Share

7

Author: Pipipiii
last update Last Updated: 2025-05-02 12:00:26

Udara dingin langsung menyambut bahkan sebelum pintu mobil sepenuhnya terbuka. Bukan hanya dingin dari pendingin ruangan, tapi hawa kekuasaan yang memancar dari gedung pencakar langit Pratama Land. Anya melangkah turun, dan ketimpangan terasa menyakitkan. Ia duduk di kursi penumpang mobil mewah, tapi bukan sebagai tamu, melainkan tahanan dengan seragam pinjaman.

Lobi yang luas dan berlapis marmer itu terasa hampir kosong, sepi oleh waktu yang masih pagi. Hanya Kevin yang terlihat, berdiri seperti arca dengan jas hitam yang licin dan pas badan. Tatapannya tajam dan tak hangat, menunjukkan efisiensi yang lebih menyerupai mesin daripada manusia.

“Anda pasti Nona Anya,” suaranya halus tapi tanpa ekspresi, seperti prosedur yang diulang setiap hari. “Saya Kevin, asisten Tuan Rio. Ikuti saya.”

“Ya, saya Anya,” jawab Anya, mencoba menguatkan suaranya agar tidak terdengar gemetar.

“Tuan Rio belum datang,” lanjut Kevin, memberi isyarat halus ke lift tersembunyi yang hanya tampak setelah diperhatikan seksama. “Namun beliau ingin Anda langsung masuk ke ruangannya dan mulai bekerja. Saya akan mengantar Anda ke sana.”

Lift meluncur naik dengan kecepatan yang membuat telinga Anya sedikit berdengung. Di sampingnya, Kevin menyampaikan instruksi singkat dan padat tentang aturan di lantai eksekutif. Pesannya jelas: taati semua perintah Tuan Rio, tanpa pengecualian.

Pintu lift terbuka ke lantai paling atas, mengantarkan mereka ke area resepsionis yang begitu senyap hingga langkah kaki pun terasa mengganggu. Tak ada suara selain detik jam digital. Inilah kantor Rio, pikir Anya. Ini pusat kendali kekuasaan itu.

Kevin membimbing Anya melewati area resepsionis menuju sepasang pintu ganda besar dari kayu gelap. Detak jantung Anya berpacu kencang. Rio belum di sini, tapi ruangannya sudah menanti.

Kevin membuka pintu, dan ruangan besar itu menyambut Anya dengan kesan yang dingin, teratur, dan penuh kontrol. Di sudut ruangan, dekat jendela, ada meja kerja kecil yang dilengkapi dengan komputer dan printer. Tempat itu seperti ruang kecil yang terpisah dari kemewahan di sekitar, tempat di mana setiap gerakan dan keputusan Anya akan diawasi dan diuji.

“Ini tempat Anda bekerja, Nona Anya,” suara Kevin tetap tenang, dengan kesan sangat profesional. “Tuan Rio ingin Anda berada di sini, dalam ruangannya. Dokumen di meja adalah tugas pertama Anda. Jika Anda memerlukan bantuan teknis, saya akan membantu. Namun, untuk hal-hal lainnya, lebih baik langsung tanyakan pada Tuan Rio. Beliau mengharapkan analisis awal sore ini.”

Anya menelan ludah. Di dalam ruangan Rio? Setiap hari? Rasanya seperti dia dipenjara di sini, bukan hanya mudah dijangkau, tapi dia akan diawasi tanpa henti. Rio ingin mengawasinya sepanjang waktu, mengendalikan setiap aspek dirinya, bahkan di tempat ini. Rasa cemas meresap lebih dalam, apakah dia akan bisa bertahan dengan kondisi ini?

“Baik, Tuan Kevin,” kata Anya kaku.

Kevin memberi isyarat singkat, memastikan Anya mengerti, lalu meninggalkan ruangan. Pintu ganda tertutup di belakangnya, meninggalkan Anya sendirian di dalam ruang kerja Rio yang sunyi dan megah.

