•••
Calla berdiri di depan pintu kantor lantai 25 tepat pukul 06:57. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyentuh gagang pintu. Ia mengenakan blouse biru muda dengan rok hitam selutut dan sepatu tertutup. Rambut panjangnya disisir rapi, dikuncir rendah sesuai aturan tak tertulis yang ia tangkap dari pertemuan kemarin. Tak ada make-up mencolok. Tak ada parfum. Bukan hanya pekerjaan ini yang baru baginya. Tapi cara dia dipilih... itu yang membuat semuanya terasa tidak biasa. "Tenang, Calla. Ini cuma hari pertama." Ia masuk perlahan. Kantor masih sunyi. Lampu-lampu belum semua menyala, hanya cahaya redup dari dinding kaca timur yang perlahan tertembus matahari pagi. Namun ruang kerja Elric Mahendra sudah terang. Pintu kacanya sedikit terbuka, dan bayangan pria itu terlihat sedang berdiri di dekat jendela, punggungnya menghadap ke dalam. "Sudah datang." Suaranya terdengar tanpa menoleh. Calla terkesiap. Bagaimana dia tahu? “I—iya, Pak. Pagi,” ucapnya sopan sambil berdiri di ambang pintu. Elric berbalik pelan. Kemeja putih yang ia kenakan tergulung sampai lengan, dasi belum dipasang. Rambutnya sedikit berantakan, tapi aura dingin itu tetap kuat, bahkan saat ia hanya berdiri diam. “Melebihi ekspektasi saya. Tiga menit lebih awal,” gumamnya. “Lebih baik menunggu daripada membuat Bapak menunggu,” jawab Calla tanpa berpikir. Ia menyesal begitu kalimatnya keluar. Elric menatapnya lama, seakan menimbang reaksi. “Jangan terlalu pintar bicara. Itu tidak akan menyelamatkanmu di sini.” Calla mengangguk cepat. “Maaf, Pak.” Ia hanya ingin menunjukkan kalau ia siap bekerja. Tapi pria itu seperti punya radar untuk mendeteksi segala bentuk 'lebih'—terlalu ramah, terlalu percaya diri, terlalu penasaran. “Mejamu di sebelah pintu ruang saya,” kata Elric sambil menunjuk area kecil dengan meja modern, komputer, dan satu set dokumen rapi. “Kau akan mengatur jadwal saya, memilah email penting, mencatat meeting, dan menjawab telepon. Tidak ada kesalahan.” Calla duduk dan mulai menyalakan komputer. Tangannya masih kaku, tapi ia mencoba fokus. Saat membuka email perusahaan, satu panggilan masuk di meja telepon. Ia menatap telepon itu seperti benda asing. Drrtt... Drrttt… “Elric Mahendra’s office, with Calla speaking. How may I help you?” ucapnya cepat, seperti yang ia dengar di film. “Hah?” suara di seberang bingung. Calla menutup mulut. Bodoh, kenapa bicara Inggris formal kayak resepsionis hotel?! Seketika, suara Elric terdengar dari balik kaca, nadanya datar. “Pakai bahasa biasa. Jangan dibuat-buat.” Calla hampir jatuh dari kursinya karena malu. “Maaf, Pak. Ya, saya sambungkan.” Ia menekan tombol sesuai instruksi, dan berhasil. Sedikit lega, ia kembali mempelajari sistem jadwal. Tapi belum lima menit, suara Elric memanggil. “Calla.” Ia berdiri cepat. “Ya, Pak?” Pria itu menatapnya dengan alis terangkat. “Kenapa kamu diam saja?” “Saya… fokus kerja.” “Jangan terlihat gugup. Itu mengganggu,” ucapnya, lalu kembali menulis di laptop. Mengganggu? Calla ingin tertawa. Ia belum pernah bekerja di tempat sekaku ini, tapi anehnya... sisi dirinya justru merasa tertantang. Waktu berjalan pelan. Sekitar pukul sembilan, Elric keluar dari ruangannya tanpa berkata apa-apa. Calla buru-buru berdiri. “Bapak perlu sesuatu?” “Temani saya ke meeting lantai 18. Bawa tablet.” “Baik.” Di dalam lift, suasana hening. Elric berdiri tegap, tangan di saku, tatapannya menatap angka lantai. Calla berdiri satu langkah di belakangnya, menjaga jarak aman. “Berapa usia kamu?” tanyanya tiba-tiba. Calla agak terkejut. “Dua puluh tiga, Pak.” “Hm.” “Hm” yang tidak bisa ditafsirkan. Antara "terlalu muda", "cukup", atau sekadar gumaman netral. Mereka tiba di lantai 