Share

5

Author: Pipipiii
last update Last Updated: 2025-04-10 20:00:20

Hari-hari berlalu penuh ketegangan, dan Anya terperangkap dalam rutinitas yang tak pernah berhenti. Tugas-tugas menumpuk, tuntutan Rio tanpa henti, membuatnya merasa seperti mesin. Setiap perintah lewat interkom menuntut kesempurnaan, dan menegaskan bahwa waktunya bukan miliknya. Namun, kondisi ibunya terus menghantui pikirannya.

Setiap kali memikirkan ibunya di rumah sakit, hati Anya sesak. Meski anak buah Rio mengurus pemindahan dan perawatan, biaya terus bertambah dan menjadi hutangnya. Rio tak pernah memberi angka pasti, hanya mengulang bahwa hutang itu semakin menumpuk.

Hari itu, Anya sibuk dengan pekerjaan rumah yang terus menumpuk. Setiap sudut apartemen harus bersih, dapur selalu siap pakai, semuanya harus sempurna menurut standar Rio. Ia merasa terjebak, bahkan saat waktu istirahat datang, ketenangan tak pernah tercapai.

Namun, beberapa hari setelah ia menandatangani kontrak itu, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Saat Anya sedang menyapu lantai ruang tamu, Marta masuk dengan ekspresi yang sedikit berbeda. Wajahnya tidak lagi seperti biasanya yang datar, tetapi ada rona kekhawatiran yang jelas terlihat. Anya menatap Marta, sedikit bingung.

“Anya,” suara Marta terdengar pelan. “Tuan Rio ingin bertemu denganmu di ruang kerjanya.”

“Sekarang?” tanya Anya, sedikit terkejut.

“Ya,” jawab Marta, “Tapi ada sesuatu yang ingin kukatakan. Hati-hati, dia sedang tidak dalam mood yang baik hari ini.”

Anya mengangguk, mencoba untuk tetap tenang. Ia tahu, semakin ia terlibat dengan Rio, semakin ia harus berhati-hati dengan setiap langkahnya. “Saya mengerti, Bu Marta. Terima kasih sudah memberitahu.”

Di depan pintu ruang kerja, detak jantung Anya semakin cepat. Pintu tertutup rapat, dan suara ketukan jarinya terasa keras, seperti ketukan waktu yang tak bisa dihindari.

“Masuk,” suara Rio terdengar dari dalam.

Anya melangkah masuk, melihat Rio duduk di belakang meja besar, tampak memeriksa dokumen. Namun, saat ia masuk, Rio menoleh dan menatapnya dengan tatapan tajam.

“Duduk,” perintah Rio, sambil menunjuk kursi di seberang meja.

Anya duduk dengan hati-hati, mencoba tidak menunjukkan kegelisahannya. Rio tidak langsung berbicara. Ia hanya menatap Anya dengan pandangan yang sulit dipahami, seolah sedang menilai sesuatu yang tidak terlihat.

Anya memberanikan diri bertanya, suaranya pelan, menahan harapan dan kecemasan. “Bagaimana dengan ibu saya, Tuan? Apakah… apakah keadaannya membaik?”

Rio menatap Anya sejenak sebelum mengangkat bahu. "Ibumu mendapat perawatan yang baik, seperti yang kita sepakati. Ingat, ini bukan sekadar kebaikan. Aku ingin kau tetap fokus pada pekerjaanmu di sini," ujar Rio, mengamati reaksi Anya.

Kata-kata itu menghantam Anya seperti pukulan keras. Meskipun Rio berbicara dengan nada yang seakan tak peduli, ia tahu bahwa setiap detik yang ia habiskan di apartemen ini, semakin dalam ia terperangkap.

"Apakah ada cara untuk mengurangi hutang ini?" tanya Anya, suaranya gemetar meski ia berusaha menahan kelemahan di hadapan Rio.

Rio bersandar, ekspresinya berubah dingin, bercampur sinisme dan jijik. Senyumnya tipis, penuh sarkasme. "Mengurangi hutang lebih cepat? Bagaimana caranya, Anya? Apa kau pikir angka itu bisa dilunasi hanya dengan... tersenyum padaku?"

Tuduhan itu seperti sengatan listrik. Rio mencondongkan tubuh, matanya menyipit, penuh curiga dan kebencian. "Seperti wanita lain yang datang dengan 'tawaran' yang sama?" suaranya penuh sinisme. "Melacurkan diri demi uang atau kemewahan? Kau kira kau bisa menebus hutang Darman dengan cara itu?"

