Share

Bab 3 - Setelah 9 Tahun

Dengan menyetir mobilnya sendiri, Winona membelah jalanan Jakarta untuk bertemu dengan pemilik catering yang sudah membuat janji dengannya. Ia merasa lega karena tidak harus menghabiskan lebih banyak waktu dengan Andre dan bisa menyelesaikan jadwalnya dengan baik. 

Ia berkendara selama kurang lebih empat puluh lima menit dan setelah mobilnya terparkir di hadapan gedung berlantai tiga yang memang hendak didatanginya, seorang wanita yang terlihat anggun dan awet muda menyambutnya dengan senyum merekah.

“Padahal nggak perlu kamu, lho, yang dateng ke sini,” ucap Karin Nirmala, sang empunya jasa catering.

“Tante Karin, kan, udah menyempatkan waktu untuk ketemu langsung sama perwakilan perusahaan aku. Masa yang dateng bukan akunya langsung? Lagipula, aku juga kangen liat Tante Karin ngejelasin langsung soal menu-menu catering yang aku pesan. Keliatan banget passion-nya, nggak kalah sama anak muda,” kata Winona sambil menunjukkan senyum terbaiknya.

Yang dipuji hanya tertawa gemas dan mencubit dagu perempuan muda di hadapannya. Ia kemudian mengajak Winona untuk masuk dan melihat menu yang sudah tertata rapi di meja panjang gedung itu. Menu yang dihidangkan, mulai dari roasted duck, chicken hainan, sampai tom yam noodle dicicipi Winona satu per satu dan sang puan selalu menunjukkan raut wajah puas.

“Gimana menu catering aku? Enak, kan?” tanya Karin meminta validasi.

Winona mengangguk mantap sambil memberikan dua ibu jarinya. Setelah puas mencicipi segala makanan yang disediakan, keduanya melanjutkan obrolan tentang banyak hal, mulai dari tren fashion terbaru, pelunasan catering, sampai acara amal yang akan diselenggarakan kantor Winona.

“Kalian memang rutin, ya, bikin acara amal seperti ini?” ucap Karin ingin tahu.

“Iya, Tan. Setelah perusahaan kami go public dan keuntungannya selalu meningkat setiap tahun, kami sadar bahwa setidaknya, kami harus mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan berbagi ke orang yang kurang beruntung,” jelas Winona. “Acaranya juga beragam dari tahun ke tahun. Ada acara lelang, drama musikal, dan khusus tahun ini, konser amal. Tante kalau ada waktu boleh banget, lho, dateng. Nanti aku aja yang siapin akomodasinya biar Tante nggak repot.”

“Tante kalau punya menantu seperti kamu pasti jadi perempuan paling bahagia,” tutur Karin dengan gelak tawa. Winona juga melakukan hal yang sama walaupun di dalam hati, ia tentu saja tidak mengingini hal tersebut. Bukan karena Karin memancarkan aura ibu mertua kejam melainkan karena kondisi hatinya yang belum mampu menerima laki-laki mana pun.

“Tan, aku pamit ke toilet dulu, ya, sebentar,” ucap Winona sebelum beranjak ke lantai dua. Karena deretan kaca dan interior desain toilet tersebut dinilai bagus oleh sang puan, ia memutuskan untuk mengambil beberapa foto diri dan mengunggahnya di media sosial. Maklum, sebagai CMO salah satu unicorn terbesar di Indonesia, ia harus bisa membangun personal branding yang bersahabat dengan masyarakat.

Winona menghabiskan cukup banyak waktu di toilet karena ia harus memulas kembali riasannya. Meskipun dirinya tidak punya jadwal lain, ia memutuskan untuk menghabiskan malamnya dengan makan sendirian di salah satu restoran kesukaannya yang sudah direservasi terlebih dahulu. Hitung-hitung self-reward setelah beberapa bulan terakhir dirinya hanya fokus pada orang lain alih-alih dirinya sendiri.  

Sekeluarnya dari toilet, ia bisa menangkap samar suara laki-laki yang berjarak satu lantai dengannya. Suaranya terdengar familiar sekaligus asing. Sebelum rasa penasarannya semakin membesar, Winona memutuskan untuk segera menuruni anak tangga dan melihat sosok di balik suara berat itu.

“Makanya, kamu tuh denger kalo dibilangin papi sama Mami. Jangan apa-apa main iya, apa-apa main tanda tangan. Dipikirkan dulu risiko dan keuntungan perusahaan. Kita, kan, bukan badan amal yang doyan ngasih sedekah ke sembarang perusahaan,” ceramah Karin pada anak laki-laki bungsunya yang sekarang tengah tertunduk lesu.

“Iya, maaf,” ucap laki-laki itu. “Lain kali aku nanya, deh, sama senior yang lain. Sama papi juga sekalian biar nggak disalah-salahin lagi.”

“Bukan disalah-salahin. Kamu mah emang salah beneran,” celetuk Karin sambil tertawa. “Dijadikan pembelajaran ya, Nak. Papimu bangun venture capital itu memang untuk tujuan yang baik. Tapi inget juga, jangan sampai kitanya sendiri bangkrut. Kan ada karyawan yang hidupnya bergantung sama kita. Kamunya juga harus rajin belajar, jangan ngandelin insting terus.”

Saking seriusnya sesi ibu dan anak itu, Karin dan laki-laki yang hanya menampakkan punggungnya pada Winona sampai tidak sadar kalau sang puan sudah bergabung kembali dengan mereka.

