, memastikan tak ada yang tertinggal.
Namun tiba-tiba, dari belakang, terdengar suara berat yang mengejutkan.
“Siapa yang akan antar ke bandara?”
Aura menoleh cepat. Dia melihat Pras sudah berdiri tak jauh darinya. “Om Pras?”
“Mungkin sopir, Om,” jawabnya ragu.
“Biar aku saja yang antar,” ucap Pras, singkat, penuh otoritas.
Ketika Arman tahu Pras yang akan mengantarnya, dia langsung setuju, bahkan tampak senang. Aura hanya diam, menuruti rencana yang berubah itu.
Di dalam mobil, Arman duduk di kursi depan bersama Pras. Aura di belakang, memandangi punggung mereka dalam diam.
“Tante Veni kapan balik, Om?” tanya Arman memecah keheningan.
“Entahlah. Mungkin minggu depan,” jawab Pras dengan nada datar.
“Sabar, Om. Bisa tampil di London itu kan prestasi besar. Tante pasti bangga.”
Pras menoleh sedikit. “Jangan sok menceramahi aku. Kau sendiri bagaimana? Sudah punya istri cantik, malah ditinggal kuliah ke luar negeri?”
Aura tak berani ikut campur. Tapi dari kaca spion, ia sempat menangkap tatapan Pras ke arahnya. Dua kali. Mungkin tiga. Tatapan yang membuat Aura harus berpura-pura melihat ke luar jendela.
“Aku hanya ingin memperkuat kualifikasi, Om. Setahun saja. Aura mengerti, kok,” jawab Arman santai.
Ia menoleh ke belakang. “Kau nggak keberatan, kan, Sayang?”
Aura tersenyum, walau terasa berat. “Kalau itu yang terbaik untuk Mas Arman, aku akan mendukung.”
Arman tertawa kecil, lalu menepuk pundak Pras. “Lihat kan, Om? Istriku tahu yang terbaik buat suaminya.”
Aura tersenyum, tapi dadanya terasa kosong. Jika hatinya bisa dibelah, akan tampak luka kecil karena terlalu sering ditinggalkan, bahkan saat masih bersama. Dukungan yang ia berikan terasa seperti selimut kebohongan yang ia jahit sendiri untuk menjaga harga diri Arman.
Di bandara, Pras dan Arman berbincang sebentar sebelum keberangkatan. Aura hanya menatap dari kejauhan, lalu melambaikan tangan saat Arman akhirnya masuk ke gate keberangkatan.
Kini hanya mereka berdua. Pras dan Aura. Pria itu berjalan menghampiri Aura yang masih termangu menatap kepergian suaminya.
“Jangan sedih, dia akan sering pulang untukmu,” ujarnya, mengusik lamunan Aura.
“Oh, iya, Om.” Hanya itu ucapan Aura. Karena tak tahu harus bicara apa lagi.
“Mau langsung pulang, atau mampir dulu?” tanya Pras tenang.
“Langsung saja, Om. Tak enak merepotkan Om yang sibuk,” jawab Aura sopan.
“Tak masalah. Mumpung sekalian keluar, aku bisa bekerja dari mana pun.”
Aura kembali terkesan atas perhatian Pras. Tapi ia menahan diri untuk tidak menunjukkan apa pun.
Dalam perjalanan pulang, mereka tak banyak bicara. Aura terlalu canggung, dan Pras tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri. Keheningan itu bukan kosong, melainkan penuh dengan pikiran dan asumsi yang tak terucapkan.
Sesampainya di rumah, Pras minta izin untuk menggunakan ruang tamu karena harus memimpin rapat daring. Waktunya sudah mepet, dan perjalanan ke kantor tak sempat lagi ditempuh.
“Tentu, Om. Silakan. Mau kubuatkan kopi?” tawar Aura.
Pras hanya mengangguk. Tak lama kemudian, Aura kembali dengan secangkir kopi dan sepiring kecil kue buatannya sendiri.
