Share

Bagian 3

Author: Dewi Mega
last update Last Updated: 2022-02-05 21:22:28

"Jawab saja! Aku kuat kok, Mas!" ucap Rima tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia masih menunggu apa yang akan dikatakan pria di hadapannya itu. Apakah ia akan berkata jujur atau kembali bersandiwara.

 

"Jawab, Mas!"

 

Alan hanya mengangguk, ia tak lagi bersandiwara.

 

"Bahkan setelah kita menikah?" Alan kembali mengangguk.

 

Dada seketika begitu sesak, mulut tak lagi dapat berkata. Rima membuang pandangannya, menyembunyikan mata yang mulai memerah. Alan pun terlihat bingung, ingin mendekat tapi seperti tertahan.

 

Hingga ... akhirnya Rima kembali menegakkan pandangannya seraya menyeka air mata. "Maaf ... aku pikir aku kuat, ternyata ini lebih sakit daripada yang aku bayangkan. Seharusnya tadi kamu bersandiwara saja, aku rasa itu jauh lebih baik."

 

"Maaf," ucap Alan pelan dengan segenap perasaan bersalah.

 

"Tak perlu minta maaf, bukan kamu yang menyakitiku, aku hanya terluka oleh pikiranku sendiri."

 

"Lalu setelah ini akan seperti apa kita?" tanya Alan.

 

"Harus bertanya padaku? Bukankah selama ini kamu yang membawaku? Aku hanya memberi perasaan, bila di awal tak dibalas, paling aku hanya terluka sejenak, setelah itu selesai. Tapi kamu yang membawaku sampai ke titik ini, masih harus bertanya padaku."

 

Alan menggelengkan kepalanya pelan.

 

"Sebetulnya aku pun bisa dicintai dengan sederhana, hanya karena aku lahir dari orang kaya bukan berarti hidupku kemewahan. Tapi sejak awal pertemuan kita kamu hanya memandang dari sisi buruk saja, hingga akhirnya aku yang sadar, bila aku tidak pernah dicintai."

 

"Tapi kamu wanita yang paling aku pentingkan dan aku utamakan," jawab Alan.

 

Rima menghela napas panjang, dadanya begitu sesak. Ini adalah patah hati terburuk dalam hidupnya. "Terimakasih. Jawabanmu barusan, semakin meyakinkan."

 

Rima beranjak dari ranjang, sekuat tenaga ia berusaha agar pertahanan air matanya tidak runtuh. Ia berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan sakit yang tak dapat disembunyikan lewat wajah. 

 

Alan mengacak rambutnya dan terlihat frustasi dengan situasi ini. Ia juga merutukki diri yang tidak bisa menyembunyikan itu dan harus berkata jujur tentang perasaan yang sudah mati-matian ia sembunyikan.

 

Ia mengejar istrinya, tapi langkah Rima lebih cepat. Ia masuk ke sebuah kamar lain dan menguncinya.

 

"Mari kita bicara, Rima. Semua tidak akan selesai dengan cara seperti ini," ucap Alan dari balik pintu. Rima sama sekali tidak menjawab dan menikmati waktunya yang sendirian di dalam kamar.

 

 

***

 

.

 

.

 

Dua hari mereka ada di atap yang sama tanpa pertemuan. Hingga pagi ini Rima keluar dengan pakaian yang rapi.

 

"Mau kemana kamu?" tanya Alan masih dengan nada dinginnya.

 

"Ke kantor," jawab Rima sambil duduk dan mengambil roti bakar yang dibuatkan ART.

 

"Ada apa? Tumben? Biasanya selalu ogah-ogahan."

 

"Mulai hari ini aku akan bekerja, mandiri dan independen."

 

Alan menatap istrinya heran dan tidak melanjutkan ucapannya. Sikap manja, ceria, dan sangat agresif seolah seketika hilang dari seorang Rima.

 

Mereka pun pergi dalam satu mobil yang sama, Rima masih diam dan membuang muka menatap ke arah jendela. Hingga keduanya tiba di kantor.

 

"Rima? Kamu kembali ke kantor?" ucap Gayatri menyambut dengan riang.

 

Rima mengangguk dan melihat ke sekitar, tidak ada yang berubah, Gayatri dan Alan berada dalam satu ruangan. Dulu ia menganggap biasa, tapi sekarang rasanya lain.

 

"Lihat aku, Rima. Aku kemarin beli anting, dua pasang denganmu, cantik tidak?" ucap Gayatri menunjuk anting yang dipakainya. 

 

"Biasa saja! Tapi lumayan, sih," jawab Rima.

