Teriakan memanggil Falri mampu mengalihkan atensi semua orang di kantin tanpa terkecuali kakak beradik itu. Falri membelalakkan matanya terkejut karena tatapan semua orang tertuju padanya.
Tak lama dari itu, si peneriak tidak ada di kerumunan orang yang menghampiri Falri. Belasan orang mendekati Falri dengan mengarahkan kamera ponselnya.
Falri berdecak geram. "Siapa, sih, yang tadi manggil gue?"
"Falri, tunggu!" teriak orang-orang itu saat Falri mulai beranjak melangkah.
Falri mendengkus malas saat Fani malah melongo seperti orang kurang waras. Falri menarik Fani untuk mengikuti langkah larinya.
Jadilah kakak beradik itu berlari, menghindarkan belasan orang yang pasti akan melontarkan banyak pertanyaan tentang gosip-gosip yang tertuju pada Falri.
Masih ingat gosip-gosipnya apa aja?
"Fal ..., pelan-pelan, dong. Sakit, nih, kaki gue," rengek Fani dengan nafas terengah-engah.
"Kak, gak kasian lo sama adik sendiri?" tanya Falri mendramatis
**"Lo gak salah, Fal!" Fani mengulangi ucapannya tetapi dengan nada tinggi.Falri mengernyit bingung. Dia melirik sekilas ruangan Glen lantas menatap Fani dengan penuh tanda tanya."Maksudnya apa, Kak?" tanya Falri, melirihkan nadanya.Perlahan Fani menitikkan air matanya. Tercetak jelas guratan penyesalan dalam raut wajahnya. Itu yang membuat Falri semakin tidak mengerti."Kak," panggil Falri.Fani menghembuskan nafas berat. Ia menarik lengan Falri supaya menjauh dari ruangan rawat inap Glen.Fani mengusap air matanya. Lalu memeluk Falri seraya menyampaikan kata "maaf.""Kak," ucap Falri seraya melepaskan pelukan Fani.Dia mencengkram pelan kedua bahu Fani. Menatap Fani dengan tatapan penuh tanda tanya."Kak, jelasin." Falri mengucapkan itu dengan nada jengah."Gu-gue yang selama ini salah. Semua kelakuan brengsek lo itu harusnya nggak akan terjadi kalau bukan karena gue," ucap Fani, tanpa ingin menatap Falri. Fani mem
Fani duduk diam. Menatap bunga-bunga di taman belakang rumah sakit dengan pandangan kosong. Sudah sejam lamanya, dia duduk diam di sini."Maafin gue, Fal." Fani bergumam lirih. Sungguh, dia merasa tidak berguna sebagai seorang Kakak.Jika saat itu dia tidak memaksa Falri meminum minuman alkohol. Pasti adiknya tidak akan merasa sengsara hingga saat ini. Ditambah lagi ada 'tokoh tambahan' yang menjadi dalang dari drama bodoh yang dilakoni Falri.Omong-omong, soal pertemuan Fani dengan Glen itu secara tidak sengaja. Kala itu, Fani sedang berada di halte. Menunggu bus yang katanya datang terlambat karena hujan deras. Di saat itu pula, Glen berada di sampingnya seusai memakirkan motor ninjanya di depan halte bus.Bruk ...Glen secara tak sengaja menabrak Fani sehingga tubuh Fani hampir terjatuh jika tidak segera ditahan oleh Glen. Posisi mereka seperti sedang berpelukan ala orang India. Mereka bertatapan cukup lama.Fani tersentak pelan. "Lo kalau jala
Falri tengah duduk di bawah pohon beringin. Di depannya ada sebuah danau jernih sedalam lima meter lebih. Tatapan Falri masih kosong sedari tadi.Hatinya hampa. Pikirannya berkecamuk. Ingin menangis, tetapi terhalang gengsi sebagai seorang lelaki. Tidak pernah menyangka jika drama ini dimulai dari tiga gelas minuman yang baru saja ia tau apa jenisnya.Minuman alkohol tak hanya merusak Falri sendiri. Tetapi juga merusak masa depan Jeslyn. Karena Falri, Jeslyn harus menanggung dosa berat sebagai seorang perempuan. Dan, lebih brengseknya lagi, Falri pergi tanpa alasan."Bodoh! Bodoh! Gue bodoh!" umpat Falri yang tertuju pada dirinya sendiri.Di sekitar danau sepi. Tidak ada orang lain kecuali Falri sendiri. Bersama senyap yang menemani, teriakan berisi umpatan yang terus-menerus terlontar dari mulut Falri.Seandainya dia tidak meminum minuman itu. Mungkin saat ini dia masih baik-baik saja. Begitu juga dengan Jeslyn yang dulu ia rusak kehormatannya.
