Selesai. Angel menatap ruangan luas hotel yang keluarga Rajendra sewa untuk pernikahan putra tunggalnya. Indah, tetapi tidak dengan hati Angel yang terus membara seperti api yang sengaja dihidupkan di tengah-tengah bensin. Iya, dia gadis yang sekarang menyandang status sebagai istri dari Damian Rajendra. Tidak—Bukan karena cinta—Tetapi hanya untuk membalaskan dendamnya.
Kepulangannya mendadak, hatinya hancur, tahu kertas yang sengaja ditaruh di air lalu diremas-remas? Seperti itulah keadaannya. Pamannya mengabarkan orang tua Angel meninggal karena kasus pembunuhan. Pamannya memberi tahu semuanya, Angel mendidih, ingin sekali melakukan hal yang sama dengan apa yang mereka lakukan kepada keluarganya. Satu cara, kebetulan keluarga Rajendra tengah mencari jodoh untuk anaknya. Dasar orang kaya, zaman sudah modern, tetapi perjodohan bak Siti Nurbaya masih saja berlaku. Dengan kecerdasannya, seorang Angelia Yofanka menyewa orang tua gadungan untuk datang ke rumah mereka. Sangat beruntung, mereka mau membantu Angel. Orang kaya, terpandang, yang keluarga Rajendra juga kenal. Iya—Saudara jauhnya Angel yang semua tidak tahu.
Semesta berpihak pada Angel. Bahagia tentu, nantinya ia akan menjalankan aksinya. Siapa yang mau pembunuh orang tuanya terus bersenang-senang di atas penderitaannya? Tidak! Maka dari itu, Angel akan memberikan mereka semua pelajaran.
Menikah dengan Damian? Sama sekali bukan daftar dari kehidupannya yang sudah tertata rapi. Terlebih Angel harus rela melepaskan mantan kekasihnya hanya demi laki-laki itu. Bahkan di depan saksi banyak orang di Gereja, bukan janji kebahagiaan yang tersemat di dalam hatinya. Janji ke satu, Angel harus membuat keluarga Damian hancur. Janji kedua Angel mau keluarga Damian mendapatkan apa yang Angel rasakan. Janji ketiga, janji terakhir, Angel mau Damian benar-benar menyesali pernikahannya ini. Menikah dengannya, sama saja dengan sebutan pernikahan beracun. Tidak ada cinta, tenang Angel tidak akan pernah jatuh cinta padanya.
Angel, gadis itu berlama-lama dengan pikirannya sampai tidak sadar laki-laki bernama Damian yang kini telah menjadi suaminya berdiri di hadapannya. Di mata Angel, Damian tidak tampan, biasa saja, hanya yang unik darinya adalah ketika pertama kali bertemu dan sampai detik ini dirinya terus tersenyum. Angel sempat berpikir, tidak lelah tersenyum terus?
"Terima kasih telah menjadi istri saya." Apa ini? Damian mengajaknya bicara? Angel diam, dia berdiri lalu berlalu. Damian menatap sikap Angel yang dingin, laki-laki itu sudah menyadarinya sejak awal. Namun, entah kenapa dia justru menyetujui pernikahan ini.
"Kamu tidak akan mengucapkan apapun pada saya?" tanya Damian saat Angel baru beberapa langkah darinya.
"Nggak, gue mau mandi." Empat kata, keluar dari bibir Angel.
"Saya ingin mengucapkan sesuatu sebelum kamu pergi untuk mandi. Boleh?"
"Gue nggak ada waktu. Oiya, nggak usah seakrab itu sama gue. Kesannya jijik!" Selesai, berucap seperti itu, Angel kembali berjalan memasuki kamar mandi.
Damian menghela napas. Senyumnya mengembang, entah kenapa wajah Angel begitu cantik dan terus memenuhi otaknya. Rambutnya tergerai bebas, warna merah di bibirnya, serta yang paling Damian suka dari Angel adalah tahi lalat yang diam-diam menempel di dekat bibirnya.
"Saya suka namamu, sama seperti saya menyukaimu saat pertama kali bertemu. Itu wajar 'kan?" Angel melirik pada Damian yang terus saja menatapnya. Terusik, jelas, dia tidak suka terperangkap berdua dengan laki-laki munafik ini. Ingin rasanya menembak bagian kepala Damian, mungkin itu kemenangan Angel nantinya.
