Tiga tahun berlalu …
“Yeay! Mommy pulang! I’m so happy!” Diego melompat-lompat kegirangan melihat Kimberly sudah pulang dari kantor. Bocah laki-laki itu tampak gembira. Kedua tangannya sudah mengulur ke Kimberly, meminta Kimberly untuk menggendongnya. “My handsome baby, kau merindukan Mommy, hm?” Kimberly menggendong putranya, dan menghujani pipi bulat putranya itu dengan kecupan bertubi-tubi. Dia memeluk putranya dengan erat. Pun Diego membalas pelukan Kimberly tak kalah erat. Bocah laki-laki itu memberikan kecupan di pipi Kimberly. “Yes, Mommy. I miss you so much. Kapan Daddy pulang, Mommy?” Bibir Diego tertekuk kala mengingat ayahnya belum juga pulang. Raut wajahnya menunjukkan jelas bahwa bocah laki-laki itu sangat merindukan Damian. “Diego sudah menanyakan kapan Damian pulang lebih dari seratus kali padaku, Kim. Aku bisa menjawab kapan kau pulang, tapi hal yang tersulit adalah menjawab kapan Damian pulang,” sambung Carol yang sejak tadi ada di sana. Hari ini Carol menjaga Diego, karena kebetulan dia tak terlalu sibuk. Sementara Kimberly memiliki meeting penting menggantikan ayahnya yang kebetulan sedang berada di New York, karena memiliki pekerjaan di sana. Tentu hanya Kimberly yang bisa menggantikan ayahnya. Ben—adik Kimberly itu masih sangat kecil dan tak mungkin bisa membantu tentang perusahaan. Dua minggu lalu Damian harus berangkat ke Paris untukmengurus pekerjaan di sana. Awalnya Kimberly ingin menemani suaminya itu, tapi kondisi tak memungkinkan. Wanita itu memiliki banyak tanggung jawab di perusahaannya. Ditambah Diego sudah mulai bersekolah. Usia Diego saat ini adalah tiga tahun. “Sayang, Daddy bilang akan pulang tiga hari lagi. Kau sabar, oke?” Kimberly menyapukan hidungnya ke hidung mancung dan mungil Diego. “Daddy juga bilang, kalau dia pulang akan membawakan banyak mainan untukmu.” Wanita itu melanjutkan ucapannya memberi tahu. “Tiga hari lagi, Mommy?” Diego menunjukkan tiga jemari mungilnya ke hadapan Kimberly. Kimberly menganggukkan kepalanya. “Iya, Sayang. Tiga hari lagi Daddy akan pulang. Kau harus mengerti, Diego. Daddy sibuk dengan pekerjaannya, demi dirimu dan Mommy. Daddy ingin memberikan yang terbaik di hidup kita. Sekolahmu tidak murah. Mainanmu juga tidak murah. Kebutuhan kita sangat banyak.” “Mommy … Daddy selalu bilang Daddy memiliki banyak uang. Daddy bisa membelikan apa pun untuk kita. Aku mengingat apa yang Daddy katakan padaku, Mommy,” ujar Diego dengan bibir yang kian terkekuk. “Sayang, Daddy memang memiliki banyak uang, tapi kalau Daddy tidak bekerja keras, maka apa yang Daddy miliki saat ini pasti akan hilang, Sayang.” Kimberly membelai pipi Diego dengan lembut. “Oh begitu.” Diego mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya sudah, lebih baik kau main bersama dengan pengasuhmu dulu. Mommy ingin bicara sebentar dengan Bibi Carol, Sayang.” Kimberly membelai-belai pipi Diego, dan memberikan kecupan di sana. “Oke, Mommy,” jawab Diego patuh. Detik selanjutnya, Kimberly menurunkan tubuh Diego, dan pengasuh dengan sigap membawa Diego dari tempat itu. Tampak senyuman di wajah Kimberly dan Carol terlukis melihat Diego yang begitu menggemaskan. “Bagaimana pekerjaanmu, Kim? Semua baik-baik saja, kan?” tanya Carol seraya menatap hangat Kimberly. “Bisa dikatakan baik tapi juga sangat melelahkan.” Kimberly duduk di sofa yang terdekat dengannya, disusul Carol yang juga duduk di samping Kimberly. “Thanks, sudah membantuku menjaga Diego.” “Tidak perlu berterima kasih, aku malah senang sekali bisa menjaga Diego, Kim.” Carol mengambil orange juice di hadapannya, dan meminum perlahan. “Anyway, aku ingin bercerita sesuatu padamu, Kim.” “Katakan, apa yang ingin kau ceritakan?” Kimberly juga mengambil orange juice yang ada di hadapannya, meminum