Share

4

Author: Pipipiii
last update Last Updated: 2025-04-09 16:08:57

Hari pertama Anya berjalan seperti garis tak berujung. Tak ada waktu istirahat yang benar-benar nyata. Setiap kali dia mencoba mencuri jeda, meski hanya untuk menarik napas lebih panjang, suara dingin Rio akan kembali memanggil.

“Anya, air lemon dingin. Sekarang.”

“Anya, AC ruang tamu terlalu dingin. Atur ulang suhunya.”

“Anya, lap meja makan. Ada debu.” Kalimat itu diucapkan sepuluh menit setelah ia selesai membersihkannya.

"Saya baru saja melapnya, Tuan," jawab Anya, sedikit terkejut dengan kecepatan tuduhan itu.

Rio akhirnya menoleh, tatapannya menusuk. "Kalau begitu lap lagi. Sampai aku tidak bisa melihat debu sedikit pun."

Waktu berlalu dalam tekanan. Marta memberi instruksi singkat, "Bersihkan kaca jendela di balkon itu, Anya. Pastikan tidak ada sidik jari."

Namun, berbeda dengan Rio, Marta memberi ruang kecil untuk bernapas, memberikan waktu makan siang atau handuk bersih saat Anya kelelahan. Kadang, perhatian kecil Marta membuat Anya merasa sedikit dihargai.

Sore itu, Anya sedang mengganti seprai kamar tamu saat Marta mendekat, kali ini dengan wajah yang berbeda. Tak lagi datar. Ada sesuatu di matanya, semacam keraguan sebelum akhirnya dia berkata pelan, “Tuan Rio ingin kau ke ruang kerjanya sekarang.”

Anya mengangguk, menghapus keringat di dahinya dengan punggung tangan. "Baik, Bu Marta." Ia cepat-cepat merapikan seprai terakhir. "Apakah ada masalah?"

Marta ragu sejenak. "Dia... mendapat kabar. Penting. Pergilah, cepat." Ia tidak memberi detail, tapi nadanya sudah cukup memberi peringatan.

Anya bergegas menuju ruang kerja Rio. Kali ini, pintunya tertutup rapat. Ia mengetuk dua kali, jantungnya berdebar.

“Masuk,” suara Rio seperti biasa. Tegas, datar, dan tanpa emosi.

Anya melangkah masuk, di seberangnya, Rio sedang menatap layar laptop dengan serius, tetapi kemudian menutupnya pelan.

“Duduk,” perintah Rio, menunjuk kursi di seberang mejanya.

“Aku memanggilmu karena ada kabar terkait denganmu,” kata Rio, suaranya tetap dingin, tapi ada nada yang lebih berat dari biasanya. “Baru saja aku mendapat laporan.”

Anya menahan napas. Apa lagi ini?

“Ibumu masuk rumah sakit.”

Seluruh tubuh Anya seperti berhenti. “Apa?”

“Menurut anak buahku, dia pingsan di pasar. Dibawa ke klinik desa, lalu dirujuk ke rumah sakit di kota terdekat. Tidak parah, tapi dia butuh perawatan.”

Anya merasa dunia di bawah kakinya berputar. "Rumah sakit mana, Tuan? Bagaimana keadaannya sekarang? Saya..." Ia ingin bertanya lebih lanjut, ingin meminta izin untuk melihat, tapi suaranya tercekat di tenggorokan.

“Darman yang membawanya ke rumah sakit,” lanjut Rio. “Katanya dia sedang mencari uang pinjaman.”

Nama Darman kembali memicu gelombang amarah di dada Anya. Pria itu! Selalu menjadi sumber masalah! "Dia... Dia masih bebas?"

Rio hanya mengangguk, tatapannya tajam. "Dia bebas karena aku tidak melaporkannya. Mengapa aku harus repot-repot mengurus kasus pidana lima ratus juta yang merepotkan? Itu hanya akan menunda proyek-proyekku, merusak citra perusahaan dengan drama pengadilan. Angka lima ratus juta itu tidak seberapa bagiku." Rio mengatakan ini dengan nada meremehkan, seolah angka yang menghancurkan hidup Anya hanyalah uang receh baginya.           

Dia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. "Aku menerima tawaran Darman karena bagiku, memiliki ‘jaminan’ yang bisa kulihat, kuawasi, dan kuatur, itu jauh lebih menguntungkan daripada berurusan dengan polisi." Kata-katanya jelas dan kejam. Dia melihat Anya bukan sebagai manusia, tapi sebagai aset. Alat tawar. Jaminan hidup.