18. Meeting berlangsung dengan lima orang manajer dan dua direktur divisi. Elric berubah menjadi sosok yang sangat dominan—tepat, cepat, dan tanpa basa-basi. Ia memberi instruksi dengan kalimat tajam dan gaya bicara yang tak bisa dibantah. Calla hanya mencatat, duduk di sudut meja. Tapi sesekali, ia mendapati pria itu meliriknya sekilas. Sedang menilai? Atau sekadar memastikan aku bekerja? Setelah satu jam, mereka kembali ke lantai 25. Saat di dalam lift, Calla memberanikan diri bicara. “Maaf Pak, tadi ada satu bagian presentasi divisi marketing yang saya rasa sedikit bertentangan dengan rencana anggaran Bapak bulan depan. Kalau boleh, saya—” “Jangan menyela,” potong Elric tanpa menoleh. “Kau belum tahu cara kerja mereka.” Calla menunduk. “Maaf, Pak.” Tapi Elric tidak berkata apa-apa lagi sampai mereka kembali ke lantai 25. Setelah duduk di mejanya, Calla menghela napas panjang. Hari pertama, dan sudah tiga kali ditegur. Hebat, Calla. Hebat. Namun satu jam kemudian, ia menerima email pendek: --- Dari: Elric Mahendra Subjek: Catatan meeting Isi: Saya baca catatanmu. Lengkap. Dan kamu benar soal bagian anggaran. Jangan terlalu cepat bicara, tapi tetap berpikir. — E --- Calla menatap layar dengan alis terangkat. Sebuah... pengakuan? Atau pembenaran? Ia tersenyum tipis, lalu menutup email itu. Oke, Bapak CEO. Kamu boleh dingin. Tapi aku bisa main di suhu rendah juga.••• Pagi hari di lantai 25 berjalan lebih cepat dari biasanya. Calla sudah mulai terbiasa dengan alur kerja di meja kecilnya: membuka jadwal, menyortir email, mencatat perintah, dan—yang paling menegangkan—mengikuti ritme kerja Elric Mahendra yang seperti mesin presisi. Hari ini, Elric belum keluar dari ruangannya sejak jam tujuh. Pukul sembilan lewat dua puluh, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar: > "Calla. Masuk sebentar." Calla berdiri dengan map di tangan, menata rambutnya sekali, lalu mengetuk pelan. “Masuk,” jawab suara berat itu. Ia melangkah masuk, menjaga jarak beberapa meter dari meja besar itu. Elric duduk dengan satu tangan menopang dagunya, matanya fokus pada dokumen. Tak langsung menatap Calla. “Ada yang aneh dari laporan keuangan divisi aset,” katanya, menyodorkan map merah marun. “Bandingkan dengan data pengajuan anggaran mereka bulan lalu. Saya mau temuanmu sebelum makan siang.” “Baik, Pak,” jawab Calla sambil menerima map. Tapi se
••• Hari keempat, dan Calla sudah hafal suara langkah kaki Elric Mahendra. Bukan karena suaranya keras. Justru sebaliknya. Tapi ada pola. Irama. Konsistensi yang tak pernah berubah. Setiap langkahnya seperti memiliki tujuan, waktu, dan tekanan yang dihitung. Mungkin itu sebabnya dia selalu sampai tepat waktu, meskipun terkadang—seperti pagi ini—sedikit terlambat. Pagi itu, Elric datang lebih siang dari biasanya—sekitar jam delapan lewat sepuluh. Calla yang sudah berada di meja sejak pukul tujuh empat puluh lima, langsung berdiri ketika melihatnya lewat dari arah lift. Namun, kali ini Elric tampak berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya lebih sunyi dari biasanya, meski aura ketegasan dan keangkuhannya tetap kuat. Dia tidak segera menyapa, hanya berjalan menuju ruangannya dengan langkah yang lebih berat. Beberapa menit kemudian, suara interkom dari dalam ruangan pria itu terdengar: > "Calla. Bawa kopi hitam, tanpa gula. Dan... tolong, jangan tanya kenapa hari ini saya terlambat
