Share

Hai Adik Manis

Semesta Aksara

Tidak biasanya Bu Asri memanggilku, terkhusus memintaku untuk mewakili kampus untuk mengikuti lomba. Bukan berarti selama ini aku tidak berprestasi. Sebagai mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampus ataupun di luar kampus, namaku cukup diperhatikan. Halaman koran sering kali mencetak namaku di kolom esai ataupun sastra. Hanya saja terkadang aku malas mengikuti kompetisi demi kepentingan almamater. Apa untungnya bagiku? Kampuslah yang akan lebih banyak disorot jika aku berhasil meraih juara. 

Itu pula mengapa pihak kampus juga tidak pernah memintaku untuk mengikuti jenis lomba apa pun. Bahkan ada peraturan tak tertulis yang menyatakan,"Jangan pernah libatkan Aksara dalam hal yang hanya akan membuatmu malu!". Mengikuti lomba salah satunya. Sebab, jika itu tidak sesuai keinginan, sudah tentu bakal memalukan kampus. 

"Jadi Ibu meminta saya mengikuti lomba baca puisi?" tanyaku meyakinkan Bu Asri yang duduk di hadapanku. "Atas pertimbangan apa?"

"Bocah gemblung!" Bu Asri menjawab pertanyaanku dengan pukulan di kepala menggunakan buku yang sedang beliau baca. "Menurut kamu, kamu Ibu pilih berdasarkan apa?"

Dosen yang selama ini dianggap "Ibu" oleh mahasiswa di jurusan Sastra Indonesia itu, justru balik bertanya. Beliau juga tak segan berperan sebagai seorang "Ibu" saat berbincang dengan mahasiswanya. Itu juga mengapa aku suka ngobrol dengan beliau dan menggodanya bila perlu. 

"Karena saya tampan dan bertalenta," jawabku membuat Bu Asri kembali memukulku dengan buku di hadapannya. Aku meringis walau sebenarnya tidak sakit. Rasanya menyenangkan melihat muka ramah Bu Asri menjadi kesal karena ulahku. "Kalau bukan itu, lantas apa? Masa Ibu mau PDKT sama saya?"

"Bocah ini, semakin dibiarkan semakin liar saja."

"Jadi bukan karena Ibu mau PDKT sama saya?"

"Tentu saja bukan! Lagipula mau dikemanakan suami sama anak-anak saya. Dasar bocah edan!"

Aku tertawa menanggapi pernyataan Bu Asri. Kalimat khasnya "dasar bocah edan" yang diucapkan dengan gaya medok Semarangan membuat beliau tampak lucu. 

"Iya, Bu. Maaf. Habis saya bosan. Hujan-hujan begini seharusnya di luar ruangan, Bu. Menyerap energi yang disediakan alam lewat air hujan. Biar bisa menjelam aku. Aksara."

"Sssttt ... tenang dulu. Bocah ini, mulut satu kayak seribu. Tunggu sebentar lagi, dia pasti segera datang. Tunggu saja sambil baca buku. Tahun depan kamu sudah skripsi. Jangan demo mulu yang diurus!" Bu Asri menyuruhku diam. "Aneh juga, tidak biasanya dia mengabaikan saya selama ini ketika saya panggil," gumamnya kemudian. 

"Wah, dia jenis Husky atau Akita, Bu? Semoga saja buka Herder. Bisa-bisa saya dimakan sampai habis nanti," komentarku membuat Bu Asri makin keras memukul kepalaku dengan buku. 

"Kamu pikir dia anjing!"

Bibirku cemberut. Pukulan Bu Asri terasa benar-benar sakit kali ini.

Aku menghela napas bosan. Kupandangi buliran air yang jatuh mengalir di kaca jendela di belakang Bu Asri. Kami sedang berada di perpustakaan menunggu seseorang yang katanya akan menjadi partner satu timku, sebab setiap kelompok yang dikirim harus menyertakan minimal dua orang mahasiswa. Jika bukan karena permintaan Bu Asri, pasti aku sudah berlari keluar ruangan dan menari di bawah hujan. 

Tidak ada hal yang lebih menyenangkan kecuali bermain di bawah rinai hujan. Itulah motto yang aku sematkan dalam hidup sejak belasan tahun lalu. 

"Bu, saya keluar sebentar ya?" Aku menawar pada Bu Asri yang justru menatapku galak. 

Selama ini, aku dikenal sebagai mahasiswa bandel tukang buat onar. Apalagi jika menyangkut kebijakan dan harus turun ke jalan. Mereka menyebutku sebagai di pembangkang karena memang itulah yang kerap kali kulakukan. Aturan terlalu rumit untuk diikuti dan lebih menyenangkan jika dilanggar. Namun, di hadapan Bu Asri, aku tidak pernah bisa berbuat demikian. 