perlahan, menyandarkan punggungnya ke sofa. Carol menghela napas dalam. “Ibuku bilang kalau sampai detik ini aku tidak mau dijodohkan dengan Adrik, aku harus ikut kencan buta disalah satu situs ternama dan terpercaya. Lihatlah ibuku menganggapku benar-benar seperti wanita yang tidak laku.” Carol nyaris hampir gila menghadapi kedua orang tuanya. Hingga detik ini, dia masih terus dijodohkan oleh pria Russia yang sudah dia tolak. Hanya saja tahun ini ibunya mengajukan padanya, jika dirinya tak mau dijodohkan, maka harus ikut dalam kencan buka yang ada di salah satu situs terpercaya. Ini memang sudah benar-benar gila! Carol dianggap seperti wanita yang tak mampu mendapatkan kekasih saja. Well, bisa dikatakan semua terjadi karena sampai detik ini Carol masih sendiri. Memang Carol sudah beberapa kali berkencan, tapi hasilnya masih nihil. Dia tak kunjung memiliki kekasih. Dia tak pernah cocok dengan pria-pria yang selama ini berkencan dengannya. Kimberly mengulum senyumannya geli mendengar ucapan Carol. “Ikuti kata hatimu. Jika kau ingin pergi ke kencan buta, maka silakan pergi. Tapi jika tidak, jangan pernah lakukan. Seperti yang pernah aku katakan padamu, menikah bukan sebuah kompetisi, Carol. Mungkin pria yang tepat untukmu memang belum waktunya tiba. Akan tiba di saat waktunya tepat.” Carol mengangguk sependapat dengan Kimberly. “You’re right, Kim. Aku juga tidak mau terburu-buru. Daripada aku salah dalam memilih pasangan, lebih baik aku nikmati diriku untuk pengembangan diri. Lagi pula, takdir tidak akan pernah salah. Mungkin saja pria yang memang menjadi milikku saat ini sedang ada di suatu kota atau negara yang entah di mana. Butuh waktu untuk bertemu denganku.” Kimberly tersenyum merespon ucapan Carol. *** Malam semakin larut. Kimberly terlelap sambil memeluk Diego. Pelukan hangat itu membuat Diego tidur sangat pulas. Selama Damian berada di luar negeri, Kimberly selalu tidur dengan Diego. Selain kesepian, dia ingin selalu memberikan banyak perhatian dan kasih sayang pada Diego. Tak selang lama, pintu kamar terbuka. Seorang pria melangkah masuk ke dalam kamar secara perlahan demi tak menimbulkan suara. Pria itu meletakan tas dan jasnya ke sofa, menghampiri Kimberly yang terlelap di ranjang, duduk di pinggir ranjang, dan menatap Kimberly dan Diego dengan tatapan hangat. Pria itu membelai pipi Kimberly lembut, mengecupinya di sana. Refleks, sayup-sayup mata Kimberly terbuka secara perlahan. Tampak di kala mata Kimberly sudah terbuka, betapa terkejut dirinya melihat Damian di hadapannya itu. “Damian? K-kau sudah pulang?” Kimberly melebarkan matanya terkejut melihat Damian ada di hadapannya. Harusnya tiga hari lagi suaminya itu baru pulang, tapi kenapa malah sekarang suaminya itu ada di hadapannya? “Maaf membuatmu terbangun.” Damian mengecup bibir Kimberly. “Aku sengaja pulang cepat ingin memberikan kejutan untukmu dan Diego.” “Astaga, Damian.” Kimberly memeluk erat tubuh Damian, membenamkan wajahnya di dada bidang suaminya itu. “Aku sangat merindukanmu. Sangat sangat merindukanmu. Kau tahu? Diego sampai terus-terusan menanyakan kapan kau pulang. Putra kita juga merindukanmu.” Wanita itu mengeluh merindukan sang suami. Bayangkan saja ditinggal hampir dua minggu, tentu tidak mudah. Damian tersenyum samar. Pria itu membalas pelukan Kimberly sambil melihat Diego yang masih tertidur pulas. “Iya, aku minta maaf. Pekerjaanku banyak sekali, Kim. Maaf sudah meninggalkanmu dan Diego cukup lama. Aku juga sangat merindukan kalian.” Kimberly mendongakkan kepalanya, menatap Damian. “Kau menyebalkan sekali. Bisa-bisanya bilang padaku akan pulang tiga hari lagi, padahal malam ini kau pulang.” Damian menarik dagu Kimberly, mencium dan melumat bibir sang istri. “Anggap saja ini kejutan, Kim,” bisiknya