•••
Calla berdiri di depan pintu kantor lantai 25 tepat pukul 06:57. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyentuh gagang pintu. Ia mengenakan blouse biru muda dengan rok hitam selutut dan sepatu tertutup. Rambut panjangnya disisir rapi, dikuncir rendah sesuai aturan tak tertulis yang ia tangkap dari pertemuan kemarin. Tak ada make-up mencolok. Tak ada parfum. Bukan hanya pekerjaan ini yang baru baginya. Tapi cara dia dipilih... itu yang membuat semuanya terasa tidak biasa. "Tenang, Calla. Ini cuma hari pertama." Ia masuk perlahan. Kantor masih sunyi. Lampu-lampu belum semua menyala, hanya cahaya redup dari dinding kaca timur yang perlahan tertembus matahari pagi. Namun ruang kerja Elric Mahendra sudah terang. Pintu kacanya sedikit terbuka, dan bayangan pria itu terlihat sedang berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ke dalam. "Sudah datang." Suaranya terdengar tanpa menoleh. Calla terkesiap. Bagaimana dia tahu? “I—iya, Pak. Pagi,” ucapnya sopan sambil berdiri di ambang pintu. Elric berbalik pelan. Kemeja putih yang ia kenakan tergulung sampai lengan, dasi belum dipasang. Rambutnya sedikit berantakan, tapi aura dingin itu tetap kuat, bahkan saat ia hanya berdiri diam. “Melebihi ekspektasi saya. Tiga menit lebih awal,” gumamnya. “Lebih baik menunggu daripada membuat Bapak menunggu,” jawab Calla tanpa berpikir. Ia menyesal begitu kalimatnya keluar. Elric menatapnya lama, seakan menimbang reaksi. “Jangan terlalu pintar bicara. Itu tidak akan menyelamatkanmu di sini.” Calla mengangguk cepat. “Maaf, Pak.” Ia hanya ingin menunjukkan kalau ia siap bekerja. Tapi pria itu seperti punya radar untuk mendeteksi segala bentuk 'lebih'—terlalu ramah, terlalu percaya diri, terlalu penasaran. “Mejamu di sebelah pintu ruang saya,” kata Elric sambil menunjuk area kecil dengan meja modern, komputer, dan satu set dokumen rapi. “Kau akan mengatur jadwal saya, memilah email penting, mencatat meeting, dan menjawab telepon. Tidak ada kesalahan.” Calla duduk dan mulai menyalakan komputer. Tangannya masih kaku, tapi ia mencoba fokus. Saat membuka email perusahaan, satu panggilan masuk di meja telepon. Ia menatap telepon itu seperti benda asing. Drrtt... Drrttt… “Elric Mahendra’s office, with Calla speaking. How may I help you?” ucapnya cepat, seperti yang ia dengar di film. “Hah?” suara di seberang bingung. Calla menutup mulut. Bodoh, kenapa bicara Inggris formal kayak resepsionis hotel?! Seketika, suara Elric terdengar dari balik kaca, nadanya datar. “Pakai bahasa biasa. Jangan dibuat-buat.” Calla hampir jatuh dari kursinya karena malu. “Maaf, Pak. Ya, saya sambungkan.” Ia menekan tombol sesuai instruksi, dan berhasil. Sedikit lega, ia kembali mempelajari sistem jadwal. Tapi belum lima menit, suara Elric memanggil. “Calla.” Ia berdiri cepat. “Ya, Pak?” Pria itu menatapnya dengan alis terangkat. “Kenapa kamu diam saja?” “Saya… fokus kerja.” “Jangan terlihat gugup. Itu mengganggu,” ucapnya, lalu kembali menulis di laptop. Mengganggu? Calla ingin tertawa. Ia belum pernah bekerja di tempat sekaku ini, tapi anehnya... sisi dirinya justru merasa tertantang. Waktu berjalan pelan. Sekitar pukul sembilan, Elric keluar dari ruangannya tanpa berkata apa-apa. Calla buru-buru berdiri. “Bapak perlu sesuatu?” “Temani saya ke meeting lantai 18. Bawa tablet.” “Baik.” Di dalam lift, suasana hening. Elric berdiri tegap, tangan di saku, tatapannya menatap angka lantai. Calla berdiri satu langkah di belakangnya, menjaga jarak aman. “Berapa usia kamu?” tanyanya tiba-tiba. Calla agak terkejut. “Dua puluh tiga, Pak.” “Hm.” “Hm” yang tidak bisa ditafsirkan. Antara "terlalu muda", "cukup", atau sekadar gumaman netral. Mereka tiba di lantai 18. Meeting