••• Pagi itu, Calla merasa udara di kantor terasa lebih berat dari biasanya. Meski langit masih cerah di luar jendela, dan ruangan terasa segar dengan aroma kopi pagi yang khas, hatinya tetap berdebar. Ada yang berbeda, dan itu bukan hanya karena pekerjaan yang semakin menumpuk. Sejak kejadian kemarin sore—ketika Elric berbicara begitu pelan dengan kalimat yang terasa lebih pribadi dari biasanya—ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Apakah itu hanya perasaan sesaat? Ataukah... ada sesuatu yang lebih dalam yang sedang berkembang di antara mereka? Calla berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, namun semakin dia berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin jelas perasaan itu mencuat. Di meja kerjanya, Calla menatap layar komputer yang berisi dokumen-dokumen yang harus dia pelajari. Tumpukan laporan tentang proyek merger, strategi pemasaran, dan berbagai dokumen lainnya memenuhi layar. Elric benar—dia harus lebih dari sekadar sekretaris yang menyiapkan laporan. Ini adalah tentang
••• Sudah tiga hari sejak pertemuan Calla dengan Cassandra di depan ruang Elric. Sejak itu, setiap langkah Calla terasa lebih berat. Bukan karena pekerjaannya—yang semakin padat dan menantang—tapi karena rasa was-was yang ditinggalkan oleh wanita itu. Cassandra tak hanya meninggalkan jejak parfum mahal dan suara sepatu hak tinggi. Ia meninggalkan rasa curiga. Dan hari ini, rasa itu kembali. Pukul satu siang, lift terbuka, dan seperti déjà vu, Cassandra kembali muncul. Kali ini dengan balutan blazer hitam dan celana panjang putih yang membuatnya terlihat seperti datang dari editorial majalah mode. Langkahnya mantap, percaya diri, dan langsung menuju meja Calla. “Masih di sini rupanya,” katanya sambil menatap jam tangannya. “Hebat. Aku kira kamu hanya bertahan seminggu.” Calla berdiri dari kursinya. “Ada yang bisa saya bantu, Bu Cassandra?” “Aku ada janji dengan Elric,” jawab Cassandra sambil membuka ponselnya. “Dia tidak memberitahumu, ya?” Calla mengecek agenda. Tidak ad
••• Sudah seminggu berlalu sejak Calla bertemu Cassandra—dan kata-katanya yang tajam itu masih membekas seperti goresan samar di kaca jendela yang dingin. Tak tampak, tapi terasa bila disentuh. Meski begitu, pekerjaan tetap berjalan. Lantai 25 selalu sibuk. Dan Elric Mahendra masih pria yang sama: dingin, efisien, dan tak pernah terlihat kehilangan kendali. Tapi di balik mata tajamnya, Calla bisa menangkap sesuatu yang tak bisa ia definisikan. Kelelahan? Kekosongan? Atau... pertahanan? Hari itu, Calla memasuki ruangan Elric membawa map berisi laporan revisi. Ia mengetuk, lalu masuk setelah mendengar sahutan datar dari dalam. “Elric, revisi untuk presentasi klien dari Tokyo sudah saya cetak dan simpan di bagian paling atas,” katanya sambil meletakkan map di mejanya. Elric mengangguk, masih menatap layar laptopnya. “Bagus. Jadwalnya sudah dikonfirmasi?” “Ya, besok pukul sepuluh pagi.” “Elah.” Suaranya pelan. Nyaris seperti gumaman. Calla mengerutkan kening. “Maaf?” Elric akhirn
••• Hari itu, seperti biasa, Calla berjalan menuju meja kerjanya dengan langkah ringan, meskipun rasa cemas tak bisa disembunyikan. Pekerjaan di lantai 25 semakin menuntutnya untuk beradaptasi, dan Elric Mahendra—selalu tenang, selalu terkontrol—tak memberi ruang bagi kelemahan. Laporan demi laporan, jadwal yang padat, dan pertemuan-pertemuan yang hampir tak pernah berakhir. Semua itu harus ia kelola dengan presisi. Tapi pagi ini ada yang berbeda. Ada perasaan tak nyaman yang membungkam semangatnya. Elric belum muncul di ruangannya hingga pukul sepuluh. Tidak seperti biasanya, ia selalu sudah duduk di meja, memulai pekerjaan dengan tenggat yang selalu lebih ketat dari yang diinginkan siapa pun. Calla duduk di mejanya, membuka komputer, menyusun beberapa dokumen yang perlu disiapkan, sambil sesekali melirik ke ruangannya. Setengah jam berlalu, dan keheningan itu mulai menekan. Calla tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu dalam atmosfer k