Tuduhan itu bagai tamparan yang jauh lebih menyakitkan dari kata-kata Darman atau kemarahan Rio sebelumnya. Menggoda? Menjual diri? Marah dan terhina, Anya mendadak kehilangan rasa takutnya.

"Tidak, Tuan!" seru Anya, suaranya penuh amarah tertahan. Matanya berkilat dengan kebencian. "Saya tidak berniat seperti itu! Saya hanya bertanya apakah ada tugas lain! Saya di sini untuk bekerja, bukan untuk menjual diri!"

Rio menatap Anya dengan ekspresi yang datar, namun ada sedikit kekejaman yang tersembunyi di balik matanya. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, tangan terlipat di depan dada, dan mengamati Anya dengan penuh perhitungan. ‘Kemarahan itu nyata. Kebanggaan? Menarik. Dia tidak akan 'menjual diri'... setidaknya tidak dengan cara yang kukira’. Sebuah pemikiran strategis melintas di benaknya. ‘Menahannya hanya sebagai pelayan di sini memang menghibur. Tapi latar belakang ekonominya itu... sebuah sumber daya yang sia-sia jika hanya menyapu dan memasak.’ Ia mempertimbangkan. ‘Mendorongnya ke dalam lingkungan yang lebih besar, dengan taruhan yang lebih tinggi... itu akan lebih menarik. Dan risikonya untuknya akan jauh lebih besar.’ Ia mengambil keputusan dingin.

“Begini, Anya,” katanya, suara dinginnya kembali terdengar, “Aku tidak menganggapmu bodoh, meskipun sikapmu ini sedikit berlebihan. Aku memberikanmu kesempatan untuk bekerja di kantor, karena latar belakangmu di bidang ekonomi bisa berguna. Tapi, jangan berpikir ini akan mudah atau tanpa konsekuensi.”

Dia berhenti sejenak, memastikan bahwa perkataannya sampai dengan jelas. “Setiap kesalahan yang kamu buat di sana, setiap keputusan yang merugikan perusahaan, akan langsung dihitung sebagai tambahan hutang. Pekerjaan ini adalah ujian. Baik untukmu maupun untuk kemajuan hutangmu yang terus berkembang.”

Rio menatap Anya dengan tajam, menyadari bahwa gadis ini sedang berjuang keras untuk tetap menjaga ketenangannya. “Kau ingin membayar hutangmu lebih cepat, kan? Nah, ini jalan yang bisa kamu pilih. Tetapi jika gagal, maka hasilnya akan lebih buruk. Jauh lebih buruk.”

Anya menatapnya dengan kesal, tubuhnya terasa tegang, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Saya hanya ingin bekerja dengan benar, Tuan. Saya tidak meminta hal yang lebih dari itu."

Rio mengangguk pelan, lalu dengan senyum tipis yang lebih mirip ejekan, dia berkata, “Baiklah, kita lihat seberapa banyak kamu bisa bertahan. Kerja di kantor, Anya. Tapi ingat, setiap langkahmu akan dihitung.”

Anya mengangguk dengan terpaksa, meskipun hatinya penuh amarah dan kebingungan. Ia tahu, ini adalah kesempatan untuk melunasi hutang lebih cepat, tapi di sisi lain, ia juga menyadari bahwa tantangan yang dihadapi jauh lebih besar dari yang dibayangkan. Rio jelas tidak memberi kelonggaran. Setiap kesalahan, sekecil apapun, akan menambah beban yang sudah berat ini.

"Terima kasih atas kesempatan ini, Tuan," kata Anya, berusaha menahan nada kesal yang ingin meluap. "Saya akan berusaha sebaik mungkin."

Rio hanya tersenyum tipis, tidak ada tanda empati di wajahnya. "Kita lihat saja, Anya," jawabnya datar.

Anya merasa ada beban berat yang langsung menempel di pundaknya. Pekerjaan di kantor jelas berbeda dari di rumah, lebih menantang dan penuh risiko. Namun, ia tidak punya pilihan. Hutang yang mengikatnya membuatnya terjebak dalam situasi ini. Tidak ada ruang untuk gagal, dan ia tahu betul bahwa jika ia menyia-nyiakan kesempatan ini, hidupnya akan semakin sulit.