Hanya saja, kopi itu terguncang karena gerakan kecilnya hingga sedikit tumpah mengenai celana Pras yang sedang duduk di depan laptopnya itu.
“Maaf, Om! Aduh, basah…” Aura spontan mengusap bagian celana yang terkena tumpahan, tidak sadar betapa canggungnya posisinya itu. Tangannya langsung menekan, berusaha membersihkan noda panas itu dengan panik.
Baru beberapa detik kemudian dia menyadari, tangannya terlalu lama diam di sana.
Sementara Pras tak berkata apapun. Dia hanya menatap Aura lama dan dalam…
.
.
.
<Next>
Pras sudah tak bisa berpikir jernih begitu mendengar kabar itu. Kepalanya seperti dipenuhi kabut pekat, dan dada terasa menyesak seolah tak cukup ruang bagi napasnya sendiri.Tanpa menimbang apa pun, dia langsung memerintahkan untuk menyiapkan helikopter perusahaan di Bandung agar bisa tiba di Jakarta dalam waktu kurang dari satu jam.Tadinya Pras bersikeras ingin mempiloti sendiri helikopter itu. Semasa muda, menerbangkan helikopter adalah hobinya.Namun Rico memohon agar tuannya menggunakan kebijaksanaan. Sudah terlalu lama Pras tidak menerbangkan helikopter, dan kondisi emosionalnya yang kacau dapat berakibat fatal.Karena itu Rico segera menghubungi pilot perusahaan. Dalam hitungan menit, pilot itu akan tiba.“Saya hubungi Tata lagi, Pak, menanyakan keadaan Bu Aura. Untuk sementara, saya harap Pak Pras bisa tenang dulu,” ucap Rico hati-hati.Pras hanya mengangguk, meski wajahnya tampak kosong. Shock masih memenuhi seluruh rautnya. Dia tidak bisa menerima kemungkinan bahwa Aura meng
Beruntung ketika itu seseorang yang kebetulan melintas refleks meraih lengan Aura, menahan tubuhnya sebelum sempat terjerembab menghantam lantai.Aura terhuyung. Jantungnya masih berdegup di tenggorokan ketika ia buru-buru menegakkan tubuh. Saat hendak mengucapkan terima kasih, tatapannya sontak membeku—seolah waktu diseret mundur paksa.Wanita yang menolongnya adalah… Vanesha.Teman yang pernah sangat dekat dengannya.Teman yang kini bahkan tak sudi menyebut namanya lagi.“Te—”Kata itu tercekat. Hilang ditelan rasa kaget, syok… dan sedikit pedih.Ada sekilas kesedihan melintas di matanya. Karena ia tahu—kalau saja Vanesha sadar siapa yang ditolongnya, mungkin tangan itu tak akan terulur sama sekali. Mungkin Vanesha bahkan akan memalingkan wajah, membiarkannya jatuh. Mungkin itu lebih sesuai dengan keadaan mereka sekarang.Vanesha tampak tertegun menatap perut Aura yang semakin membuncit. Aura tahu, sekarang jelaslah alasan pertengkaran tadi. Jelaslah apa yang sampai ke telinga Vanes
Aura mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap air matanya tidak tumpah dan Tata tidak melihatnya menangis. Perempuan itu tentu akan langsung melaporkan semuanya kepada sang tuan, dan seperti biasa Pras akan mencemaskannya berlebihan, lalu melarangnya lagi menemui keluarganya.Dia menarik napas dalam-dalam di taman kecil di samping rumah, mencoba menyingkirkan rasa sedih dan luka yang sejak tadi membendung di dadanya. Aura menyayangi Oma Eliyas seperti neneknya sendiri, tetapi saat ini dirinya tak ubahnya orang asing yang tidak penting untuk dipedulikan. Berkali-kali ia meminta maaf, berkali-kali pula ia memohon dimaklumi—namun semua itu terasa seperti angin lalu, tak pernah benar-benar masuk ke hati sang nenek.Dan ketika teringat betapa dulu Oma Eliyas begitu membenci Veny, namun sekarang dengan mudahnya memaafkan semua kesalahannya… dada Aura semakin sesak. Itu seperti penegasan paling jelas tentang siapa dirinya di mata wanita itu sekarang. Bukan siapa-siapa lagi. Hanya gadis mis