"Nggak jelas. Gue rasa lo laki-laki buaya, liat yang bening dikit aja sikap lo begini, murahan," cibir Angel.
"Nggak, sikap saya begini hanya dengan kamu saja. Dan, Angel. Sekarang saya suami kamu, bisakah kamu sopan sedikit? Apalagi saya denganmu terpaut umur yang sangat jauh," kelakar Damian.
Angel berdecih, "Apa peduli gue? Jangan minta lebih sama gue, gue nggak cinta sama lo! Kalau bukan karena orang tua gue, gue males nikah sama lo!"
"Bagaimana jika saya berhasil buat kamu jatuh cinta sama saya? Bahkan suatu saat ketika cinta saya saja terkalahkan dengan cinta kamu. Angel, serius, kamu buat saya jatuh cinta pandangan pertama. Kamu percaya kalimat itu kan?"
Angel tidak merespon. Dia sibuk bermain dengan ponselnya. Apa peduli Angel? Laki-laki tidak tahu diri. Andai dia tahu Angel siapa. Sudah Angel tebak, Angel juga akan mati dengan tidak layak. Mengingat bagaimana kejamnya keluarga Rajendra membuat urat-urat Angel terlihat. Seperti orang tengah menahan amarah.
"Saya tahu, kamu terpaksa. Tapi izinkan saya untuk membuat kamu bahagia. Saya janji, bersama saya kebahagiaan kamu akan terus menuntun di belakang." Apa ini? Omong kosong! Kalau saja Angel bisa menjawab, pasti akan menjawab seperti ini, "Ya dan lo, kehancuran akan terus menghantui." Sayang, itu tidak terucap. Angel belum mau mengungkapkan semuanya sekarang, percuma saja dia menikahi Damian nantinya.
"Angel, kita akan tetap tinggal di rumah papa dan mama. Mansion itu luas, kita akan punya ruangan sendiri. Kamu nggak masalah kan?" Angel membuang napas panjang. Ini laki-laki, tetapi cerewetnya minta ampun!
"Ya, cukup bicaranya, telinga gue penging. Oiya, lo kalau tidur duluan aja, gue nggak mau seranjang sama lo."
"Kenapa? Kita suami istri, tidak akan ada masalahnya, lagi pula ini malam pertama kita menikah kan?"
"Lantas lo berkhayal gue bakal ngelakuin hal begituan sama lo? Jangan harap deh,gue liat lo aja ogah! Baik di sini maupun di mansion, kita tetap berjauhan. Gue yang akan tidur di sofa," jelas Angel.
Damian tersenyum. Hih, ingin sekali Angel melemparinya bantal. Apa si yang membuat laki-laki itu tersenyum? "Biar saya yang di sofa. Saya laki-laki, nggak baik jika saya lebih milih di ranjang empuk sedang istri saya di sofa yang tidak nyaman itu," ujarnya. Angel menyunggingkan senyum. Laki-laki seperti Damian, mempunyai banyak wajah ternyata. Yang Angel tahu sekarang, Damian sedang memakai wajah munafiknya, entah di mana wajah kejam itu. Angel belum melihatnya.
"Baguslah, makan tu pilihan lo. Gue doain encokan!"
"Bercanda kamu beda ya. Tapi saya suka. Kalau saya encokan, saya bisa minta tolong kamu buat pijitin."
"Idih, ogah." Angel melompat dari sofa, dirinya menghampiri kasur lalu membungkus diri di bawah selimut. Hal itu membuat Damian menggeleng dengan tersenyum tipis. Lucu sekali pikirnya.
Damian berjalan, mendekat pada Angel. Membuka selimut yang menutupi wajah cantik istrinya itu. "Selamat tidur, terima kasih malam pertama untuk pernikahan kita, saya berdoa semoga kamu cepat merasakan perasaan yang sama seperti saya pada kamu. Mimpi ini."
Angel sungguh merutuki Damian dalam hati. Berani sekali. Bahkan mengucapkan kata-kata yang membuat Angel ingin muntah. Mungkin jika Angel mencintainya juga, itu akan membuat hatinya berbunga-bunga. Namun, ini berbeda. Angel membencinya sungguh. Bahkan kata-kata Damian baru saja seperti teriakan-teriakan orang tuanya yang ingin minta Angel untuk membalaskan dendam pada Damian beserta keluarganya.
"Selamat tidur kembali, Damian. Gue janji akan buat hidup lo hancur sama seperti apa yang udah lo lakuin."
