Mata Kak Dinda melotot ke arah Azka yang tadi membentaknya. Sementara aku, sibuk mengatur detak jantung yang tak karuan dan menahan rasa panas yang menjalari seluruh pipi.
Rasanya lutut ini pun ikut bergetar. Sungguh, ini sangat menakutkan karena aku tidak tahu alasan apa lagi yang harus diberikan agar Kak Dinda percaya."Kamu belain dia, Mas?" tanya Kak Dinda pada Azka."Sayang ... kamu tenang, ya. Kamu salah paham." Azka berusaha menenangkan Kak Dinda. Sepertinya dia sangat menyesal karena membentak istrinya itu."Tenang kamu bilang? Kalian berdua membuat aku curiga tau, nggak!?"Ya, Allah, apa itu artinya Kak Dinda sudah tahu hubungan Azka denganku di masa lalu? Apa sejak tadi dia sudah melihat kami beradu kata?"Dinda, Ayesha, kenapa dengan kalian? Kenapa ribut sekali? Apa kalian ndak malu kalo ada tetangga yang dengar?" Ibu muncul dari balik kamarnya. Sepertinya beliau tadi ketiduran dan baru terbangun gara-gara keributan yang kami ciptakan."Bu, Ayesha ini lancang sekali! Dia mau nampar Mas Azka lagi. Entah apa masalahnya dengan suamiku.""Sayang, kamu tahan emosi, ya. Tadi Ayesha cuma—""Cuma apa?! Kamu mau membela dia lagi?" Kak Dinda memotong ucapan Azka yang mencoba menjelaskan."Kak, sudah, ya. Aku dan Mas Azka tidak ada masalah apa-apa, kok. Tadi itu dia lihat aku nangis, dan cuma nyoba nenangin aja. Tapi aku malah emosi sama dia yang sok ngajarin aku. Makanya aku mau nampar dia."Aku memberikan alasan seperti itu pada Kak Dinda. Padahal sebelumnya otak ini benar-benar tak bisa berpikir. Syukur, akhirnya ide itu muncul begitu saja. Entahlah jika Kak Dinda tak percaya, yang penting aku sudah berusaha.Kak Dinda diam. Akan tetapi, sorot matanya masih diselimuti kemarahan. Apalagi ketika melihat suaminya, dia seperti menaruh curiga. Bagaimanapun insting seorang istri itu kuat. Dia pasti bisa merasakan ada yang tidak beres.Ibu mengelus lembut rambut Kak Dinda. Beliau pasti menginginkan agar Kak Dinda berhenti marah. Sebagai orang tua, Ibu pasti tidak mau anak-anaknya sering ribut. Apalagi, kami jarang bersama. Akan dipandang buruk jika kami kerap bercekcok."Benar itu, Mas? Nggak ada yang kalian tutupi, kan?" Kak Dinda mulai luluh. Syukurlah jika dia tidak emosi lagi.Azka mengangguk pelan. Pria itu benar-benar ancaman buatku. Bagaimana tidak? Dengan caranya seperti itu, bisa saja membuat Kak Dinda ragu. Kalau tidak memikirkan hati Kak Dinda, mungkin aku sudah berterus terang jika Azka adalah mantan yang sampai kini masih mengharapkanku."Ayesha, kamu bilang tadi kamu nangis, kamu ada masalah apa, Nduk? Kalo ada masalah cerita sama Ibu. Jangan kamu pendam sendiri. Masalah kalo kamu pendam, nanti kamu sendiri yang susah. Kamu jadi ndak bisa mengontrol diri, kamu jadi mudah emosi dan akhirnya orang di sekitar kamu jadi sasaran amarahmu. Niat Azka, kan baik, kamu jangan gitu lagi, ya. Ibu sudah tua, ndak mau kalian ribut terus."Ibu menasihatiku. Dalam hati terdalam, rasanya ingin protes karena yang terjadi tidak seperti itu. Namun, aku pasrah. Bagaimanapun aku harus bersyukur, karena Ibu