••• Hari itu, kantor sedikit lebih sepi dari biasanya. Beberapa karyawan sudah pulang lebih awal setelah menyelesaikan presentasi besar untuk klien Jepang. Tapi Calla masih berada di meja kerjanya, menyelesaikan sisa laporan yang harus dikirim malam ini. Di dalam ruangannya, Elric tampak seperti biasa—fokus, diam, dan sedikit terlalu tenggelam dalam pikirannya. Namun sejak pagi, ada yang berbeda darinya. Tatapannya tak sekaku biasanya. Nada suaranya lebih tenang. Bahkan, beberapa kali Calla merasa pria itu mencuri pandang. Pukul tujuh lewat sepuluh menit, saat Calla baru saja mematikan laptopnya, interkom berbunyi. > “Calla. Masuk sebentar.” Calla berdiri, sedikit terkejut. Ia pikir hari ini sudah selesai. Tapi seperti biasa, Elric Mahendra selalu tak terduga. Saat ia masuk, Elric sedang berdiri di depan jendela besar, memandangi kota yang mulai diselimuti cahaya malam. Jasnya sudah ia lepas, hanya kemeja putih yang kini melekat rapi di tubuh tingginya. Lengan kemeja tergulung s
••• Sudah hampir dua minggu sejak makan malam itu. Sejak malam di mana Elric, meskipun tak mengatakannya dengan gamblang, membiarkan Calla melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang tidak semua orang tahu ia miliki. Namun ritme kerja tetap berjalan. Waktu tidak menunggu siapa pun, dan kehidupan kantor kembali pada porosnya: rapat, laporan, revisi, tenggat waktu. Dan Calla? Ia semakin dikenal sebagai sekretaris yang tak hanya efisien, tapi juga tenang, cerdas, dan… punya aura yang sulit diabaikan. Termasuk oleh seseorang. Nikolas Adrian, Manajer Divisi Proyek, salah satu orang kepercayaan perusahaan, mulai menunjukkan ketertarikannya sejak Calla berhasil menyelamatkan presentasi besar minggu lalu. Caranya bicara, matanya yang berbinar saat menyapa Calla di pantry, bahkan seringkali membawakannya kopi tanpa diminta—semuanya terlihat jelas. Dan pagi ini, Nikolas menyambangi meja kecil Calla di luar ruangan Elric dengan senyum ramah. "Selamat pagi, Calla. Sudah sarapan?" Calla menole
••• Calla memandangi jendela kamarnya yang sedikit terbuka. Udara pagi masuk pelan, membawa aroma khas musim semi yang lembut. Langit masih semburat biru pucat, seakan baru saja bangun dari mimpi panjang. Di pangkuannya, secangkir teh chamomile menghangatkan telapak tangannya yang sempat dingin selama beberapa hari terakhir. Sudah lima hari sejak kejadian itu. Lima hari sejak Elric menemukannya di ambang kehancuran. Lima hari sejak Nikolas datang dan duduk di sisi ranjangnya tanpa berkata apa-apa, hanya menatapnya dengan mata penuh luka. Dan hari ini, ia akan mengambil langkah pertamanya: menghadiri sesi terapi. Seseorang mengetuk pintu. Calla menoleh. “Masuk,” katanya pelan. Pintu terbuka dan Elric muncul, mengenakan setelan kasual—sesuatu yang jarang sekali terlihat darinya. Jaket denim biru tua dan kaus putih sederhana membuatnya terlihat lebih muda, lebih santai... lebih hangat. “Kau siap?” tanyanya. Calla mengangguk pelan. “Aku rasa... ya. Setidaknya, aku akan coba.” Elri
••• Suasana kamar rawat itu hening. Hanya suara detak alat monitor jantung yang terdengar, pelan dan teratur. Cahaya matahari sore masuk dari sela tirai jendela, menciptakan garis-garis emas di atas lantai putih. Calla masih terbaring, matanya terpejam, tapi air matanya terus mengalir pelan. Elric masih duduk di sisi ranjang, tangannya menggenggam erat tangan Calla. Rasanya seperti baru kali ini ia benar-benar menyentuh gadis itu sepenuh hati—tanpa rasa posesif, tanpa rasa cemburu, hanya rasa takut kehilangan dan rasa bersalah yang menggerogoti setiap detik dalam diamnya. Tiba-tiba, pintu kamar diketuk. Elric menoleh, dan pintu terbuka perlahan. Sosok tinggi berjas hitam muncul, dengan wajah tegang dan sorot mata yang tajam. Nikolas. Sejenak, pandangan mereka bertemu. Tegang. Diam. Ada sesuatu yang tak terucap, tapi membara di udara di antara mereka. “Elric,” sapa Nikolas singkat, suaranya dalam. Elric berdiri perlahan, tanpa melepaskan genggaman tangan Calla. “Apa yan
