"Kapan dia sadar dokter?" "Anda tenang saja, dia sedang tidur sekarang. Pasien sudah melewati masa kritisnya tadi. Untung saja anda segera membawanya ke rumah sakit. Tidak lama lagi dia akan segera sadar." Arka meneliti luka yang sudah terbungkus kasa itu, menyamarkan goresan di dalamnya yang membuatnya ikut nyeri."Kenapa kamu sampai nekad Na. Aku gak bisa bayangin kalau hal buruk terjadi sama kamu." sambil terus menciumi jari- jari Liona yang tertaut dengan jarinya. Dua jam sudah berlalu dan mata terpejam itu kini terbuka perlahan."Kamu sadar? aku khawatir setengah mati" Arka benar- benar bernafas lega, memeluk tubuh ringkih Liona yang baru saja membuka matanya."Kamu mau minum?" tanya Arka yang melihat Liona hanya diam saat dipeluknya."Antarkan aku pulang." "Kamu masih harus di rawat." Liona menelan ludah kecewa, kembali teringat tentang semua kejadian yang membuatnya hampir memilih jalan untuk mati."Kenapa kamu menyelamatkanku? aku lebih baik mati sebelum benih yang kamu ta
"Huaa..hhhh… "Wanita yang bergumul dengan selimut menguap lebar. Rambutnya seperti benang rajut yang kusut. Posisi tidurnya sudah malang melintang mengukur garis vertikal. Baju tidur berjenis nihgtie yang dipakainya sudah tersingkab membuka setengah pahanya, dia tak sadar dalam tidur yang teramat nyaman. Setelah sempat membuka matanya untuk menutup bagian yang terbuka Liona menutup mata cantiknya lagi dan melanjutkan tidur.Ceklek…terdengar suara pintu terbuka dari luar. “Sayang,. Apa kamu belum bangun, kamu lupa kita…” Orang yang dia cari bahkan tak ada di ranjangnya.“Apa dia tidur di kamar sebelah?” ucapnya bermonolog.Akhirnya memutar arah dan membuka pintu samping kamar pertama yang juga tidak dikunci oleh pemiliknya. “Siapa kamu?” Seseorang bertanya dengan nada tak suka ke arah ranjang tempat Liona.Liona yang setengah sadar berusaha membuka mata dan tak kalah terkejut dengan kehadiran orang di hadapannya. Dia sontak berdiri, merapikan dirinya yang kacau, menyisir kasar rambu
“Shhh.. kenapa jadi gini.” Liona meringis menahan sakit. Tak sadar dengan luka yang sedang diperhatikannya, ia justru menjadi perhatian bagi orang-orang yang berpapasan disekitar. Liona hanya menundukan kepalanya menyangkal pandangan yang tak nyaman. “Liona..” Arka berlari melihat sosok Liona yang akhirnya ia temukan. Liona yang menyadari Arka berlari kearahnya langsung berontak berdiri dan mencoba lari dengan menggusur kakinya pincang. Ia tak akan membiarkan dirinya tertangkap dan mendapat penghinaan lagi. "Na.. tunggu.. jangan lari, kita harus bicara."Langkah Liona tentu saja tak sebanding dengan seberapa cepat Arka mengejarnya. Tubuhnya terhempas kebelakang saat Arka meraih pinggangnya untuk menghentikan gerakan. Liona tak diam dan terus mencoba melepaskan. Arka merengkuh Liona dengan pelukan erat tak ingin mengalah memecah tangis Liona yang mulai bersuara. “Jangan pergi, lihat.. kamu terluka.” “Lepas.. hati aku lebih terluka.” Liona menggeleng kepala menolak tangan Arka ya
"Shhhh.. lepas.. hnghhh" daging lembut itu mengecap cuping telinga Liona membuatnya tak sengaja mengeluarkan suara desahan. "Tanda yang aku berikan sudah memudar ternyata, mau buat lagi?" jari- jari itu berjalan perlahan menggoda lapisan kulit tipis nan bersih Liona yang sedang mencoba menjaga kewarasannya, ia tidak akan membiarkan dirinya di lecehkan lagi. "Biarkan aku per.. gi hhh." kepalanya menggeleng ke segala arah untuk menangkis ciuman di lehernya, tangannya sudah lebih dulu dipenjarakan oleh tangan kanan Arka, ia hampir putus asa."Ini akibat dari sikap keras kepalamu." "Aku.. aku minta maaf, cukup. Berhenti di sini."Tok.. tok.. tok.. ketukan di pintu mengintrupsi kegiatan mereka."Ckk mengganggu." Arka melepas tangan yang menjerat itu dan membiarkan Liona lolos untuk bangun dan merapikan penampilannya."Masuk." ucap Arka pada orang di luar pintu."Maaf pak." mata itu beralih ke tubuh Liona yang berdiri canggung di samping Arka yang sedang duduk di kursinya."Ini dokumen y
