“Masuklah ke kamarmu. Lain kali, jika kau ingin berkeliling rumah, minta pelayan untuk menemanimu. Jangan lagi pergi sendiri berkeliling. Aku tidak bisa menjamin kau selamat kalau kau bertemu lagi dengan hewan peliharaanku yang lainnya.” Sean berucap dengan nada tegas. Pria itu seolah sengaja mengatakan itu agar gadis di hadapannya tidak berkeliling sendiri. Mengingat gadis kecil di hadapannya ini adalah gadis penakut.
Wajah Stella memucat kala mendengar apa yang dikatakan oleh Sean. Pikirannya memikirkan kalimat Sean yang mengatakan tidak bisa menjamin dirinya selamat kalau bertemu lagi dengan hewan peliharaan pria itu. Nyali Stella menciut, sungguh Stella tidak tahu siapa sebenarnya pria yang ada di hadapannya ini.
“K-kau m-memiliki hewan peliharaan lain?” Stella memberanikan diri bertanya. Meski takut, tapi rasa penasaran dalam dirinya, sangatlah berkobar. Terlebih dia tinggal bersama dengan pria itu.
“Menurutmu?” Sean menyunggingkan senyuman misterius, dan mencemooh pada gadis penakut di hadapannya.
“A-apa lagi hewan yang kau pelihara?” Stella kembali bertanya. Dalam hati, Stella merutuki kesialan dalam hidupnya harus bersama dengan pria di hadapannya itu. Jika saja, dia tidak bertemu Sean maka hari ini tidak akan pernah terjadi dalam hidupnya.
Sean mendekat ke arah Stella. Sesaat dia terdiam menatap iris mata abu-abu Stella yang memancarkan ketakutan. Dia kembali mengulas senyuman misterius. Entah kenapa ketika melihat gadis di hadapannya ini ketakutan dan tak berdaya membuat kesenangan sendiri dalam hatinya.
“Tuan Sean…” Seorang pelayan berlari mendekat ke arah Sean dengan tergesa-gesa.
“Ada apa? Kenapa kau berlari seperti itu?” tanya Sean dingin saat pelayan sudah tiba di hadapannya.
“Tuan William datang, Tuan,” ucap sang pelayan sontak membuat Sean kesal.
Sean mengumpat dalam hati kala mendengar William, ayahnya datang. Rahang Sean mengetat. Kilat matanya menjadi tajam. Sean tidak menyangka ayahnya akan datang ke Jakarta secepat ini. Sudah beberapa bulan terakhir, Sean meninggalkan Kanada—negara di mana dia dan keluarganya tinggal. Demi menghindar dari sang ayah, pria itu memutuskan untuk menetap tinggal di Jakarta. Namun, sekarang dia harus di hadapkan dengan ayahnya yang menyusulnya ke Jakarta.
“Kau pergilah, aku akan menemuinya nanti,” ucap Sean dingin pada sang pelayan.
“Baik, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, pamit undur diri dari hadapan Sean dan Stella.
Raut wajah Stella menjadi bingung melihat Sean yang tampak marah. Gadis itu mengerutkan keningnya, dia menatap iris mata cokelat Sean yang berubah menjadi tajam. Seperti tengah menahan amarah dalam diri pria itu. Namun tunggu, hal yang muncul di benak Stella adalah saat pelayan menyebutkan nama orang yang datang dan langsung membuat ekspresi wajah Sean berubah. Itu artinya Sean tidak menyukai kehadiran orang tersebut.
“Ikut aku.” Sean menarik pergelangan tangan Stella, memaksanya untuk ikut.
Stella terkejut kala Sean menarik tangannya. “T-Tuan kenapa—”
“Diam! Jangan banyak bicara! Turuti saja perintahku!” ucap Sean tegas dan menatap Stella penuh dengan peringatan.
Stella tak berdaya sama sekali di kala Sean menarik tangannya. Gadis itu hanya bisa pasrah dan patuh mengikuti keinginan pria itu. Dia sama sekali tidak bisa membantah apa yang dikatakan Sean.