serak. Kimberly tersenyum, menatap Damian, dengan tatapan penuh cinta. “Welcome home, Sayang. Aku senang sekali kau sudah pulang.” *** Amsterdam, Netherlands. Sebuah ruang kerja mewah terlihat sosok pria tampan sedang menyesap vodka di tangannya. Pria itu menatap hasil laporan perusahaannya dalam beberapa tahun terakhir yang mengalami peningkatan tajam. Tampak senyuman puas di wajah pria itu terlukis samar. “Tuan Fargo, kondisi perusahaan sekarang benar-benar sangat baik. Tuan Olsen dan Tuan Deston sampai menghubungi saya, mengatakan mereka bangga pada perkembangan perusahaan Anda, Tuan,” ujar Gene melaporkan. Dalam waktu kurun dari tiga tahun, Fargo mampu membuat perusahaannya memiliki terobosan dalam berinovasi. Alhasil, sekarang perusahaannya sudah jauh lebih berkembang. Tentu Fargo yang dulu sangat berbeda dengan Fargo yang sekarang. Hidup Fargo hanya terisikan tentang pekerjaan dan pekerjaan. Ya, dia selalu fokus dengan pekerjaannya sampai melupakan segalanya. “Good,” komentar Fargo menanggapi ucapan Gene. “Hm, Tuan … saya ingin memberi tahu Anda sesuatu,” kata Gene serius. “Ada apa?” “Saya dengar Nona Gilda sekarang sedang dekat dengan seseorang pria. Maksud saya di sini, dalam kondisi Nona Gilda belum mendapatkan donor mata, ternyata dia sepertinya telah berhasil mendapatkan pria yang tepat untuknya.” “Aku senang mendengarnya. Dia memang harus move on, dan mulai menata hidup baru.” “Apa Anda tidak mau mencoba dekat dengan seorang wanita, Tuan?” “Aku belum tertarik, Gene. Mereka bisa jadi hanya membuang waktuku saja. Lebih baik aku fokus pada bisnisku.” “Tapi, Tuan, Anda jadi kembali ke Los Angeles, dua hari lagi, kan?” Gene bertanya memastikan mengenai rencana Fargo yang ingin kembali ke Los Angeles. Fargo menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. “Sebenarnya aku mulai menyukai Amsterdam, dan nyaman tinggal di sini, tapi aku sadar tidak mungkin tinggal di sini selamanya. Dan, ya, aku harus kembali. Sudah lebih dari tiga tahun aku meninggalkan Amerika. Waktunya aku untuk menata hidupku di sana.”***
Holla, ini Season dua dari novel Damian&Kimberly. Sebelum membaca ini baca dulu novel yang berjudul Terpikat Pesona Paman Suamiku.
Follow I*: abigail_kusuma95
Paris, Prancis. Lampu Menara Eiffel bersinar indah di malam hari. Suasana menyejukan, serta angin berembus memberikan ketenangan, dan kedamaian. Tampak jelas tatapan mata Fargo dan Carol menatap penuh hangat keindahan malam di kota Paris. Mereka menikmati keindahan kota itu bersama dengan Arabella—putri kecil mereka. “Sayang, Paris benar-benar kota yang indah. Terima kasih telah mengajakku dan Arabella berlibur.” Carol menyandarkan kepalanya di lengan kekar sang suami. Arabella kini ada digendongan Fargo tepat di tangan kanan pria itu. Sebelumnya Carol meminta Fargo untuk berlibur bersama dengan putri kecil mereka. Selama ini, mereka belum pernah liburan ke luar negeri bersama dengan Arabella. Beruntung, akhirnya Fargo mewujudkan keinginan Carol. Walau sebenarnya, pria itu sempat khawatir, karena usia kandungan Carol masih enam minggu, tapi akhirnya Fargo luluh karena dokter mengantakan kandungan Carol sehat dan kuat. “Maaf belakangan ini, aku selalu sibuk sampai tidak bisa mengaj
Carol tersenyum di kala sudah selesai menata foto-foto keluarga kecilnya. Bayi cantik dengan rambut cokelat dan mata abu-abu begitu menyejukan hati. Sebuah foto keluarga yang tersirat menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira. Ya, di hadapan Carol adalah fotonya bersama dengan suami dan putri kecilnya. Sungguh, setiap kali Carol menata foto keluarga kecilnya, hatinya bergetar penuh dilingkupi kebahagiaan. Tanpa terasa hampir tiga tahun Carol menikah dengan Fargo—pria yang teramat, sangat dia cintai. Selama dua tahun ini, hidupnya memiliki warna yang baru. Sebuah warna yang mana memang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Menikah dan memiliki anak adalah hal yang indah. Arabella Fargo Jerald, adalah anak pertama perempuan Carol dan Fargo. Anak perempuan yang sangat cantik dan baru berusia 1,5 tahun. Arabella adalah anak yang penurut. Carol tak pernah kesulitan menjaga Arabella, karena putrinya itu begitu patuh padanya. Selama ini, Carol dibantu dua pengasuh dalam penjaga Arabella. Se
