Udara dingin langsung menyambut bahkan sebelum pintu mobil sepenuhnya terbuka. Bukan hanya dingin dari pendingin ruangan, tapi hawa kekuasaan yang memancar dari gedung pencakar langit Pratama Land. Anya melangkah turun, dan ketimpangan terasa menyakitkan. Ia duduk di kursi penumpang mobil mewah, tapi bukan sebagai tamu, melainkan tahanan dengan seragam pinjaman.
Lobi yang luas dan berlapis marmer itu terasa hampir kosong, sepi oleh waktu yang masih pagi. Hanya Kevin yang terlihat, berdiri seperti arca dengan jas hitam yang licin dan pas badan. Tatapannya tajam dan tak hangat, menunjukkan efisiensi yang lebih menyerupai mesin daripada manusia.
“Anda pasti Nona Anya,” suaranya halus tapi tanpa ekspresi, seperti prosedur yang diulang setiap hari. “Saya Kevin, asisten Tuan Rio. Ikuti saya.”
“Ya, saya Anya,” jawab Anya, mencoba menguatkan suaranya agar tidak terdengar gemetar.
“Tuan Rio belum datang,” lanjut Kevin, memberi isyarat halus ke lift tersembunyi yang hanya tampak setelah diperhatikan seksama. “Namun beliau ingin Anda langsung masuk ke ruangannya dan mulai bekerja. Saya akan mengantar Anda ke sana.”
Lift meluncur naik dengan kecepatan yang membuat telinga Anya sedikit berdengung. Di sampingnya, Kevin menyampaikan instruksi singkat dan padat tentang aturan di lantai eksekutif. Pesannya jelas: taati semua perintah Tuan Rio, tanpa pengecualian.
Pintu lift terbuka ke lantai paling atas, mengantarkan mereka ke area resepsionis yang begitu senyap hingga langkah kaki pun terasa mengganggu. Tak ada suara selain detik jam digital. Inilah kantor Rio, pikir Anya. Ini pusat kendali kekuasaan itu.
Kevin membimbing Anya melewati area resepsionis menuju sepasang pintu ganda besar dari kayu gelap. Detak jantung Anya berpacu kencang. Rio belum di sini, tapi ruangannya sudah menanti.
Kevin membuka pintu, dan ruangan besar itu menyambut Anya dengan kesan yang dingin, teratur, dan penuh kontrol. Di sudut ruangan, dekat jendela, ada meja kerja kecil yang dilengkapi dengan komputer dan printer. Tempat itu seperti ruang kecil yang terpisah dari kemewahan di sekitar, tempat di mana setiap gerakan dan keputusan Anya akan diawasi dan diuji.
“Ini tempat Anda bekerja, Nona Anya,” suara Kevin tetap tenang, dengan kesan sangat profesional. “Tuan Rio ingin Anda berada di sini, dalam ruangannya. Dokumen di meja adalah tugas pertama Anda. Jika Anda memerlukan bantuan teknis, saya akan membantu. Namun, untuk hal-hal lainnya, lebih baik langsung tanyakan pada Tuan Rio. Beliau mengharapkan analisis awal sore ini.”
Anya menelan ludah. Di dalam ruangan Rio? Setiap hari? Rasanya seperti dia dipenjara di sini, bukan hanya mudah dijangkau, tapi dia akan diawasi tanpa henti. Rio ingin mengawasinya sepanjang waktu, mengendalikan setiap aspek dirinya, bahkan di tempat ini. Rasa cemas meresap lebih dalam, apakah dia akan bisa bertahan dengan kondisi ini?
“Baik, Tuan Kevin,” kata Anya kaku.
Kevin memberi isyarat singkat, memastikan Anya mengerti, lalu meninggalkan ruangan. Pintu ganda tertutup di belakangnya, meninggalkan Anya sendirian di dalam ruang kerja Rio yang sunyi dan megah.