Anya melangkah ke meja kecil di sudut dan duduk. Kursi lembut itu kontras dengan ketegangan yang ia rasakan. Ia menatap komputer dan tumpukan berkas, berat dan menakutkan, namun juga menggairahkan. Dunia ini adalah dunia yang ia impikan, meski ia tak bisa melupakan alasan mengapa ia ada di sini: hutang dan kendali Rio.

Dengan napas dalam, Anya menyalakan komputer dan mulai membaca dokumen pertama. Rasa takut masih menyelimutinya, namun keakraban dunia ini memberi sedikit kenyamanan. Ia mulai bekerja, mengetik data, membenamkan dirinya dalam tugas yang ia kenal baik.

Sekitar satu jam kemudian, pintu ganda terbuka. Rio masuk, setelan jasnya terlihat sempurna, aura dinginnya mengisi ruangan. Dia berbicara singkat dengan Kevin di depan pintu, lalu langkahnya yang mantap terdengar di lantai kayu menuju mejanya.

Rio berhenti, matanya tertuju pada Anya yang sudah duduk di meja kecil, tampak sepenuhnya terbenam dalam pekerjaannya. Ia merasa sedikit terkejut. Ia mengira Anya akan tampak bingung atau cemas, mengingat banyaknya pekerjaan yang menanti. Namun, yang ia lihat justru Anya yang sudah mulai bekerja, punggungnya lurus, kepalanya menunduk, jari-jarinya bergerak cepat di keyboard. Ia tampak… fokus, kompeten.

Anya menyadari kehadiran Rio dan menoleh, memberi salam singkat, "Selamat pagi, Tuan Rio."

Rio menanggapi tanpa berhenti, "Pagi." Suaranya datar, lalu ia melanjutkan langkah menuju meja kerjanya. Tapi matanya sesekali melirik ke arah Anya. Dia melihat cara gadis itu mengernyit saat membaca, cara dia mengangguk pelan pada dirinya sendiri, coretan-coretan kecil di pinggiran dokumen.

Ini mengganggu Rio. Dia menempatkan Anya di sana untuk mengawasi, untuk menekannya, untuk memastikan dia tidak berinteraksi dengan siapa pun di luar kendalinya. Dia menganggapnya sebagai alat, dengan latar belakang pendidikan ekonomi yang mungkin sedikit berguna, tetapi tetap saja hanya alat yang terikat hutang.

Melihatnya bekerja, melihat otaknya berfungsi dengan cara yang begitu teratur dan efisien, membuat Rio terkejut. Ia tidak mengharapkan hal ini. Rasa ingin tahu muncul, dan yang lebih membuatnya kesal, sedikit kekaguman yang dengan cepat ia coba tekan. Ia benci merasa terkesan oleh seseorang yang seharusnya hanya menjadi alatnya.

Rio menekan nomor di telepon internal, suaranya tetap dingin. “Kevin.”

“Ya, Tuan?”

“Berkas yang saya kasih ke Anya, itu benar tugas yang harus dia kerjakan, kan?”

“Betul, Tuan,” jawab Kevin dengan tegas. “Itu yang Anda instruksikan.”

Rio menarik napas sejenak, suaranya terdengar lebih ringan, namun penuh perhatian. “Dia… terlihat paham?”

Kevin menjawab hati-hati, “Sejauh yang saya amati, Tuan, dia langsung bekerja dan fokus. Tidak ada pertanyaan dari dia.”

“Baik,” Rio mengangguk pelan, lalu menutup telepon dengan cepat.

Rio kembali menatap Anya. Gadis itu mengangkat tangannya, menyisipkan rambut ke belakang telinga, lalu kembali menunduk ke layar. Gerakannya sederhana, tapi ada keanggunan yang tak terduga, bahkan di tengah tekanan. Rio terkejut dirinya memperhatikan Anya lebih lama dari yang semestinya. Dia bukan hanya pelayan yang terperangkap dalam hutang, tetapi seorang wanita yang cerdas dan… menarik.

