Langkah Anya meninggalkan ruang kerja Rio terasa berat, seolah setiap jengkal menjauh dari pintu kayu mahoni itu menambah beban di pundaknya. Udara di luar ruangan seperti berubah, lebih dingin dan menyesakkan. Perintah bekerja di kantor dengan syarat-syarat yang mengikat erat bukanlah pertolongan. Itu adalah perangkap lain. Ia hanya ingin menyelesaikan hutang, bukan masuk ke dalam sistem penuh jebakan yang menuntut kesempurnaan.
Marta berdiri tak jauh dari situ, ekspresinya datar, nyaris tak menunjukkan emosi. Saat Anya mendekat, ia hanya melirik sekilas sebelum berbisik tanpa banyak intonasi, “Apa katanya? Kau disuruh apa lagi?”
Anya menarik napas dalam, mencoba meredakan ketegangan dalam suaranya. “Saya… saya akan mulai bekerja di kantornya. Besok.”
Alis Marta sedikit terangkat, tapi wajahnya tetap dingin. “Di kantor?” ucapnya singkat. “Ya… semoga kau tahu apa yang kau lakukan. Tuan Rio tidak suka kesalahan.”
Anya mengangguk, mencoba tersenyum meski rasanya getir. “Saya sadar. Tapi ini kesempatan untuk membayar hutang lebih cepat.”
Marta menyilangkan tangan di depan dada. “Jangan terlalu berharap. Tuan Rio tidak peduli niat, dia hanya melihat hasil.”
Anya menatap wanita itu, mencoba menangkap secercah empati, tapi tak menemukannya. “Saya tidak punya pilihan, Bu Marta,” katanya akhirnya, suara tetap mantap meski jantungnya berdetak kencang. “Saya harus melakukannya. Demi Ibu saya.”
Anya menatap langit-langit gelap dengan mata terbuka, tubuhnya terbaring tapi pikirannya tak berhenti berputar. Ia pernah punya mimpi tentang dunia kerja, tentang menjadi analis atau pegawai kantor, tapi belum sempat mencicipinya sebelum hidupnya dijadikan jaminan utang. Kini, kesempatan bekerja di kantor itu datang, tapi bukan sebagai jalan keluar, melainkan jerat baru. Ilmu ekonomi yang pernah ia kuasai kini terasa asing, dan kesalahan kecil bisa berujung pada hutang yang semakin menjerat. Semua ini bukan awal baru, tapi ancaman dalam wujud lain.
Anya terbangun dengan detak jantung yang tak tenang. Marta datang membawa satu setelan kerja sederhana. Kemeja putih bersih, blazer hitam, dan rok pensil yang sudah disiapkan sebelumnya. “Ini dari Tuan Rio,” kata Marta singkat. “Dia tak mau kau terlihat seperti pelayan.” Anya memegang kemeja itu ragu-ragu, seolah menyentuh masa lalu yang jauh. Ia pernah bermimpi memakai baju seperti itu untuk karier yang ia pilih sendiri, bukan karena keterpaksaan.
Sarapan pagi itu hanya formalitas. Lidah Anya nyaris tak mengenali rasa. Tak lama kemudian, Anya dipanggil lagi ke ruang kerja Rio. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu sebelum akhirnya masuk. Rio ada di sana, seperti sebelumnya, tenggelam dalam layar komputernya.
“Sudah siap?” tanyanya tanpa menoleh, suaranya tajam.
“Ya, Tuan,” jawab Anya, berdiri tegak namun kaku, seperti prajurit yang menanti perintah.
Rio akhirnya menoleh. Matanya menyapu Anya dari kepala hingga kaki. Ia tak bisa memungkiri bahwa Anya terlihat sangat cantik dalam balutan pakaian kerja itu. Elegan, rapi, dan berbeda dari sosok pelayan yang biasanya ia lihat. Tapi perasaan itu segera ia tekan, digantikan dengan sorot dingin dan nada suara datar. “Bagus,” katanya singkat. “Sopir sudah menunggu di depan. Dia akan mengantarmu ke kantor. Di sana, kau akan bertemu Kevin. Dia asistenku. Dia akan menunjukkan tempatmu dan tugas pertamamu.”Ia menggeser sebuah dokumen ke tepi meja. “Ini ringkasan singkat tentang apa yang perlu kau ketahui tentang proyek yang akan kau tangani. Pelajari di jalan. Jangan membuatku menunggu hasilnya terlalu lama.”
Anya mengambil dokumen itu, tangannya sedikit gemetar. “Baik, Tuan.”
“Dengarkan baik-baik, Anya,” kata Rio dengan suara lebih rendah, mengandung ancaman yang jelas. “Setiap kesalahan, setiap kekeliruan, setiap kerugian yang muncul karena kelalaianmu… akan membuat hutangmu bertambah. Tidak ada toleransi untuk kesalahan. Kau di sana untuk bekerja, dan bekerjalah dengan sempurna.”
“Saya mengerti, Tuan,” kata Anya, menahan diri untuk tidak membentak bahwa dia akan bekerja dengan benar, karena itulah yang selalu ingin dia lakukan.