Anya melangkah ke meja kecil di sudut dan duduk. Kursi lembut itu kontras dengan ketegangan yang ia rasakan. Ia menatap komputer dan tumpukan berkas, berat dan menakutkan, namun juga menggairahkan. Dunia ini adalah dunia yang ia impikan, meski ia tak bisa melupakan alasan mengapa ia ada di sini: hutang dan kendali Rio.
Dengan napas dalam, Anya menyalakan komputer dan mulai membaca dokumen pertama. Rasa takut masih menyelimutinya, namun keakraban dunia ini memberi sedikit kenyamanan. Ia mulai bekerja, mengetik data, membenamkan dirinya dalam tugas yang ia kenal baik.
Sekitar satu jam kemudian, pintu ganda terbuka. Rio masuk, setelan jasnya terlihat sempurna, aura dinginnya mengisi ruangan. Dia berbicara singkat dengan Kevin di depan pintu, lalu langkahnya yang mantap terdengar di lantai kayu menuju mejanya.
Rio berhenti, matanya tertuju pada Anya yang sudah duduk di meja kecil, tampak sepenuhnya terbenam dalam pekerjaannya. Ia merasa sedikit terkejut. Ia mengira Anya akan tampak bingung atau cemas, mengingat banyaknya pekerjaan yang menanti. Namun, yang ia lihat justru Anya yang sudah mulai bekerja, punggungnya lurus, kepalanya menunduk, jari-jarinya bergerak cepat di keyboard. Ia tampak… fokus, kompeten.
Anya menyadari kehadiran Rio dan menoleh, memberi salam singkat, "Selamat pagi, Tuan Rio."
Rio menanggapi tanpa berhenti, "Pagi." Suaranya datar, lalu ia melanjutkan langkah menuju meja kerjanya. Tapi matanya sesekali melirik ke arah Anya. Dia melihat cara gadis itu mengernyit saat membaca, cara dia mengangguk pelan pada dirinya sendiri, coretan-coretan kecil di pinggiran dokumen.
Ini mengganggu Rio. Dia menempatkan Anya di sana untuk mengawasi, untuk menekannya, untuk memastikan dia tidak berinteraksi dengan siapa pun di luar kendalinya. Dia menganggapnya sebagai alat, dengan latar belakang pendidikan ekonomi yang mungkin sedikit berguna, tetapi tetap saja hanya alat yang terikat hutang.
Melihatnya bekerja, melihat otaknya berfungsi dengan cara yang begitu teratur dan efisien, membuat Rio terkejut. Ia tidak mengharapkan hal ini. Rasa ingin tahu muncul, dan yang lebih membuatnya kesal, sedikit kekaguman yang dengan cepat ia coba tekan. Ia benci merasa terkesan oleh seseorang yang seharusnya hanya menjadi alatnya.
Rio menekan nomor di telepon internal, suaranya tetap dingin. “Kevin.”
“Ya, Tuan?”
“Berkas yang saya kasih ke Anya, itu benar tugas yang harus dia kerjakan, kan?”
“Betul, Tuan,” jawab Kevin dengan tegas. “Itu yang Anda instruksikan.”
Rio menarik napas sejenak, suaranya terdengar lebih ringan, namun penuh perhatian. “Dia… terlihat paham?”
Kevin menjawab hati-hati, “Sejauh yang saya amati, Tuan, dia langsung bekerja dan fokus. Tidak ada pertanyaan dari dia.”
“Baik,” Rio mengangguk pelan, lalu menutup telepon dengan cepat.
Rio kembali menatap Anya. Gadis itu mengangkat tangannya, menyisipkan rambut ke belakang telinga, lalu kembali menunduk ke layar. Gerakannya sederhana, tapi ada keanggunan yang tak terduga, bahkan di tengah tekanan. Rio terkejut dirinya memperhatikan Anya lebih lama dari yang semestinya. Dia bukan hanya pelayan yang terperangkap dalam hutang, tetapi seorang wanita yang cerdas dan… menarik.