Perasaan yang tak terduga itu muncul begitu saja, ketertarikan yang menyelinap tanpa izin. Anya, dengan segala kecerdasan dan daya tariknya, memancing rasa ingin tahu dalam diri Rio. Tapi kenangan akan pengkhianatan mantan kekasihnya segera menenggelamkan perasaan itu. Luka lama itu, yang mengingatkan Rio pada betapa wanita bisa menghancurkan kepercayaannya, datang begitu jelas. Ketertarikan ini adalah ancaman yang harus ia padamkan, dan ia tahu itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Hutang Jadi Cinta   23

    Anya berdiri di dapur apartemen dengan tangan gemetar, memandangi cangkir teh yang sudah dingin. Matanya sembab, rambutnya terurai tidak rapi, dan wajahnya masih menyimpan jejak tangis panjang malam sebelumnya. Suara langkah pelan terdengar dari arah ruang tengah.“Kamu nggak tidur sama sekali?” tanya Rio yang baru keluar dari kamar, mengenakan kaus abu-abu dan celana santai.Anya tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, masih terpaku pada meja dapur.Rio menarik kursi, duduk di seberangnya, lalu berkata, “Aku sudah telepon Kevin. Dia bantu urus semua kebutuhan pemakaman.”Anya menggigit bibir. “Makasih, Rio...”Suara Anya nyaris tak terdengar. Ia lalu mengusap matanya yang mulai berkaca lagi.“Kalau kamu mau ke rumah sakit lagi, aku bisa antar,” kata Rio, datar tapi tidak dingin.“Aku... aku cuma takut, Rio. Rasanya belum siap...” Anya menunduk. “Aku bahkan belum percaya kalau Ibu beneran pergi...”Rio diam beberapa saat, menatap Anya tanpa mengganggu. “Nggak ada orang yang benar-b

  • Dari Hutang Jadi Cinta   22

    BAB 22Suara detak mesin di ruang ICU terdengar pelan tapi menusuk. Anya duduk di kursi plastik, matanya sembab karena kurang tidur. Tangannya tak lepas menggenggam tangan Bu Sari yang masih belum sadarkan diri."Kamu sudah makan?" tanya Rio tanpa menoleh.Anya menggeleng pelan. "Nggak lapar.""Tubuh kamu juga butuh dijaga, Anya. Ibu kamu butuh kamu kuat." Nada Rio tetap datar, tapi ada ketegasan yang menenangkan.Anya memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, "Aku takut, Rio. Takut kehilangan Ibu...""Dia masih bertahan. Itu artinya dia belum menyerah," kata Rio pelan. Anya masih menunduk, bahunya gemetar menahan tangis. Rio tetap berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, namun matanya menyipit sedikit menatap pantulan bayangan Anya di jendela kaca.“Jangan takut duluan sebelum waktunya,” katanya akhirnya.Anya mengangkat kepala. “Gimana caranya nggak takut, Rio? Ibu udah kayak gini... aku nggak tahu harus ngapain kalau...”“Kalau apa?” potong Rio tajam. “Kalau dia pergi?”Anya terdia

  • Dari Hutang Jadi Cinta   21

    Pagi itu, udara di rumah tua itu terasa lebih pengap dari biasanya. Anya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah, memegang ponselnya. Ia menunggu Rio mengangkat telepon yang sudah ia hubungi beberapa kali.“Anya?” suara Rio akhirnya terdengar dari seberang, lembut tapi penuh perhatian.“Aku... aku ingin bicara tentang tempat tinggal. Aku nggak tahan di sini lagi, Rio. Aku dan Ibu harus pindah, jauh dari Darman.”Rio terdiam sesaat. “Kamu serius, Nya? Kenapa? Apa ada masalah?”Dengan nada lelah, Anya berkata di telepon, “Darman masih mau manfaatin keadaan Ibu supaya kamu terus yang urus. Aku nggak mau Ibu cuma jadi alat buat dia dapat keuntungan, Rio.”Rio mengerti kekhawatiran Anya. “Aku bisa siapkan apartemen dekat rumah sakit. Aku akan atur semuanya. Kamu dan Ibu bisa tinggal di sana dengan perawat.”“Aku takut kalau aku bilang gitu, Darman akan marah. Dia bisa paksa aku untu