Angel mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan mansion yang baru saja ia tapaki setelah pergi bermalam di hotel. Senang? Jelas, karena ini permulaan untuknya balas dendam. Pakaiannya hari ini adalah levis biru dongker panjang sobek bagian lurus dengan atasan kaus dipadukan kemeja kotak-kotak yang ia tali bagian bawahnya. Mungkin semua orang akan mengira Angel adalah preman pasar yang akan malakin orang-orang. Sengaja, itu maunya. Angel mengangkat bibir kirinya ke atas. Dia tahu, banyak keluarga Damian tidak menyukainya. Jelas, ketika melaksanakan perjodohan, ada dua perempuan, lebih cantik, dan sopan, terutama baik, tetapi inilah kenyataannya. Angel yang kini menjadi istri Damian. Mungkin juga ayahnya setuju karena dia kaya. Munafik memang, lihatlah tidak ada sesi penyambutan. Rasanya Angel sedang berada di ruang penuh AC. Hawanya dingin, persis saat mereka menatap datar Angel. Bodo amat siapa yang peduli? Angel hanya mengangkat kedua bahunya lalu ber
Angel mengenakan dress yang ketat warna hitam tentu itu akan mencuri perhatian banyak orang. Iya, malam ini Angel setuju menemui Gerald di sebuah klub malam yang ada di sana. Tanpa izin Damian? Benar sekali, lagi pula pria itu belum pulang dari kerjanya.Angel menyelop kakinya di sepatu hak tinggi, itu akan memudahkannya interaksi dengan orang-orang yang bertubuh lebih tinggi darinya.Sejujurnya ini akan sulit, tapi bukan Angel namanya jika tidak tahu. Dia akan lewat pintu belakang, Gerald sudah menunggunya di gerbang belakang. Sulit, iya, tetapi jika Angel memilih lewat depan akan berdampak buruk dengan ribuan pertanyaan orang-orang.Sial! Angel jatuh. Gadis itu melihat lututnya. Berdarah. Ck, inilah akibatnya jika melompat dari jendela. Lututnya luka sedikit, Angel tidak peduli.Gerald Pamungkas. Laki-laki itu langsung memeluk Angel. Begitu merindukan gadisnya. Sudah tahu hubungan merek
"Kamu lapar?" Angel merutuki perutnya yang baru saja berguncang hingga terbawa angin, siap didengarkan oleh orang di dekatnya. Sial, dia baru saja terpaksa duduk di mobil Damian. Ya, terpaksa, kakinya sakit, tidak mungkin menunggu taksi sudah malam, lebih baik begini bukan? Bodohnya perut satu ini tidak bisa diajak kompromi. Bergemuruh, membuat Angel mau tidak mau menahan malu."Nggak! Apa si, telinga lo bermasalah itu!" Angel sudah seperti maling yang tertangkap basah, tetapi enggan menjawab sekedar 'iya' pada Damian. Ya, karena malu itu!"Nggak, saya dengar suara demo dari perut kamu. Ngomong-ngomong, nasi goreng yang saya buatkan kamu makan kan?""Nggak, gue kasih anjing di depan rumah. Nggak enak, lo kasih ke gue," alibi Angel. Malu hanya sekedar mengakui jika ia memakannya."Lantas kamu makan apa?""Lo kepo banget si. Tau gini gue cegat taksi di depan!"
