Share

Racauan Azka

Penulis: Nania Orchid
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-02 10:45:08

Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini.

"Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut.

"Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu.

"Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu.

"Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.

Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat. Namun, dia buru-buru mengalihkan pandangan. Duh ... kenapa kesannya seperti dia tak suka padaku, ya.

Penyesalan pun hadir menjalari kepala. Aku merasa sangat bodoh kenapa harus melihatnya tadi. Padahal, jelas-jelas wajah dia menyebalkan, eh masih saja aku mau memandang. Namun, bagaimana menghilangkan rasa penasaran ini jika tak melihat wajah pria bernama Athaar itu?

"Bu, siapa mereka? Apa keperluan mereka bertamu rame-rame?" Bukannya menyalami para tamu, Azka malah bertanya seperti itu dan  kembali menjadi pusat perhatian.

"Azka, kamu istirahat aja dulu, ya. Dinda pasti sudah nungguin kamu dari tadi." Ibu terkesan tidak suka dengan pertanyaan Azka. Apalagi, kini Azka terlihat semakin sempoyongan. Pasti tamu-tamu Ibu sudah berpikir macam-macam.

Sumpah, rasanya malu sekali saat ini. Azka benar-benar sumber rusuh di keluarga kami. Entah kapan aku bisa bebas dari manusia menyebalkan itu. Semakin sering aku bertemu dia, rasanya semakin sulit untukku melangkah maju.

"Bu, jawab dulu. Aku ...." Tiba-tiba Azka terhuyung dan jatuh.

"Ya, Allah, Azka!" teriak Ibu panik. Sementara aku hanya diam saja. Memangnya aku harus bagaimana?

"Nah, keknya dia mabuk. Cepat bawa ke kamarnya saja, Nah," saran Bu Wening pada Ibu. Huh, Azka benar-benar membuat malu!

Dua orang anak Bu Wening sigap berdiri hendak memberikan pertolongan. Mereka sepertinya berniat membantu Azka ke kamarnya. Namun, Ibu malah meminta dua pria itu duduk dan menyuruh aku saja yang membantu Azka. Sial.

Mau tak mau akhirnya aku yang membantu Azka menuju kamarnya. Terpaksa aku biarkan tangan Azka merangkul pundak ini. Oh, Allah jangan biarkan jantung ini berisik. Azka bisa besar kepala jika tahu dada ini masih berdebar-debar jika di dekatnya.

Entah sejak kapan Azka suka alkohol. Setahuku, dia tak mau berurusan dengan minuman keras itu. Apa mungkin, dia begini lantaran patah hati? Ah, itu bukan urusanku.

"Maaf, semuanya. Saya permisi sebentar, ya," ucapku sambil tersenyum. Setelah itu, aku memapah Azka menuju kamarnya.

Sebelum aku melangkah pergi, mata ini sempat melihat Bu Wening dan suaminya membalas senyumku. Begitu juga dengan pria tampan yang aku temui ketika di pasar tadi. Namun, Athaar tak merespon sama sekali. Fix, dia benar-benar sombong.

***

"Azka, bangun! Kenapa, sih mesti mabuk? Nyusahin aja!" sungutku pada Azka setelah kami sampai di ruang tengah. Tentunya setelah memastikan tamu-tamu itu tak mendengar ucapanku.

"Aku sayang kamu, Ayesha. Aku itu cintanya sama kamu bukan sama Dinda." Azka meracau padahal matanya terpejam. Gila! Bagaimana kalau ada yang mendengar?

Sigap aku membekap mulut Azka. Aku benar-benar takut Kak Dinda atau siapa pun mendengar ucapan pria itu. Oh, Alah, bagaimana caranya membuat Azka segera sadar agar tidak meracau lagi?

Setelah berpikir sejenak, aku mencoba mengguncang-guncang bahu Azka agar pria itu segera sadar dari igauan. Akan tetapi, dia masih menutup rapat matanya dan tak merespon aku. Duh, bisa gawat kalau terus begini.

