Share

Racauan Azka

Mataku membulat sempurna melihat seseorang yang tadi datang secara tiba-tiba. Di dalam hati rasanya kesal. Namun, aku juga tak mungkin mengusirnya. Bagaimanapun dia anggota keluarga kami saat ini.

"Azka, kamu dari mana? Kenapa seperti habis ...." Ibu tak melanjutkan ucapannya. Saat ini pasti beliau malu sekali lantaran penampilan Azka sangat semrawut.

"Ini siapa, Nah?" tanya Bu Wening, temannya Ibu.

"Em, dia ... mantuku, Ning. Suaminya Dinda," jawab Ibu sungkan. Jelas Ibu segan, ya dikarenakan penampilan Azka yang berantakan. Bisa jadi dia habis mabuk. Tebakanku, sih begitu.

"Oh, iya-iya. Maaf, yo, waktu Dinda nikah, aku ndak bisa dateng. Kebetulan, lagi di Surabaya. Maklumlah, si Athaar kalau ndak ditemenin ibuknya ndak semangat dia kerja." Bu Wening melirik pria sombong di sampingnya. Oh ... jadi nama dia Athaar. Hmm ... bagus juga.

Aku tak dapat menghentikan gerakan mata untuk tak melihat ke arah Athaar. Sialnya, dia juga melihat ke arahku. Tatapan kami bertemu untuk beberapa saat. Namun, dia buru-buru mengalihkan pandangan. Duh ... kenapa kesannya seperti dia tak suka padaku, ya.

Penyesalan pun hadir menjalari kepala. Aku merasa sangat bodoh kenapa harus melihatnya tadi. Padahal, jelas-jelas wajah dia menyebalkan, eh masih saja aku mau memandang. Namun, bagaimana menghilangkan rasa penasaran ini jika tak melihat wajah pria bernama Athaar itu?

"Bu, siapa mereka? Apa keperluan mereka bertamu rame-rame?" Bukannya menyalami para tamu, Azka malah bertanya seperti itu dan  kembali menjadi pusat perhatian.

"Azka, kamu istirahat aja dulu, ya. Dinda pasti sudah nungguin kamu dari tadi." Ibu terkesan tidak suka dengan pertanyaan Azka. Apalagi, kini Azka terlihat semakin sempoyongan. Pasti tamu-tamu Ibu sudah berpikir macam-macam.

Sumpah, rasanya malu sekali saat ini. Azka benar-benar sumber rusuh di keluarga kami. Entah kapan aku bisa bebas dari manusia menyebalkan itu. Semakin sering aku bertemu dia, rasanya semakin sulit untukku melangkah maju.

"Bu, jawab dulu. Aku ...." Tiba-tiba Azka terhuyung dan jatuh.

"Ya, Allah, Azka!" teriak Ibu panik. Sementara aku hanya diam saja. Memangnya aku harus bagaimana?

"Nah, keknya dia mabuk. Cepat bawa ke kamarnya saja, Nah," saran Bu Wening pada Ibu. Huh, Azka benar-benar membuat malu!

Dua orang anak Bu Wening sigap berdiri hendak memberikan pertolongan. Mereka sepertinya berniat membantu Azka ke kamarnya. Namun, Ibu malah meminta dua pria itu duduk dan menyuruh aku saja yang membantu Azka. Sial.

Mau tak mau akhirnya aku yang membantu Azka menuju kamarnya. Terpaksa aku biarkan tangan Azka merangkul pundak ini. Oh, Allah jangan biarkan jantung ini berisik. Azka bisa besar kepala jika tahu dada ini masih berdebar-debar jika di dekatnya.

Entah sejak kapan Azka suka alkohol. Setahuku, dia tak mau berurusan dengan minuman keras itu. Apa mungkin, dia begini lantaran patah hati? Ah, itu bukan urusanku.

"Maaf, semuanya. Saya permisi sebentar, ya," ucapku sambil tersenyum. Setelah itu, aku memapah Azka menuju kamarnya.

Sebelum aku melangkah pergi, mata ini sempat melihat Bu Wening dan suaminya membalas senyumku. Begitu juga dengan pria tampan yang aku temui ketika di pasar tadi. Namun, Athaar tak merespon sama sekali. Fix, dia benar-benar sombong.

***

"Azka, bangun! Kenapa, sih mesti mabuk? Nyusahin aja!" sungutku pada Azka setelah kami sampai di ruang tengah. Tentunya setelah memastikan tamu-tamu itu tak mendengar ucapanku.

