"Kamu lapar?" Angel merutuki perutnya yang baru saja berguncang hingga terbawa angin, siap didengarkan oleh orang di dekatnya. Sial, dia baru saja terpaksa duduk di mobil Damian. Ya, terpaksa, kakinya sakit, tidak mungkin menunggu taksi sudah malam, lebih baik begini bukan? Bodohnya perut satu ini tidak bisa diajak kompromi. Bergemuruh, membuat Angel mau tidak mau menahan malu.
"Nggak! Apa si, telinga lo bermasalah itu!" Angel sudah seperti maling yang tertangkap basah, tetapi enggan menjawab sekedar 'iya' pada Damian. Ya, karena malu itu!
"Nggak, saya dengar suara demo dari perut kamu. Ngomong-ngomong, nasi goreng yang saya buatkan kamu makan kan?"
"Nggak, gue kasih anjing di depan rumah. Nggak enak, lo kasih ke gue," alibi Angel. Malu hanya sekedar mengakui jika ia memakannya.
"Lantas kamu makan apa?"
"Lo kepo banget si. Tau gini gue cegat taksi di depan!"
"Bukan kepo, Angel. Saya hanya mau memastikan istri saya tidak kelaparan. Saya dengar sesuatu minta diberi makan soalnya." Dia sedang mengajak Angel bercanda? Lawakannya tidak lucu sama sekali! Angel bahkan mendengus.
"Kita ke suatu tempat dulu ya."
"Lo mau bawa gue ke mana? Lo mau aneh-aneh sama gue ya?!" tuding Angel.
"Kita cari makan, kebetulan saya lapar. Kamu bisa temani saya saja, kamu tidak lapar kan?"
"Gue nggak mau. Lo kalau mau makan, sendiri aja si! Manja banget pake acara nemenin segala." Angel menolak. Bukan apa, dia diajak hanya untuk menemani laki-laki ini. Siapa yang mau? Bahkan semut yang tak sengaja lewat saja malas mendampingi.
"Sebentar saja. Lagi pula apa alasan kamu nantinya pulang tanpa saya, ya walaupun kamu pergi dengan laki-laki lain."
Kurang ajar! Angel tidak punya alasan, benar kata Damian. Hah, gadis itu mau tidak mau menuruti pria ini.
"Kamu tahu, di sini ada pecel lele yang enak sekali. Andai kamu lapar, mungkin kamu akan saya pesankan dua sekaligus karena seenak itu." Angel tidak menggubrisnya. Gadis itu fokus pada rasa lapar yang ia tahan. Berharap bunyi aneh itu tidak lagi menyeruak keluar ke permukaan bumi. Memalukan!
"Nggak usah banyak omong, gue mau cepet pulang. Lo kalau cuma mau bikin gue pingin, sorry lo nggak bisa!"
"Saya nggak bikin kamu ngerasa pengen tuh. Saya hanya memberi tahu. Ya, siapa tahu kamu mau mencicipinya lain hari," ujar Damian.
"Berisik, fokus aja nyetir lo. Ngomong mulu, heran."
"Biar tidak sepi-sepi amat. Kalau sepi hawanya malah jadi ...." Damian membiarkan kalimatnya menggantung. Angel menoleh lalu menyodorkan tatapan tajam. "Jadi, apa?!" tanyanya dengan nada galak.
"Saya lupa, kamu penasaran ya?"
"Nggak jelas!"
"Kamu lucu. Entah kenapa saya suka ngegas kamu, pertahanin ya."
"Dasar aneh!"
***
Angel mengedarkan pandangannya. Sebuah kedai pecel lele yang hanya dijual malam hari. Melihat penampakan gambarnya saja membuat Angel meneguk ludah berkali-kali. Sumpah, terlihat menggiurkan.
"Mbak Sum!" Damian melambaikan tangannya. Giginya diperlihatkan, lalu mendekat ke sana tak lupa menggandeng Angel.