Dua tahun berlalu … “Brisa, aku tidak bisa hadir meeting launcing product. Tolong kau minta Carol untuk gantikan aku. Atau kau bisa minta direktur perwakilan. Sekarang aku harus ke sekolah Diego. Aku baru saja mendapatkan kabar Diego berkelahi di sekolah.” Kimberly berkata dengan nada cepat seraya memasukan barang-barangnya ke dalam tas. Tampak jelas, dia sedang terburu-buru. Namun, sayangnya dia tak menemukan kunci mobilnya. Dia langsung mengumpat saat tak menemukan kunci mobilnya. Terpaksa, dia menggunakan mobil lain, kala kunci mobil yang biasa dia pakai tak bisa ditemukan. “Nyonya, Nyonya Carol juga sibuk. Beliau ada meeting dengan—” “Brisa, putraku lebih penting. Kau urus saja. Kalau kau tidak mengerti, kau bisa meminta Freddy untuk membantumu. Aku yakin Freddy tahu apa yang harus dilakukannya. Aku harus tutup telepon.” “Nyonya, tapi—” Kimberly menutup panggilan secara sepihak. Dia tak bisa berlama-lama. Dia langsung berlari masuk ke dalam mobil, dan melajukan mobil dengan
Beberapa bulan berlalu … Gilda mengusap perutnya yang buncit dengan penuh kelembutan. Dia tampak begitu bahagia setiap kali melihat perut buncitnya. Hatinya menyejuk. Gelenyar akan secercah pengharapan indah, selalu menyelimutinya. Dia merasa seperti mimpi. Namun tidak! Ada bayi di perutnya, dan itu nyata! Dia akan segera menjadi seorang ibu. Gilda duduk di taman belakang rumahnya. Saat ini, dia masih berada di Los Angeles, dia belum pindah ke Melbourne, karena dia memilih melahirkan di Los Angeles. Usia kandungannya telah memasuki minggu ke dua puluh. Dokter mengatakan dia mengandung anak laki-laki. Sungguh, Gilda tak pernah mengira dirinya akan menjadi seorang ibu. Dari segala kejahatan yang dilakukannya di masa lalu, harusnya Gilda tak diberikan kesempatan untuk memiliki sebuah keluarga indah. Tapi rupanya, takdir masih berbaik hati padanya. Dulu, Gilda hampir menjadi seorang ibu, tapi bayi yang ada di kandungannya tak selamat. Pun kala itu sifatnya masih buruk. Dia bersyukur b
Beberapa minggu berlalu … Kimberly tersenyum melihat lukisan yang baru saja dirinya pesan dalam pemasangan di dinding. Kehamilan kali ini, membuatnya menyukai menata rumah. Jika biasanya, dia selalu menyerahkan pada pelayan, kali ini benar-benar berbeda. Entah kenapa, selalu saja ada ide dalam benaknya untuk menata rumah. Mulai dari menata taman, ruang tengah, ruang tamu, bahkan kamar. Dia selalu mengganti suasana agar tak bosan. Usia kandungan Kimberly saat ini sudah tiga belas minggu—yang mana kehamilannya sudah memasuki trimester kedua. Perutnya mulai membuncit. Well, bisa dikatakan perutnya jauh lebih membuncit ketimbang, kehamilan pertamanya. Padahal usia kandungan Kimberly masih baru tiga belas minggu. Mungkin efek terlalu banyak makan. Itu yang ada di dalam pikirannya. Kehamilan kedua ini memang membuat nafsu makan Kimberly meningkat tajam. Tentu, dia pasrah di kala tubuhnya mengalami kenaikan cukup drastis. Baginya yang paling terpenting adalah bayi yang ada di dalam kandu
