•••
Gedung kaca menjulang tinggi di tengah hiruk pikuk kota pagi itu. Langit cerah, lalu lintas ramai seperti biasa, dan derap langkah orang-orang berdasi membanjiri lobi megah milik Rheinhart Corporation. Calla Almanda menarik napas dalam-dalam di depan pintu putar. Tangannya menggenggam erat map coklat berisi berkas lamarannya. Ia melamar untuk posisi administrasi biasa, dan tidak pernah membayangkan bahwa panggilan interview-nya akan berlangsung di gedung sebesar ini. “Tenang, Cal. Kamu bisa,” gumamnya pelan, menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga. Dengan tinggi 158 cm, Calla mungkin tampak mungil dibanding orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya. Tapi senyum lembutnya cukup untuk mencairkan suasana, meski hanya sejenak. Ia mengenakan blouse putih bersih dan rok midi navy. Tidak berlebihan, tapi tetap terlihat rapi dan manis. Aura alaminya memang selalu menenangkan—mungkin itulah yang membuat resepsionis wanita tersenyum tulus saat menyambutnya. “Selamat pagi. Calla Almanda ya? Silakan naik ke lantai 25. Pak Mahendra akan langsung mewawancarai Anda.” Calla mengerutkan alis. Langsung oleh CEO? “Maaf, Pak Mahendra yang dimaksud… CEO perusahaan ini?” tanyanya ragu. “Iya, benar. Anda beruntung sekali,” jawab resepsionis itu dengan senyum penuh arti. Setelah mengucapkan terima kasih, Calla pun masuk ke lift sambil memeluk map di dadanya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia belum siap bertemu CEO. Ia hanya pelamar biasa, bahkan bukan dari universitas top. Tapi ini adalah kesempatan. Ding! Pintu lift terbuka. Ruangan di lantai 25 terasa hening, elegan, dan mewah. Langit-langitnya tinggi dengan interior maskulin. Seorang wanita paruh baya dengan riasan sempurna menyambutnya. “Silakan masuk. Pak Mahendra sedang menunggu,” ujarnya, lalu membuka pintu kaca buram yang terhubung ke ruang kerja utama. Dan di sanalah dia duduk. Elric Mahendra. Tinggi, tegap, dan mengenakan setelan abu-abu gelap yang menjuntai pas di tubuh. Wajahnya tampan dengan garis rahang tegas dan hidung bangir. Tapi yang paling mencolok adalah tatapannya—dingin, datar, nyaris menghukum. Ia menatap Calla seolah sedang menganalisis angka, bukan manusia. “Duduk,” ucapnya singkat. Suara itu rendah dan berat, cukup untuk membuat bulu kuduk Calla meremang. “Te-terima kasih,” jawabnya, buru-buru duduk di kursi di hadapan meja kerjanya yang besar. Elric membuka berkas di depannya. Jari-jarinya panjang dan rapi. Ia membaca cepat, lalu mengangkat pandangan. “Kenapa kamu melamar kerja di sini?” “Saya tertarik dengan lingkungan profesional di perusahaan ini dan ingin belajar banyak, Pak. Saya tahu saya tidak dari universitas besar, tapi saya tipe pekerja keras.” Ia mengangguk kecil, tapi ekspresinya tetap datar. “Posisi yang kamu lamar terlalu biasa. Sayang.” Calla bingung. “Maaf, maksud Bapak?” Elric menutup berkasnya. “Sekretaris saya mengundurkan diri seminggu lalu. Saya sedang mencari pengganti.” Calla mengedip. “Oh… saya paham. Apakah Bapak ingin saya bantu merekomendasikan seseorang?” “Bukan. Saya ingin kamu yang menggantikannya.” Seketika, ruangan terasa diam. Calla menatap pria di depannya, nyaris lupa bernapas. “Maaf?” tanyanya pelan, tak yakin apakah tadi ia salah dengar. “Saya butuh seseorang yang bisa diandalkan, tidak banyak bicara, dan tahu batas. Kamu terlihat cukup… tenang.” Itu bukan pujian, lebih seperti kesimpulan klinis dari seseorang yang terbiasa membuat keputusan dingin. “Tapi saya tidak punya pengalaman sebagai sekretaris, Pak.” “Saya tidak minta pengalaman. Saya minta kesanggupan.” Calla menggigit bibir. Ia tidak bodoh. Ia tahu posisi itu jauh lebih berat dan dekat dengan atasan, terutama atasan yang seperti... dia. Tapi menolak? Ini bisa jadi pintu menuju kariernya yang sebenarnya. “Saya bersedia, jika Bapak yakin saya mampu.” Untuk pertama kalinya, wajah pria itu berubah sedikit. Bukan senyum, bukan juga kekaguman. Tapi mungkin—sedikit, sangat sedikit—pengakuan. “Baik. Mulai besok jam tujuh. Saya tidak suka keterlambatan. Tidak ada make-up tebal, tidak ada parfum menyengat. Dan jangan bicara kecuali ditanya.” Calla mengangguk cepat. “Baik, Pak Mahendra.” Ia berdiri dengan gugup, hendak pamit, tapi langkahnya terhenti saat pria itu berkata tanpa menoleh. “Dan satu lagi, Calla.” Suara itu lebih pelan, tapi tajam. “Sekretaris saya yang sebelumnya berhenti bukan karena pekerjaan ini terlalu sulit. Tapi karena dia terlalu penasaran dengan urusan yang bukan miliknya.” Calla menoleh perlahan. Mata pria itu masih dingin, seperti danau beku yang menyembunyikan sesuatu di bawah permukaan. Calla menunduk sopan. “Saya hanya datang untuk bekerja, Pak.” “Bagus.” Elric kembali menatap layar monitornya. “Sampai besok.” Calla keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Jantungnya masih berdetak kencang. Tangan dingin. Apa tadi... peringatan? Atau ancaman? Ia tidak tahu. Tapi satu hal pasti—dunia kerja yang ia bayangkan tidak pernah termasuk bekerja langsung untuk seorang CEO muda yang tampan dan… menyeramkan. Dan entah kenapa, justru itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. •••--- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep
--- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru
--- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu
--- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per
--- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya
--- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d