Share

Menyenggol Betisku Berulang Kali

"Kok ... beda ya, Tar? Kayak bukan Sabrina." Mamanya Pak Akhtara masih meragu jika aku bukanlah Sabrina yang asli.

Aduh! Bagaimana ini?

Jangan sampai terbongkar!

Kemudian Pak Akhtara merubah genggaman di tangan dan berpindah ke pundak kiriku begitu saja. Hingga pundakku menyentuh dadanya yang bidang. 

"Hanya perasaan Mama aja. Dia ini Sabrina, Ma. Mungkin karena efek diet dan ganti warna rambut aja makanya kayak ... orang lain."

Untung saja Pak Akhtara luwes sekali berdrama di hadapan keluarganya. Apakah beliau memiliki bakat berbohong yang terpendam?

Keluarga besar Pak Akhtara menunjukkan keraguan itu dengan saling tatap. Lalu tanpa diduga, beliau mengeluarkan jurus selanjutnya yang membuatku merasa geli sendiri. Seperti bukan Pak Akhtara yang dingin, tegas, dan berwibawa. 

"Sayang, duduk dulu," ucapnya dengan senyum tulus yang dibungkus kepalsuan.

Lalu Pak Akhtara menarik sebuah kursi untuk kududuki kemudian beliau ikut mengambil duduk di sebelahku. Sedang kakinya kembali memberi kode dengan menyentuhkan ujung sepatunya ke betisku.

"Mau aku ambilin minum, Sayang?" tanyaku dengan senyum tak kalah palsunya.

"Boleh. Jangan manis-manis ya, Sayang."

Sumpah! Bunga hampir saja bercokol dari atas kepalaku mendengar dan melihat perlakuan Pak Akhtara yang super totalitas mengelabui keluarganya. 

Aku tersenyum tulus penuh kepalsuan padanya lalu berlalu mengambil minuman dengan langkah setenang mungkin. Sembari mengambilkan minuman, ekor mataku melirik keluarga besar Pak Akhtara yang kembali melontarkan keraguannya tentang siapa diriku yang sebenarnya.

Tapi Pak Akhtara nampaknya tetap bertahan dengan kebohongannya.

Tentu saja, atau otak beliau akan dicuci dengan pasir sebanyak tujuh kali karena memiliki ide segila ini.

Begitu aku tiba dengan dua gelas minuman segar, Pak Akhtara menyambutku dengan senyuman lebih lebar dan manis. Hingga aku tidak percaya jika beliau ternyata memiliki senyuman semanis ini dan hampir membuat jantungku terjatuh dari posisinya. 

"Kalian udah berapa lama pacaran, Tar?" itu suara Papanya Pak Akhtara.

"Ehm ... sekitar ... dua tahunan, Pa."

Kepala Papanya Pak Akhtara mengangguk pelan lalu melirik istrinya. Kemudian istrinya memberi kode berupa anggukan kepala pula.

"Lama juga, ya?"

"Sebentar itu, Pa."

"Jadi gini, sebelum kamu datang, Papa, Mama, dan keluarga besar udah sepakat kalau kamu sama Sabrina lebih baik nggak usah tunangan."

"Maksud Papa apa?" tanya Pak Akhtara bingung.

Aku pun sama terkejutnya. Apakah hubungan Pak Akhtara dengan seseorang yang bernama Sabrina itu tidak mendapatkan restu?

Mamanya kembali memberi kode melalui anggukan kepala pada Papanya Pak Akhtara.

"Adikmu udah nikah. Papa sama Mama khawatir, kalau kamu tunangan dulu, nanti malah putus di tengah jalan. Banyak kejadian seorang kakak batal menikah karena dilangkahi adiknya."

"Jadi, gimana kalau kamu sama Sabrina langsung aja menikah, Tar?"

Aku membelalakkan mata tidak percaya dengan todongan keluarga Pak Akhtara lalu kami saling menoleh dan menatap penuh keterkejutan. Sungguh ini diluar skenario.

Bak jamur yang mendadak tumbuh di tengah Sahara. 

"Kalau kalian saling mencintai dan udah lama pacaran, bukankah udah pantas untuk segera menikah? Gimana, Tar, Sab?"

Apa?!

Menikah dengan Pak Akhtara?!

Tuhan! Kami ini hanya sedang bersandiwara di depan keluarga besar Pak Akhtara.

Mengapa ujung-ujungnya kami disuruh menikah?

Aku dan Pak Akhtara saling menoleh dengan mata membola. Kami benar-benar tidak menduga jika jalan takdir hidup kami malam ini akan seperti ini.

Kami tidak memiliki persiapan apapun untuk menghadapi pertanyaan tidak main-main ini.

Pernikahan!

"Ehm ... gini, Pa. Ehm ... aku sama Ji --- eh .... maksudku, aku sama Sabrina belum ngomongin masalah ini lebih lanjut."