  • Dari Hutang Jadi Cinta   20

    Langit sore tampak mendung saat mobil hitam berhenti di depan rumah tua bercat pudar itu. Anya membuka pintu mobil perlahan, menatap bangunan yang tak pernah benar-benar ia rindukan. Aroma tanah basah dan kenangan pahit menyambutnya.Tanpa menunggu lama, Kevin turun dan membuka pintu mobil untuknya. “Silahkan, Nona,” katanya sopan. “Saya menunggu di luar. Anda bisa menghubungi Tuan Rio kapan saja kalau butuh sesuatu.”Anya hanya mengangguk, lalu menarik napas dalam sebelum melangkah ke dalam rumah. Begitu masuk, sosok Darman sudah menunggunya di ruang tamu. Senyumnya lebar, seperti seseorang yang baru saja memenangkan sesuatu.“Selamat datang kembali,” katanya penuh semangat. “Akhirnya kamu pulang juga.”Anya hanya menatapnya datar. “Aku di sini untuk Ibu. Bukan untukmu.”Tapi Darman tertawa kecil. “Tentu, tentu. Tapi apa pun alasannya, kamu tetap pulang. Dan itu sudah cukup.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   19

    Mobil berhenti perlahan di halaman rumah sakit. Lampu-lampu neon memantul di kaca depan, menyorot wajah-wajah yang masih dibekap hening. Kevin segera turun dan membuka pintu belakang. Rio turun lebih dulu, lalu membantu Anya yang masih tampak linglung oleh isi kepalanya yang penuh.Darman turun terakhir. Ia menyesuaikan jaket lusuhnya, lalu menatap Anya dan Rio. “Ruangan Ibu kamu di lantai empat. Aku sudah koordinasi sama perawatnya. Mereka tahu kita akan datang.”Anya mengangguk pelan. Rio hanya melirik sekilas, lalu menggandeng tangan Anya ke arah pintu masuk. Mereka bertiga melangkah menuju lift, dan di sanalah Darman kembali membuka suara.“Dengar, Tuan Rio,” katanya, dengan nada yang lebih sopan namun tetap mengandung tekanan tersembunyi. “Saya tahu posisi saya tidak tepat untuk bernegosiasi dengan Anda. Tapi... saya cuma ingin Anya ada di sisi ibunya. Tidak lama, kok. Mungkin dalam beberapa minggu ke depan, sampai kondisinya s

  • Dari Hutang Jadi Cinta   18

    Langkah Anya terdengar cepat saat ia mulai berjalan lebih dulu, meninggalkan Rio yang masih terdiam di tengah jalan setapak. Udara sejuk sore hari tak lagi menenangkan, justru terasa semakin membuat suasana menjadi janggal. Anya menunduk, wajahnya masih memerah, pikiran kalut bercampur antara malu, bingung, dan... sesuatu yang tak ingin ia akui."Anya, tunggu," Rio mengejarnya, tapi tidak dengan tergesa. Nada suaranya lebih tenang, lebih hati-hati.Anya menoleh sebentar, lalu kembali melangkah. "Kita... kita pulang saja. Sudah cukup jalan-jalannya."Rio mengangguk pelan, menyesuaikan langkahnya di samping Anya. Mereka berjalan dalam diam, hanya suara daun-daun yang tertiup angin menemani langkah mereka. Beberapa kali Rio melirik ke arah Anya, namun ia tak menemukan celah untuk bicara. Ia tahu, kalau dipaksa, semuanya akan lebih buruk.Namun sesampainya di lobi apartemen, langkah Rio terhenti. Dari kejauhan, ia melihat dua sosok berdiri menunggu. Kevin, de