"Eh, Dami, udah nggak pernah ke sini lagi lho! Mbak pikir pindah atau ke mana."
"Nggak, Mbak. Dami sibuk kerja. Ngomong-ngomong, pecel lele-nya masih?" tanya Damian.
"Masih. Dami ini kamu sama siapa? Kayaknya kalau ke sini selalu sendiri, kok tiba-tiba dateng bawa perempuan," tanya Mbak Sum. Angel risih, kepo sekali batinnya.
"Oh, ini, Mbak. Istri saya, baru nikah, gimana Mba? Cantik kan?"
"Bener ini istri kamu? Ya ampun, Dami! Cantik sekali, namanya siapa?" Pertanyaan soal nama ini mengarah pada Angel. Gadis itu tersenyum paksa lalu menjawab, "Angelia."
"Namanya cantik, persis kaya orangnya. Oh, ya Angel. Damian ini sering banget dateng untuk makan pecel lele."
Angel tidak menanggapinya. Dia hanya diam dengan senyuman biasa.
"Pesen satu ya, Mbak. Kaya biasa, kering banget," kata Damian kembali memesan.
"Oke, minumannya es teh manis kan?"
"Iya, Mbak!"
Kini Angel menatap penuh kesal pada Damian yang enak-enakan menyantap makanannya. Bahkan tidak segan untuk mengeluarkan suara 'kriuk' dari gorengan lelenya.
"Enak, saya heran kenapa masih ada orang yang nggak ngiler lihatnya?"
"Tau dah, gue nggak peduli. Udah cepet habisin, lelet amat makan gitu doang!"
"Bukan lelet, saya hanya ingin meresapinya. Ini enak, serius kamu benar-benar tidak mau?" Damian masih bertanya lagi. Ingin sekali menjejali dirinya sambal tomat!
"Udah gue bilang gue ngg—"
Kruk ... Kruk ....
Angel menggantungkan ucapannya saat bunyi perut itu kembali datang. Kini suaranya benar-benar jelas. Tamat sudah, Damian pasti menertawakannya!
"Apa lo liat-liat gue?" Angel melotot. Bukan marah, tetapi terlanjur malu.
"Kalau lapar jangan ditahan. Bisa sakit, ini coba satu suap. Saya yakin kamu bakal minta nambah." Damian menyodorkan genggaman nasi di tangan kanannya untuk menyuapi Angel. Ragu, apa Angel akan membuka mulutnya?
"Ayo, pulang nanti saya yakin lagi tidak ada makanan di mansion."
Angel membuka mulutnya. Ya, Damian menyuapinya seperti dedek bayi. Angel menguyah perlahan. Serius, ini enak. Angel benar-benar tidak pernah makan pecel lele seenak ini.
"Gimana, enak kan?" tanya Damian.
"Biasa aja. Semua makanan mah enak kecuali makanan lo!" tekan Angel sekali lagi penuh pembohongan.
Damian tersenyum. Dia memberikan suapan pada Angel lagi. "Nanti saya belajar masak lagi agar kamu tidak membuangnya. Sayang, padahal nasi gorengnya saya buat penuh cinta," ujar Damian.
"Cinta lo mati nggak idup, pantes nggak jadi. Udah gue bilang, dari pada cinta sama gue mending cinta sama cewek lain. Gue yakin di kantor lo banyak cewek-cewek lebih menggoda ketimbang gue!"
Damian menurunkan tangannya yang hendak menyuapi Angel kembali. Dia diam, tidak lama, setelahnya menarik sebuah senyum. "Kamu ngomong seperti itu tidak pernah mau tahu bagaimana hati saya, Angel?" tanya Damian. Suaranya melembut. Bisa saja saking lembutnya dibawa angin, Angel tidak bisa mendengar.
"Ngapain mau tau hati lo. Semua yang berhubungan sama lo itu nggak penting. Lagi pula, ini hanya perjodohan, gue juga bebasin lo mau ke mana dan sama siapa aja. Jadi, buat apa lo malah jatuh cinta sama gue? Kenal juga nggak!"
