Share

Membuka Luka Lama

Penulis: Yoru Akira
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-26 22:23:34

Semesta Rain

"Asli lo aneh banget hari ini. Kenapa sih?"

Aruna bertanya penasaran saat aku memintanya menemani ke perpustakaan menemui Bu Asri. Tidak biasanya memang, aku memintanya hanya sekadar untuk mengantar ke perpustakaan. Bagi Aruna, aku adalah orang paling mandiri yang pernah dia kenal. Tak pernah sekalipun aku meminta bantuannya. Apalagi hanya sebatas menemui Bu Asri yang justru lebih sering kutemui daripada mengiyakan permintaannya untuk mengantar ke pusat perbelanjaan. 

"Nggak, itu sih lo aja yang rese. Pake teriak panggil Nugraha segala. Gue kan yang jadi malu."

"Bego, lo aja tiba-tiba jadi aneh gitu. Siapa coba yang nggak panik. Bocah gila!"

Aku tak mengacuhkan pernyataan Aruna. Setidaknya hujan tak lagi sederas sebelumnya dan petir ataupun guntur tak lagi terdengar suaranya. Beruntung pula kuliah dibatalkan karena dosen yang seharusnya mengajar mata kuliah Pragmatik tidak bisa hadir karena ada kerabatnya meninggal dunia. Namun, entahlah itu sebuah keberuntungan atau tetap menjadi kesialan bagiku.

Seandainya tahu akan menjadi seperti ini, aku akan benar-benar memilih tidak masik kuliah daripada harus membuat kehebohan. Itu pun akibat ulah Aruna yang tidak bisa mengontrol mulutnya. Kini, satu julukan melekat padaku gara-gara Aruna yang tidak bisa menjaga mulutnya. 

Rain si muka es jin hujan. 

Entah siapa yang memulai, tapi julukan itu langsung populer begitu aku keluar kelas bersama Aruna. Setan memang, karena ulah Aruna, akulah yang kena getahnya. 

Sebelumnya julukan Rain si muka es, memang sudah lama kudengar di satu angkatan - bahkan satu jurusan, karena memang aku tidak mudah bergaul dan selalu menunjukkan ekspresi dingin. Bahkan Rain si muka es juga terkenal sampai kakak dan adik tingkat sejurusan. Kalau saja Aruna tidak bisa menjaga mulutnya, mungkin julukan si muka es juga sudah tersebar satu kampus. Untung saja Aruna tidak pernah seiseng itu dan memanggilku dengan sebutan Rain si muka es tiba-tiba. 

"Tapi serius deh, Rain, wajah lo lebih pucet dari biasanya. Ini sih bukannya es lagi, tapi salju."

"Terus, terus aja nggak usah kontrol tuh mulut. Mau satu kampus dengar omongan lo nih?" ancamku membuat Aruna justru terkekeh. Dua lesung pipi tercetak saat gadis itu tersenyum. 

"Ya seenggaknya lo jangan bikin orang panik lah. Kalau udah kayak gitu, siapa juga yang nggak khawatir."

Huuffttt ... 

Aku menghela napas frustrasi. Kebawelan Aruna membuatku mendadak pusing, tetapi aku juga tidak bisa terus menutupi apa yang selama ini kusembunyikan darinya. Cepat atau lambat, Aruna pasti akan tahu kebencianku pada hujan. Dan, aku tidak ingin dia menganggapku aneh saat mendengarnya dari orang lain.

"Ke Kopma dulu yuk. Haus nih. Bu Asri masih bisa nunggu deh kayaknya," kataku mengalihkan perhatian Aruna. Namun, gadis itu tidak mudah percaya begitu saja. 

"Makin lo menghindar, makin kelihatan jelas kalau lo nggak baik-baik aja. Sebenarnya lo kenapa sih? Ada yang lo sembunyikan dari gue? Masih mau ngelak dari gue? Kita temenan udah berapa sih, elah. Masa iya masih main  rahasia-rahasiaan?"

Aku membuang muka. Bagaimanapun, aku tahu betul siapa Aruna. Gadis itu tidak akan pernah berhenti mendesakku sebelum dia mendapatkan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. 