berlangsung dengan lima orang manajer dan dua direktur divisi. Elric berubah menjadi sosok yang sangat dominan—tepat, cepat, dan tanpa basa-basi. Ia memberi instruksi dengan kalimat tajam dan gaya bicara yang tak bisa dibantah. Calla hanya mencatat, duduk di sudut meja. Tapi sesekali, ia mendapati pria itu meliriknya sekilas. Sedang menilai? Atau sekadar memastikan aku bekerja? Setelah satu jam, mereka kembali ke lantai 25. Saat di dalam lift, Calla memberanikan diri bicara. “Maaf Pak, tadi ada satu bagian presentasi divisi marketing yang saya rasa sedikit bertentangan dengan rencana anggaran Bapak bulan depan. Kalau boleh, saya—” “Jangan menyela,” potong Elric tanpa menoleh. “Kau belum tahu cara kerja mereka.” Calla menunduk. “Maaf, Pak.” Tapi Elric tidak berkata apa-apa lagi sampai mereka kembali ke lantai 25. Setelah duduk di mejanya, Calla menghela napas panjang. Hari pertama, dan sudah tiga kali ditegur. Hebat, Calla. Hebat. Namun satu jam kemudian, ia menerima email pendek: --- Dari: Elric Mahendra Subjek: Catatan meeting Isi: Saya baca catatanmu. Lengkap. Dan kamu benar soal bagian anggaran. Jangan terlalu cepat bicara, tapi tetap berpikir. — E --- Calla menatap layar dengan alis terangkat. Sebuah... pengakuan? Atau pembenaran? Ia tersenyum tipis, lalu menutup email itu. Oke, Bapak CEO. Kamu boleh dingin. Tapi aku bisa main di suhu rendah juga.--- Pagi itu, di rumah Elric, suasana terasa berbeda. Mentari pagi menyelinap perlahan lewat jendela besar, menerangi ruang tamu yang dipenuhi aroma bunga segar. Calla berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana tapi anggun, yang dipilihnya sendiri beberapa hari lalu. Rambut hitamnya dibiarkan terurai lembut, tanpa banyak hiasan, karena baginya, hari ini bukan tentang penampilan sempurna, melainkan tentang keberanian untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Di belakangnya, Elric memperhatikan dengan senyum hangat yang jarang ia tunjukkan secara terbuka. Matanya yang biasanya dingin kini penuh dengan rasa sayang dan kekaguman. Ia tahu perjalanan Calla tidak mudah—terlalu banyak luka dan ketakutan yang harus dihadapi, dan hari ini adalah momen di mana Calla memilih untuk membuka diri dan mempercayainya sepenuhnya. “Calla,” suara Elric tiba-tiba memecah keheningan. “Kamu benar-benar cantik hari ini.” Calla menoleh, wajahnya memerah. “Kamu juga terlihat sangat serius, sep
--- Malam itu, udara dingin menusuk hingga ke tulang. Lampu-lampu jalan di sudut-sudut kota tampak redup dan berkelip, menambah kesan sunyi yang mencekam. Calla berjalan dengan langkah hati-hati di lorong parkir gedung kantor, membawa beberapa map arsip yang harus segera diantar ke ruang kerja. Hatinya masih bergetar, kenangan buruk beberapa minggu lalu tak kunjung lepas dari pikirannya. Setiap suara yang samar di sekelilingnya membuatnya menoleh, waspada. Ia tahu, dunia ini bukan lagi tempat yang aman baginya sejak Vincent kembali muncul di hidupnya. Meski sudah berusaha kuat, ketakutan itu selalu mengintai, mengancam setiap detik tenangnya. Tiba-tiba, dari balik bayang-bayang sebuah mobil yang terparkir, tangan kasar meraih lengannya dengan paksa. Calla terperanjat, tubuhnya kaku karena ketakutan. Tatapannya langsung bertemu dengan sosok yang membuat jantungnya hampir berhenti berdetak. Vincent. Mantan yang tak pernah rela melepaskannya. Wajahnya yang dulu penuh pesona kini beru