Jika kata-kata tuduhan Veny itu diucapkannya sebelum Aura tahu tentang Mikayla yang bukan putri kandung Pras, juga sebelum tahu semua keburukan Veny selama ini, mungkin Aura masih akan merasa insecure. Mungkin dia hanya akan menunduk dan menerima semua caci makinya.Tapi tidak untuk saat ini. Ketika bahkan Aura sendiri merasa begitu muak atas apa yang sudah dilakukannya terhadap pernikahannya dengan Pras.Kini Aura menatapnya dengan berani dan membalikkan semua ucapannya hanya dengan kalimat sederhana.“Anda sadar dengan tuduhan itu? Apa Anda lupa bagaimana Anda sebelum ini?”Veny terkejut Aura ternyata membalikkan kata-katanya. Namun bukan Veny kalau dia langsung menyerah.“Setidaknya aku bukan wanita menjijikkan sepertimu. Yang berselingkuh dengan paman dari suamimu. Dari sudut manapun, orang akan jijik melihat kelakuanmu.”“Terserah Anda, Nyonya. Tapi aku bangga kini bisa menjadi wanita dari pria sebaik Om Pras. Aku malah kasihan padamu. Matamu buta sampai menyia-nyiakan pria sesem
Selesai satu permainan cinta mereka, Pras mencium Aura dan menyempatkan berkomunikasi dengan putranya yang masih ada di dalam kandungan.Saat menempelkan telinganya di kulit perut Aura, tak diduga ada gerakan lembut, dan itu sudah membuat Pras bahagia setengah mati.“Dia mendengarku, Ra. Kau bisa merasakannya, kan?” ujar Pras heboh seperti orang yang menang undian saja.Aura ikut tersenyum melihat Pras sebahagia itu. Ketika dunia membencinya karena hubungan terlarang ini, ternyata dia masih bisa menjadi alasan seseorang berbahagia karena kehamilannya. Dia tidak butuh banyak orang yang menerimanya. Satu saja sudah cukup. Asal seperti Pras—yang mencintainya dengan sepenuh hati.Hanya saja, Pras begitu jeli pada raut wajah Aura. Hal yang disembunyikan di balik senyumnya pun terlihat oleh Pras.“Ada masalah apa kamu?” tanya pria itu menatap lekat.Bahkan Aura bingung. Bagaimana Pras bisa tahu apa yang disembunyikannya.“Apa, Om?” tanya Aura, memastikan apakah Pras bertanya tentang rencana
“Yakin itu anak Om?”Pertanyaan itu diucapkan Arman dengan nada penuh sinis dan meledek. Membuat Pras tiba-tiba terbakar emosi. Rasanya ingin memiting tangan anak ini saja, tapi Pras merasa itu tak perlu.“Kenapa? Kenapa kau bertanya begitu?”Pras bertanya balik seolah memberikan ruang pada Arman untuk merasa besar kepala bahwa ucapannya sudah berhasil mengaduk-aduk perasaan Pras. Tentu, Pras tahu, Arman hanya ingin berulah karena masih merasa sakit hati.“Lima bulan usianya… padahal kami baru bercerai tiga bulan yang lalu lho, Om. Aku pikir Om bukan pria bodoh.”Pras tersenyum miring, lalu berjalan lebih mendekati Arman agar bisa mengatakan dengan serius, “Aku mencintai Aura bagaimanapun keadaannya, kalaupun janin itu bukan anakku, aku tetap tak peduli. Kau lupa bagaimana aku?”Pras mengingatkan Arman bahwa anak orang saja dia akui, apalagi kalau kemungkinan itu adalah anak Arman, keponakannya sendiri.“Sekarang seharusnya aku yang bertanya padamu, yakin itu anakmu?”Berkata begitu P