••• Sudah tiga hari berlalu sejak Calla terakhir kali masuk kerja. Tidak ada pesan. Tidak ada kabar. Telepon dari Nikolas tak diangkat. Puluhan panggilan dari Elric tak pernah dijawab. Pesan hanya centang satu—seperti Calla menghilang dari dunia. Tak ada yang tahu, bahwa dunia Calla memang sedang runtuh... dalam diam. Pagi itu, awan kelabu menggantung rendah di atas kota. Cuaca yang sejuk justru terasa menusuk. Dan di sebuah apartemen kecil di sudut Brooklyn, seorang perempuan sedang terkubur dalam keheningan yang mengikis napasnya sendiri. Vincent semakin berani. Hari ini, dia datang langsung ke depan pintu apartemen Calla. Suaranya membentak dan memaksa. Tangannya mengguncang gagang pintu, mencoba mendobrak. “CALLA! AKU TAHU KAU DI DALAM! JANGAN BUAT AKU GILA!” Gedoran keras menggema, membuat dinding seolah bergetar. Tapi Calla tak bergerak. Dari balik sofa, ia meringkuk. Napasnya tercekat. Tubuhnya gemetar hebat. Tangannya memeluk lutut, wajahnya tertunduk dalam, menahan
••• Suasana di kantor pagi itu terasa lebih berat daripada biasa. Calla merasa seakan ada beban yang menggantung di setiap langkahnya. Meskipun ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada pekerjaannya, rasa cemas itu terus menggerogoti pikirannya, seolah tidak ada satu pun hal yang bisa mengalihkan perhatiannya dari ketakutan yang makin mendalam. Ketakutan akan masa lalu, ketakutan yang kini semakin nyata, karena Vincent kembali mendekat. Ia merasa terperangkap di antara dua dunia, dua pria yang keduanya ingin ia percayai, tapi hatinya tidak bisa memilih. Pagi itu, seperti biasa, Calla berjalan ke pantry untuk mengambil secangkir kopi. Namun, saat ia membuka pintu, matanya langsung bertemu dengan sosok yang sudah ia coba hindari beberapa hari terakhir. Elric berdiri di sana, memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada rasa khawatir yang terpancar dari matanya, meskipun ia berusaha untuk tetap tenang. Calla tahu Elric peduli padanya, namun ia merasa bahwa semakin dekat p
••• Hari-hari berlalu dengan lambat namun menyesakkan. Calla bangun setiap pagi dengan rasa berat di dadanya, seolah tubuhnya menolak bergerak. Pekerjaan di kantor tak lagi menjadi pelariannya—malah menjadi tempat di mana ia harus berpura-pura kuat, tersenyum saat pikirannya dikepung ketakutan. SMS dari Vincent masih terus berdatangan. “Jangan pikir kamu bisa menyembunyikan diri. Aku tahu tempat tinggalmu sekarang.” “Aku sudah melihatmu pulang malam itu. Kamu tidak pernah berubah, Calla. Masih suka pura-pura bahagia.” Pagi itu, ia duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang tak mampu difokuskan. Tangannya gemetar saat menggenggam mouse, dan matanya terus berpaling ke arah ponsel yang diletakkan terbalik. Ia takut jika membalikkannya, akan ada pesan baru—sebuah kalimat yang bisa meruntuhkan benteng yang sudah rapuh. Elric, seperti biasa, memperhatikannya. Ia mulai melihat bagaimana Calla tak lagi seramah sebelumnya. Gadis itu lebih sering melamun, sering salah menget