tidak mendengar ucapan Azka tadi dan Kak Dinda percaya dengan alasan yang aku beri."Ya, udah. Aku minta maaf sama Mas Azka dan Kak Dinda. Mungkin, memang sebaiknya aku harus segera pulang ke Surabaya biar tidak ada salah paham lagi.""Ya, memang sebaiknya begitu," kata Kak Dinda ketus."Dinda, kenapa kamu ngomong begitu?" Ibu menatap tajam wajah Kak Dinda. "Nduk, ndak ada yang salah kalo kamu di sini. Ini rumah kita bersama. Jangan ngomong gitu, ya." Ibu berkata demikian padaku. Sementara aku hanya mengangguk sambil tersenyum pada Ibu. Sepertinya beliau memang tidak mau aku buru-buru kembali ke Surabaya. Namun, diri ini benar-benar sudah tidak betah di sini.Kak Dinda sepertinya risih dengan sikap Ibu padaku. Tanpa berucap apa-apa lagi, dia meninggalkan kami dan langsung menuju kamarnya. Sedangkan Azka malah diam tanpa tindakan. Setelah disuruh Ibu menyusul Kak Dinda, barulah dia pergi. Hmm ... dasar pria dungu.***"Nduk, kamu belum tidur? Ibu boleh masuk?" Ibu bertanya demikian. Kini beliau sudah berada di ambang pintu kamarku. Sedangkan aku duduk di sisi ranjang."Bolehlah, Bu. Nggak perlu izin gitulah sama Ayesha."Ibu tersenyum, setelah itu duduk di sebelah kiriku. "Nduk, kamu ndak mau cerita sama Ibu? Ibu jadi kepikiran dari tadi. Ibu sedih, kenapa kamu ndak mau ajak ibu ngobrolin masalah kamu.""Bu, jangan ngomong gitu, ya. Ayesha cuma nggak mau Ibu kepikiran. Masalah kerja aja, kok dan alhamdulilah sekarang udah kelar," kataku sambil menggenggam tangan Ibu."Alhamdulillah kalo udah kelar. Anak ibu memang hebat. Ibu doain, usahamu lancar dan kamu sukses terus, ya.""Aamiin ....""Tapi, Nduk. Ibu masih belum tenang kalo kamu belum menikah. Ibu sudah tua dan ndak tau kapan ibu diambil Yang Kuasa. Ibu mau kamu setuju, ya dikenalkan sama anaknya temen ibu. Ya, siapa tahu kalian cocok."Lagi, aku tak kuasa menahan kesedihan jika Ibu berkata demikian. Sepertinya beliau benar-benar mencemaskan aku yang masih sendiri di usia segini. Apa iya aku harus setuju?***Mentari terik sekali hari ini. Tumben memang di Kabupaten Ponorogo cuacanya panas seperti ini. Ya, aku asli dari Kota Reog. Ngomong-ngomong tentang reog, aku jadi kangen Bapak. Dulu beliau sering mengajak kami sekeluarga menonton pertunjukan salah satu kesenian tradisional itu di alun-alun.Sejak tadi aku berada di depan pasar menunggu angkot yang menuju arah rumah. Ya, aku baru saja usai belanja dan mau pulang. Sulit memang jika tidak punya kendaraan sendiri. Kalau mau ke mana-mana jadi repot. Namun, sudahlah, lebih baik bersyukur daripada mengeluh.Saat aku sedang sibuk melihat ke kanan dan kiri, seorang pria tiba-tiba menubruk barang belanjaan yang sejak tadi aku tenteng di tangan ini. Akibatnya semua jatuh berserakan dan beberapa buah yang aku beli terpental jauh.Jelas aku kesal. Akan tetapi, tak langsung meneriaki orang itu. Ya, karena dia langsung meminta maaf dan dengan cekatan memunguti belanjaan yang berserakan. Padahal dia berpenampilan parlente. Biasanya, kan orang berpenampilan seperti itu jarang yang mau meminta maaf dan langsung