***
Sean menghentikan langkahnya kala menatap punggung kokoh yang berdiri tidak jauh darinya. Stella yang melihat sosok pria yang datang, tatapannya menjadi bingung dan tidak mengerti. Terlebih Sean membawanya. Ini yang membuat Stella tidak tahu apa tujuan pria itu membawanya bertemu dengan tamu yang datang.
“Dad,” Sean mememangil dengan nada datar dan raut wajah tanpa ekspresi.
William mengalihkan pandangannya, menatap putranya yang memanggilnya. Sesaat pria paruh baya yang masih sangat tampaan itu, menatap putranya bersama dengan seorang gadis. Kilat mata tajamnya berubah menjadi semakin tajam.
“Kau tahu apa kesalahanmu, Sean?” Suara William bertanya terdengar menusuk di indra pendengaran, setiap yang mendengarnya. Dia mengabaikan gadis yang ada di samping Sean.
Sean mengembuskan napas kasar. “Aku menetap tinggal di Jakarta, karena banyak yang harus aku kerjakan, Dad.”
“Menetap tinggal di Jakarta karena banyak yang kau kerjakan? Jawaban macam apa itu! Kau pikir kau bisa membohongiku! Kau menghindar dari perjodohan yang telah aku atur! Di mana otakmu berpikir, Sean! Bisakah kau tidak membuatku malu pada rekan bisnisku!” Suara William berteriak begitu menggelegar.
Tubuh Stella bergetar ketakutan mendengar suara teriakan William. Meski sebenarnya Stella tidak begitu memahami dengan apa yang diucapkan oleh William. Pasalnya, Stella tidak begitu mahir dalam bahasa asing. Namun meski Stella tidak mahir, dia cukup mengerti arti dari lawan bicara ketika mengucapkan dalam bahasa asing. Seperti saat ini, Stella terkejut dengan kemarahan William pada Sean.
“Aku bukan anak kecil lagi, Dad! Kau tahu sejak awal aku tidak mau dijodohkan! Berhenti memaksaku memilih putri dari rekan bisnismu itu! Aku tidak akan menikah dengan wanita seperti mereka!” seru Sean meninggikan suaranya. Rahangnya mengetat. Kilat matanya menajam. Amarah dalam dirinya seolah akan meledak.
Sejak dulu Sean selalu menghindari perjodohan yang diatur oleh kedua orang tuanya. Tujaan Sean meninggalkan negaranya, dan menetap tinggal di Jakarta, kota di mana ibunya besar dan dilahirkan.
Sean pikir, dia lebih baik jauh dari keluarganya untuk sementara waktu. Mengingat setiap kali dia berada di Kanada yang ditanyakan oleh orang tuanya hanya tentang pernikahan. Sementara dirinya, tidak pernah mau menikah dengan wanita yang dipilihkan oleh kedua orang tuanya itu.
William menggeram kala Sean berani melawannya. Dia melangkah mendekat ke arah putranya itu. “Jika kau tidak mau menikah dengan putri dari rekan bisnisku! Katakan padaku dengan siapa kau akan menikah? Hingga detik ini kau belum pernah membawakan satu gadis pun ke hadapanku!”
“Kau salah! Aku telah memiliki gadis yang aku pillih untuk menjadi istriku.” Sean terpaksa mengatakan ini.
Alis William saling bertautan. “Siapa gadis itu? Kenapa kau belum menunjukannya padaku.”
Sean terdiam sesaat. Raut wajahnya tampak begitu menahan amarahnya. Hingga detik selanjutnya Sean mengalihkan pandangannya ke arah Stella yang berdiri di sampingnya seraya berucap tegas, “Gadis di sampingku adalah calon istriku. Dia Stella Regina. Maaf baru mengenalkannya padamu sekarang.”
Bagai tersembar petir, tubuh Stella nyaris ambruk mendengar apa yang diucapkan oleh Sean. Wajahnya memucat. Matanya terbelalak terkejut. Jantungnya berdegup kencang seolah akan melompat dari tempatnya.
