Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Jantungku berdetak kencang ketika mata tanpa sengaja tertuju pada sosok pria yang telah lama tak terlihat. Pria yang sudah susah payah aku lupakan. Namun sial, kini dia berada di hadapan.Rasanya seperti mimpi buruk. Sungguh, di alam mimpi pun aku sebenarnya tak mau bertemu dengannya. Akan tetapi, ini nyata dan tak bisa terelakkan. Semesta, kenapa mesti bertemu dia lagi? Bukankah hari ini aku berhak bahagia?Konyol, tiada guna aku bertanya pada semesta seperti itu. Semua hanya akan semakin membuat hati ini kalut. Ah, sudahlah, lebih baik aku pura-pura tidak kenal saja padanya. Lagipula, saat ini aku harus buru-buru, sebelum akad nikah Kakak dimulai."Ayesha! Kamu Ayesha, kan?" Pria itu bertanya demikian sambil berusaha menyejajarkan dirinya di samping tubuh ini. Ah, ternyata dia masih mengenaliku. Sial!Aku enggan menanggapi pria yang bernama Azka itu. Hanya membuang waktu dan tak ada gunanya juga. Lebih baik aku bergegas pergi agar segera sampai ke tujuan. Andai, sopir taksi tidak bu
"Apa ...?" Aku kontan terbelalak mendengar jawaban Ibu. Setelah itu menggeleng-gelengkan kepala ini sebagai ungkapan ketidakpercayaan jika Kak Dinda setega itu pada Ibu."Sha, kamu yang tenang, ya, Nduk." Ibu mengusap pelan bahuku. Tangan beliau gemetaran saat ini."Bu, kenapa tidak bilang? Kenapa hal seperti ini harus Ayesha ketahui setelah semuanya terlambat?""Nduk, sudah, ya. Kamu harus percaya sama kakakmu."Aku tercenung memikirkan sikap Kak Dinda yang serakah. Tak bisakah dia menggelar resepsi di rumah? Kenapa harus di hotel mewah? Kasihan Ibu, harus memadamkan impian ke Tanah Suci demi gaya hidup sang putri. Aku kecewa!"Nduk, kamu mau ke mana?" Ibu mencekal lenganku ketika aku hendak berdiri. "Jangan bahas hal ini pada Dinda sekarang, ya. Biarkan dia bahagia."What? Membiarkan Kak Dinda bahagia? Menikah dengan Azka mungkin masih bisa aku terima, tapi membuat Ibu menderita, tak akan aku ampuni.Aku tak memedulikan Ibu yang terus berteriak memanggilku. Mulut ini sudah gatal ing
Azka tak meneruskan ucapannya. Hmm ... paling-paling dia sengaja agar aku penasaran dan mau berbicara dengannya. Namun, Ayesha tidak sebodoh itu. Aku memilih melanjutkan langkah kaki."Sha! Sebenarnya hingga detik ini aku masih sayang kamu!" tutur Azka lantang.Astaghfirullah, dasar pria gila. Apa dia tidak sadar posisi dia sekarang siapa? Sungguh, aku tak mau terkena masalah karena ulah Azka. Jangan sampai aku dituduh pelakor. Huh!Sha, aku tau, dalam hati terdalam, kamu juga masih mencintai aku, kan? Jujur, Sha!"Azka semakin menjadi-jadi. Padahal seharusnya dia bisa menahan diri. Apalagi saat ini kami berada di luar rumah. Bagaimana jika ada tetangga yang melihat? Belum lagi jika Kak Dinda muncul. Pria ini harus aku beri pelajaran!"Kamu kalo ngomong mikir, nggak? Apa pantas kamu menanyakan hal seperti itu sama aku? Sadar, sekarang kamu siapa. Masa lalu adalah masa lalu, nggak akan mungkin aku ulang dan kenang! Paham kamu?!" Aku puas sekali setelah mengatakan hal itu. Aku yakin, Az