 

Gayatri mengerucutkan bibirnya. "Cantik begini, iya kan, Mas?" tanyanya pada Alan.

 

Alan diam tak merespon, kemudian duduk di kursinya. Sementara meja Rima berdampingan dengan Gayatri. Mereka pergi ke meja masing-masing, kemudian Gayatri memberikan berkas pada Alan. Terlihat Alan sedikit berbisik, membuat Gayatri tersenyum kecil.

 

Rima memperhatikan dari jauh, ketika Gayatri meninggalkan ruangan ia beranjak dan mendekat pada suaminya.

 

"Kamu bilang apa pada Gayatri sampai ia tersenyum, Mas?"

 

"Kenapa, Rima? Simpan cemburumu, ini di kantor."

 

"Jawab jujur, aku tahu kamu bukan seorang laki-laki pengecut."

 

Alan membawa dirinya bersandar pada kursi, lalu menatap Rima pasrah.

 

"Katakan, Mas!"

 

"Tidak penting, Rima. Sudahlah."

 

"Iya apa?"

 

"Aku mengatakan ...." Pria itu nampak ragu. Rima nyaris menyerah, yakin itu adalah penambah kesakitan, namun ia benar-benar ingin tahu.

 

Komen dan sub please, biar tambah semangat akuuuuuu"Jawab saja! Aku kuat kok, Mas!" ucap Rima tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun. Ia masih menunggu apa yang akan dikatakan pria di hadapannya itu. Apakah ia akan berkata jujur atau kembali bersandiwara.

 

"Jawab, Mas!"

 

Alan hanya mengangguk, ia tak lagi bersandiwara.

 

"Bahkan setelah kita menikah?" Alan kembali mengangguk.

 

Dada seketika begitu sesak, mulut tak lagi dapat berkata. Rima membuang pandangannya, menyembunyikan mata yang mulai memerah. Alan pun terlihat bingung, ingin mendekat tapi seperti tertahan.

 

Hingga ... akhirnya Rima kembali menegakkan pandangannya seraya menyeka air mata. "Maaf ... aku pikir aku kuat, ternyata ini lebih sakit daripada yang aku bayangkan. Seharusnya tadi kamu bersandiwara saja, aku rasa itu jauh lebih baik."

 

"Maaf," ucap Alan pelan dengan segenap perasaan bersalah.

 

"Tak perlu minta maaf, bukan kamu yang menyakitiku, aku hanya terluka oleh pikiranku sendiri."

 

"Lalu setelah ini akan seperti apa kita?" tanya Alan.

 

"Harus bertanya padaku? Bukankah selama ini kamu yang membawaku? Aku hanya memberi perasaan, bila di awal tak dibalas, paling aku hanya terluka sejenak, setelah itu selesai. Tapi kamu yang membawaku sampai ke titik ini, masih harus bertanya padaku."

 

Alan menggelengkan kepalanya pelan.

 

"Sebetulnya aku pun bisa dicintai dengan sederhana, hanya karena aku lahir dari orang kaya bukan berarti hidupku kemewahan. Tapi sejak awal pertemuan kita kamu hanya memandang dari sisi buruk saja, hingga akhirnya aku yang sadar, bila aku tidak pernah dicintai."

 

"Tapi kamu wanita yang paling aku pentingkan dan aku utamakan," jawab Alan.

 

Rima menghela napas panjang, dadanya begitu sesak. Ini adalah patah hati terburuk dalam hidupnya. "Terimakasih. Jawabanmu barusan, semakin meyakinkan."

 

Rima beranjak dari ranjang, sekuat tenaga ia berusaha agar pertahanan air matanya tidak runtuh. Ia berjalan dengan sedikit menunduk, menyembunyikan sakit yang tak dapat disembunyikan lewat wajah. 

 

Alan mengacak rambutnya dan terlihat frustasi dengan situasi ini. Ia juga merutukki diri yang tidak bisa menyembunyikan itu dan harus berkata jujur tentang perasaan yang sudah mati-matian ia sembunyikan.

 

Ia mengejar istrinya, tapi langkah Rima lebih cepat. Ia masuk ke sebuah kamar lain dan menguncinya.

 

"Mari kita bicara, Rima. Semua tidak akan selesai dengan cara seperti ini," ucap Alan dari balik pintu. Rima sama sekali tidak menjawab dan menikmati waktunya yang sendirian di dalam kamar.

 

 

***

 

.

 

.

 

Dua hari mereka ada di atap yang sama tanpa pertemuan. Hingga pagi ini Rima keluar dengan pakaian yang rapi.

 

"Mau kemana kamu?" tanya Alan masih dengan nada dinginnya.