peduli jika melakukan kesalahan. Hmm ... jadi penasaran dia siapa."Mbak, maaf banget, ya. Saya tadi buru-buru dan nggak sengaja nabrak Mbak. Ini buahnya saya ganti aja, ya. Pecah-pecah soalnya." Pria tadi berkata demikian sambil menunjukkan beberapa buah yang baru saja dia pungut."Nggak usah, Mas. Masnya, kan buru-buru. Lagian, ini masih ada yang bagus, kok." Aku tak enak hati menerima tawaran pria itu."Tapi saya jadi nggak enak, Mbak. Gimana kalau saya antar pulang?""Nggak usah, Mas. Saya nggak apa-apa, kok. Lagian angkot yang saya tunggu udah nyampe," kataku sambil menunjuk angkot di bahu jalan."Oh, begitu. Saya jadi merasa berhutang. Atau saya bantu aja naik ke angkotnya?""Nggak, usah, Mas. Santai." Lagi-lagi aku menolak. "Ya, udah, saya duluan, ya, Mas.""Iya, Mbak. Hati-hati." Pria itu membungkukkan badan sambil tersenyum manis sekali. Seperti tersihir, aku seolah-olah meleleh. Dia ternyata sangat tampan saat tersenyum.***"Nduk, habis ini kamu mandi, ya dan dandan yang cantik," perintah Ibu ketika aku sedang sibuk menata piring di meja makan.Ibu aneh sekali hari ini. Pagi-pagi sudah menyuruhku belanja dan masak banyak, lalu meminta agar putrinya ini dandan cantik. Memangnya siapa yang mau bertandang? Kok, sepertinya Ibu sangat riang. Apa mungkin pria yang mau dijodohkan denganku mau datang?Aku hanya mengangguk. Karena mau bertanya, Ibu sudah lebih dulu melenggang pergi menuju ruang tamu. Aku lihat, ada beberapa hiasan yang Ibu tambahkan di sana. Sepertinya memang akan ada tamu spesial yang berkunjung.Kak Dinda sejak tadi hanya mengurung diri di kamar. Paling-paling masih kesal karena kejadian kemarin. Sedangkan Azka, aku tak tahu dia di mana. Pria itu memang sering pergi jika siang begini.Karena sikap Kak Dinda itu, Ibu memintaku menunda mendaftarkan beliau haji. Sial. Sepertinya Ibu berniat sekali melindungi Kak Dinda.***"Nah, mereka sudah sampe. Yuk, Nduk kita sambut mereka di pintu. Nanti kamu jangan kaku, ya." Ibu berkata sambil menarik tanganku."Assalamualaikum ...," sapa tamu itu secara bersamaan dan langsung kami jawab secara bersamaan pula."Alhamdulillah, kalian akhirnya nyampe juga di rumah kami. Sehat-sehat semua, kan?" tanya Ibu sambil menyalami tamu-tamu itu yang semuanya berjumlah empat orang.Aku pun melakukan hal yang sama dengan Ibu. Menyalami semua tamu yang datang. Namun, aku benar-benar kaget saat hendak bersalaman dengan pria yang berdiri tepat di sebelah kiri ibunya. Dia adalah pria yang tadi menabrak barang belanjaanku di pasar."Alhamdulillah, sehat, Nah," jawab wanita yang aku tebak usianya hampir sama dengan Ibu. "Ini Ayesha, ya? Cantiknya," sambung wanita itu.Aku tersenyum menanggapi ucapan teman Ibu. Sebisa mungkin mencoba tetap tenang di hadapan semua orang. Sepertinya, pria itu juga kaget sama halnya denganku. Namun, dia diam saja seolah-olah baru pertama bertemu.Yang jadi pertanyaannya, yang mau dijodohkan denganku itu siapa? Dia atau pria sombong di sampingnya? Ya, sombong! Masa dia menolak bersalaman denganku. Membuat kesal saja."Ada apa ini?" Seseorang