"Aku sayang kamu, Ayesha. Aku itu cintanya sama kamu bukan sama Dinda." Azka meracau padahal matanya terpejam. Gila! Bagaimana kalau ada yang mendengar?

Sigap aku membekap mulut Azka. Aku benar-benar takut Kak Dinda atau siapa pun mendengar ucapan pria itu. Oh, Alah, bagaimana caranya membuat Azka segera sadar agar tidak meracau lagi?

Setelah berpikir sejenak, aku mencoba mengguncang-guncang bahu Azka agar pria itu segera sadar dari igauan. Akan tetapi, dia masih menutup rapat matanya dan tak merespon aku. Duh, bisa gawat kalau terus begini.

"Bangun, Azka! Jangan bikin aku susah!"

Aku putus asa dan tak tahu lagi bagaimana membuat Azka sadar. Apa aku biarkan saja dia di sini? Pasti saat ini Ibu beserta tamu-tamu itu sudah menungguku. Namun, bagaimana jika Azka meracau yang tidak-tidak lagi?

Setelah mempertimbangkan matang-matang, akhirnya aku memilih meninggalkan Azka di ruang tengah dengan posisi bersandar di dinding. Malas sekali membenahi posisi tubuhnya itu.Takut tiba-tiba dia bertindak macam-macam. Maklumlah orang mabuk bisa saja berbuat di luar akal sehat, kan?

"Sha, kamu mau ke mana?" Azka tiba-tiba berkata ketika aku baru saja mengayunkan kaki.

Aku kaget dan langsung menghentikan langkah. Sial, jadi dari tadi dia hanya berpura-pura mabuk? Tahu begini, tak sudi aku membantunya. Dasar pembuat sandiwara!

"Jantungmu berisik jadi aku sadar dari mabuk." Azka kembali berkata-kata. Dia seperti tahu aku menuduhnya pura-pura mabuk.

"Kamu jangan salah paham. Jangan berpikir lebih yang akhirnya hanya akan membuatmu sakit. Kenyataanya, kamu benar-benar sudah tak ada di sini," kataku sembari menunjuk dadaku sendiri. "Itu hanya rasa takut, bukan getaran cinta yang seperti kamu pikirkan." Aku kembali mengayunkan kaki dan benar-benar meninggalkan Azka seorang diri. Namun, suara seseorang terpaksa menghentikan langkah ini kembali.

"Lho, ibu pikir si Azka udah kamu bawa ke kamarnya, eh ndak taunya masih di sini."

"I-iya, Bu. Mas Azka tadi sudah agak baikan, jadi Ayesha suruh ke kamarnya sendiri," kataku mencoba menjelaskan meskipun sedikit terbata-bata.

"Oh, ya sudah. Syukurlah kalo Azka sudah baikan. Ayo kita ke depan lagi. Ibu ndak enak ninggalin mereka lama-lama. Semoga saja mereka ndak berubah pikiran." Ibu berucap sambil menghela napasnya. Aku menerka, jika Ibu sangat kecewa dengan kelakuan Azka tadi. Namun, tidak bisa mengekspresikannya lewat kata-kata.

"Baguslah kalo mereka sampe berubah pikiran. Memangnya Ibu yakin dia bisa lebih baik dari seorang pemabuk?" Azka langsung berdiri dan berkata demikian.

Aku dan Ibu seketika saling pandang. Ibu pasti tak menyangka jika Azka berani melontarkan pertanyaan seperti itu padanya. Sebagai seorang menantu, harusnya Azka bisa mengontrol ucapan di hadapan mertua. Namun sayang, dia malah menunjukkan belang ketimbang kesopanan.

"Bu, sudah, jangan diambil pusing. Yuk, kita ke depan. Pasti mereka gelisah nungguin kita," kataku sambil menggandeng tangan Ibu.

"Ayesha tidak mungkin terima dijodohkan, Bu. Dia sudah punya pilihan sendiri." Azka berkata lagi dan kontan membuat aku heran. Dari mana dia tahu aku akan dijodohkan?

Ibu tercengang dan mengusap dadanya. Ucapan Azka pasti membuat Ibu kaget sekaligus bertanya-tanya dari mana Azka tahu tentangku. Ibu, kan tahunya aku dan Azka baru saling kenal.

"Ayesha tidak mungkin bisa melupakan masa lalunya, Bu."

"Maksudmu ngomong gitu apa?!"

Tanpa aba-aba, mata kami semua tertuju pada sosok yang baru saja berbicara. Oh, Allah kenapa harus seperti ini?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status