Mas Athaar akhirnya diizinkan pulang oleh dokter setelah hampir dua hari di rawat. Pria itu terlihat bahagia ketika aku datang menjemputnya di rumah sakit. Bu Wening memang memintaku untuk menemani anak bungsunya itu pulang ke rumah."Mas, kenapa, sih senyum-senyum dari tadi?" Aku heran karena sejak aku datang ke ruang perawatan, Mas Athaar senyum-senyum terus."Nggak ada. Cuma seneng aja lihat kamu," jawabnya sambil terus mengumbar senyum. Jujur, aku jadi kikuk berhadapan dengannya. Beberapa kali barang di tangan ini terlepas begitu saja lantaran grogi. Saat ini aku tengah membereskan barang-barang milik Mas Athaar sebelum pulang ke rumah.Lantaran tak mungkin mengedepankan rasa grogi, sebisa mungkin aku fokus berkemas. Tidak baik jika kami berlama-lama di tempat ini. Takutnya ada pasien lain yang mau menempati ruangan ini. Namun, satu insiden kecil terjadi. Ada seekor anak cicak tiba-tiba merayap ke tangan ini. Spontan diri ini terpekik dan bergerak tak beraturan. Intinya aku jijik
"Lihat, Kak! Bener, kan apa yang aku bilang. Mas Azka itu selingkuh!" Usai mengatai Azka biadab, aku berusaha membuka mata Kak Dinda yang sebenarnya tidak tertutup."Cukup, Sha! Kalo nggak tau apa-apa, nggak usah sok tau! Dia itu Dina, sepupunya Mas Azka."Aku dan Mas Athaar kembali saling melempar pandang. Sungguh, aku bingung harus bagaimana. Memangnya ada, ya sepupu, tapi dikecup pipinya? Oke kalau cuma usap perut karena menyapa calon bayi masih bisa dipertimbangkan. Akan tetapi kalau sudah berciuman, apakah pantas?"Kenapa? Kaget? Lain kali kalo orang jelasin itu denger, ini main marah dan pergi aja." Azka seolah-olah berusaha membuatku semakin tersudut.Entahlah, rasanya aku tak percaya jika Dina adalah sepupunya Azka. Herannya, kenapa Kak Dinda percaya begitu saja? Sebagai adiknya, aku tak bisa berbuat apa-apa jika Kak Dinda lebih percaya pada suaminya."Ini kenapa ribut-ribut? Bikin pusing aja." Bu Santi muncul dari dalam rumah. Sepertinya dia baru saja bangun tidur."Nggak ada
"Kenapa bicaramu kasar sekali? Dia itu mertua kakakmu. Ndak pantas kamu seperti itu sama dia." Ibu menasihati aku dengan wajah sedih. Inilah yang aku takutkan. Namun, sudah terjadi."Jeng, sudah. Jangan marahi Ayesha. Aku yang salah, makanya dia begitu." Bu Santi sok peduli, padahal aku tahu jika dia senang sekali jika Ibu memarahi aku. Dasar muka dua!"Maaf, ya, Jeng. Mungkin dia capek makanya begitu. Dari tadi terus mikirin Dinda. Katanya Azka—""Itu bukan masalah besar, Jeng. Azka dan Dinda baik-baik aja, kok. Ayesha cuma salah paham." Bu Santi memotong ucapan Ibu dan menjelaskan dengan wajah sok polos."Syukurlah, Jeng. Tolong, Jeng jagain Dinda. Jeng, kan tau sekarang Dinda udah ndak mau pulang ke sini." Ibu berujar dengan nada sedih."Iya, Jeng. Jangan khawatir. Kalo gitu saya pamit dulu, ya. Takutnya nggak dapet ojek kalo kemaleman.""Oh, iya, Jeng. Maaf sekali lagi. Sampe ndak nyuruh masuk ni saya.""Nggak apa-apa. Mari." Bu Santi pun berlalu pergi setelah Ibu mempersilakan wa
Mas Athaar kembali terpancing emosinya dengan ucapan Azka. Aku yang tahu maksud tujuan Azka hanya ingin merusak pertemuan keluarga, berusaha menenangkan Mas Athaar agar bisa mengontrol diri. Bagaimanapun kami saat ini sedang berada di luar rumah. Akan dipandang buruk oleh para tetangga jika kami bertengkar."Mas, mending kita masuk. Nggak ada untungnya kita meladeni dia," kataku sambil menahan tubuh Mas Athaar yang berulang kali hendak mendorong tubuh Azka."Kamu akan menyesal, Sha. Harusnya kamu percaya sama aku. Aku tulus sama kamu Sha." Azka bicara tanpa menggunakan otak. Bisa-bisanya dia mengatakan hal sebodoh itu."Jangan bersikap di luar batas! Sadar diri kalo kamu nggak akan bisa bersama Ayesha. Biasakan gunakan otak supaya apa yang kamu lakukan tidak melampaui batas." Mas Athaar sudah tak bisa lagi membendung kata-kata racun yang sepertinya sudah dia simpan sejak lama."Ohh ... jadi dia sudah tau hubungan kita di masa lalu, ya, Sha? Baguslah. Biar dia tau siapa saingan berat d