“Dan satu hal yang harus kau ingat,” Rio berkata dingin, tatapannya tetap tajam. “Setiap sore, sopir akan menjemputmu dan membawamu kembali ke sini. Kau masih pelayanku di luar jam kerja kantor. Tugas-tugas rumah tetap menjadi tanggung jawabmu.”
Pernyataan terakhir itu bagai pukulan telak. Jadi, ini bukan pertukaran tugas. Ini adalah penambahan beban kerja. Ia harus bekerja seharian di kantor, lalu kembali dan mengerjakan tugas rumah tangga. Matanya berkilat karena kemarahan dan kelelahan yang membayang.
“Apa… apa tidak ada keringanan? Dengan jam kerja yang bertambah…” Anya bertanya, suaranya bergetar karena berusaha menahan frustrasi.
Rio tertawa pelan, tawa tanpa humor. “Keringanan? Anya, kau tidak dalam posisi meminta keringanan. Kau berhutang. Kau bahkan punya hutang yang sangat besar. Kau harus membayarnya dengan apa pun yang kuminta. Sekarang, pergi. Waktu terus berjalan, dan hutangmu juga.”
Anya mengepalkan tangannya erat, kuku-kukunya menusuk telapak tangannya. Ia hanya mengangguk, tidak bisa mempercayai betapa kejamnya pria di depannya ini. Ia diperlakukan seperti budak modern, tenaganya diperas habis-habisan.
Anya berbalik dan keluar dari ruangan itu, detak jantungnya berpacu cepat seolah akan meledak. Di luar, Marta berdiri menunggu, matanya menatap tanpa banyak ekspresi.
“Kau baik-baik saja?” tanyanya datar, tidak ada rasa khawatir yang terlihat.
“Saya… saya harus pergi, Bu Marta,” kata Anya cepat, melirik arloji di pergelangan tangannya. Setiap detik terasa berharga, atau lebih tepatnya, mahal. Ia tidak ingin memberi Rio alasan sedikit pun untuk menambah bebannya.
Ia buru-buru keluar dari apartemen megah itu, menuruni lift, dan menuju lobi. Di depan gedung, sebuah mobil mewah hitam sudah menunggu, sopir berdiri di samping pintu terbuka. Ia masuk ke dalam mobil, merasakan kemewahan yang kontras dengan statusnya yang terikat.
Di dalam mobil, ia membuka dokumen yang diberikan Rio. Matanya memindai angka-angka, grafik, dan analisis pasar yang rumit. Ini adalah dunia yang ia kenal, tapi juga dunia yang kini terasa asing dan menakutkan. Tekanan untuk tidak membuat kesalahan terasa sangat berat. Setiap baris angka, setiap laporan, seolah memiliki label harga yang terikat pada kondisi ibunya dan kebebasannya.
Mobil melaju membelah jalanan kota. Anya menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang, termasuk gedung pencakar langit markas besar perusahaan Rio yang semakin dekat. Itu bukan hanya tempat kerja barunya, tapi juga arena baru tempat pertarungan melawan hutangnya akan berlangsung. Pertarungan yang ia tahu, bisa menghancurkannya sepenuhnya jika ia tersandung. Ia menarik napas dalam, berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa. Petualangan barunya, atau mungkin neraka barunya, baru saja dimulai.
Di lorong rumah sakit, Rio berjalan cepat. Clara mengejarnya, tumit tingginya berdetak di lantai marmer.“Rio, jangan seperti ini.”Rio menoleh tajam. “Aku sudah cukup sabar. Kau pikir kau bisa menang karena Mama membelamu? Itu bukan kemenangan, Clara. Itu kebohongan.”“Aku tidak membohongi siapa pun,” jawab Clara santai. “Aku hanya membuka mata Mamamu tentang siapa perempuan itu.”“Kau tidak tahu apa-apa tentang Anya.”Clara mendekat. “Tapi aku tahu segalanya tentang kamu, Rio. Itu lebih penting.”“Dan itulah masalahnya. Kau tahu terlalu banyak tentang aku. Tapi nol tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menguasai.”Clara menatap tajam. “Kalau aku tak mencintaimu, aku tidak akan peduli.”Rio diam. Matanya sayu. “Kau hanya peduli pada rasa memiliki, Clara. Bukan cinta.”Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan Clara
“Rio?” suara Mama Amelia terdengar lemah dari ranjangnya, tapi nada bicara tetap tajam, penuh kendali seperti biasa.Rio masuk, ragu-ragu. “Ma… Aku datang.”Di sisi ranjang, mata Mama Amelia langsung beralih ke sosok di samping Rio. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Clara. Kau kelihatan cantik seperti biasa.”Clara melangkah lebih dulu, menggenggam tangan Mama Amelia. “Tante, saya senang bisa lihat Tante lagi. Maaf saya datang tiba-tiba.”“Tidak apa-apa, Sayang. Justru Tante berterima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin Rio nggak akan pernah muncul di sini.”Rio menghela napas. “Ma, aku memang ingin datang. Jangan salah paham.”Mama Amelia melirik Rio dengan dingin. “Setelah sekian lama? Setelah kau menikah diam-diam dengan perempuan yang bahkan tak pernah Mama kenal?”“Ma…” Rio memejamkan mata. “Itu keputusan pribadi. Aku nggak berniat menyakiti Mama.”Clara masih berdiri di sisi ranjang, wajahnya seolah bersahabat, tapi jelas penuh kemenangan. “Tante, saya juga kaget saat tahu R