 

"Ke kantor," jawab Rima sambil duduk dan mengambil roti bakar yang dibuatkan ART.

 

"Ada apa? Tumben? Biasanya selalu ogah-ogahan."

 

"Mulai hari ini aku akan bekerja, mandiri dan independen."

 

Alan menatap istrinya heran dan tidak melanjutkan ucapannya. Sikap manja, ceria, dan sangat agresif seolah seketika hilang dari seorang Rima.

 

Mereka pun pergi dalam satu mobil yang sama, Rima masih diam dan membuang muka menatap ke arah jendela. Hingga keduanya tiba di kantor.

 

"Rima? Kamu kembali ke kantor?" ucap Gayatri menyambut dengan riang.

 

Rima mengangguk dan melihat ke sekitar, tidak ada yang berubah, Gayatri dan Alan berada dalam satu ruangan. Dulu ia menganggap biasa, tapi sekarang rasanya lain.

 

"Lihat aku, Rima. Aku kemarin beli anting, dua pasang denganmu, cantik tidak?" ucap Gayatri menunjuk anting yang dipakainya. 

 

"Biasa saja! Tapi lumayan, sih," jawab Rima.

 

Gayatri mengerucutkan bibirnya. "Cantik begini, iya kan, Mas?" tanyanya pada Alan.

 

Alan diam tak merespon, kemudian duduk di kursinya. Sementara meja Rima berdampingan dengan Gayatri. Mereka pergi ke meja masing-masing, kemudian Gayatri memberikan berkas pada Alan. Terlihat Alan sedikit berbisik, membuat Gayatri tersenyum kecil.

 

Rima memperhatikan dari jauh, ketika Gayatri meninggalkan ruangan ia beranjak dan mendekat pada suaminya.

 

"Kamu bilang apa pada Gayatri sampai ia tersenyum, Mas?"

 

"Kenapa, Rima? Simpan cemburumu, ini di kantor."

 

"Jawab jujur, aku tahu kamu bukan seorang laki-laki pengecut."

 

Alan membawa dirinya bersandar pada kursi, lalu menatap Rima pasrah.

 

"Katakan, Mas!"

 

"Tidak penting, Rima. Sudahlah."

 

"Iya apa?"

 

"Aku mengatakan ...." Pria itu nampak ragu. Rima nyaris menyerah, yakin itu adalah penambah kesakitan, namun ia benar-benar ingin tahu.

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (50)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
diulang. mungkin penulisnya lg mabok
goodnovel comment avatar
Irizka RA Yusuf
ngulang" nya kepanuangan
goodnovel comment avatar
X Aman S
ribet.. ngulang2.hapus la
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   End

    Galih menemani setiap masa tersulit Rima, begitu juga dengan Rima. Pernikahan mereka saat ini sudah memasuki usia sepuluh tahun, tidak terasa. Banyak hal yang sudah dilewati dengan baik."Selamat hari pernikahan yang ke sepuluh!" Rima memeluk Galih dari belakang, suaminya itu sedang bersiap menuju rumah sakit. Galih membalikkan badan, ia kecup kening Rima dengan penuh cinta, semuanya masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. "Semoga kita bisa lebih panjang lagi menikmati waktu berdua!""Tidak hanya berdua, aku ingin bertiga atau berempat," ucap Rima.Galih terdiam, ia tahu maksud istrinya, tapi kemudian dipatahkan oleh kenyataan pahit sebuah takdir yang tidak bisa diubah."Aku tetap bisa menjadi ibu meski tidak melahirkan, iya kan?" ucap Rima.Suaminya itu mengangguk pelan. "Kamu mau kita mengadopsi anak?""Iya! Kamu gimana?" tanya Rima."Aku ikut semua hal yang membuat kamu bahagia!""Tapi kamu happy?""Tentu."Rima tersenyum, ia sudah menimang semuanya beberapa waktu ini, tida

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 53

    "Ayo, Dok! Satu suap saja!" ujar dokter muda bernama Hani."Tidak, biar saya makan sendiri saja!" jawab Galih."Ayolah, Dok! Semua sudah, tinggal dokter saja, nih!" ucap Hani mendekatkan tangan yang sedang memegang sepotong kue ke mulut Galih."Saya menganggap semua yang ada di sini itu keluarga, apalagi aku hidup sendirian semenjak kecil, jadi momen ini aku ingin merasakan kehangatan keluarga, aku suapi, ya!" ucap Hani. Sosoknya memang ceria dan dekat dengan siapapun, ia mudah bergaul dan mengambil hati banyak orang, termasuk semua yang saat ini ada di sini, hanya Galih yang bersikap biasa saja, ia memang dikenal sedikit tertutup dan membatasi diri."Sekali saja ya, dok!" Hani merajuk, merasa tidak enak dan tidak tega, Galih pun akhirnya menerima suapan itu dengan perasaan berdosa pada Rima. Hingga akhirnya, pintu terbuka tepat ketika Hani menyuapinya.Seketika ruangan hening melihat kedatangan Rima, begitu juga Galih yang langsung salah tingkah, ia takut bila istrinya akan berpikir