Ia keluar dari ruang kerja Rio dengan langkah cepat, memutuskan untuk menyiapkan diri menghadapi tantangan baru yang menantinya di kantor.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Hutang Jadi Cinta   23

    Anya berdiri di dapur apartemen dengan tangan gemetar, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab, rambutnya terurai tidak rapi, dan wajahnya masih menyimpan jejak tangis panjang malam sebelumnya. Suara langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.“Kamu nggak tidur sama sekali?” tanya Rio yang baru keluar dari kamar, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai.Anya tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih terpaku pada meja dapur.Rio menarik kursi, duduk di seberangnya, lalu berkata, “Aku sudah telepon Kevin. Dia bantu urus semua kebutuhan pemakaman.”Anya menggigit bibir. “Makasih, Rio...”Suara Anya nyaris tak terdengar. Ia lalu mengusap matanya yang mulai berkaca lagi.“Kalau kamu mau ke rumah sakit lagi, aku bisa antar,” kata Rio, datar tapi tidak dingin.“Aku... aku cuma takut, Rio. Rasanya belum siap...” Anya menunduk. “Aku bahkan belum percaya kalau Ibu beneran pergi...”Rio diam beberapa saat, menatap Anya tanpa mengganggu. “Nggak ada orang yang benar-b

  • Dari Hutang Jadi Cinta   22

    BAB 22Suara detak mesin di ruang ICU terdengar pelan tapi menusuk. Anya duduk di kursi plastik, matanya sembab karena kurang tidur. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Bu Sari yang masih belum sadarkan diri."Kamu sudah makan?" tanya Rio tanpa menoleh.Anya menggeleng pelan. "Nggak lapar.""Tubuh kamu juga butuh dijaga, Anya. Ibu kamu butuh kamu kuat." Nada Rio tetap datar, tapi ada ketegasan yang menenangkan.Anya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, "Aku takut, Rio. Takut kehilangan Ibu...""Dia masih bertahan. Itu artinya dia belum menyerah," kata Rio pelan. Anya masih menunduk, bahunya gemetar menahan tangis. Rio tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya menyipit sedikit menatap pantulan bayangan Anya di jendela kaca.“Jangan takut duluan sebelum waktunya,” katanya akhirnya.Anya mengangkat kepala. “Gimana caranya nggak takut, Rio? Ibu udah kayak gini... aku nggak tahu harus ngapain kalau...”“Kalau apa?” potong Rio tajam. “Kalau dia pergi?”Anya terdia

  • Dari Hutang Jadi Cinta   21

    Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu

  • Dari Hutang Jadi Cinta   20

    Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   19

    Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s

  • Dari Hutang Jadi Cinta   18

    Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de

  • Dari Hutang Jadi Cinta   17

    Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,

  • Dari Hutang Jadi Cinta   16

    Anya duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu-abu kebesaran. Rambutnya terikat longgar, wajahnya tampak lebih segar meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Pintu terbuka pelan. Rio masuk, di belakangnya Kevin membawa koper hitam berukuran sedang.“Letakkan di kamar Anya,” ucap Rio cepat, tanpa melihat Kevin.Kevin mengangguk. “Baik, Pak.”Anya berdiri perlahan, menatap koper itu dengan heran. “Tuan… Rio. Itu apa?”“Pakaian. Kevin aku suruh beli beberapa, kamu jelas butuh lebih dari dua potong,” jawab Rio datar.Anya mengerutkan kening. “Saya bisa cuci pakaian sendiri seperti biasa.”Rio meliriknya sebentar. “Aku tahu. Tapi bukan itu maksudku. Kamu perlu istirahat, bukan kerja tambahan.”Kevin kembali setelah meletakkan koper di kamar. “Ada lagi yang perlu saya bantu, Pak?”Rio menggeleng. “Tidak. Kamu bisa pergi.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   15

    Anya memandangi kerlip lampu kota dari balik jendela besar kamarnya. Malam baru saja turun, dan jalanan di bawah sana tampak seperti aliran sungai cahaya yang tak henti mengalir. Ia masih berselimut tipis di sofa kecil, memeluk lututnya sambil mengingat kembali kejadian beberapa hari terakhir. Semuanya terasa asing, sekaligus hangat.ebuah ketukan halus terdengar, cukup untuk membuat Anya langsung bangkit.“Silahkan masuk,” ucap Anya, cepat-cepat membenahi rambutnya.Rio muncul, masih mengenakan kemeja hitam dan celana abu-abu. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Wajahnya datar seperti biasa.“Kamu sudah makan malam?” tanyanya tanpa basa-basi.Anya menggeleng pelan. "Belum, Tuan. Saya memang berniat turun sebentar lagi."Rio hanya mengangguk, lalu menoleh sedikit ke luar jendela. "Tunggu sini. Biar Marta bawa kemari.""Tidak perlu repot, Tuan. Saya bisa ke dapur sendiri."Rio mendesah pelan, lalu menatap Anya sebentar. "Aku nggak tanya kamu bisa atau nggak. Aku cuma bilang tunggu d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status