“Aw—” Carol meringis saat tangan Fargo terlepas di pergelangan tangannya. Tampak jelas pergelangan tangan wanita itu memerah, akibat Fargo mencengkeram tangannya dengan sangat kencang. Ya, sejak tadi suaminya itu menarik tangannya dengan keras. Carol berusaha menjelaskan tentang Bruno, tapi Fargo menolak membahas Bruno. Alhasil, sekarang amarah Fargo semakin menjadi. Carol mengerti pasti Fargo salah paham tentang Bruno. Apalagi tadi Bruno sampai memeluknya. Ya Tuhan! Carol menjadi serba salah. Ingin menjelaskan, karena takut semakin salah paham, tapi di sisi lain, dia juga malu untuk menjelaskan. Dia benar-benar dalam keadaan dilema. “Siapa pria yang bernama Bruno, Carol? Berani sekali kau berpelukan dengannya!” bentak Fargo keras dan menggelegar. Dia dan sang istri kini sudah tiba di kamar hotel. Dia tampak jelas dilingkupi kemarahan dan cemburu yang besar. “Sayang, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Kau salah paham. Bruno adalah—” “Adalah apa?! Kau ingin beralasan Bruno adala
Amsterdam, Netherlands. Setelah perjalanan cukup panjang, akhirnya Fargo dan Carol tiba di Amsterdam, sebuah ibu kota Belanda yang sangat indah dan menawan. Selain itu, Belanda terkenal dengan sepeda. Ya, budaya bersepeda memang sudah mendarah daging di Belanda. Pemerintah bahkan telah membangun infrastruktur berupa jalan khusus pesepeda yang membentang di seluruh wilayah di negara ini. Amsterdam bukan hanya sekadar kota yang indah, tapi kota yang menyimpan jutaan kenangan antara Carol dan Fargo. Lihat saja, ketika dua insan itu mendarat di Amsterdam, mereka tersenyum semeringah bahagia. Mereka tak mengira kembali lagi ke kota ini, dalam keadaan mereka berdua telah resmi menjadi sepasang suami istri. Dulu, Carol ke Amsterdam karena ingin melakukan pertemuan bisnis. Sementara Fargo tinggal di Amsterdam, karena mengurus perusahaannya. Pun di kala Fargo bercerai dari Kimberly, pria itu memang memutuskan tinggal di Amsterdam. Sekarang, dua orang asing yang tak pernah berpikir akan ber
Fargo dan Carol tak menunda bulan madu mereka ke Amsterdam. Setelah Gavin dan Gilda menikah, mereka langsung bersiap untuk melakukan penerbangan ke Amsterdam. Hal itu membuat Carol tadi sempat sibuk dengan barang-barang yang akan dia bawa. Namun, sekarang barang yang akan dibawa Carol telah dimasukan ke dalam mobil oleh pelayan. Perasaan yang dirasakan Carol adalah bahagia. Tentu dia bahagia karena akan segera ke Amsterdam—tempat yang dulunya menyebalkan, tapi ternyata memberikan kebahagiaan mendalam. Namun, sekarang bukan hanya kebahagiaan yang dia rasakan, melainkan rasa khawatir tentang ucapan nenek tua tempo hari. “Astaga Carol, kenapa kau masih memikirkan ucapan peramal tidak jelas itu?” gumam Carol seraya menepuk jidatnya, mengumpati kebodohannya di mana masih mendengar ucapan peramal tidak jelas. Tiba-tiba ponsel Carol berbunyi, membuyarkan lamunannya. Dia mengambil ponselnya yang ada di atas meja, dan menatap ke layar tertera nomor ‘Gilda’ yang terpampang di sana. Detik i
The Ritz-Carlton tempat di mana yang dipilih Gavin dan Gilda melangsungkan pernikahan mereka. Gilda melangkah dengan pelan dan anggun—mamasuki ballroom hotel dengan tangan yang terus memeluk lengan Ernest. Ya, yang menemani Gilda adalah Ernest—tentu ini semua karena permintaan Ernest sendiri. Hal itu yang membuat Gilda merasakan syukur tanpa henti. Meski dia pernah jahat, tapi ternyata kesalahannya mampu dimaafkan oleh keluarga. Gilda tersenyum hagat, dan kini kilat kamera yang terus tersorot padanya. Tampak jelas dia sedikit gugup, tapi wanita itu berusaha mengatasi rasa gugupnya. Ribuan tamu undangan yang datang, menatap hangat dan kagum pada penampilannya. Di ujung sana, tepat di kursi paling depan ada Maisie yang tak henti menangis. Pun Kimberly yang duduk di belakang Maisie ikut menangis kala Gilda mulai mendekat. Bukan tangis kesedihan, melainkan tangis haru bahagia. Dari altar, Gavin begitu tampan dengan tuxedo berwarna putih menatap kagum penampilan Gilda yang sangat cantik