Share

Bertengkar Lagi

"Sayang ...." Azka kaget melihat Kak Dinda yang muncul secara tiba-tiba.

"Jawab aku, Mas! Kenapa kamu bisa ngomong begitu tentang Ayesha? Sejauh apa kamu mengenal dia Mas?" Mata Kak Dinda melotot. Suaranya juga menggema di seluruh ruangan.

Ingin rasanya aku menghilang dari tempat ini sekarang. Tingkah Azka dan Kak Dinda benar-benar membuatku muak. Kenapa mesti bermain drama ketika ada yang bertandang? Di mana hendak ditaruh wajah ini, Tuhan?

"Azka, Dinda, cukup! Selesaikan masalah kalian berdua di kamar. Ibu dan Ayesha sedang ada tamu. Tolong jangan membuat ibu malu lagi." Ibu mencoba memberi teguran pada dua orang yang sedang berseteru itu.

"Ayesha juga harus menjelaskan, kenapa Mas Azka bisa berbicara begitu tentang kamu? Apa yang kamu sembunyikan, Sha?!" Bukannya berhenti, Kak Dinda semakin emosional ketika melihat wajahku.

Rasanya aku sudah tak tahan lagi dengan situasi ini. Mulut ini sudah gatal ingin mengakui hubunganku di masa lalu dengan Azka. Namun, bagaimana dengan Ibu? Hati beliau bisa patah. Lagipula, kondisinya tidak tepat untuk menceritakan hal itu.

"Kak, please, hargai tamu. Ibu bisa malu, Kak. Apa yang Mas Azka ucapkan mungkin hanya tanggapan dia tentang aku. Kakak jangan menyimpulkan sendiri. Apalagi sampai berprasangka buruk sama aku."

"Benar, Din. Sudahlah, lebih baik bawa Azka ke kamar. Dia itu mabuk makanya ngelantur." Ibu ikut menimpali.

"Jadi kamu mabuk? Dasar!" Kak Dinda berkata demikian sambil menatap tajam Azka. Setelah itu dia melangkah pergi sambil menghentakkan kaki.

Melihat hal itu, Azka langsung berlari mengejar Kak Dinda. Sementara aku dan Ibu saling pandang kemudian menghela napas. Kasihan Ibu, beliau pasti malu menemui para tamunya setelah ini.

***

"Sabar, Nah. Namanya ujian pasti berbeda-beda bentuknya. Mungkin, lewat Dinda, kamu bisa meraih luasnya kasih sayang Allah. Kamu jangan sungkan begitu. Kami ndak apa-apa, kok," kata Bu Wening ketika Ibu menjelaskan tentang keributan yang barusan terjadi.

Meskipun Bu Wening bicara demikian, tetap hati ini tidak keruan. Mungkin Bu Wening bisa memaklumi, tapi bagaimana dengan suami dan kedua putranya? Hati Ibu juga sepertinya masih gusar. Beliau pasti takut Bu Wening membatalkan rencana perjodohan yang telah menjadi kesepakatan.

"Athaar, kenapa wajahmu begitu?" Bu Wening bertanya pada Athaar yang sejak tadi memasang wajah tegang.

"Tidak apa-apa, Buk," jawab Athaar singkat.

"Ayesha, ini namanya Athaar, anak ibuk yang bungsu dan ini Agung, masnya Athaar." Bu Wening memulai perkenalkan kami. Seharusnya ini terjadi sejak tadi. Namun, keinginan terkadang tak sejalan dengan yang terjadi.

Athaar dan Mas Agung mengangguk bersamaan sambil tersenyum tipis. Aku pun melakukan hal sama sebagai respon. Jujur, hingga detik ini aku tak tahu siapa yang hendak dijodohkan denganku. Akan tetapi, jika boleh memilih, lebih baik Mas Agung saja yang jelas-jelas tidak menyebalkan.

"Sha, kamu pasti bertanya-tanya, siapa pria yang mau ibu kenalkan sama kamu." Kini, Ibu yang berkata. Wanita yang melahirkanku itu terlihat semringah sekali. Sementara aku sibuk mengatur detak jantung yang tak beraturan. "Sha, kami sebagai orang tua, berencana untuk menjodohkan kamu sama Athaar."

Aku terkesiap mendengar ucapan Ibu. What? Athaar? Kenapa harus dia? Bagaimana aku memulai pembicaraan dengan pria yang bahkan berjabat tangan denganku saja enggan? 

"Nduk, kenapa wajahmu tegang begitu? Kamu jangan khawatir, di sini kami tidak memaksa kalian, kok. Kami sebagai orang tua hanya berusaha mengenalkan. Masalah cocok atau tidak itu urusan nanti." Pak Handoko, suami Bu Wening berkata demikian. Pria yang tampak berwibawa meski tak lagi muda itu tersenyum ramah padaku.