"Halo ...." Aku kembali menyapa seseorang di seberang sana. Namun, dia tetap tak bersuara.Aneh. Menghubungi, tapi ketika direspon hanya diam. Aku jadi curiga, apa jangan-jangan itu adalah Azka?"Siapa, Nduk?" Ibu sepertinya penasaran sekali. Beliau sampai kembali duduk setelah sebelumnya berbaring."Nggak tau, Bu. Nggak ada suaranya. Udahlah, biarin aja. Ntar kalo memang ada perlu, pasti nelpon lagi," kataku sambil membantu Ibu merebahkan diri di ranjang."Nduk, kamu juga istirahat, ya. Jangan terlalu memikirkan kakakmu. Ibu yakin, dia pasti akan mengembalikan uang tabungan ibu secepatnya," tutur Ibu ketika aku menyelimutinya.Aku hanya mengangguk pelan meskipun hati ini tidak keruan. Ibu sangat menyayangi Kak Dinda, sudah pasti beliau hanya berpikiran positif pada anak tertuanya itu. Namun, aku yakin jika di hati terdalam Ibu menyimpan kepedihan mendalam.***"Pulang belanja, Sha? Biasanya Dinda yang ke pasar, sekarang kamu, ya?" Bude Welas, tetanggaku bertanya demikian saat aku mel
Mata Kak Dinda melotot ke arah Azka yang tadi membentaknya. Sementara aku, sibuk mengatur detak jantung yang tak karuan dan menahan rasa panas yang menjalari seluruh pipi.Rasanya lutut ini pun ikut bergetar. Sungguh, ini sangat menakutkan karena aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus diberikan agar Kak Dinda percaya."Kamu belain dia, Mas?" tanya Kak Dinda pada Azka."Sayang ... kamu tenang, ya. Kamu salah paham." Azka berusaha menenangkan Kak Dinda. Sepertinya dia sangat menyesal karena membentak istrinya itu."Tenang kamu bilang? Kalian berdua membuat aku curiga tau, nggak!?"Ya, Allah, apa itu artinya Kak Dinda sudah tahu hubungan Azka denganku di masa lalu? Apa sejak tadi dia sudah melihat kami beradu kata?"Dinda, Ayesha, kenapa dengan kalian? Kenapa ribut sekali? Apa kalian ndak malu kalo ada tetangga yang dengar?" Ibu muncul dari balik kamarnya. Sepertinya beliau tadi ketiduran dan baru terbangun gara-gara keributan yang kami ciptakan."Bu, Ayesha ini lancang sekali! Dia ma
Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini."Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut."Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu."Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu."Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat.
"Sayang ...." Azka kaget melihat Kak Dinda yang muncul secara tiba-tiba."Jawab aku, Mas! Kenapa kamu bisa ngomong begitu tentang Ayesha? Sejauh apa kamu mengenal dia Mas?" Mata Kak Dinda melotot. Suaranya juga menggema di seluruh ruangan.Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini sekarang. Tingkah Azka dan Kak Dinda benar-benar membuatku muak. Kenapa mesti bermain drama ketika ada yang bertandang? Di mana hendak ditaruh wajah ini, Tuhan?"Azka, Dinda, cukup! Selesaikan masalah kalian berdua di kamar. Ibu dan Ayesha sedang ada tamu. Tolong jangan membuat ibu malu lagi." Ibu mencoba memberi teguran pada dua orang yang sedang berseteru itu."Ayesha juga harus menjelaskan, kenapa Mas Azka bisa berbicara begitu tentang kamu? Apa yang kamu sembunyikan, Sha?!" Bukannya berhenti, Kak Dinda semakin emosional ketika melihat wajahku.Rasanya aku sudah tak tahan lagi dengan situasi ini. Mulut ini sudah gatal ingin mengakui hubunganku di masa lalu dengan Azka. Namun, bagaimana dengan Ibu? Hati