tiba-tiba datang di tengah-tengah kami dan ... seketika membuat suasana berubah.Bersambung ....Jantungku serasa copot ketika seorang wanita itu masuk dan mendekati Mas Athaar. Bukankah kamar adalah privasi dan haram dimasuki orang luar? Namun, kenapa wanita itu begitu biasa dan tak canggung sama sekali.? Bahkan ketika dia tahu jika Mas Athaar tengah video call dengan istrinya. Parahnya lagi, wanita itu malah menyapaku. Aku memasang wajah masam ketika Mas Athaar kembali fokus ke layar handphone. Pria itu tersenyum simpul seperti berpura-pura bodoh. Sepertinya dia sengaja agar aku tak lagi marah padanya."Sejak kapan kamu punya pembantu, Mas? Kenapa, nggak bilang aku dulu?" Aku bertanya dengan wajah yang masih masam."Sayang ... santai. Jangan marah, dong. Nanti cantik kamu ilang gimana?" Mas Athaar malah menggodaku."Mas!" kesalku dan langsung disambut tawa oleh Mas Athaar. Andai saja dekat, pasti sudah aku cubit pinggangnya."Sebenarnya Bulek Hanum bukan pembantu, Sayang. Dia cuma kebetulan lagi berobat di Malang. Dan dia di sini sama Mbak Asri dan Mas Agung juga. Kamu lupa ka
Sebuah perjalanan cinta indah telah aku rasakan nikmatnya. Menggapai puncak nirwana juga telah aku tempuh bersama pria bergelar suami. Kini, aku tengah berbadan dua, mengandung buah cintaku dengan Mas Athaar setelah delapan tahun pernikahan kami.Layaknya wanita hamil, aku merasakan berbagai hal tak mengenakkan sekaligus menyenangkan. Ada tawa tiap janin yang kini berusia empat bulan merespon suara dan sentuhan kami orang tuanya.Mas Athaar semakin sayang padaku. Begitu juga dengan Mama dan Papa Mertua. Namun, akhir-akhir ini sikap Kak Dinda agak aneh. Mungkin dia merasa jika aku sangat beruntung ketimbang dia yang kurang perhatian mertua.Azka sekarang banyak berubah, tapi aku merasa jika dia masih saja memperhatikan diri ini. Namun, tentunya tak seperti dulu. Pria itu kini sangat berhati-hati. Mungkin, karena kini dia sudah memiliki tiga buah hati dengan Kak Dinda. Jadi, pikirannya lebih dewasa.Meskipun sedang hamil, aku tetap sibuk menjalani hari-hari. Mulai menjadi istri hingga w
"Kenapa kamu bertanya seperti itu, Sha? Apa ada yang mengganjal di hati kamu?"Aku mengangguk mendapat pertanyaan seperti itu dari Mas Athaar. Karena memang kenyataannya ada beberapa hal yang masih mengganjal pikiran."Katakanlah. Mas akan coba jawab sejujurnya." Mas Athaar mengedipkan mata sambil membelai rambutku yang panjang terurai. Wajahnya menenangkan dan itu mampu membuat hatiku berbunga-bunga.Sepersekian detik aku hanya bergeming dan menatap wajah Mas Athaar lekat. Berusaha untuk menyusun kalimat yang tepat agar tak ada hati yang tersakiti."Mas, sekarang kita, kan sudah menikah. Dan, sesuai kesepakatan di awal, tidak ada kebohongan yang kita sembunyikan di antara kita." Mas Athaar menganggukkan kepala sebagai tanda ingat akan janji yang pernah terucap."Mas, siapa, sih anaknya Bu Broto? Apa ada hubungannya dengan kamu?" Dengan to the point, akhirnya aku menanyakan hal yang memang ingin aku ketahui jawabannya.Mas Athaar sedikit kaget. Namun, dia tetap tenang. Sebuah senyuman