"Eh tapi gue beneran haus, anjir. Lo mau minum nggak? Kalau nggak butuh, ya udah gue beli sendiri," kataku sambil berbelok ke arah koperasi mahasiswa yang terletak berlawanan arah dengan perpustakaan. Aruna membuntutiku dari belakang dengan tatapan semakin penasaran yang tak bisa dia hindarkan. 

"Tahu nggak sih, selama 20 tahun gue hidup, baru kali ini gue punya temen yang aneh kayak lo. Bukan aneh dalam artian freak atau semacamnya, tapi you know-lah. Lo tuh cerdas, manis, imut, ya walaupun aslinya nggak imut-imut juga sih, tapi wajah lo harusnya imut kalau nggak lo tutupin sama wajah sedingin es lo itu. Cuma semakin gue kenal sama lo, semakin gue ngerasa kalau yang gue tahu tuh nggak ada apa-apanya. Cuma sebatas kulit terluar lo. Ngerti nggak sih, ibarat bawang yang punya kulit berlapis, gue kenal lo baru kulit lapis pertama doang. Nah kayak begitu itu elo."

"Nggak usah muter-muter, jadi apa yang mau lo omongin sebenarnya?" tandasku membuat Aruna memukul belakang kepalaku. "Aduh, sakit, Njir. Bar-bar amat sih lo jadi cewek?"

"Mending gue, daripada image sama kenyataannya nggak sesuai sama sekali kayak lo."

Aku melamun. Sepanjang perjalanan menuju koperasi mahasiswa pikiranku sama sekali tidak fokus. Suara-suara dalam kepalaku mendadak gaduh. Mereka berteriak. Berkomentar tajam. Saling melontarkan asumsi yang aku sendiri tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Aku membenci hujan. Sangat membenci hujan. Tapi aku tidak pernah mau menceritakannya pada orang lain tentang kebencianku pada benda yang jatuh dari langit itu. Sebab, ada kisah pilu yang mengikuti setiap kali aku ingin membicarakannya pada orang lain. 

Mengakui jika aku membenci hujan, sama halnya dengan mengakui jika pernah ada luka yang kucoba sembuhkan sampai sekarang. Mengatakan pada orang lain jika aku benci hujan, sama halnya aku harus menceritakan kisah kelam yang ingin aku lupakan. 

Lantas, apa yang harus aku lakukan? Benarkah membagi kisahku dengan Aruna merupakan hal yang tepat? Atau justru membuatku semakin tersesat? 

"Tuh 'kan, lo makin aneh, Rain. Kalau emang lo nggak kerasukan, berarti emang ada hal yang sedang lo pikirin! Gue kenal lo udah dia tahun, Rain. Kita udah semester empat. Lo kira gue nggak sebegitu perhatiannya sama lo, sampai lo pikir gue nggak tahu perubahan yang terjadi sama diri lo?"

Obrolan kami terhenti saat kami telah sampai di koperasi mahasiswa. Aku berjalan ke arah mesin pendingin dan mengambil minuman bersoda untukku serta Aruna. Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. 

"Seperti halnya lo tahu kesukaan gue, gue juga mau tahu apa kesukaan lo kali, Rain. Lo mah gitu, hari ini minum cola, besok bisa jadi cuma butuh air putih. Masa iya lo nggak punya kesukaan yang spesifik."

Aku membisu. Setelah membayar minumanku dan Aruna, kami kembali menyusuri koridor untuk menuju perpustakaan. Aku lebih banyak membisu, tapi juga tak tahu harus bereaksi bagaimana untuk menanggapi desakan Aruna. 

"Gue benci hujan."

Itulah kalimat yang akhirnya keluar dari mulutku saat kami sampai di pintu perpustakaan. Aruna menghentikan langkahnya. Menatapku seolah berkata, "Serius lo benci hujan?". Namun, detik berikutnya gadis itu justru memelukku erat dan menepuk pundakku. 