"Sa-saya cuma kaget, Pak. Maaf," kataku sembari membungkukkan badan.

"Jangan minta maaf, Nduk. Lha wong kamu ndak ada buat salah. Si Athaar memang begitu kalo bertemu perempuan, dia ndak mau jabat tangan. Katanya segan." Pak Handoko seperti tahu apa yang aku pikirkan.

"Thaar, kenapa? Masa ketemu calon istri, kamu malah begini? Sana, ngobrol sama Ayesha." Mas Agung menggoda Athaar dan seketika membuat Athaar tersenyum tipis.

Kalau dilihat-lihat, Athaar juga tak kalah tampan dari Mas Agung. Bahkan senyumnya juga lebih manis dari kakaknya itu. Namun, tetap saja dia menyebalkan.

Setelah acara perkenalan, kami pun larut dalam obrolan panjang tentang hal apa saja. Pak Handoko ternyata orangnya sangat menyenangkan. Dari pertemuan pertama ini aku bisa menyimpulkan, bahwa tak selamanya orang yang terlihat pendiam itu tidak enak diajak ngobrol. Ya, tadi aku sempat mengira ayahnya Athaar itu cuek karena tak banyak bicara. Eh, ternyata beliau sangat ramah.

Usai makan siang dan salat Zuhur berjamaah, keluarga Pak Handoko pun pamit pulang. Sebelum pulang, Athaar sempat menyapaku untuk berpamitan. Pria itu juga mengatakan ingin bertemu denganku di lain waktu. Entah kenapa, aku merasa senang mendengarnya. Apa itu artinya aku mulai membuka hati untuk Athaar? Lalu, bagaimana dengan perasaan Athaar, ya?

***

Malam ini cuacanya sangat panas. Padahal kipas angin hidup nonstop di rumah ini. Mungkin karena efek penghuni rumah sedang bermusuhan. Makanya suhu yang biasanya dingin kini berubah gerah.

Ya, lagi-lagi Azka dan Kak Dinda membuat ulah. Setelah keluarga Athaar pulang, Kak Dinda malah kembali membahas masalah tadi. Parahnya, Kak Dinda menuduhku main hati dengan Azka. Busyet!

"Jujur ajalah kalo kamu itu sebenarnya suka sama Mas Azka! Makanya sekarang kamu betah di rumah dan selalu buat masalah sama aku!"

"Kalo ngomong dipikir dulu! Kakak pernah liat nggak aku godain Mas Azka?! Kalo aku mau sama dia, aku gak cuma buat masalah sama Kakak, tapi sudah aku bawa kabur dia ke Surabaya!"

Aku benar-benar tak bisa lagi membendung amarah ini. Aku sudah bosan dengan semua sikap Kak Dinda yang egois dan seenaknya sendiri. Apa dia pikir, hanya dia saja yang bisa marah-marah?

"Mana ada maling ngaku. Aku nggak nyangka kamu serendah ini, Sha!"

"Apa?! Aku rendahan? Rendah mana dari orang yang tega memakai tabungan haji orang tuanya demi menggelar pesta? Jawab!"

"Dinda, Ayesha, Cukup! Kenapa kalian selalu ribut? Ibu harus bagaimana agar kalian akur? Ibu malu sama tetangga." Ibu berkata sambil bercucuran air mata. Kedua tangan Ibu sampai gemetaran menahan sesak di dadanya.

"Bu, Ayesha muak sama sikap Kak Dinda. Ayesha ini adiknya, kenapa dia malah tega menuduh Ayesha seperti itu." Aku membela diri. Sungguh, kali ini aku tidak mau mengalah lagi.

"Azka, kenapa kamu diam saja? Apa kamu suka melihat dua beradik ini terus berseteru gara-gara kamu?!" Ibu memarahi Azka. Jujur, aku tak menduga Ibu akan bersikap demikian. Mungkin karena semua rasa kesalnya sudah tak terbendung lagi.

"Bu, kenapa Ibu malah memarahi Mas Azka? Seharusnya Ayesha ini yang Ibu marahi. Dia itu lanca—"

"Diam!" Azka tiba-tiba bersuara dan membuat Kak Dinda tak bisa melanjutkan ucapannya.

"Ayesha nggak salah. Dia sama sekali tidak salah. Aku yang salah. Tak seharusnya aku berkata tentang dia seperti tadi. Tapi di sini aku mau jujur pada kalian semua. Sebenarnya aku ...." Ucapan Azka menggantung. Pria itu kini berjalan mendekat ke arahku. Sebenarnya dia mau apa?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status