Perlahan Falri menitikkan air mata. Dia menatap Jeslyn dengan tatapan yang sulit diartikan. Berbeda dengan Falri, Jeslyn kini tengah diam menunduk."Jes, kamu bercanda, 'kan?" tanya Falri dengan nada lirih.Jeslyn masih diam. Hal itu membuat Falri semakin kalang kabut."Jeslyn, ini semua bercanda, 'kan? Deslyn itu anak aku, 'kan? Iya, 'kan? Anak kita berdua?" Falri melontarkan berbagai pertanyaan tetapi tak ada satu pun yang dijawab Jeslyn."Jeslyn!" seru Falri seraya mencengkram kedua bahu Jeslyn hingga si empu meringis sakit."Aw!" ringis Jeslyn. Dia menengadahkan kepala lantas menatap Falri. "Maafin aku karena baru kasih tau kamu," ucap Jeslyn dengan bibir bergetar.Falri melepaskan cengkraman itu. Dia menatap Jeslyn dengan tatapan yang menyedihkan. Tersirat kekecewaan yang membelenggu hatinya."Jeslyn," panggil Falri, pelan.Jeslyn menggelengkan kepalanya. "A-aku minta maaf.""Jeslyn, jelasin semuanya! Pasti Deslyn anak kita,
Jeslyn diam tidak menyahut. Falri bergegas menghampiri Satya dan Deslyn. Tatapan Falri menyiratkan kekecewaan juga kemarahan."Kak Satya." Falri tertawa sumbang usai itu."Papa! Dia Papa Deslyn," seru Deslyn kepada Falri.Falri menatap kosong ke arah Deslyn. "Jangan panggil saya Papa lagi."Di detik itu juga, Deslyn menangis. Tubuhnya kemudian diambil alih oleh Jeslyn. Jeslyn membawa pergi Deslyn. Setidaknya cukup jauh dari dua lelaki itu.Di sisi lain, Satya tertegun. Suara datar Falri kepada Deslyn seharusnya tidak seperti itu. Sebab Satya tau apa yang terjadi antara Jeslyn dan Falri di masa lalu."Kak, kenapa lo tega sama Jeslyn?" tanya Falri, kecewa."Maksud lo apa?" Satya balik bertanya. Dia merasa bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan Falri. "Seharusnya gue yang tanya kenapa nada bicara lo kayak gitu sama Deslyn."Falri terkekeh pelan. "Gak ada sadarnya, ya, lo!" Falri memberikan satu bogeman mentah kepada Satya.
Tak ingin menyiakan kesempatan, Falri sudah duduk di hadapan Jeslyn dan Deslyn dalam sebuah restoran privat. Falri gugup sekaligus malu. Sedangkan Jeslyn masih tidak berani menatap Falri. Begitu juga dengan Deslyn yang masih menangis terisak dalam pelukan Jeslyn."Jeslyn, Deslyn." Falri memanggil keduanya.Jeslyn dan Deslyn memberanikan diri menatap Falri."A-aku minta maaf." Falri mengucapkan itu dengan penuh sesal."Pa-Papa, Deslyn mau peluk Papa," pinta Deslyn yang langsung diangguki senyuman oleh Falri.Tubuh Deslyn yang berada di gendongan Jeslyn pun beralih ke gendongan Falri. Falri mengusap lembut air mata Deslyn.Jeslyn tak bisa menyembunyikan senyum harunya."Papa, marah, ya sama Deslyn?" tanya Deslyn, lugu.Falri menggeleng. "Maafin Papa, ya."Deslyn mengangguk. "Iya, Deslyn maafin Papa. Kata Mama, anak baik harus maafin kesalahan setiap orang."Mendadak seperti ada ribuan belati menikam jantung Falri.
Falri memutuskan untuk masuk ke gedung seram itu. Mau bagaimana lagi? Ini sudah cara terakhir mendapatkan petunjuk tentang drama di hidupnya.Saat Falri membuka pintu utama gedung. Tiba-tiba air dari dalam gedung meluruh keluar, sehingga kedua kakinya terpaksa basah karena air itu. Falri hanya bisa berdecak kesal.Matanya berkeliaran melihat sisi-sisi di dalam gedung. Tidak ada yang spesial. Hanya ada lorong-lorong gelap di sisi kanan, kiri, depan. Tak hanya itu, lorong-lorong itu digenangi banyak air.Bahkan juntaian rumput liar ikut menghiasi pemandangan dalam gedung. Falri bergidik ngeri. Dia menatap kedua kakinya, takut ada ular yang tiba-tiba melilitkan diri di kakinya. Jangan sampai, deh!Falri mencoba maju tiga langkah. Di saat itu juga sibakan air menggema di seluruh gedung. Falri mengumpulkan keberanian. Meskipun dia lelaki, tetapi jangan salah jika ia juga punya takut. Apa lagi kegelapan adalah salah satu phobianya."Please, ya ... di sini ada
***Dengan perasaan mantap, Falri menaiki satu per satu anak tangga. Ia harus berhati-hati karena lantai tangga juga tak kalah licin. Nyatanya rasa penasaran Falri masih mampu mengalahkan rasa takutnya.Celana Falri sudah basah kuyup. Diakibatkan oleh genangan air dan air ngompol yang tanpa disengaja. Falri tetap berteriak, meneriaki si perempuan misterius. Namun, semakin waktu berjalan sudah tidak lagi terdengar suara perempuan menggema."Duh, ini gue milih pilihan yang tepat, kan?" tanya Falri jadi bimbang sendiri.Falri menggeleng seraya berdecak. "Bodo, ah. Siapa tau ntar di lantai dua ada harta karun gitu. Kan, nggak ada yang tau."Falri terus menggerutu. Begitu juga dengan hatinya yang terus meneriaki kalimat, "Demi gue, Jeslyn, dan Deslyn!"Falri menghela nafas lelah saat sudah berada di lantai dua. Matanya menelisik sekitar, banyak pintu kamar di sepanjang tembok hingga ujung tangga.Falri mengusap kasar keringat. Ia kembali berteriak,