Share

Membuka Luka Lama

Semesta Rain

"Asli lo aneh banget hari ini. Kenapa sih?"

Aruna bertanya penasaran saat aku memintanya menemani ke perpustakaan menemui Bu Asri. Tidak biasanya memang, aku memintanya hanya sekadar untuk mengantar ke perpustakaan. Bagi Aruna, aku adalah orang paling mandiri yang pernah dia kenal. Tak pernah sekalipun aku meminta bantuannya. Apalagi hanya sebatas menemui Bu Asri yang justru lebih sering kutemui daripada mengiyakan permintaannya untuk mengantar ke pusat perbelanjaan. 

"Nggak, itu sih lo aja yang rese. Pake teriak panggil Nugraha segala. Gue kan yang jadi malu."

"Bego, lo aja tiba-tiba jadi aneh gitu. Siapa coba yang nggak panik. Bocah gila!"

Aku tak mengacuhkan pernyataan Aruna. Setidaknya hujan tak lagi sederas sebelumnya dan petir ataupun guntur tak lagi terdengar suaranya. Beruntung pula kuliah dibatalkan karena dosen yang seharusnya mengajar mata kuliah Pragmatik tidak bisa hadir karena ada kerabatnya meninggal dunia. Namun, entahlah itu sebuah keberuntungan atau tetap menjadi kesialan bagiku.

Seandainya tahu akan menjadi seperti ini, aku akan benar-benar memilih tidak masik kuliah daripada harus membuat kehebohan. Itu pun akibat ulah Aruna yang tidak bisa mengontrol mulutnya. Kini, satu julukan melekat padaku gara-gara Aruna yang tidak bisa menjaga mulutnya. 

Rain si muka es jin hujan. 

Entah siapa yang memulai, tapi julukan itu langsung populer begitu aku keluar kelas bersama Aruna. Setan memang, karena ulah Aruna, akulah yang kena getahnya. 

Sebelumnya julukan Rain si muka es, memang sudah lama kudengar di satu angkatan - bahkan satu jurusan, karena memang aku tidak mudah bergaul dan selalu menunjukkan ekspresi dingin. Bahkan Rain si muka es juga terkenal sampai kakak dan adik tingkat sejurusan. Kalau saja Aruna tidak bisa menjaga mulutnya, mungkin julukan si muka es juga sudah tersebar satu kampus. Untung saja Aruna tidak pernah seiseng itu dan memanggilku dengan sebutan Rain si muka es tiba-tiba. 

"Tapi serius deh, Rain, wajah lo lebih pucet dari biasanya. Ini sih bukannya es lagi, tapi salju."

"Terus, terus aja nggak usah kontrol tuh mulut. Mau satu kampus dengar omongan lo nih?" ancamku membuat Aruna justru terkekeh. Dua lesung pipi tercetak saat gadis itu tersenyum. 

"Ya seenggaknya lo jangan bikin orang panik lah. Kalau udah kayak gitu, siapa juga yang nggak khawatir."

Huuffttt ... 

Aku menghela napas frustrasi. Kebawelan Aruna membuatku mendadak pusing, tetapi aku juga tidak bisa terus menutupi apa yang selama ini kusembunyikan darinya. Cepat atau lambat, Aruna pasti akan tahu kebencianku pada hujan. Dan, aku tidak ingin dia menganggapku aneh saat mendengarnya dari orang lain.

"Ke Kopma dulu yuk. Haus nih. Bu Asri masih bisa nunggu deh kayaknya," kataku mengalihkan perhatian Aruna. Namun, gadis itu tidak mudah percaya begitu saja. 

"Makin lo menghindar, makin kelihatan jelas kalau lo nggak baik-baik aja. Sebenarnya lo kenapa sih? Ada yang lo sembunyikan dari gue? Masih mau ngelak dari gue? Kita temenan udah berapa sih, elah. Masa iya masih main  rahasia-rahasiaan?"

Aku membuang muka. Bagaimanapun, aku tahu betul siapa Aruna. Gadis itu tidak akan pernah berhenti mendesakku sebelum dia mendapatkan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. 

"Eh tapi gue beneran haus, anjir. Lo mau minum nggak? Kalau nggak butuh, ya udah gue beli sendiri," kataku sambil berbelok ke arah koperasi mahasiswa yang terletak berlawanan arah dengan perpustakaan. Aruna membuntutiku dari belakang dengan tatapan semakin penasaran yang tak bisa dia hindarkan. 