"Perjodohan atau tidaknya kalau kita sudah menikah artinya kita bertakdir untuk bersama."
Angel menarik bibir kirinya. "Sayangnya gue nggak sudi punya takdir berjodoh sama lo, Damian!" Angel hanya bisa menjerit dari hatinya.
"Em, kamu mau pulang kan? Terima kasih sudah menemani saya makan. Kita bisa pulang sekarang."
***
"Apa alasan kamu menerima saya ketika perjodohan kemarin?" Damian membuka pertanyaannya.
"Gue terpaksa. Jadi, gue harap jangan minta ataupun berdoa suatu saat gue bakal cinta sama lo!"
"Kamu bisa berharap. Saya juga begitu. Harapan saya adalah kebalikan harapan kamu. Saya harap, secepatnya kamu mencintai saya, My Angel."
Angelia. Di London namanya benar-benar sudah tidak disebut lagi oleh semua orang. Damian tidak pernah mendengarnya, Damian tidak pernah melihatnya. Bahkan, yang paling mengejutkan Damian. Ketika mengajak Delvira mengunjungi Skala, rumah itu sudah dikontrakkan oleh orang lain. Wanita itu benar-benar seperti orang yang tak sengaja bertemu di jalan. Damian bertanya pada Yolanda, pada teman-temannya yang lain. Nihil. Semua seolah menutup mulut. Layaknya mereka memang orang-orang yang tak saling mengenali.Sudah satu bulan, Damian menjalani kehidupannya yang baru bersama istri tercintanya—Delvira. Meski Delvira tidak seperti wanita di luaran sana, tetapi Damian begitu bangga. Setidaknya, Delvira tidak manja. Untuk memakaikan dasi, memberi nasi dan lauk di piring Damian, serta hal-hal sederhana lainnya masih ia lakukan sebagaimana istri sebenarnya. Satu bulan, pernikahannya, Damian dan Delvira belum berhubungan. Delvira menolak untuk melakukannya, lantaran dia b
Angel memandang surat gugatan cerai yang dirinya kirim pada Damian silam. Awalnya Damian yang bersikukuh untuk tidak menceraikannya, tetapi sekarang, justru menandatangani surat itu. Angel hancur. Apa ini balasan untuk wanita jahat sepertinya? Hidup dalam lubang kepedihan. Kalaupun iya, Angel berharap jangan bawa anak-anaknya. Jangan bawa Skala putra manisnya. Jangan bawa calon bayi mungilnya. Ini sungguh rumit. Tanpa alasan, tanpa penjelasan Damian benar-benar memutuskannya sepihak. Padahal Damian orang yang menyakinkan Angel jika mereka berdua harus memiliki kesempatan kedua. Memperbaiki keadaan. Menjalin hidup bahagia bersama buah hatinya.Hatinya remuk. Sama seperti dadanya yang sesak. Air matanya meluruh begitu saja, membasahi pipi mulusnya. Wajahnya kian pucat akibat hamil muda. Ditambah masalah begini, Angel rasanya ingin mati saja. Sejak di mana Damian mengusirnya mentah-mentah, Angel tak lagi bisa bertemu dengannya. Di kantor, Angel dihadang satpam. Di rumah, ger
Angel membocorkan haru pada alat tes kehamilan yang di genggamnya. Benar-benar tidak percaya jika dirinya akan hamil kembali. Tanpa sadar air jatuh begitu saja. Entah harus bagaimana entah bagaimana. Apa Tuhan ingin mereka memperbaiki keadaan. Di sela-selanya, Angel kabar kabar Damian. Sudah seminggu-laki itu tidak lagi film diri. Seperti hilang ditelan bumi. Malaikat benar-benar tidak tahu dengan perasaannya. Seperti dirinya itu plin-plan. ingin ingin segalanya. Namun sekarang melihat, melihat dirinya mengandung anak Damian kembali, Angel jadi membayangkan mau Damian kemarin. Mau Damian jika mereka memang harus diberi kesempatan untuk berulang kali lagi. Mengulangi hal-hal yang manis tanpa ada racun."Ibu! Apakah kamu baik-baik saja?" Malaikat sampai lupa, Skalanya untuk menunggu di luar sana. Angel melacak air matanya, lalu keluar dari kamar mandi.Dilihatnya bocah mungil itu, berdiri sambil mengemuti permen lolipop. Wajahnya merah kesal k