Curiga yang aku rasakan bukan tanpa alasan. Tatapan mama mertua padaku kini seperti salah tingkah. Jelas, ada yang disembunyikan olehnya. Tapi apa?Mas Athaar juga menghindari kontak mata denganku. Rasanya, hari bahagia ini menjadi hambar karena hal ini. Seharusnya, kan sekarang aku happy, tapi malah curiga dan sakit hati.Menyalami para tamu pun sudah tak fokus lagi. Ingin sekali acara ini segera usai agar apa yang sedang mengganjal di hati ini segera enyah. Pokoknya, aku harus mempertanyakan siapa itu anaknya Bu Broto pada Mas Athaar."Nduk, kamu kenapa? Senyumnya, kok ilang? Itu Bude Miah mau salim, kok kamu malah cemberut. Piye, to?" Ibu menepuk pundakku dan berkata demikian padaku.Ah, ternyata curiga ini sudah membuat semuanya kacau. Suasana hati yang tak enak nyatanya sudah mengubah diriku. Bahkan orang lain pun terkena imbasnya. Fokuslah, Ayesha!"Sayang, kamu nggak apa-apa? Kamu capek, ya?" Kini, Mas Athaar yang berbicara. Wajahnya terlihat khawatir. Sebegitu pedulikah dia? A
Suara Mas Athaar terdengar mengancam. Mungkin, Ibu juga mendengarnya karena posisi dapur dan ruang tamu tidaklah jauh. Namun, entah di mana Ibu. Wanita itu tak muncul sama sekali. Apa iya jika Ibu sudah malas ikut campur dan mendamaikan kami seperti biasanya?Langkahku terhenti. Entahlah, seperti sudah terprogram untuk menuruti perkataan Mas Athaar. Namun, sebenarnya lebih dari itu. Ya, aku takut hubungan kami semakin hancur jika aku menuruti ego diri tetap pergi.Aku memutar badan. Memasang wajah setenang mungkin padahal hati sudah dongkol sekali. Sesak merajai. Andai aku bisa berontak, tapi bagaimanapun aku harus tetap memikirkan hati Ibu."Ayesha, menikahlah dengan mas. Maaf untuk semua yang telah terjadi. Mas hanya kalap, takut kehilangan kamu. Asal kamu tau, mas sudah beberapa hari nggak pulang ke rumah. Mas mencari ketenangan sendiri dan mohon petunjuk Allah. Sekarang, mas sudah yakin, jika dengan menikah dengan kamu, adalah pilihan yang terbaik. Kamu mencintai mas, kan?" Mas At
Beberapa detik berlalu begitu saja tanpa dialog di antara aku dan Mas Athaar. Bahkan, aku tak sedikit pun menoleh ke arah pria itu. Diriku hanya mematung dan kebingungan harus berbuat apa.Sementara, suara desah napas Mas Athaar terdengar panjang. Mungkin, pria itu merasa kecewa dengan sikapku yang terkesan cuek."Sha ... kamu beneran udah benci, ya sama mas?" Mas Athaar akhirnya buka suara. Nada bicaranya terdengar parau.Aku menoleh, rasanya tak enak hati jika terus-terusan berdiam diri dan tak merespon ucapan Mas Athaar. Pria itu tak bersalah sama sekali. Hanya terkadang dia terlalu berlebihan cemburu.Aku kikuk berhadapan dengan Mas Athaar. Seperti saat pertama jumpa. Degup jantung pun mulai tak keruan. Ah, kenapa aku jadi berlebihan? Harusnya aku biasa-biasa saja.Mas Athaar mendekat. Aroma parfum pria itu begitu menyengat hingga menusuk rongga penciumanku. Dia pasti sengaja memakai banyak wewangian agar aku terkesan. Padahal, aku adalah tipe orang yang kurang suka parfum dengan