Perasaan yang tak terduga itu muncul begitu saja, ketertarikan yang menyelinap tanpa izin. Anya, dengan segala kecerdasan dan daya tariknya, memancing rasa ingin tahu dalam diri Rio. Tapi kenangan akan pengkhianatan mantan kekasihnya segera menenggelamkan perasaan itu. Luka lama itu, yang mengingatkan Rio pada betapa wanita bisa menghancurkan kepercayaannya, datang begitu jelas. Ketertarikan ini adalah ancaman yang harus ia padamkan, dan ia tahu itu.
Di lorong rumah sakit, Rio berjalan cepat. Clara mengejarnya, tumit tingginya berdetak di lantai marmer.“Rio, jangan seperti ini.”Rio menoleh tajam. “Aku sudah cukup sabar. Kau pikir kau bisa menang karena Mama membelamu? Itu bukan kemenangan, Clara. Itu kebohongan.”“Aku tidak membohongi siapa pun,” jawab Clara santai. “Aku hanya membuka mata Mamamu tentang siapa perempuan itu.”“Kau tidak tahu apa-apa tentang Anya.”Clara mendekat. “Tapi aku tahu segalanya tentang kamu, Rio. Itu lebih penting.”“Dan itulah masalahnya. Kau tahu terlalu banyak tentang aku. Tapi nol tentang bagaimana caranya mencintai tanpa menguasai.”Clara menatap tajam. “Kalau aku tak mencintaimu, aku tidak akan peduli.”Rio diam. Matanya sayu. “Kau hanya peduli pada rasa memiliki, Clara. Bukan cinta.”Tanpa berkata lagi, ia meninggalkan Clara
“Rio?” suara Mama Amelia terdengar lemah dari ranjangnya, tapi nada bicara tetap tajam, penuh kendali seperti biasa.Rio masuk, ragu-ragu. “Ma… Aku datang.”Di sisi ranjang, mata Mama Amelia langsung beralih ke sosok di samping Rio. Senyum tipis muncul di wajahnya. “Clara. Kau kelihatan cantik seperti biasa.”Clara melangkah lebih dulu, menggenggam tangan Mama Amelia. “Tante, saya senang bisa lihat Tante lagi. Maaf saya datang tiba-tiba.”“Tidak apa-apa, Sayang. Justru Tante berterima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin Rio nggak akan pernah muncul di sini.”Rio menghela napas. “Ma, aku memang ingin datang. Jangan salah paham.”Mama Amelia melirik Rio dengan dingin. “Setelah sekian lama? Setelah kau menikah diam-diam dengan perempuan yang bahkan tak pernah Mama kenal?”“Ma…” Rio memejamkan mata. “Itu keputusan pribadi. Aku nggak berniat menyakiti Mama.”Clara masih berdiri di sisi ranjang, wajahnya seolah bersahabat, tapi jelas penuh kemenangan. “Tante, saya juga kaget saat tahu R
Keesokan harinya, Rio menelepon Clara. Suaranya datar, tanpa getar perasaan. Ia sadar, mempertontonkan emosi hanya akan membuatnya terlihat lemah di mata Clara."Clara, bisakah kau datang ke kantorku sekarang? Aku tunggu."Clara, tentu saja, menyambut permintaannya dengan nada manis yang menusuk. "Tentu saja, Rio. Ada apa? Apa kau merindukanku?""Jangan bodoh, Clara. Ini serius," balas Rio tanpa basa-basi.Satu jam kemudian, Clara memasuki ruang kerja Rio, mengenakan gaun merah menyala yang seolah berteriak, "Lihat aku, aku sangat memukau." Namun Rio mengabaikannya."Ada apa, Rio? Tumben sekali kau memintaku datang ke sini," Clara membuka percakapan dengan nada menggoda.Rio langsung to the point. "Cukup, Clara. Aku tahu apa yang kau lakukan. Menghubungi Mamaku, mengisi kepalanya dengan omong kosong tentang aku dan Anya. Hentikan."Clara mengangkat alis. "Menghubungi Mama Amelia? Aku hanya menjenguknya, Rio. Menemaninya. Apa itu salah? Kau sendiri bahkan tidak sempat menemuinya.""Itu