"Harusnya kamu tidak perlu beli ini semua untuk Skala, Mas." Angel membocorkan banyak sekali mainan yang baru dikirim oleh pekerja Damian. Angel sudah melarangnya. Namun, Damian itu kekeh. Dia tetap mau pada keinginannya untuk membeli Skala mainan yang banyak agar mendapat perhatian dari anak kecil itu—putranya sendiri."Angel, please. Beri saya kesempatan. Saya ingin menjalin hubungan baik dengan putra saya sendiri," balas Damian.Angel membocorkan Damian lekat. Tidak ada senyuman yang menghampiri dirinya. Lalu Angel bertanya, "Kenapa kamu bisa percaya kalau skala anak kamu? Bahkan kamu belum buktiin itu semua.""Tidak ada lagi yang perlu dibuktikan. Maaf, saya pernah hampir memaki. Saya begitu menyesal. Apa di sini sakit?" Damian menyentuh hati Angel. Malaikat hanya diam. Damian menatapnya dengan sendu, lalu memeluknya erat. "Beri saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya.""Ja
Damian membuka matanya yang begitu terasa lengket. Dia masih mengantuk, tetapi cahaya matahari membuatnya harus bangun sekarang. Damian bangun. Kepalanya terasa begitu berat. Bahkan Damian memukul pelan kepalanya. Dia mengingat-ingat kejadian semalam. Saat sepenuhnya Damian sadar, laki-laki itu langsung berdiri dan berbalik menatap kasurnya.Ini bukan kasurnya? Benarkah dia ada di tempat Angelia? Seingat Damian, semalam dia pergi ke bar dan mabuk saat perjalanan pulang."Kalau Anda benar-benar tulus dengan Angelia. Saya akan memberi tahu di mana dia." Fanya akhirnya memberi peluang Damian untuk menebus kesalahannya."Ya, saya benar-benar tulus padanya," kata Damian.Fanya duduk. Dia menulis alamat di mana Angel tinggal selama ini. Lalu, Fanya memberikan sobekan kertas itu pada Damian. "Saya minta Bapak jaga Angelia. Ingat, Pak. Sesuatu yang salah tidak kemungkinan bisa dimaafkan. Sa
Damian tidak menerbitkan senyuman sependek pun pada pegawainya di kantor. Sejak dia masuk, dia hanya berjalan angkuh dan melirik begitu tajam pada mereka yang justru sibuk memandangi penampilannya. Cih, begitu membuat Damian risih."Maaf, Pak. Ada satu berkas yang dari kemarin belum Bapak tanda tangani juga. Berkas itu sangat penting. Jika Bapak tidak menandatangi segera, kantor ini akan kehilangan untung besar.""Kamu sedang mengajari saya?" Fanya terlonjak saat Damian bertanya padanya. Yang justru pertanyaannya, membuat Fanya ketakutan. Tatapan Damian seakan membunuhnya. Sialan. Jika bukan bosnya saja, Fanya sudah melemparkan tatapan yang sama. Melayangkan satu pasang sepatu yang dirinya pakai. Modal bos saja sombong sekali. Padahal dulu, banyak karyawan yang memujanya. Baik dari mana eh? Fanya bahkan akhir-akhir ini hanya dibentaknya saja."Ma-maaf, Pak. Saya hanya sekadar bicara. Kalau begitu ini be