“Apa saya bisa…” suara Anya nyaris tak terdengar, “Saya bisa menemuinya?”

Rio menatapnya, lama. “Tidak,” jawabnya pendek.

“Tapi dia ibu saya…” suara Anya pecah, namun tetap tenang.

Rio mendekat. Tatapannya menusuk, tapi bukan marah, lebih seperti pengamatan tajam. “Kau ingin dia mendapatkan perawatan terbaik?”

Anya mengangguk cepat, penuh harap.

"Baik." Rio kembali ke mejanya, mengambil sebuah map.  “Aku akan bayarkan biaya rumah sakitnya. Aku akan memindahkannya ke ruangan yang lebih nyaman, dengan fasilitas yang lebih baik.”

Anya menatap Rio dengan mata yang tidak bisa percaya bercampur lega. "Terima kasih, Tuan... Terima kasih banyak..."

Rio mengangguk pelan, matanya tetap dingin. "Jangan berterima kasih, Anya. Ini bukan amal," ucapnya datar. "Hutangmu akan bertambah. Semua biaya perawatan ditambah ke hutang Darman, dan setiap kali aku membantumu, itu akan dihitung sebagai tambahan hutang."

Anya terdiam, hatinya bergejolak. Ia ingin menanyakan jumlah pasti, tapi sadar itu tak ada gunanya. Rio memegang kendali. Lima ratus juta, mungkin kini sudah lebih besar. Nasib ibunya kini jadi alat untuk menjeratnya lebih dalam.

“Hutangmu akan semakin besar,” Rio menekankan, seolah menikmati setiap kata yang menghancurkan harapan Anya. “Kau akan bekerja lebih lama, lebih keras. Setiap detikmu di sini, setiap tugas, setiap pengeluaran untuk ibumu, akan menambah beban di pundakmu.”

“Saya mengerti, Tuan,” kata Anya, suaranya hampir tidak terdengar, menahan emosi yang mendesak keluar.

Rio kembali duduk di kursinya, tidak mengindahkan Anya lagi. Tatapannya kembali fokus pada layar laptopnya, menandakan bahwa percakapan ini sudah selesai.

“Sekarang,” kata Rio, pandangannya sudah fokus pada pekerjaan di layar, “Pergi bantu Marta. Rumah sakit ibumu akan diurus secepatnya.”

Anya mengangguk, menahan gelombang kemarahan dan kelelahan. “Baik, Tuan.”

Tapi sebelum Anya bisa berbalik dan keluar, Rio menambahkan, “Satu hal lagi, Anya.”

Anya berhenti sejenak, menoleh kembali ke Rio.

“Beri tanda tanganmu pada kontrak ini,” kata Rio, mengangkat sebuah map dari meja kerjanya. “Ini adalah kontrak kerja yang mengikat. Aku ingin kau tahu apa yang kau hadapi di sini. Semua yang kau lakukan, dari sekarang hingga kau membayar hutangmu, akan tercatat.”

Anya menatap dokumen itu. Sebuah kontrak yang telah disiapkan dengan cermat. Poin-poin yang mengatur hak-hak Rio dan kewajiban Anya. Ia tahu, tanpa tanda tangan ini, Rio tidak akan mengizinkannya melangkah lebih jauh.

Rio menatapnya tanpa emosi, hanya menunjukkan kontrak tersebut. “Ini adalah satu-satunya cara kau bisa mendapat kesempatan untuk membantu ibumu.”

Anya menghela napas, menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah penyerahan. Dengan tangan gemetar, ia menandatangani kontrak itu, setiap goresan pena semakin mengikatnya dalam kekuasaan yang tak bisa ia hindari.

“Sudah, Tuan,” kata Anya, menyelesaikan tanda tangannya.

“Bagus,” jawab Rio. “Sekarang, pergilah. Anak buahku akan segera mengurus ibumu.”

Anya berbalik, dengan kontrak yang kini mengikatnya lebih erat dari sebelumnya. Semua pilihan yang ada terasa semakin sempit. Tapi ia harus bertahan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk ibunya.