Suasana hening menekan dari balik pintu kamar yang terkunci. Rio membatu di tengah ruang tamu, ponsel menempel erat di telapak tangannya. Setiap kata yang diucapkan Clara menggema dalam pikirannya, mengguncang perasaannya antara marah dan takut."Br*ngs*k!" Rio mengumpat, suaranya tercekat. Ia menekan nomor Clara dengan brutal."Halo, Rio? Ada masalah? Kuharap aku tidak mengganggu," suara Clara terdengar terlampau manis, menusuk telinga Rio dengan ironi."Hentikan sandiwara ini, Clara! Apa tujuanmu sebenarnya? Mengapa kau melakukan ini?" sergah Rio tanpa tedeng aling-aling.Tawa lirih meluncur dari bibir Clara. "Melakukan apa? Aku hanya ingin kau bahagia, Rio. Apakah itu dosa?""Berhenti sok jadi penyelamat! Aku nggak butuh kebahagiaan versi kamu! Fokus aja sama hidupmu sendiri dan jangan ganggu rumah tanggaku sama Anya!""Sayangnya, Rio, kau tahu aku benar. Anya tidak memahamimu. Kalian terperangkap di dua dunia yang berbeda. Aku… akulah yang mengerti dirimu, Rio. Dulu, dan selamanya
Malam semakin larut. Suasana tegang yang sempat mencair di ruang apartemen kembali menyelimuti. Anya, setelah lama terdiam, akhirnya kembali membuka percakapan.“Rio,” panggil Anya pelan, suaranya mengandung kekhawatiran.Rio, yang sedari tadi melamun menatap layar televisi yang mati, menoleh. “Ya?”“Katamu Clara bilang ada orang yang nggak ingin kamu bahagia. Apa… apa itu aku?” tanya Anya, keraguan terpancar jelas dari matanya.Rio terkejut. “Tentu saja bukan kamu, Anya! Kenapa kamu berpikir begitu?”“Karena kamu menyembunyikan semuanya! Kamu bilang ini masa lalu yang rumit, tapi kamu nggak mau cerita apa-apa. Gimana aku nggak curiga?” Anya meninggikan suaranya, frustrasi.Rio berdiri dan mendekat, meraih tangan Anya. “Anya, dengar. Aku nggak bermaksud bikin kamu curiga. Justru karena aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu ikut campur urusan ini. Ini… ini bisa
Suara detik jam di ruang tamu seakan berirama dengan kegelisahan yang mengisi ruang itu. Rio duduk terpaku, menatap kosong ke luar jendela apartemen yang menghadap kota. Anya masih di sana, di sisi sofa, dengan ekspresi campur aduk antara ingin tahu dan sabar menunggu.“Aku… harus bilang sesuatu, Anya,” suara Rio akhirnya pecah dalam keheningan.Anya menoleh, matanya penuh perhatian. “Apa itu, Rio? Kamu bisa bilang apa saja, kamu tahu itu.”Rio menghela napas panjang, tangannya sedikit gemetar saat meraih gelas air di meja. “Hari ini aku bertemu seseorang. Seseorang dari masa lalu yang penting bagiku.”Anya mengernyit, menunggu kata berikutnya.“Dia datang tanpa aku duga. Aku nggak bilang siapa dia, bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi aku takut kamu salah paham,” Rio menunduk.“Kalau aku nggak tahu, aku pasti malah lebih penasaran, kan?” Anya berkata pelan tapi tegas. &