Mungkin memang tepat julukan "Ibu" yang disematkan pada beliau. Selain bersikap hangat dan mengayomi, beliau juga membuat mahasiswa segan terhadapnya. Seperti seorang "Ibu" dengan segala macam kelebihannya. Entahlah, aku juga tidak tahu pasti seperti apa sosok "Ibu" yang sebenarnya, sebab aku tak pernah benar-benar merasakan kehadiran wujud "Ibu". Justru dari Bu Asrilah aku merasa memiliki "Ibu".

"Bu, memang siapa sih teman satu tim saya? Sok banget dia berani-beraninya membuat saya menunggu. Dipikir saya tidak ada kerjaan lain selain mengurus lomba?" Aku menggerutu yang lagi-lagi membuat Bu Asri mengayunkan bukunya. Namun, aku menghindar dengan tertawa lebar kali ini. "Bu, ini aset yang paling berharga. Harusnya dengan IQ yang dimiliki kepala ini, bisa membuat saya jadi dokter spesialis di usia masih muda."

"Ya percuma saja kalau sekadar harusnya. Tidak dimanfaatkan dengan baik selagi ada kesempatan. Toh sekarang kamu duduk di sini dengan saya. Tidak sedang menghadapi serangkaian materi yang saya yakin bakal kamu tinggalkan sejak hari pertama masuk."

Kalimat Bu Asri telak menghujam jantung. Tidak ada yang keliru dengan ucapan wanita yang belum genap paruh baya itu. Sungguh, di depan beliau aku selalu mati kutu. Mungkin, itu pula bentuk hormatku pada beliau, sebab memang pantas mendapatkannya. 

"Maaf Bu, saya terlambat," suara sopan seorang perempuan mengalihkan perhatianku. Lembut suaranya seperti gerimis hujan yang menyapa dedaunan. Aku terpaku. Kehilangan kendali atas diriku. 

"Aksa, kok malah bengong. Dia yang akan menjadi partner satu tim kamu."

Mataku tertuju pada gadis mungil yang berdiri di sampingku. Sebenarnya tidak mungil juga untuk ukuran seorang perempuan. Tingginya pas, tidak terlalu pendek ataupun tinggi. Mungkin sekitar 158 cm, tetapi wajahnya terkesan imut dengan pipi tembam yang membuatnya terlihat seperti anak kecil dan mungil di mataku. Yah, walaupun sebenarnya tidak begitu tembam juga, tapi dia terlihat mungil saja bagiku. Seperti adik kecil manis yang ingin kucubit pipinya. 

"Hai adik manis," sapaku yang tentu saja mendapat tatapan dingin dari perempuan itu. Dia bahkan berani mengalihkan perhatiannya dariku. Tentu saja. Apa yang kuharapkan.

Jika ada kaum hawa di jurusan yang tidak terpengaruh oleh wajah - yang katanya tampan menurut semua orang, tentu saja dia adalah Rain. Dan, siapa yang tidak mengenal Rain? Gadis itu dikenal sebagai Rain si muka es akibat wajahnya yang selalu tanpa ekspresi. Dingin dan datar. Bahkan didukung dengan sikapnya yang tidak bersahabat. Sempurna. 

"Ini sih bukan Herder, tapi Cihuahua. Kesannya boleh lucu, tetap saja menakutkan kalau sudah keluar taringnya," gumamku dibalas pelototan mata oleh Bu Asri.

"Aksa!"

Oh, aku lupa jika Rain adalah anak kesayangannya. Jelas Bu Asri lebih membela Rain. 

"Maaf, Bu," ucapku pelan saat Bu Asri kembali menegurku. 

"Jadi, kalian sudah saling kenal 'kan?" tanya Bu Asri pada kami yang mendadak bisu. Rasanya canggung duduk di samping gadis yang sama sekali tidak terpengaruh oleh kehadiranku. Bahkan hanya dianggap angin lalu. 

"Sudah, Bu," jawabku mengakui. Namun, betapa kagetnya diriku saat dia menjawab "tidak" dengan tegas. 

Serius dia menjawab tidak mengenalku? Aku? Si Baruna Aksara? Dia menjawab tidak mengenalku?

"Wah, sepertinya saya tidak dikenal sama anak kesayangan Ibu. Rasanya sedih sekali sampai aku mau menangis."

"Aksa, tolong jangan jadikan ruangan ini sebagai panggung teater."

"Ck, Bu Asri mah gitu. Giliran ada Raina, aku dianaktirikan."

"Aksa!"

"Mampus!"

Hah? Aku semakin tak percaya pada situasi ini saat melihat Rain bergumam dan tersenyum miring kepadaku. 

Sial, sepertinya menyetujui permintaan Bu Asri untuk mengikuti lomba kali ini bukanlah pilihan yang tepat. 

Huft ... 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status