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 52

    Selepas berdoa, Rima dan Galih beranjak dari tempat peristirahatan terakhir Gayatri. Keduanya memutuskan untuk singgah sejenak di kota ini dan menyewa sebuah penginapan sambil menikmati indahnya kebun teh di akhir pekan."Syahra memberi kabar padamu?" tanya Galih ketika keduanya berapa dalam perjalanan menuju hotel.Rima menganggukkan kepalanya dan melihat ke arah Galih. "Memangnya ada apa?""Tidak! Kemarin aku melihat statusnya hitam gitu, ku pikir sedang ada masalah dan siapa tahu kalian saling bertukar kabar.""Syahra tidak pernah bercerita apa pun, dia itu orang yang paling menutupi semua bentuk masalah. Sholehah banget sih, sebagaimana kekurangan suami, dia gak akan mengumbar apa pun itu yang sifatnya buruk."Galih mengangguk setuju dengan yang diucapkan Rima. Kenyataannya Syahra memang seperti itu. Sepanjang perjalanan menuju penginapan disuguhi pemandangan indah, hamparan luas kebun teh yang hijau, sejauh mata memandang membuat kesejukan yang tidak terkira, menyusup sampai ke

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 51

    Galih memegang tangan sang istri. "Kalau memang kita ditakdirkan untuk tidak memiliki keturunan di dunia, pasti Allah menjanjikan nikmat di surga. Pernikahan kita untuk berjalan ke sana buka? Jangan khawatir tentang semua yang sifatnya sudah menjadi hal preogratif Allah. Kita bisa menjadi orang tua untuk seribu anak.Rima terdiam, ia menghela napas panjang. Matanya kini mulai menghangat, tentang anak ini memang seringkali membuatnya khawatir dan cemas, terkadang ia takut bila akan tua sendirian, ia takut pada hal yang sebetulnya belum terjadi."Aku merasa tidak berguna, beberapa waktu ini pikiranku kacau, semua ini sangat sulit.""Kita bisa melewati ini, Rima. Kita akan tetap bahagia. Jadikan Allah sebagai pusat bertumpu dalam segala hal, maka lambat laun semua kecemasan akan hilang."Rima menundukkan wajah, tangannya berpegang erat pada Galih. Satu tetes air mata turun."Dengan segala ujian ini, kamu adalah makhluk spesial yang dipilihNya," ucap Galih lagi.Istrinya itu mengangguk pe

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 50

    Rima terdiam dan menatap Galih dengan nanar. Sejenak hening mengisi ruangan inI. Jantung Rima berdegup kencang dengan irama yang tidak menentu, ia seperti bisa membaca situasi yang terjadi. Disingkap pakaian yang ia kenakan, kemudian ia lihat bekas luka jahitan yang terlihat mengering."Apa sudah tidak ada rahimku di sana?" ucap Rima menunjuk perutnya.Galih membuang napas kasar, ia membawa langkahnya mendekat pada sang istri. Meski pijakan kakinya seperti sedang tak menapak."Jawab Galih!" Teriak Rima ketika suaminya hendak meraih tangannya. Tak terasa derai tangis turun. "Kita akan bahagia tanpa anak, Rima!"Tersentak Rima, ini adalah kehancuran kesekian kali yang akhirnya harus ia dengar dan ia rasakan. Bahkan selama 31 tahun hidupnya, ia sama sekali belum pernah merasakan kehamilan, tapi ternyata takdir berkehendak bila bagian penting bagi seorang wanita harus terangkat.Setelah itu ia jatuh terkulai, menangis sejadi-jadinya. Menerima takdir adalah hal yang tak mudah.Galih memel