Hampir saja Pak Akhtara salah menyebut nama asliku di hadapan keluarga besarnya karena gugup.

"Gimana belum ngomongin masalah ini padahal kalian udah lama pacaran dan sama-sama udah dewasa? Jangan sampai kamu jadi perjaka tua, Tar. Nanti malah nggak laku lalu ujung-ujungnya membujang sampai tua."

Pak Akhtara meneguk minuman yang kuambilkan sambil mengatur ekspresi wajahnya agar tidak kentara sekali jika sedang memakai topeng kepalsuan.

"Ya ... pernikahan itu 'kan nggak bisa buat main-main, Pa. Dan ... harus sama orang yang benar-benar tepat."

"Memangnya Sabrina ini masih kurang tepat buatmu?"

Pak Akhtara seakan salah berucap lalu melirikku dengan wajah menegang. Sedang aku hampir tidak bisa menguasai keadaan. 

Ayolah! Jika bukan karena bayaran yang Pak Akhtara tawarkan dan cicilan rumahku sudah jatuh tempo, mana mungkin aku di posisi seperti ini?!

"Kalau kurang tepat kenapa dari kemarin-kemarin udah kamu kenalkan ke keluarga? Dan sekarang pun kamu bawa kemari. Setelah kamu bilang kayak gitu tadi, apa kamu nggak mikir gimana perasaan Sabrina sekarang?"

Aduh, Pak Akhtara!

Ternyata beliau mendadak sangat bodoh disituasi seperti ini padahal jika di kantor beliau memiliki ide-ide yang jenius.

Lalu kaki Pak Akhtara yang terbungkus sepatu menyenggol betisku. Sepertinya beliau membutuhkan bantuan.

"Ehm ... begini, Om, Tante. Maksud Pak ---"

Kaki Pak Akhtara kembali menyenggol betisku ketika akan menyebutnya dengan sebutan 'Pak Akhtara'. Bukankah ini kode jika Sabrina yang asli memanggil beliau dengan sebutan lain.

Aduh! Apa ya? 

"Ehm ... begini Om, Tante. Maksud Mas Akhtara itu ... kami perlu saling mengenal lagi lebih jauh. Karena ... perkenalan kami rasanya terlalu singkat."

Baiklah, Pak Akhtara tidak menyenggol betisku. Itu artinya aku benar memanggilnya dengan sebutan 'Mas Akhtara'.

Astaga! Hampir saja.

"Umurmu sekarang berapa, Sab?" tanya papanya Pak Akhtara sambil menatapku.

"Saya ... ehm ... tiga puluh tahun, Om."

Apanya yang tiga puluh tahun? Usiaku sebenarnya masih dua puluh lima tahun.

"Lho?! Kok tiga puluh tahun? Akhtara dulu bilangnya kalian hampir seumuran. Kalau sekarang Akhtara umurnya tiga puluh delapan kan seenggaknya kamu umurnya tiga puluh lima, Sab."

Mati aku!

Haruskah mulai sekarang aku wajib membaca biodata lelaki yang akan menjadikanku pacar sewaannya? Agar mampu menguasai keadaan barangkali dihadapkan pada masalah seperti ini?

Aku mengerjapkan mata gugup lalu menyenggol kaki Pak Akhtara untuk meminta bantuan. Namun manajerku itu malah mengaduk-aduk es batu di dalam minuman segar yang tadi kuambilkan.

Tuhan! Ingin kulemparkan Pak Akhtara sekarang juga ke kolam piranha!

"Ehm ... mungkin Mas Akhtara lupa umur saya yang sebenarnya, Om," kilahku menutupi kegugupan.

Kepala papanya Pak Akhtara menggeleng tidak habis pikir.

"Lalu selama dua tahun kalian pacaran ini ngobrolin apaan? Sampai umur pasangan aja lupa. Memangnya kalian nggak pernah merayakan ulang tahun satu sama lain?"

"Ehm ... kami ini 'kan sibuk mengembangkan karir, Om. Jadi ... yang penting kami nyambung menjalani hubungan ini."

Ternyata melakoni peran menjadi pacar sewaan di depan keluarga Pak Akhtara itu bukan hal mudah. Karena kami tidak melakukan latihan apapun sebelumnya ditambah papanya yang sangat kritis saat bertanya.

Benar-benar keluarga berpendidikan dengan gaya berpikir amat detail. 

Aku curiga keluarga Pak Akhtara bisa tahu berapa jumlah biji wijen di setiap onde-onde yang mereka beli jika memiliki sifat mendetail begini.

Ekspresi wajah papanya Pak Akhtara menunjukkan ketidaksetujuan yang mendalam mendengar penjelasanku barusan. Apakah aku salah lagi?

Juniarth

enjoy reading ...

| 1

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status