  • Dari Hutang Jadi Cinta   17

    Pagi itu, Anya duduk di meja makan, melirik Rio yang sedang sibuk dengan ponselnya. Tangannya masih memegang secangkir teh, tapi pikirannya jauh. Sejak pertemuan dengan Darman dan Sari, ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya, meskipun Rio seolah tak peduli dengan pembicaraan itu.“Rio,” panggil Anya pelan, suara serak.Rio menoleh sejenak, matanya sedikit terangkat. “Ada apa?”“…Bolehkah saya berjalan-jalan sebentar?” tanya Anya, menggigit bibir bawahnya. “Saya hanya ingin keluar, tidak ada maksud lain, hanya untuk mendapatkan udara segar.”Rio melirik jam tangannya sejenak, lalu menatap Anya. “Baik, tapi aku ikut. Aku perlu memastikan kamu nggak pergi kemana-mana tanpa sepengetahuanku.”Anya memberikan senyuman tipis. “Terima kasih, saya tidak akan lama.”Mereka keluar dari rumah, dan Anya mengikuti Rio yang berjalan lebih cepat. Ada rasa canggung di udara,

  • Dari Hutang Jadi Cinta   16

    Anya duduk di kursi dekat jendela, mengenakan sweater abu-abu kebesaran. Rambutnya terikat longgar, wajahnya tampak lebih segar meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Pintu terbuka pelan. Rio masuk, di belakangnya Kevin membawa koper hitam berukuran sedang.“Letakkan di kamar Anya,” ucap Rio cepat, tanpa melihat Kevin.Kevin mengangguk. “Baik, Pak.”Anya berdiri perlahan, menatap koper itu dengan heran. “Tuan… Rio. Itu apa?”“Pakaian. Kevin aku suruh beli beberapa, kamu jelas butuh lebih dari dua potong,” jawab Rio datar.Anya mengerutkan kening. “Saya bisa cuci pakaian sendiri seperti biasa.”Rio meliriknya sebentar. “Aku tahu. Tapi bukan itu maksudku. Kamu perlu istirahat, bukan kerja tambahan.”Kevin kembali setelah meletakkan koper di kamar. “Ada lagi yang perlu saya bantu, Pak?”Rio menggeleng. “Tidak. Kamu bisa pergi.”

  • Dari Hutang Jadi Cinta   15

    Anya memandangi kerlip lampu kota dari balik jendela besar kamarnya. Malam baru saja turun, dan jalanan di bawah sana tampak seperti aliran sungai cahaya yang tak henti mengalir. Ia masih berselimut tipis di sofa kecil, memeluk lututnya sambil mengingat kembali kejadian beberapa hari terakhir. Semuanya terasa asing, sekaligus hangat.ebuah ketukan halus terdengar, cukup untuk membuat Anya langsung bangkit.“Silahkan masuk,” ucap Anya, cepat-cepat membenahi rambutnya.Rio muncul, masih mengenakan kemeja hitam dan celana abu-abu. Lengan kemejanya digulung sampai siku. Wajahnya datar seperti biasa.“Kamu sudah makan malam?” tanyanya tanpa basa-basi.Anya menggeleng pelan. "Belum, Tuan. Saya memang berniat turun sebentar lagi."Rio hanya mengangguk, lalu menoleh sedikit ke luar jendela. "Tunggu sini. Biar Marta bawa kemari.""Tidak perlu repot, Tuan. Saya bisa ke dapur sendiri."Rio mendesah pelan, lalu menatap Anya sebentar. "Aku nggak tanya kamu bisa atau nggak. Aku cuma bilang tunggu d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status