"Bangun, Azka! Jangan bikin aku susah!"

Aku putus asa dan tak tahu lagi bagaimana membuat Azka sadar. Apa aku biarkan saja dia di sini? Pasti saat ini Ibu beserta tamu-tamu itu sudah menungguku. Namun, bagaimana jika Azka meracau yang tidak-tidak lagi?

Setelah mempertimbangkan matang-matang, akhirnya aku memilih meninggalkan Azka di ruang tengah dengan posisi bersandar di dinding. Malas sekali membenahi posisi tubuhnya itu.Takut tiba-tiba dia bertindak macam-macam. Maklumlah orang mabuk bisa saja berbuat di luar akal sehat, kan?

"Sha, kamu mau ke mana?" Azka tiba-tiba berkata ketika aku baru saja mengayunkan kaki.

Aku kaget dan langsung menghentikan langkah. Sial, jadi dari tadi dia hanya berpura-pura mabuk? Tahu begini, tak sudi aku membantunya. Dasar pembuat sandiwara!

"Jantungmu berisik jadi aku sadar dari mabuk." Azka kembali berkata-kata. Dia seperti tahu aku menuduhnya pura-pura mabuk.

"Kamu jangan salah paham. Jangan berpikir lebih yang akhirnya hanya akan membuatmu sakit. Kenyataanya, kamu benar-benar sudah tak ada di sini," kataku sembari menunjuk dadaku sendiri. "Itu hanya rasa takut, bukan getaran cinta yang seperti kamu pikirkan." Aku kembali mengayunkan kaki dan benar-benar meninggalkan Azka seorang diri. Namun, suara seseorang terpaksa menghentikan langkah ini kembali.

"Lho, ibu pikir si Azka udah kamu bawa ke kamarnya, eh ndak taunya masih di sini."

"I-iya, Bu. Mas Azka tadi sudah agak baikan, jadi Ayesha suruh ke kamarnya sendiri," kataku mencoba menjelaskan meskipun sedikit terbata-bata.

"Oh, ya sudah. Syukurlah kalo Azka sudah baikan. Ayo kita ke depan lagi. Ibu ndak enak ninggalin mereka lama-lama. Semoga saja mereka ndak berubah pikiran." Ibu berucap sambil menghela napasnya. Aku menerka, jika Ibu sangat kecewa dengan kelakuan Azka tadi. Namun, tidak bisa mengekspresikannya lewat kata-kata.

"Baguslah kalo mereka sampe berubah pikiran. Memangnya Ibu yakin dia bisa lebih baik dari seorang pemabuk?" Azka langsung berdiri dan berkata demikian.

Aku dan Ibu seketika saling pandang. Ibu pasti tak menyangka jika Azka berani melontarkan pertanyaan seperti itu padanya. Sebagai seorang menantu, harusnya Azka bisa mengontrol ucapan di hadapan mertua. Namun sayang, dia malah menunjukkan belang ketimbang kesopanan.

"Bu, sudah, jangan diambil pusing. Yuk, kita ke depan. Pasti mereka gelisah nungguin kita," kataku sambil menggandeng tangan Ibu.

"Ayesha tidak mungkin terima dijodohkan, Bu. Dia sudah punya pilihan sendiri." Azka berkata lagi dan kontan membuat aku heran. Dari mana dia tahu aku akan dijodohkan?

Ibu tercengang dan mengusap dadanya. Ucapan Azka pasti membuat Ibu kaget sekaligus bertanya-tanya dari mana Azka tahu tentangku. Ibu, kan tahunya aku dan Azka baru saling kenal.

"Ayesha tidak mungkin bisa melupakan masa lalunya, Bu."

"Maksudmu ngomong gitu apa?!"

Tanpa aba-aba, mata kami semua tertuju pada sosok yang baru saja berbicara. Oh, Allah kenapa harus seperti ini?

