Elina duduk tegak dengan kepala terangkat tinggi di tengah aula kerajaan.Di sisi kirinya, Ibu Suri Liara duduk dengan tenang, matanya tajam namun penuh harap.Raeshan duduk di sisi kanan, menatap Elina tanpa henti namun tak berani berbicara.Ia tahu, satu kata pun darinya bisa kembali menyakiti hati perempuan itu.Di sisi lain aula, tujuh selir berdiri sejajar dalam barisan. Masing-masing mengenakan pakaian resmi istana.Di antara mereka, Kisti berdiri paling depan, meski sorot matanya tertunduk sejak awal.Liara membuka suara.“Pertemuan ini bukan untuk menghakimi… tapi untuk menjelaskan kebenaran.”Ia menoleh pada Elina yang masih membisu. Lalu pada para selir.“Kaisar tidak pernah berniat mengambil pasangan lain. Pernikahan ini... adalah hasil tekanan dari tujuh provinsi besar yang ingin melihat lambang kestabilan di atas takhta. Tapi semua wanita di sini tahu… bahwa hati Kaisar, sejak awal, hanya milik satu perempuan.”Raeshan akhirnya bicara menambahkan.“Elina, aku tidak pernah
Disisi dunia lain, Elina memejamkan mata perlahan mengingat Azmeria lagi.Tiba-tiba, ruangan berguncang.Dinding putih ruang peralatan berubah menjdi dinding hijau kecoklatan.Dalam sekejap. Matanya terbuka lebar, napas terhempas keras dari paru-parunya. Tubuhnya menggeliat.Disisinya berdiri Sekar yang terus berteriak panik.“Aku kembali ke Azmeria?”“TABIB! TABIB!!! PUTRI ELINA, DIA SADAR!!” Teriakan Sekar pecah dari sayap timur istana, menggema hingga ke taman.Tangannya gemetar saat memegang bahu Elina. “Putri! Putri, lihat aku! Aku Sekar… aku di sini!”Pintu kayu tiba-tiba terbuka lebar.Raeshan berlari masuk ke kamar dengan nafas tercekat, menggendong Aryan di satu tangan dan menggandeng Kaesari di sisi lainnya.Wajahnya tak bisa menyembunyikan keterkejutan bahagia, sekaligus ketakutan akan harapan yang terlalu besar.“Elina…!” serunya.Sekar menyingkir sambil menangis, memberikan ruang bagi Kaisar.Raeshan berlutut di sisi ranjang, menatapnya dalam-dalam.“Elina... sayangku...
Jauh di Azmeri.Dua tahun telah berlalu sejak kudeta besar menggulingkan Aldrick dan mengakhiri tirani. Azmeria mulai membangun kembali sistem kerajaan dari awal, jalan-jalan diperbaiki, pasar kembali ramai, dan tempat belajar didirikan di setiap provinsi. Namun satu hal masih menjadi beban di pundak Kaisar Raeshan.Elina, wanita yang dicintainya… masih terbaring koma.Di dalam istana bagian timur, di sebuah ruangan khusus yang dijaga ketat dan selalu bersih, tubuh Elina terbaring tak bergerak di atas ranjang berkanopi.Di sisi ranjangnya, Sekar sedang merapikan bunga-bunga segar dalam vas, sementara Dasman, yang kini resmi menjadi suaminya, masuk dengan membawa mangkuk bubur hangat.“Putri Elina belum sadar?” tanya Dasman pelan.Sekar menggeleng. “Tidak... tapi tadi jari tangannya seperti bergerak sedikit.”Mereka berdua saling berpandangan, mencoba menyelipkan harapan dalam kesunyian.Mereka kini tinggal di istana, bukan sebagai pelayan biasa lagi, tapi sebagai orang-orang terpercay
Hujan turun deras.Kael mencabut pedangnya sekali lagi, kali ini tanpa ragu.“Kael kita harus mundur.” Pinta Casia panik.Kael mendorongnya keras ke belakang.Raeshan berdiri dengan darah menetes dari bahunya, namun kedua tangannya tetap menggenggam erat pedang besarnya.“Jangan paksa aku mengakhiri ini, Kael,” ucap Raeshan, matanya redup namun tegas.“Kau terlalu lambat,” sahut Kael, menyerang.Deru logam beradu menggema. Tubuh mereka bergerak seperti badai, saling menangkis dan menghantam.Pedang Kael menggores lengan Raeshan lagi, darah menyembur, tapi Raeshan membalas dengan pukulan siku ke rahang Kael yang membuatnya terhuyung.Teriakan pasukan, hujan, dan ledakan seakan lenyap di sekitar mereka. Hanya tersisa dua prajurit dalam duel kehormatan.Kael melompat, mengayunkan pedangnya dari atas, namun Raeshan menahan, lalu memutar pedangnya ke belakang dan menusuk sisi tubuh Kael.Kael terjatuh, lututnya menghantam tanah.Raeshan berdiri di hadapannya, pedangnya menempel di tengkuk
Bunyi genderang, dentingan kristal, dan sorak sorai bergema ke segala penjuru.Pesta ulang tahun Kaisar Aldrick digelar dengan kemegahan luar biasa lampu gantung kristal menggantung di aula utama, iringan musik istana dimainkan oleh orkestra terpilih dari berbagai provinsi.Kael berdiri di sisi pintu gerbang utama, mengenakan zirah resmi berbalut jubah biru kelam.Matanya tajam memeriksa setiap gerakan. Ia telah memerintahkan seluruh pasukan penjaga istana dan garnisun kota untuk bersiaga penuh."Jika ada pergerakan mencurigakan, sekecil apa pun, laporkan langsung padaku. Jangan beri celah," ucapnya dingin pada kepala pengawal utama.Para prajurit menyebar ke seluruh titik rawan: atap istana, lorong bawah tanah, menara penjaga, hingga balkon tempat para tamu kehormatan menyaksikan tarian api.Di sisi lain istana, Liora berdiri di depan cermin, wajahnya dirias sempurna.Bibir merahnya dipulas dengan hati-hati, dan rambut panjangnya diangkat setengah, diberi sisir perak dengan lambang A
Kael memandangi Elina yang tertidur lelah di sisi ranjang, tubuhnya sedikit menggulung, seolah berusaha melindungi diri dari dunia.Kael duduk di sisi ranjang, jemarinya menyentuh pelan ujung rambut Elina.“Aku tak tahu harus bagaimana lagi mendekatimu…” bisiknya lirih.Tanpa suara, Kael bangkit dan keluar dari paviliun, langkahnya mengarah ke tempat yang selama ini coba ia hindari yaitu kamar Casia.Pintu kamar itu terbuka sebelum ia mengetuk.Casia berdiri di baliknya, mengenakan jubah tidur dari sutra tipis yang nyaris transparan.Matanya berbinar begitu melihat Kael.“Kael…” bisiknya.Ia langsung menarik tangan Kael, membawanya masuk dan menutup pintu. “Aku tahu… kau tak akan bisa jauh dariku.”Kael tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Casia duduk di pangkuannya, menyandarkan tubuhnya sambil berbisik, “Lupakan dia, Kael. Hanya aku yang benar-benar mencintaimu sejak awal…”Casia perlahan menyentuh wajah Kael, lalu mendekatkan bibirnya. Ia hendak menciumnya, namun Kael tiba-tiba merai