"Apa salahnya benci sama hujan. Toh, setiap orang pasti memiliki ketakutannya sendiri-sendiri. Gue yakin yang kamu lewati bukanlah hal mudah sampai bisa bertahan di titik ini. Gue nggak akan paksa lo jika itu hanya membuat beban, tapi Rain, satu hal yang perlu lo tahu, lo nggak pernah sendirian. Banyak orang yang sayang dan peduli sama lo. Jangan pernah menganggap kami cuma bayangan. Gue, Nugraha, ataupun teman-teman sekelas yang lainnya. Kita selalu peduli sama lo. Lo bisa rasain gimana paniknya Nugraha saat tahu keadaan lo di kelas tadi 'kan? Gitu juga sama yang lain. Ya, walaupun dengan cara yang berbeda. Seenggaknya mereka pengen lo nggak murung kayak tadi. Lo nggak tahu sih, gimana jeleknya wajah lo di kelas tadi."

"Apaan sih. Jayus amat lo jadi orang. Luntur udah momen hangat yang lo bangun sendiri. Udah, udah sampai perpustakaan nih. Lo buruan balik sana."

Wajah Aruna memberengut saat aku memintanya kembali. 

"Siap, anak monyet! Awas aja lo ntar minta bantuan gue sekali lagi!"

Sebagai jawaban aku hanya menjulurkan lidah. Meski belum sepenuhnya menceritakan kebencianku pada hujan, setidaknya ada perasaan lega yang memuai dari kepalaku. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dance in the Rain   Dance in the Rain

    Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat

  • Dance in the Rain   Pluviophile

    Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.

  • Dance in the Rain   Berburu Hujan

    Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman

  • Dance in the Rain   Masa Lalu yang Tersimpan

    Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi

  • Dance in the Rain   Rahasia Rain

    Semesta RainAku terlambat menyadari saat Aksara membawaku ke sebuah hotel bintang lima di kawasan Jakarta Pusat. Dia bilang, lelaki itu akan mengenalkanku pada seseorang yang bisa mengajari kami membaca puisi lebih baik lagi untuk keperluan lomba nanti. Namun, aku melupakan satu hal dan justru berdebat serta memperkarakan hal yang justru terdengar kekanak-kanakan. Sampai aku melupakan kemungkinan kecil yang terjadi. Hingga sepasang mataku berotasi cepat ketika menangkap banner pameran seorang seniman di hotel tersebut. Tepat saat seseorang memanggil namaku. "Paman Bara?" ucapku pelan. Tanpa sadar, tubuhku membeku seketika. Gestur yang kerap tanpa sengaja kutunjukkan setiap kali bertemu dengan pria itu. Baik di rumah ataupun saat di luar seperti saat ini. Refleks yang entah sejak kapan tertanam dalam bawah sadarku hingga terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Bukan tanpa alasan. Itu karena perlakuan kasar yang sering kuterima dari Paman Bara. Tubuhku selalu bereaksi lebih dulu ket

  • Dance in the Rain   Pertemuan Tak Terduga

    Semesta AksaraAku tahu, gadis di depanku itu sedang berusaha mengurai canggung di antara kami. Sekali lagi, ia bertanya meski sudah kutegaskan ketiga kali bahwa dirinya boleh memakan apa pun yang dia mau. "Yakin, lo nggak bakal nyesel bilang gitu?" ucap gadis itu seakan masih ragu. "Ya, Rain. Lo boleh makan apa pun. Bukankah gue udah bilang sebelumnya? Ini juga sudah keempat kalinya gue ngomong hal yang sama.""Oke." Rain menjawab singkat. Lantas tanpa sungkan, ia menyendokkan berbagai macam lauk yang hendak ia makan. Mulai dari rendang sampai usus sapi memenuhi piringnya. Kemudian tanpa sungkan, ia mulai menyuapkan nasi ke mulutnya menggunakan tangan. Tanpa sadar, aku tersenyum melihat ekspresi gadis itu ketika makan. Terlihat sangat menyenangkan. Aku baru sadar, bahwa gadis itu juga terlihat sangat antusias ketika aku membawa banyak makanan ke ruang sekretariat BEM lebih dari satu minggu yang lalu. "Gimana bisa badan lo tetep kurus sih, makan sebanyak itu?"Rain tersedak. Mung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status