"Tidur saja duluan, saya harus urus pekerjaan dulu.""Siapa juga yang mau nungguin lo begadang? Jangan macem-macem ya pas gue lagi tidur!" Angel menunjuk Damian sambil melotot."Iya, Sayang. Apa yang tidak buat kamu?" Angel melotot. Dirinya langsung menutupi tubuh dengan selimut membaringkan tubuh ke kiri membelakangi Damian.Sungguh Angel belum tidur. Dia benar-benar ingin mencakar, atau bahkan menusuk punggung Damian dari belakang. Sudah beberapa hari di sini, tetapi gerakannya belum juga terlaksana."Kalau kamu belum ngantuk jangan paksain tidur. Mending buatkan kopi untuk saya. Gulanya sedikit saja, saya tidak suka terlalu manis."Angel menyibak selimut dengan kasar. Ketahuan juga keresahannya sejak tadi yang tidak kunjung tidur. Dia menyatukan alisnya sambil memajukan bibir. "Ciah, siapa juga yang mau buatin kopi buat lo? Buat sendiri, manja banget. Gue tu ngantuk,
Angel berdiri tepat di sebuah ruangan musik milik keluarga Rajendra. Megah, bahkan ruangan ini terbuat dari kaca. Ditumbuhi tanaman bunga hias, setiap malam atapnya akan selalu dibuka untuk menampilkan deretan-deretan bintang juga sinar rembulan.Pintunya terbuka. Angel memelankan langkahnya. Ini klasik, tetapi unik. Ada gitar, biola, piano, bahkan sepatu balet. Angel bertanya, siapa yang menyukai balerina?Tatapannya jatuh pada piano di tengah ruangan. Malam ini begitu cerah, di bawah sinar rembulan dan gemerlap bintang Angel membuka penutup piano.Memainkannya dengan hati. Angel sangat menyukai musik. Ini mengingatkan dia tentang orang tuanya. Papanya menyukai musik, dan ibunya yang akan bernyanyi.Tanpa sadar, air mata Angel jatuh. Ini sulit, dia begitu membenci kematian orang tuanya yang begitu nahas itu. Dibunuh hanya karena tahta. Menjijikan!"Kamu begitu lihai me
Angel meraba benda yang melekat di dahinya. Kain lipat, Angel membuangnya. Kepala gadis itu pusing, terpaksa bangun karena cahaya matahari sudah menyilaukan. Menatap sebuah baskom berisi air di atas nakas. Siapa yang mengompresnya? Apa Damian?"Angel, sudah bangun?" Damian tiba-tiba saja datang dari arah kamar mandi."Aaaaa!" Angel berteriak menutup wajahnya. Damian datang hanya dengan lilitan handuk bagian bawahnya. Kurang ajar!"Lho, kamu kok teriak. Ada yang aneh sama saya?" Damian berdiri kikuk. Melihat istrinya yang justru tetap memilih menutupi wajahnya."Aneh banget! Lo kenapa nggak pake baju si? Mau pamer badan sama gue?" Angel berucap sambil menutup rapat matanya.Damian geli sendiri. Dia malah berjalan mendekat pada Angel. Tanpa ragu, Damian mengecup pipi Angel lalu pergi.Angel terkesiap. Dia melotot saat merasakan ada bibir yang menemp
Angel memainkan pisau lipat yang ia sembunyikan di dompetnya. Senyum gadis itu terlihat bahagia, bahkan wajahnya nampak berseri-seri.Pisau itu ia goreskan di lengan kirinya. Nampak darah keluar, tetapi Angel malah tertawa. "Darah dibalas darah. Begitu juga keluargamu Damian. Darah orang tuaku akan segera terbalaskan!""Angel sedang apa kamu?" Angel tersentak. Dirinya melempar pisau itu asal, lalu menyembunyikan kanan kiri yang terluka.Damian tiba-tiba saja datang dan mengejutkannya. Laki-laki itu memicingkan mata, gelagat Angel nampak mengherankan."Angel?" Damian mencoba memanggil Angel yang tidak menjawab pertanyaannya."Ah, apa?""Saya tanya sedang apa kamu? Di bawah semua orang sudah menunggu," ujar Damian diselingi pertanyaan yang sama."Ungh, gue lagi siap-siap. Lo kenapa ke sini si? Tanpa lo jemput juga gue dateng!"
"Angel, saya sulit mengatakan ini, tapi saya diharuskan bicaranya." Angel memutar bola matanya malas. Sejak tadi Damian berbelit-belit tidak langsung ke dalam intinya saja. Membosankan!"Gue nggak ada waktu ya! Lagi pula lo kenapa nggak berangkat kerja si?" Gadis itu berkacak pinggang. Menatap jengkel pada Damian yang justru masih mengenakan pakaian santai."Nah itu masalahnya.""Apa?""Saya ambil cuti untuk tiket honey moon kita."Angel terbelalak. Tiket? Honey moon? Kurang ajar, apa lagi mau Damian ini."Bukan saya yang memesan. Itu anak-anak kantor, saya tidak bisa menolaknya. Tidak lama hanya dua hari satu malam," jelas Damian saat Angel mulai mengeluarkan tanduknya. Napasnya saja sudah menggebu-gebu. Siap-siap deh dapat semprotan lagi."Lo kan bosnya. Sok nggak enakan banget si. Pokoknya gue nggak mau! Udah ada perjanjian di awal s