“Eh, ya ampun, Tante sampe nggak liat kamu. Marcello badannya gede banget, sih.”

Begitu mendengar nama sang pemuda disebutkan, tubuh Winona langsung membeku. Ia semakin kehilangan kata-kata sewaktu Marcello menunjukkan wajahnya yang tidak jauh berbeda dengan yang melekat di memorinya. Si laki-laki juga menunjukkan gelagat serupa. Napasnya seperti tercekat ketika melihat sosok yang baru beberapa menit lalu hanya ia pandangi dari layar ponsel.

“Hai, Winona,” sapa Marcello dengan segala kekikukannya.

“Lho? Kalian saling kenal?” tanya Karin. “Ah, iya juga, ya. Hari gini mana ada yang nggak kenal sama Winona Gayatri Wibowo?”

Winona hanya menampilkan senyum rendah hati sembari berusaha mengontrol jantungnya yang berdetak tidak karuan. Ia bukannya masih menyimpan rasa pada sang pemuda. Justru kekesalan dan kebenciannya kini mendominasi dan ia harus mengendalikan diri supaya tidak meninju wajah tanpa cela pemuda itu.

“Dia temen SMA aku juga sebenernya, Mi,” jawab Marcello ragu-ragu sambil mencuri pandang dari sang puan yang hanya memberinya tatapan dingin.

“Hah? Masa, sih? Kok Mami nggak pernah tahu? Kalian dulu nggak akrab, ya?”

Justru akrab banget, Mi. Orang udah pernah ciuman, jawab Marcello dalam hati.

“Aku sama Marcello dulu beda kelas, Tante, makanya jarang ketemu,” jawab Winona setelah berhasil mengontrol dirinya. “Long time no see, Cel. How are you doing?” Perempuan itu tidak pernah mengambil kelas akting tapi kemampuannya menyembunyikan emosi benar-benar di atas rata-rata.

Great,” jawab Marcello ragu. “Masih berusaha settle sama kerjaan baru tapi everything’s under control.” Si pemuda tentunya tidak mau memperlihatkan kegagalannya dalam mengambil keputusan meskipun ia yakin, Winona sudah sempat mendengar ceramah maminya sebelum ada yang menyadari kehadirannya.

How about you?” tanya Marcello balik.

Great, as always,” jawab Winona penuh percaya diri. “Saya ketemu banyak orang baik dan jahat yang mengajarkan banyak hal. Thanks to them, I’m here now.” Perkataan perempuan itu ditutup dengan senyum segaris yang mengandung banyak arti dan perut Marcello pun melilit karenanya. Entah ini hanya perasaannya saja atau bukan, tapi ia merasa orang jahat yang dirujuk Winona tak lain dan tak bukan adalah dirinya sendiri.

“Karena Marcello sama Winona nggak sengaja ketemu kayak gini, gimana kalo kita lanjut ngobrol sambil makan malam? Pasti seru, deh, kalo nostalgia bareng,” tawar Karin yang langsung ditolak halus oleh Winona, bahkan sebelum Marcello menyuarakan kesetujuannya dengan sang ibunda.

Sounds great, tapi maaf banget, Tante, aku kebetulan sudah ada janji makan malam dengan kolegaku,” bohong Winona. Tidak apa-apa bohong sesekali daripada harus dituntut karena memukul anak orang tanpa provokasi apa pun selain dendam masa lalu. 

Ketika mendengar hal tersebut, wajah Karin berubah menjadi lesu dan Winona bicara tegas pada dirinya bahwa ia tidak akan luluh hanya karena perubahan air muka. Ia harus lebih mengutamakan dirinya sendiri, setidaknya hari ini, daripada wanita baik di hadapannya yang sayangnya adalah ibu dari orang yang dibencinya.

“Mau gimana lagi? Tapi lain kali kamu sempatkan waktu buat makan dan jalan-jalan sama Tante, ya,” pinta Karin sambil menggenggam kedua tangan Winona. “Kakaknya Marcello sibuk terus di luar negeri. Anak Tante yang satu ini mana ngerti soal belanja dan masakan? Harapan Tante tinggal kamu seorang, nih.”

Winona tertawa kecil mendengar wanita di hadapannya hobi sekali me-roasting si putra bungsu. Ia pun mengiyakan keinginan Karin karena sebenarnya, terlepas dari anaknya yang menyebalkan, Karin adalah sosok yang menyenangkan untuk diajak bicara.

“Kamu ke sini sama siapa, Na?” tanya Marcello ragu-ragu dengan suara lembut. Ia benar-benar berusaha kali ini.

“Sendiri,” jawab Winona singkat. “Aku pamit dulu, ya, Tante Karin, Marcello. Have a good evening!” Bahkan setelah raganya meninggalkan ruangan pun, wangi yang menguar dari tubuhnya tetap tertinggal di sekitar Marcello. Ia diam-diam mencatat aroma tersebut di dalam kepalanya supaya selalu mengingat wangi parfum yang digunakan mantan terindahnya.

“Kalo kamu bisa memperistri Winona, Mami nggak akan minta apa-apa lagi, deh, Cel, sama kamu,” celetuk Karin tiba-tiba.

Sama, Mi. Aku juga gak akan minta macem-macem lagi ke Tuhan kalau dikasih izin jadi teman hidupnya, ucap Marcello, lagi-lagi dalam hati. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status