"Jangan asal bicara, pernikahan apa yang kamu maksud. Aku akan pulang sendiri.""Bukankah aku harus bertanggung jawab dengan sesuatu dalam perutmu itu? Aku bersedia menikahimu." Mata Liona membulat sekestika kalimat itu di ucap Arka."Kenapa kamu mengatakannya begitu enteng, jangan membahas itu lagi denganku. Pokonya aku akan pulang sendiri." jelasnya tak kalah penuh penekanan."Kalau begitu tidak usah pulang sama sekali." pungkasnya masih tetap keras kepala."Kenapa kamu mengatur apa yang boleh dan tidak boleh aku lakukan. Kamu terlalu ikut campur terlalu banyak." Liona menyudahi makan malamnya, tidak, dia tidak mood lagi untuk makan. Liona masuk ke kamar dan menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut.Suara pintu terbuka lagi, Arka masuk ke kamar yang sama tempat dimana Liona tidur. "Kenapa kamu masuk?" Kepala Liona menyembul dari selimut yang semula menutupi sepenuhnya."Ini kamarku, kamu lupa?" Arka cuek naik ke kasur dan menimpati posisi kosong di sebelah Liona."Kamu tahu apa y
"Ini gak mungkin, alatnya pasti rusak. Gak mungkin aku beneran hamil." Liona berjongkok menangkup wajahnya yang berantakan. Hidupnya seakan menjadi benang kusut, bagaimana ia akan merajutnya kembali. Liona ke luar dari kamar mandi dan di kejutkan oleh Arka yang sedang berdiri tepat di depan pintu. Saking terkejutnya tespack yang ia pegang terjatuh."Sudah di cek?" Arka memungut tespack yang tergeletak di lantai dengan menyeringai tanpa Liona sadari."Benihku lebih cepat tumbuh dari yang aku kira, kamu milikku sepenuhnya Liona, ada sesuatu yang hadir di perutmu hasil dari buah cinta kita." ucapnya bangga, mengelus perut bawah Liona di luar baju yang Liona kenakan."Jangan sentuh aku, ini pasti salah, hasilnya pasti salah." Liona lari ke kamarnya dan mengunci pintu."Aku gak mau hamil, aku gak mau..." menangis putus asa sambil meremas perutnya yang rata.Liona mengambil ponsel dan menghubungi seseorang."Hik..hikk Met, tolong gue Met. Gue gak tau harus bilang sama siapa lagi. Gue gak s
"Na, gmna rencana gue? Lo berhasil bikin Arka mabuk dan nemuin rekaman itu kan?" Liona hanya meratapi pesan temannya tanpa membalas. Fakta baru yang ia dapat beberapa jam lalu setelah Arka mengatakan semuanya di sela- sela mabuknya membuat Liona tak bisa berucap lagi. Liona tak percaya Arka telah mengatur semua muslihat dari awal untuk mengukung hidupnya."Jadi itu alasan kenapa dia tau dimana aku tinggal bahkan saat pertama kali dia mengantarkan aku pulang? Dia yang menguntitku selama ini sampai aku memutuskan pindah kosan? Kenapa aku bodoh." Liona lagi- lagi memukul kepalanya, ia tak menyadari bahwa semua keanehan yang terjadi padanya adalah kelakuan Arka."Aku harus pergi dari sini, dia mengerikan, tak waras." Liona beranjak dari kasur dan menuju pintu yang membuatnya berhenti. Tak ada kunci disana, Arka terbiasa menyimpannya karena takut Liona akan pergi diam- diam."Dimana ia menyimpannya." Dejavu, Liona meraba semua saku di pakaian yang Arka kenakan. Tubuh itu tak bergerak sama
"A.. aku harus pergi." Liona sontak berdiri dari kursi Arka, namun sebelum sempat kakinya melangkah, tautan di tangannya membuat ia kembali pada posisinya."Tidak perlu pergi." mengetatkan pegangan saat Liona mencoba melepas tautan itu, ingat bahwa ada sepasang mata masih berada di depan mereka."Dia pacarku, dan apa yang kamu lihat tadi aku minta untuk kamu merasahasiakannya. Jika sampai hubunganku dengan Liona sampai di ketahui karyawan lain, maka kamu orang pertama yang akan aku cari." wanita lain yang masih mematung di ujung pintu memilin ujung bordir pada rok yang ia kenakan. "Baik pak. Dan, maaf atas kelancangan saya. Saya hanya membawa file yang bapak minta." Nadine melewati Liona yang masih tertunduk di sana dan menyerahkan seberkas kertas ke meja Arka."Saya permisi." Liona tak sabar mengutuk pria di depannya. Bisa- bisanya ia mengklaim bahwa dia adalah kekasihnya."Kenapa kamu mengatakan hal itu padanya? Siapa yang kamu maksud sebagai pacar?" Pria di depannya bergerak kelew