“Stella Regina?” William mengulang, dengan memanggil gadis di hadapannya ini dengan begitu seksama. Dia terdiam, menatap gadis itu. Dalam tafsirannya, gadis di hadapannya ini masih sangat muda. Kulit putih pucat, tubuh mungil, wajah yang cantik, iris mata abu-abu serta rambut hitam legam. Dia yakin gadis di hadapannya ini tidak sepenuhnya memiliki darah Asia.
“Apa benar kau calon istri putraku?” William bertanya dengan nada yang begitu menusuk di indra pendengaran setiap orang yang mendengarnya.
“A-aku—” Tenggorokan Stella terasa begitu tercekat. Lidahnya begitu kelu. Keringat muncul di pelipisnya. Kepala Stella memberat. Kakinya bagaikan jelly yang tidak bisa lagi berdiri tegak.
Perlahan pandangan Stella buram. Pandangannya menjadi gelap. Detik itu juga tubuh Stella ambruk, dengan sigap Sean menangkap tubuh gadis kecil itu yang kini sudah jatuh pingsan.
“Stella…”
Beberapa bulan kemudian …Venice, Italia.Stella menatap hangat Shawn, Stanley, dan Steve yang tengah bermain saling mengejar sambil memakan ice cream di tangan mereka. Ya, tentu Stella tak perlu cemas karena Sean menyiapkan enam pengasuh khusus untuk ketiga anak kembar mereka dan sepuluh pengawal yang selalu berjaga-jaga mengawasi Shawn, Stanley, dan Steve. Terutama ketika mereka berlibur seperti ini maka penjagaan Sean sangat ketat.Kini tatapan Stella mulai teralih pada Savannah yang tertidur pulas dalam pelukannya. Putri kecilnya itu sangat cantik dan menggemaskan. Tangan Savannah peris seperti gulungan roti gemuk. Pipi bulat seperti bakpau. Bayi perempuannya memang sangat cantik dan menggemaskan.“Stella, apa kau masih ingin tinggal di New York? Atau kau ingin kita segera kembali ke Jakarta?” tanya Sean sembari menatap sang istri.Stella tersenyum hangat. “Biarkan saja kita di sini dulu, Sean. Anak-anak kita memiliki banyak teman di sini. Aku tidak tega memisahkan mereka dengan t
Suara tangis bayi memecahkan kesunyian ruang persalinan. Stella meneteskan air matanya kala mendengar suara tangis bayi itu. Tak hanya Stella yang menteskan air mata tapi Sean yang selalu ada di sisinya pun sampai menteskan air mata. Setelah sekian lama akhirnya mereka kembali memiliki seorang anak lagi. Berawal dari rasa putus asa Stella nyatanya memiliki akhir yang indah. Tentu semua karena Sean yang memberikan dukungan luar biasa untuk Stella.“Tuan Sean … Nyonya Stella … selamat bayi Anda perempuan.” Sang dokter berucap langsung membuat Sean dan Stella tak henti meneteskan air mata mereka. Ya, Tuhan begitu baik pada mereka. Harapan mereka memiliki anak perempuan terwujud.“Sean … anak kita perempuan,” isak Stella.“Iya … anak kita perempuan. Terima kasih, Sayang.” Sean memberikan kecupan di bibir istrinya. Derai air mata mereka tak henti berlinang.“Nyonya Stella, silahkan lakukan proses IMD.” Dokter menyerahkan bayi mungkin itu ke dalam gendongan Stella. Sesaat Sean menatap Stell
“Nyonya, apa hari ini kita memasak menu Indonesian Food?”Suara pelayan bertanya pada Stella yang tengah sibuk di dapur. Ya, hari ini Stella akan kedatangan tamu special yaitu Jenniver—sepupunya. Jenniver tengah berlibur bersama Theo ke New York. Dan karena Jenniver akan datang, Stella mengundang Kelvin, Alika, Ken, dan Chery untuk datang. Hal itu yang membuat Stella sibuk di dapur. Stella memang memiliki chef khusus dan pelayan tetapi tetap saja dalam hal memasak, Stella tetap turun tangan sendiri. Namun kali ini porsinya berbeda. Stella tidak banyak melakukan apa pun. Dia hanya mengontrol saja. Mengingat kandungannya sudah membesar.“Masak saja, Mbak. Masak Indonesian Food juga. Jenniver dan Theo suka sekali dengan menu rawon dan ayam sayur. Tolong masak menu itu. Ah, satu lagi jangan lupa sambal goreng kentang.” Stela berujar memberi perintah pada sang pelayan dengan nada lembut.“Baik, Nyonya.” Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu kembali memulai memasak membantu pelayan lainn
