Ayunda Kirana menatapnya dari balik pundak, matanya yang tajam mengamati ekspresi Saraswati dengan ketertarikan yang terselubung. Wanita itu adalah seseorang yang telah melihat banyak pemimpin jatuh, dan kini ia berdiri di hadapan seseorang yang baru saja naik ke tampuk kekuasaan, menilai apakah Saraswati benar-benar mampu bertahan.
“Jadi kau memilih untuk mengasingkan Raja,” kata Ayunda akhirnya, suaranya terdengar seperti seseorang yang menguji keyakinan orang lain. “Kau sadar bahwa membiarkannya hidup berarti memberinya kesempatan untuk kembali?”
Saraswati menatap wanita itu, menyadari bahwa setiap keputusannya akan selalu dipertanyakan, baik oleh sekutu maupun oleh musuh. “Jika ia kembali, maka itu berarti aku gagal sebagai pemimpin,” jawabnya tegas. “Tetapi aku lebih memilih menghadapi tantangan itu daripada memerin
Ayunda Kirana menatapnya dari balik pundak, matanya yang tajam mengamati ekspresi Saraswati dengan ketertarikan yang terselubung. Wanita itu adalah seseorang yang telah melihat banyak pemimpin jatuh, dan kini ia berdiri di hadapan seseorang yang baru saja naik ke tampuk kekuasaan, menilai apakah Saraswati benar-benar mampu bertahan.“Jadi kau memilih untuk mengasingkan Raja,” kata Ayunda akhirnya, suaranya terdengar seperti seseorang yang menguji keyakinan orang lain. “Kau sadar bahwa membiarkannya hidup berarti memberinya kesempatan untuk kembali?”Saraswati menatap wanita itu, menyadari bahwa setiap keputusannya akan selalu dipertanyakan, baik oleh sekutu maupun oleh musuh. “Jika ia kembali, maka itu berarti aku gagal sebagai pemimpin,” jawabnya tegas. “Tetapi aku lebih memilih menghadapi tantangan itu daripada memerin
Saraswati mengeratkan genggaman tangannya. Ia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai seorang tawanan, seseorang yang tidak diberi kebebasan untuk memilih takdirnya sendiri. Tetapi sekarang, di hadapan pasukan baru ini, di tengah abu dari kerajaan lama yang telah ia hancurkan, ia menyadari bahwa kemenangan bukanlah akhir dari perjuangannya.“Aku tidak berjuang sejauh ini hanya untuk menggantikan Raja dengan tiran baru,”katanya akhirnya, suaranya bulat dan tegas. “Aku akan membangun sesuatu yang lebih baik, bukan hanya untukku, tetapi untuk semua orang yang telah berjuang bersama-sama.”Ayunda memandangnya lama, lalu perlahan mengangguk. &l
Saraswati berdiri di halaman istana, di mana pertempuran baru saja mencapai puncaknya. Tubuhnya dipenuhi luka kecil, tetapi matanya tetap tajam, tidak menunjukkan sedikit pun kelemahan. Di sekelilingnya, pasukan pemberontak dan rakyat yang telah berjuang keras kini berdiri dengan napas terengah-engah, menunggu kepastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.Di depan pintu gerbang istana yang megah, Raja berdiri dengan tubuh yang nyaris tak tergoyahkan, meskipun jubah ungunya telah ternoda darah dan debu. Di sisinya, Adhiraj yang terluka parah tetap berusaha berdiri tegak, satu tangan masih menggenggam pedangnya meski tubuhnya hampir menyerah.“Ini sudah berakhir,” kata Saraswati, suaranya nyaring namun penuh beban. Ia mengangkat pedangnya, tetapi kali ini bukan untuk menyerang, melainkan sebagai tanda bahwa pertarungan telah usai. “Kota in
Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita ti
Ayunda Kirana masih berdiri di samping Saraswati, tetapi ia belum menunjukkan tanda-tanda akan bergerak. Wanita itu hanya mengamati situasi dengan mata penuh perhitungan, seolah menunggu sesuatu sebelum mengambil keputusan. Raka dan Raksa berdiri di sisi Saraswati, tubuh mereka tegang, siap untuk bertempur kapan saja. Sementara itu, Adhiraj telah mencabutpedangnya, ujungnya berkilat di bawah sinar matahari yang semakin meninggi.“Aku tidak ingin pertumpahan darah ini terjadi,&r
Saraswati menegang. Ia tidak mengenal mereka, tetapi kata-kata mereka menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar perusuh. Mereka memiliki tujuan. Raja mengangkat tangannya dan para pengawal segera membentuk pertahanan di sekelilingnya. “Siapa kalian?” suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Pria itu melangkah lebih dekat, dan dengan gerakan cepat, ia membuka penutup wajahnya. Semua orang terdiam ketika wajahnya terlihat di bawah cahaya pagi yang mulai menyinari halaman istana. Saraswati menahan napas. Ia mengenali wajah itu. Seorang bangsawan yang seharusnya telah mati bertahun-tahun lalu dalam pembersihan klan pemberontak.Raja tampak terkejut, tetapi hanya sesaat sebelum ia menguasai dirinya kembali. “Kau seharusnya sudah mati,”