--- Suasana di apartemen Calla berubah. Dulu tempat itu terasa hangat—penuh bunga, warna-warna lembut, dan aroma lilin aromaterapi yang biasa ia nyalakan. Tapi kini, setiap sisi dipenuhi kamera pengawas, sensor gerak, dan alarm diam. Elric tak ingin mengambil risiko sedikit pun. “Calla gak boleh sendirian, bahkan untuk ke dapur,” katanya tegas pada dua pengawal yang ditugaskan berjaga di dalam unit. “Kalau dia tidur, salah satu kalian tetap berjaga dekat pintu.” Calla yang duduk di sofa hanya diam menatap lantai. Pelipisnya masih dibalut, dan tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Tapi luka yang sebenarnya jauh lebih dalam ada di dalam pikirannya. Malam hari menjadi ujian terberat. Ia sering terbangun dengan napas memburu, tangis tertahan, dan tubuh berkeringat. “Mimpi buruk lagi?” tanya Elric suatu malam, saat ia memeluk Calla yang menggigil. “Dia ada di sana. Selalu. Kadang dia diem aja di pojokan. Kadang dia pegang tanganku,” suara Calla bergetar. “Aku gak tahu cara ngelupain semu
--- Sudah lebih dari seminggu sejak penembakan itu, tapi dunia seakan belum kembali normal bagi siapa pun. Terutama bagi Calla. Luka fisik yang ditinggalkan peluru Vincent mulai pulih secara perlahan, tapi luka batin—itu cerita lain. Ia masih sering mendadak terdiam, matanya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa-masa gelap yang ia coba kubur. Dan setiap kali Elric mencoba menyentuh tangannya, Calla akan tersentak seolah baru saja disetrum. “Maaf… aku… aku cuma terkejut,” katanya suatu malam ketika Elric menyelimuti tubuhnya. Suaranya kecil, nyaris tak terdengar. “Calla…” Elric berlutut di samping ranjang, menatap wajahnya yang pucat. “Kamu gak harus pura-pura kuat di depanku.” Calla hanya menunduk, jari-jarinya bermain dengan ujung selimut. “Aku cuma… takut semua ini gak akan pernah selesai. Aku mimpi dia datang lagi. Di mimpi itu, aku lari, tapi langkahku terasa berat, kayak tubuhku gak bisa gerak…” Elric mengusap lembut rambutnya. “Aku janji. Dia gak akan per
--- Bau obat-obatan menusuk di setiap sudut lorong rumah sakit malam itu. Lampu-lampu putih menyilaukan, tapi rasanya seperti dunia sedang runtuh. Elric duduk membungkuk di bangku luar ruang operasi, wajahnya tertunduk dalam-dalam, telapak tangan berlumur darah Calla yang mulai mengering. Waktu terasa beku. Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Setiap detik berlalu seperti pengingat bahwa ia bisa saja kehilangan Calla—wanita yang selama ini ia jaga dengan seluruh hatinya. Nikolas datang membawa dua cangkir kopi, menaruh satu di sebelah Elric. Tapi Elric tidak menyentuhnya. “Dokter bilang pelurunya bersarang dekat arteri,” suara Nikolas pelan. “Tapi dia masih muda, masih kuat. Kita harus percaya dia bisa bertahan.” Elric menoleh, matanya merah dan basah. “Aku… seharusnya nggak membiarkan dia pergi sendiri.” “Jangan salahin diri sendiri.” “Tapi aku tahu dia masih trauma. Aku tahu Vincent masih membayangi pikirannya, dan aku tetap membiarkan dia sendiri. Aku… aku lengah.” Nikolas hanya
--- Sore mulai turun, langit di atas gedung pameran Convention Center New York terlihat kelabu. Hujan rintik-rintik membasahi jendela besar di lantai dua tempat booth Marvin Corp berdiri. Keramaian mulai berkurang, namun antusiasme masih terasa. Pameran hari itu berjalan sukses—setidaknya sampai Calla memutuskan untuk pergi ke toilet seorang diri. Elric sempat ingin mengantar, tapi Calla meyakinkannya dengan senyum tenang. “Aku cuma ke toilet. Jangan khawatir, ya? Aku akan cepat kembali.” Elric mengangguk, meski hatinya terasa tak nyaman. Calla berjalan menelusuri lorong yang sepi, menghindari pusat keramaian. Suara langkah sepatunya bergema pelan. Belum sampai ke toilet, bahunya tiba-tiba ditarik kuat dari samping. Sebelum sempat berteriak, sebuah tangan membekap mulutnya dengan sapu tangan basah. Dunia seketika kabur. Cairan menyengat menusuk hidungnya, membuat kesadarannya goyah. Saat matanya terbuka kembali, Calla sudah berada di dalam ruangan kosong berlampu temaram, d