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Semua yang Manis

    Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Diduakan Ketika Berjauhan

    Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Bercinta Penuh Gelora (area 21++)

    "Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Terbuai Cinta dalam Curiga

    Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Rasa Curiga di Hari Bahagia

    Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Ancaman dari Mas Athaar

    Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Rindu yang Hampa

    Menikah kemudian membina rumah tangga adalah impian setiap orang termasuk aku yang kini sudah layak berada di fase itu. Akan tetapi, halangan dan cobaan datang silih berganti untukku mencapai tujuan.Entahlah, mungkin memang belum saatnya Allah meridhoi aku berumah tangga. Padahal akad sudah hampir terucap. Bagaimanapun jika Allah tak berkehendak, semua tak mungkin terjadi.Sudah hampir seminggu Ibu pulang dari rumah sakit. Kondisi beliau juga semakin membaik. Alhamdulillah, Ibu tak mempermasalahkan dan menyalahkan diri ini atas kejadian yang menimpanya. Namun, juga tak sepenuhnya rela aku batal nikah.Persiapan pernikahan yang sudah sangat matang nyatanya tak menjamin sepasang kekasih akan bersanding di pelaminan. Nyatanya, kini aku harus mengikhlaskan batal nikah karena berbagai masalah yang datang.Pihak keluarga Mas Athaar nyatanya masih keberatan menerimaku jadi mantu yang katanya sudah membuat keluarga besar mereka malu. Terlalu berlebihan, nggak, sih? Kan, aku tidak melakukan h

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Siapa yang Egois?

    "Stop! Diam!" teriakku sembari membantu Mas Athaar berdiri. Pria yang sebentar lagi menjadi suamiku itu tadi jatuh terjengkang karena tiba-tiba Azka mendorong dirinya.Azka seperti lupa sedang berada di penjara. Seharusnya dia bisa menahan dan menempatkan dirinya. Jika sudah seperti ini, bisa-bisa hukuman yang dia terima jadi bertambah berat.Melihat keributan yang terjadi, seorang petugas sipir langsung berusaha mengamankan Azka. Pria yang selalu memegang tongkat itu sigap memborgol Azka dan mengatakan jangan membuat keributan di tahanan. Namun, Azka malah berontak dan membuat petugas sipir itu sedikit kewalahan."Dasar Pecundang!" bentakku pada Azka. "Aku datang ke sini rupanya untuk melihat seperti ini? Mulai hari ini, aku nggak akan mau jenguk kamu ataupun peduli tentang diri kamu. Nikmatilah hari-hari kamu di sini. Masalah Aira, aku yang akan membesarkan dia." Aku berujar dengan penuh emosi. "Ayo, Mas, kita pergi dari sini. Buang-buang waktu aja kita di sini," ajakku pada Mas Ath

  • Dari Mantan Jadi Ipar   Pertengkaran di Rutan

    "Sha, alhamdulilah, akhirnya kamu sadar." Saat mata ini terbuka, Mas Athaar yang pertama kali terlihat. Wajahnya terlihat cemas dan ada jejak basah yang masih jelas di sana."Mas," sapaku padanya. "Aku di mana sekarang, Mas? Kamu lihat Aira nggak" tanyaku setelahnya."Kamu dan Aira sekarang ada di tempat yang aman, Sha." Alhamdulillah, aku bisa nyelametin kalian dari Mbak Dinda."Aku merasa agak ganjal dengan ucapan Mas Athaar. Bagaimana ceritanya dia yang menyelamatkan aku dan Aira? Bukankah di saat kejadian, pria itu tak ada di tempat."Kamu nyelametin aku dan Aira, Mas? Tapi, kan kamu—""Tadi aku putar balik ke rumah kamu, Sha. Karena aku pikir, secepatnya kita harus bicara. Makanya aku mutusin kembali ke sini. Pas aku baru nyampe halaman, aku denger suara Aira nangis dan teriakan Mbak Dinda, aku buru-buru masuk dan ternyata ada kejadian seperti ini," jelas Mas Athaar dengan penuh keseriusan.Aku bahagia Mas Athaar yang menyelamatkan aku dan Aira. Namun, juga cemas, karena takut Dok

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status