Stella mengembuskan napas panjang kala mengingat laporan dari pengawal sang suami tentang kejadian di Central Park. Kejadian di mana Stanley membuat seorang gadis kecil menangis karena membuang permen pemberian gadis itu. Sungguh, Stella sangat sedih karena putranya bertindak demikian. Meski mertuanya sudah memberikan nasehat pada ketiga putranya tapi tetap saja Stella merasa gagal mendidik ketiga putranya.“Apa kalian hanya ingin diam saja? Tidak mau bilang apa-apa pada, Mommy?”Suara Stella menegur ketiga putranya yang tengah duduk di hadapannya itu. Ya, kini Stella berada di kamar Shawn. Kamar Shawn, Stanley, dan Steve memang terpisah. Tetapi karena Stella ingin berbicara dengan ketiga putranya maka tanley dan Steve mendatangi kamar Shawn. Tampak ketiga bocah laki-laki kembar itu menunduk. Tentu mereka tahu mereka akan mendapatkan teguran dari ibu mereka.“Mommy ini salahku. Maafkan aku, Mommy,” ucap Stanley dengan suara polosnya.Stella menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskan
Saat pagi menyapa Shawn, Stanley, dan Steve sudah begitu tampan dengan setelan celana pendek dan kaus berwarna hitam dengan logo Gucci di tengah baju ketiga bocah itu. Ya, Shawn, Stanley, dan Steve tampak begitu bersemangat karena hari ini mereka akan pergi bersaam dengan kakek dan nenek mereka. Sejak tadi malam memang ketiga bocah itu sangat bersemangat.“Anak Mommy tampan sekali.” Suara Stella dengan lembut berucap sambil menatap ketiga putra kembarnya. Stella mendekat pada Shawn, Stanley, dan Steve bersama dengan Sean yang ada di sisinya.“Daddy … Mommy …” Shawn, Stanley, dan Steve menghamburkan tubuh mereka pada Sean dan Stella yang mengampiri mereka.“Kalian mirip sekali seperti Daddy,” ucap Stella sembari mengurai pelukan ketiga putranya itu. Sean yang ada di samping Stella sejak tadi melukiskan senyuman hangat pada Shawn, Stanley, dan Steve.“Tentu saja, Mommy. Nanti saat kami dewasa kami akan seperti Daddy. Kami akan hebat.” Shawn, Stanley, dan Steve berucap serempak dan penuh
“Mommy … akhirnya Mommy pulang. Kami merindukan, Mommy.”Stanley dan Steve menghamburkan tubuh mereka kala melihat Stella pulang bersama dengan Shawn. Sudah sejak tadi Stanley dan Steve menunggu ibu mereka pulang. Ya, Stella memang sengaja meminta Stanley dan Steve pulang lebih dulu bersama sopir kala tadi Stella harus menyelesaikan masalah Shawn yang memukul Felix. Tentu Stella tak membiarkan Stanley dan Steve menunggu di ruang guru. Pasalnya Stella tak ingin Stanley dan Steve membuat masalah. Sungguh, ketiga anak kembarnya itu sangatlah kompak. Sudah cukup masalah Shawn membuat Stella sakit kepala. Stella tidak ingin sampai Stanley dan Steve juga ikut membuat masalah.Stella membalas pelukan Stanley dan Steve sembari memberikan kecupan di puncak kepala kedua putranya itu. “Mommy juga merindukan kalian. Apa kalian sudah makan?”“Sudah, Mommy. Kami sudah makan.” Stanley dan Steve menjawab dengan kompak. Lalu mereka melihat ke atah Shawn yang sejak tadi hanya diam. “Kak, kami tadi mau