Keesokan harinya, Rio menelepon Clara. Suaranya datar, tanpa getar perasaan. Ia sadar, mempertontonkan emosi hanya akan membuatnya terlihat lemah di mata Clara."Clara, bisakah kau datang ke kantorku sekarang? Aku tunggu."Clara, tentu saja, menyambut permintaannya dengan nada manis yang menusuk. "Tentu saja, Rio. Ada apa? Apa kau merindukanku?""Jangan bodoh, Clara. Ini serius," balas Rio tanpa basa-basi.Satu jam kemudian, Clara memasuki ruang kerja Rio, mengenakan gaun merah menyala yang seolah berteriak, "Lihat aku, aku sangat memukau." Namun Rio mengabaikannya."Ada apa, Rio? Tumben sekali kau memintaku datang ke sini," Clara membuka percakapan dengan nada menggoda.Rio langsung to the point. "Cukup, Clara. Aku tahu apa yang kau lakukan. Menghubungi Mamaku, mengisi kepalanya dengan omong kosong tentang aku dan Anya. Hentikan."Clara mengangkat alis. "Menghubungi Mama Amelia? Aku hanya menjenguknya, Rio. Menemaninya. Apa itu salah? Kau sendiri bahkan tidak sempat menemuinya.""Itu
Suasana hening menekan dari balik pintu kamar yang terkunci. Rio membatu di tengah ruang tamu, ponsel menempel erat di telapak tangannya. Setiap kata yang diucapkan Clara menggema dalam pikirannya, mengguncang perasaannya antara marah dan takut."Br*ngs*k!" Rio mengumpat, suaranya tercekat. Ia menekan nomor Clara dengan brutal."Halo, Rio? Ada masalah? Kuharap aku tidak mengganggu," suara Clara terdengar terlampau manis, menusuk telinga Rio dengan ironi."Hentikan sandiwara ini, Clara! Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kau melakukan ini?" sergah Rio tanpa tedeng aling-aling.Tawa lirih meluncur dari bibir Clara. "Melakukan apa? Aku hanya ingin kau bahagia, Rio. Apakah itu dosa?""Berhenti sok jadi penyelamat! Aku nggak butuh kebahagiaan versi kamu! Fokus aja sama hidupmu sendiri dan jangan ganggu rumah tanggaku sama Anya!""Sayangnya, Rio, kau tahu aku benar. Anya tidak memahamimu. Kalian terperangkap di dua dunia yang berbeda. Aku… akulah yang mengerti dirimu, Rio. Dulu, dan selamanya
Malam semakin larut. Suasana tegang yang sempat mencair di ruang apartemen kembali menyelimuti. Anya, setelah lama terdiam, akhirnya kembali membuka percakapan.“Rio,” panggil Anya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran.Rio, yang sedari tadi melamun menatap layar televisi yang mati, menoleh. “Ya?”“Katamu Clara bilang ada orang yang nggak ingin kamu bahagia. Apa… apa itu aku?” tanya Anya, keraguan terpancar jelas dari matanya.Rio terkejut. “Tentu saja bukan kamu, Anya! Kenapa kamu berpikir begitu?”“Karena kamu menyembunyikan semuanya! Kamu bilang ini masa lalu yang rumit, tapi kamu nggak mau cerita apa-apa. Gimana aku nggak curiga?” Anya meninggikan suaranya, frustrasi.Rio berdiri dan mendekat, meraih tangan Anya. “Anya, dengar. Aku nggak bermaksud bikin kamu curiga. Justru karena aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu ikut campur urusan ini. Ini… ini bisa
Suara detik jam di ruang tamu seakan berirama dengan kegelisahan yang mengisi ruang itu. Rio duduk terpaku, menatap kosong ke luar jendela apartemen yang menghadap kota. Anya masih di sana, di sisi sofa, dengan ekspresi campur aduk antara ingin tahu dan sabar menunggu.“Aku… harus bilang sesuatu, Anya,” suara Rio akhirnya pecah dalam keheningan.Anya menoleh, matanya penuh perhatian. “Apa itu, Rio? Kamu bisa bilang apa saja, kamu tahu itu.”Rio menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat meraih gelas air di meja. “Hari ini aku bertemu seseorang. Seseorang dari masa lalu yang penting bagiku.”Anya mengernyit, menunggu kata berikutnya.“Dia datang tanpa aku duga. Aku nggak bilang siapa dia, bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi aku takut kamu salah paham,” Rio menunduk.“Kalau aku nggak tahu, aku pasti malah lebih penasaran, kan?” Anya berkata pelan tapi tegas. &