Di luar, di lorong, Marta sudah menunggu. Hari baru dimulai. Dan Anya tahu, lebih banyak tantangan yang akan datang.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Hutang Jadi Cinta   23

    Anya berdiri di dapur apartemen dengan tangan gemetar, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab, rambutnya terurai tidak rapi, dan wajahnya masih menyimpan jejak tangis panjang malam sebelumnya. Suara langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.“Kamu nggak tidur sama sekali?” tanya Rio yang baru keluar dari kamar, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai.Anya tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih terpaku pada meja dapur.Rio menarik kursi, duduk di seberangnya, lalu berkata, “Aku sudah telepon Kevin. Dia bantu urus semua kebutuhan pemakaman.”Anya menggigit bibir. “Makasih, Rio...”Suara Anya nyaris tak terdengar. Ia lalu mengusap matanya yang mulai berkaca lagi.“Kalau kamu mau ke rumah sakit lagi, aku bisa antar,” kata Rio, datar tapi tidak dingin.“Aku... aku cuma takut, Rio. Rasanya belum siap...” Anya menunduk. “Aku bahkan belum percaya kalau Ibu beneran pergi...”Rio diam beberapa saat, menatap Anya tanpa mengganggu. “Nggak ada orang yang benar-b

  • Dari Hutang Jadi Cinta   22

    BAB 22Suara detak mesin di ruang ICU terdengar pelan tapi menusuk. Anya duduk di kursi plastik, matanya sembab karena kurang tidur. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Bu Sari yang masih belum sadarkan diri."Kamu sudah makan?" tanya Rio tanpa menoleh.Anya menggeleng pelan. "Nggak lapar.""Tubuh kamu juga butuh dijaga, Anya. Ibu kamu butuh kamu kuat." Nada Rio tetap datar, tapi ada ketegasan yang menenangkan.Anya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, "Aku takut, Rio. Takut kehilangan Ibu...""Dia masih bertahan. Itu artinya dia belum menyerah," kata Rio pelan. Anya masih menunduk, bahunya gemetar menahan tangis. Rio tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya menyipit sedikit menatap pantulan bayangan Anya di jendela kaca.“Jangan takut duluan sebelum waktunya,” katanya akhirnya.Anya mengangkat kepala. “Gimana caranya nggak takut, Rio? Ibu udah kayak gini... aku nggak tahu harus ngapain kalau...”“Kalau apa?” potong Rio tajam. “Kalau dia pergi?”Anya terdia

  • Dari Hutang Jadi Cinta   21

    Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu

  • Dari Hutang Jadi Cinta   20

    Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   19

    Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s

  • Dari Hutang Jadi Cinta   18

    Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de

  • Dari Hutang Jadi Cinta   17

    Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,

  • Dari Hutang Jadi Cinta   16

    Anya duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu-abu kebesaran. Rambutnya terikat longgar, wajahnya tampak lebih segar meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Pintu terbuka pelan. Rio masuk, di belakangnya Kevin membawa koper hitam berukuran sedang.“Letakkan di kamar Anya,” ucap Rio cepat, tanpa melihat Kevin.Kevin mengangguk. “Baik, Pak.”Anya berdiri perlahan, menatap koper itu dengan heran. “Tuan… Rio. Itu apa?”“Pakaian. Kevin aku suruh beli beberapa, kamu jelas butuh lebih dari dua potong,” jawab Rio datar.Anya mengerutkan kening. “Saya bisa cuci pakaian sendiri seperti biasa.”Rio meliriknya sebentar. “Aku tahu. Tapi bukan itu maksudku. Kamu perlu istirahat, bukan kerja tambahan.”Kevin kembali setelah meletakkan koper di kamar. “Ada lagi yang perlu saya bantu, Pak?”Rio menggeleng. “Tidak. Kamu bisa pergi.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   15

    Anya memandangi kerlip lampu kota dari balik jendela besar kamarnya. Malam baru saja turun, dan jalanan di bawah sana tampak seperti aliran sungai cahaya yang tak henti mengalir. Ia masih berselimut tipis di sofa kecil, memeluk lututnya sambil mengingat kembali kejadian beberapa hari terakhir. Semuanya terasa asing, sekaligus hangat.ebuah ketukan halus terdengar, cukup untuk membuat Anya langsung bangkit.“Silahkan masuk,” ucap Anya, cepat-cepat membenahi rambutnya.Rio muncul, masih mengenakan kemeja hitam dan celana abu-abu. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Wajahnya datar seperti biasa.“Kamu sudah makan malam?” tanyanya tanpa basa-basi.Anya menggeleng pelan. "Belum, Tuan. Saya memang berniat turun sebentar lagi."Rio hanya mengangguk, lalu menoleh sedikit ke luar jendela. "Tunggu sini. Biar Marta bawa kemari.""Tidak perlu repot, Tuan. Saya bisa ke dapur sendiri."Rio mendesah pelan, lalu menatap Anya sebentar. "Aku nggak tanya kamu bisa atau nggak. Aku cuma bilang tunggu d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status