"Tahu nggak sih, selama 20 tahun gue hidup, baru kali ini gue punya temen yang aneh kayak lo. Bukan aneh dalam artian freak atau semacamnya, tapi you know-lah. Lo tuh cerdas, manis, imut, ya walaupun aslinya nggak imut-imut juga sih, tapi wajah lo harusnya imut kalau nggak lo tutupin sama wajah sedingin es lo itu. Cuma semakin gue kenal sama lo, semakin gue ngerasa kalau yang gue tahu tuh nggak ada apa-apanya. Cuma sebatas kulit terluar lo. Ngerti nggak sih, ibarat bawang yang punya kulit berlapis, gue kenal lo baru kulit lapis pertama doang. Nah kayak begitu itu elo."

"Nggak usah muter-muter, jadi apa yang mau lo omongin sebenarnya?" tandasku membuat Aruna memukul belakang kepalaku. "Aduh, sakit, Njir. Bar-bar amat sih lo jadi cewek?"

"Mending gue, daripada image sama kenyataannya nggak sesuai sama sekali kayak lo."

Aku melamun. Sepanjang perjalanan menuju koperasi mahasiswa pikiranku sama sekali tidak fokus. Suara-suara dalam kepalaku mendadak gaduh. Mereka berteriak. Berkomentar tajam. Saling melontarkan asumsi yang aku sendiri tidak mengerti. Apa yang sebenarnya terjadi? 

Aku membenci hujan. Sangat membenci hujan. Tapi aku tidak pernah mau menceritakannya pada orang lain tentang kebencianku pada benda yang jatuh dari langit itu. Sebab, ada kisah pilu yang mengikuti setiap kali aku ingin membicarakannya pada orang lain. 

Mengakui jika aku membenci hujan, sama halnya dengan mengakui jika pernah ada luka yang kucoba sembuhkan sampai sekarang. Mengatakan pada orang lain jika aku benci hujan, sama halnya aku harus menceritakan kisah kelam yang ingin aku lupakan. 

Lantas, apa yang harus aku lakukan? Benarkah membagi kisahku dengan Aruna merupakan hal yang tepat? Atau justru membuatku semakin tersesat? 

"Tuh 'kan, lo makin aneh, Rain. Kalau emang lo nggak kerasukan, berarti emang ada hal yang sedang lo pikirin! Gue kenal lo udah dia tahun, Rain. Kita udah semester empat. Lo kira gue nggak sebegitu perhatiannya sama lo, sampai lo pikir gue nggak tahu perubahan yang terjadi sama diri lo?"

Obrolan kami terhenti saat kami telah sampai di koperasi mahasiswa. Aku berjalan ke arah mesin pendingin dan mengambil minuman bersoda untukku serta Aruna. Gadis itu tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. 

"Seperti halnya lo tahu kesukaan gue, gue juga mau tahu apa kesukaan lo kali, Rain. Lo mah gitu, hari ini minum cola, besok bisa jadi cuma butuh air putih. Masa iya lo nggak punya kesukaan yang spesifik."

Aku membisu. Setelah membayar minumanku dan Aruna, kami kembali menyusuri koridor untuk menuju perpustakaan. Aku lebih banyak membisu, tapi juga tak tahu harus bereaksi bagaimana untuk menanggapi desakan Aruna. 

"Gue benci hujan."

Itulah kalimat yang akhirnya keluar dari mulutku saat kami sampai di pintu perpustakaan. Aruna menghentikan langkahnya. Menatapku seolah berkata, "Serius lo benci hujan?". Namun, detik berikutnya gadis itu justru memelukku erat dan menepuk pundakku. 

"Apa salahnya benci sama hujan. Toh, setiap orang pasti memiliki ketakutannya sendiri-sendiri. Gue yakin yang kamu lewati bukanlah hal mudah sampai bisa bertahan di titik ini. Gue nggak akan paksa lo jika itu hanya membuat beban, tapi Rain, satu hal yang perlu lo tahu, lo nggak pernah sendirian. Banyak orang yang sayang dan peduli sama lo. Jangan pernah menganggap kami cuma bayangan. Gue, Nugraha, ataupun teman-teman sekelas yang lainnya. Kita selalu peduli sama lo. Lo bisa rasain gimana paniknya Nugraha saat tahu keadaan lo di kelas tadi 'kan? Gitu juga sama yang lain. Ya, walaupun dengan cara yang berbeda. Seenggaknya mereka pengen lo nggak murung kayak tadi. Lo nggak tahu sih, gimana jeleknya wajah lo di kelas tadi."

"Apaan sih. Jayus amat lo jadi orang. Luntur udah momen hangat yang lo bangun sendiri. Udah, udah sampai perpustakaan nih. Lo buruan balik sana."

Wajah Aruna memberengut saat aku memintanya kembali. 

"Siap, anak monyet! Awas aja lo ntar minta bantuan gue sekali lagi!"

Sebagai jawaban aku hanya menjulurkan lidah. Meski belum sepenuhnya menceritakan kebencianku pada hujan, setidaknya ada perasaan lega yang memuai dari kepalaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status