••• Sudah beberapa hari berlalu sejak perjalanan ke villa. Namun, bagi Calla, waktu seakan melambat. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan di sana—kebersamaan hangat bersama rekan kerja, detik-detik penuh makna bersama Elric—semuanya terasa seperti mimpi indah yang terlalu cepat berlalu. Kini ia kembali ke rutinitas, tetapi ada sesuatu yang berubah. Kegelisahan. Kecemasan. Ketakutan yang menyesap perlahan, seperti kabut yang menyusup melalui celah-celah pikiran. Awalnya, ia mengira itu hanya bayang-bayang kekhawatiran akan hubungan barunya dengan Elric. Perasaannya sendiri masih belum bisa ia definisikan—ia menyukai perhatian Elric, menyukai bagaimana pria itu perlahan membuka diri, menyukai bagaimana ia merasa aman di dekatnya. Tapi ada juga ketakutan yang bersembunyi, mengintai dalam diam. Dan lalu datanglah pesan pertama. “Aku lihat kamu bahagia sekarang. Tapi kamu lupa aku masih di sini.” Calla menatap layar ponselnya lama. Matanya membeku, dan jari-jarinya perlahan mengencang
••• Liburan yang dijanjikan oleh perusahaan itu akhirnya tiba, dan suasana di antara para karyawan terasa berbeda dari biasanya. Keputusan untuk mengadakan acara reward dengan liburan di villa bintang 5 di kawasan pegunungan membawa rasa antusiasme yang berbeda, apalagi bagi Calla. Keindahan alam yang menjulang tinggi di hadapan villa itu, pemandangan hutan hijau yang membentang sejauh mata memandang, serta udara pegunungan yang segar seolah memberikan janji akan waktu istirahat yang sangat dinantikan. Namun, bagi Calla, liburan ini juga berarti waktu yang penuh dengan kecemasan dan ketegangan. Keputusan untuk pergi bersama para kolega dan bosnya, Elric, tentu membawa banyak perasaan yang belum jelas. Perasaan tentang Elric yang kian membingungkan, tentang Nikolas yang tidak pernah berhenti mencoba mendekatinya, dan tentang dirinya sendiri yang masih berusaha menemukan siapa yang benar-benar ia inginkan. Semakin hari, perasaan itu semakin berkembang, dan Calla tahu, liburan ini mung
••• Malam itu, udara terasa lebih hangat dari biasanya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan cahaya kemerahan yang menyelimuti kota, memberi kesan romantis yang membuat jantung terasa berdegup lebih cepat. Acara BBQ yang diadakan oleh perusahaan di rumah Elric terasa berbeda. Bukan hanya sekedar pertemuan sosial antar kolega, tetapi juga sebuah momen yang akan membuat banyak orang saling berhadapan—baik dalam hal pekerjaan maupun perasaan yang semakin terlarut. Calla berdiri di depan pintu rumah besar Elric, menatap rumah itu dengan campuran rasa cemas dan penasaran. Ia tahu ini akan menjadi acara yang berbeda, bukan hanya untuknya, tapi untuk semua yang hadir. Suasana santai yang diharapkan tak bisa menutupi ketegangan yang ada di antara dirinya, Elric, dan Nikolas. Namun malam ini, ada sesuatu yang tak bisa ia hindari—semua mata akan tertuju padanya. Saat Calla melangkah memasuki halaman belakang rumah Elric, seakan-akan dunia menjadi sejenak terhenti. Banyak kolega dari per
••• Calla melangkah keluar dari ruang Elric, matanya samar-samar menatap pintu yang baru saja ia tinggalkan. Di luar, suasana kantor tampak tak berubah. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan mereka, sama seperti biasa. Namun, hatinya tak pernah sehening itu. Elric, dengan sikap dinginnya yang menembus, telah memancingnya ke dalam kebingungannya lebih dalam. Tadi, saat mereka berbicara tentang laporan yang bermasalah, ada sesuatu yang berbeda dalam cara Elric memandangnya. Ada sesuatu di matanya. Perhatian? Calla tak bisa memastikan. Ia hanya tahu, semuanya mulai terasa lebih kompleks. Tidak hanya tentang pekerjaan lagi. Tidak hanya tentang laporan atau jadwal. Semuanya sepertinya mengarah pada perasaan yang lebih dalam. Perasaan yang ia takutkan untuk diakui. Sementara itu, Nikolas—dengan cara yang lebih terang-terangan—terus mendekatinya. Di setiap kesempatan, Nikolas menunjukkan ketertarikan yang jelas. Setiap senyuman hangat, setiap pertanyaan perhatian, bahkan tatapan mata yang