Pak Ivan menghentikan langkahku dan Mas Athaar. Pria berjas navy itu kini sudah berada di hadapan kami. "Sepertinya Anda salah paham. Saya tidak ada maksud melecehkan perempuan dan mempermainkan Mbak Ayesha. Saya cuma berpikir logis. Perempuan yang sudah punya suami atau calon suami hidupnya akan terkekang. Susah kalo diajak bisnis. So, apa saya salah jika membatalkan rencana kerja sama dengan Mbak Ayesha dengan alasan seperti yang sudah saya jelaskan tadi?""Setiap manusia berhak punya pendapat dan pemikiran sendiri, tapi cara berpikir Anda terlalu sempit. Berapa banyak perempuan di luar sana yang menjadi wanita karir meski sudah berkeluarga? Seharusnya dari awal, Ayesha nggak perlu menemui Anda. Permisi." Mas Athaar kembali menggandeng tanganku dan kembali mengayunkan kaki.Rasanya sia-sia saja menemui Pak Ivan. Padahal aku sudah senang karena dia adalah pengusaha sukses. Setidaknya butik akan maju jika ada klien seperti dia yang ikut menanam saham. Namun, semua harapan itu pupus. A
"Ngapain kalian di sini?" Kak Dinda bertanya dengan wajah ketus.Aku langsung tercengang melihat sikap Kak Dinda. Harusnya dia bahagia aku dan Ibu ada di sisinya di saat dia berduka. Namun, kenyataanya malah membuat kami merasa sedih. Tak bisakah dia sedikit saja menghargai pengorbanan Ibu?"Nduk, ibu dan adikmu mau lihat bagaimana keadaan kamu. Kami sedih karena kamu kehilangan anak dan ibu kehilangan cu—""Nggak perlu main drama di sini, Bu! Aku nggak apa-apa, kok. Nggak usah berlebihan!" Kak Dinda bicara kasar. Bola matanya sama sekali tak melihat wajah Ibu. Entah kenapa dia bisa sebenci itu pada Ibu.Aku sangat geram dengan sikap Kak Dinda pada Ibu. Namun, demi menjaga mental wanita itu tetap kuat, sebisa mungkin aku menahan gejolak amarah yang menguasai diri.Aku berusaha menenangkan Ibu agar beliau tetap tegar. Meskipun sebenarnya aku sendiri juga sedang menahan amarah yang bercokol di dada. Nurani Kak Dinda seakan-akan mati. Di hatinya kini hanya ada kata benci. Harusnya dia ib
"Istighfar, Bu. Astaghfirullah hala'zim," kataku mencoba membuat Ibu mengingat Allah. Bukankah hati menjadi lebih tenang ketika mengingat Allah?"Sudahlah, Nduk! Pokoknya ibu ndak akan merestui kamu menikah! Ibu kapok!" Ibu masih saja berontak. Padahal aku sudah berupaya menenangkan beliau. Membuat aku gamang akan rencana pernikahanku nanti. Bagaimana mungkin diri ini menikah tanpa restu orang tua?"Bu, saya mohon, Ibu yang tenang, ya. Jangan samakan Ayesha dengan Mbak Dinda, Bu. Mungkin Mbak Dinda tega membuat Ibu begini, tapi saya yakin kalo Ayesha adalah gadis baik. Dia nggak mungkin mendurhakai Ibu setelah menikah." Mas Athaar juga ikut meyakinkan Ibu. Mengingatkan Ibu jika nantinya seorang Ayesha tidak mungkin melupakan beliau setelah menjadi istri orang."Kamu juga! Pulang sana! Jangan mimpi kamu bisa menikahi putriku! Aku ndak mungkin menikahkan Ayesha!" Ibu benar-benar lepas kontrol hingga sanggup melontarkan kata-kata yang sangat menyakitkan hati.Aku hanya bisa menangis. Sun
"Mbak Ayesha, ini masih diagnosis awal. Semoga hasil pemeriksaan saya salah.""Maksudnya, Dok?" Sungguh, aku sedang dilanda cemas luar biasa. Takut sekali mendengar hasil pemeriksaan dokter sampai-sampai ucapan petugas medis itu aku potong.Saat ini aku sedang berkomunikasi dengan seorang dokter psikiater yang sudah beberapa hari ini menangani Ibu. Ya, akhirnya aku membawa Ibu ke psikiater karena terkadang beliau meracau, menangis, panik dan yang paling sering cemas berlebihan. Namun, tanpa sepengetahuan Kak Dinda dan juga para tetangga.Bukan tanpa alasan aku tak memberitahu Kak Dinda. Semua dikarenakan hanya akan sia-sia saja. Bukannya Kak Dinda tak pernah peduli pada Ibu? Dan para tetangga, paling-paling hanya akan menghujat dan mengomentari dengan kalimat yang membuat mentalku semakin jatuh.Sepertinya Ibu berniat sekali ingin menghapus memori ingatannya tentang Kak Dinda. Karena berulang kali beliau berpura-pura lupa pada putri kandungnya itu dan berakhir tangisan pilu. Jika itu