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 49

    "Aku harus mendapat tindakan, ya?" tanya Rima ketika menerima hasil yang Galih bawa."Hanya tindakan kecil, setelah itu gak apa-apa, kita bisa mulai programa hamil. Kita akan berbulan madu ke tempat yang kamu inginkan," ucap Galih."Kata orang, kalau punya kista suka susah hamil.""Kamu kan punya dua tangan untuk menutup telingamu, jadi dengarkan aku saja, jangan yang lain."Rima mengerucutkan bibir sambil memegang kertas, ada sejumput rasa khawatir, mengingat usianya pun tak lagi muda, sudah 30 tahun lebih. Galih mendekat, merasakan ketidaksenangan istrinya, ia peluk Rima dengan hangat dan membesarkan hatinya."Jangan takut dan khawatir, percayalah semua akan baik-baik saja."Rima membalas pelukannya, setelah berkali-kali mereka batal untuk menikmati waktu berduaan, dua hari ke depan Galih mengambil cuti. Mereka memilih untuk menghabiskan waktu berdua di rumah."Mau tidur di hotel?""Tidak usah, di rumah saja. Aku tidak ada mood pergi kemana-mana, di sini saja sudah nyaman."Galih me

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 48

    Galih ikuti langkah istrinya yang kini duduk di ranjang. Ia pegang pundak Rima lembut dan duduk di sampingnya."Jangan ngambek!"Rima membalikkan tubuhnya, melihat Galih sesaat, kemudian tersenyum. "Aku tidak marah, aku hanya sedang menggodamu saja!"Galih membuang napas kasar. "Aku tidak suka kamu menggodanya seperti itu.""Iya, maaf pak dokter!""Ya sudah, ayo! Sekarang saja."Rima diam, ia sedikit mengigit bibir bawahnya. "Barusan aku cek dan sedang haid."Galih menelan ludah tanda kecewa. "Aku puasa satu Minggu?"Rima mengangguk pelan.Helaan napas dari Galih kembali terdengar. "Oke, baiklah! Aku akan menahan diri sampai satu minggu ke depan, sekarang habiskan dulu makananmu, aku tidak ingin kamu sakit!""Yuk!" Rima mengulurkan tangannya dan mereka berdua kembali menikmati makanannya.Hari setelah hari ini tidak menjanjikan sesuatu berjalan dengan baik-baik saja. Banyak hal yang akan berganti, bahagia tidak akan selamanya, begitu juga sakit. ****..Dua bulan pertama pernikahan

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 47

    Saat-saat perjalanan Gayatri menuju dikebumikan adalah proses dimana Rima merasa bahwa ia harus mendampingi semuanya sampai akhir. Tak peduli apa yang terjadi, ia akan mengingat Gayatri sebagai teman paling baik yang ada di dalam hidupnya.Alan pun turun membantu semua prosesi ini sampai akhir, gerimis tipis-tipis seolah memberikan semilir surga yang terasa sejuk.Ketika semua selesai, satu persatu yang datang pun turut pulang. Alan masih mengadahkan tangannya memanjat doa. Kesedihan nampak jelas di wajahnya. Setelah beranjak pergi, terkadang baru disadari bila orang itu cukup berharga. Manusia lainnya yang luar biasa adalah Syahra, ia nampak sabar dan tegar."Kita pulang, Mas!" Syahra mendekat dan memayunginya. Alan mengangguk. Kemudian beranjak dari, ia ambil payung itu dan membawa Syahra lebih dekat dengan dirinya. Mereka pun berlalu, diiringi Galih dan Rima di belakangnya, juga dalam satu payung yang sama.Sesampainya di mobil, Syahra lebih banyak diam. Melihat sikap Alan tak mun

  • Dan Akhirnya Istriku Diam   Bagian 46

    Galih dan Rima akan menggelar akad yang sederhana, kebaya putih dengan desain terbaiknya dipilih untuk prosesi akad nikah. Pakaian yang mereka kenakan, nampak indah membalut mereka. Sederhana dan elegan."Tak sabar hari itu tiba!" ucap Galih yang kini berdampingan dengan Rima. Keduanya berdiri di depan sebuah kaca yang besar. Menatap diri masing-masing.. Sebuah pesan dari "Hanya sebulan lagi," jawab Rima dengan senyumnya yang manis."Kamu sudah sepenuhnya yakin padaku, Rima?""Kalau tidak yakin, aku tidak akan membuat keputusan di awal."Galih mengalihkan pandangannya pada Rima, ia tatap wanita yang sudah ia kenal sejak masih duduk di bangku sekolah itu, yang berubah hanya satu, ia jauh lebih baik dan cantik dengan hijab yang dipakainya."Jangan lama-lama natapnya! Nanti jatuh cinta," ucap Rima yang tersipu."Sudah sejak lama!" jawab Galih semakin membuat jantung Rima berdegup kencang. Setelah itu mereka pulang ke rumah, Galih tidak memilikinya banyak waktu saat ini, seiring padatn

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status