enjoy reading ... Nah ... lho?! Jihan! Gimana sekarang?
Asem! “Aku … aku di kamarnya Pa ---, eeh … Mas Akhtara kok, Ma. Tuh dia lagi mandi,” ucapku gugup. Bergegas aku memasukkan perlengkapan make up ke dalam tas dengan tergesa-gesa padahal belum memakai lipstick. “Aku mau siapain minum untuk Mas, Ma. Nanti disambung lagi!” Tanpa salam, aku langsung mematikan sambungan video call Mama. Sejurus kemudian menghela nafas lega sembari mengusap dada. “Hampir aja. Mampus gue. Bisa-bisanya nyokap teliti banget sama kamar ini padahal cuma ditidurin semalam doang. Lain kali nggak usah lah video call Mama di kamar. Bisa berabe gue.” Usai memoles make up dengan benar, aku segera keluar kamar untuk meletakkan baju kotor di keranjang yang sudah disiapkan Bik Wati. Bersebelahan dengan keranjang pakaian kotor Pak Akhtara. Bila di kos, aku harus mencuci sendiri pakaian kotorku, namun mulai hari ini aku kembali dilayani seperti saat Mama dan Papa kaya raya. Lumayan lah. Setidaknya taraf hidupku naik satu tingkat meski menjadi istri kontrak manajerku.
Siapa sangka jika Sabrina itu adalah wujud perempuan solihah? Memakai gamis panjang, jilbab lebar, dengan riasan masa kini yang membuatnya sedap dipandang mata. Tapi aku tidak bisa melihat bagian perutnya apakah dia sedang hamil ataukah tidak. Sebab tertutup oleh meja dan sebagian tubuh Pak Akhtara. Pikiranku pun berkelana, jika ia adalah wujud perempuan solihah, benarkah ia sedang mengandung anak Pak Akhtara? Setahuku, perempuan dengan pakaian seperti itu sangat menjaga aurat. Tapi jika ia sampai hamil apakah itu artinya mereka sebenarnya telah menikah siri lalu Pak Akhtara menceraikannya secara sepihak? Duh duh duh ... Sekalipun aku tidak mengenal Sabrina, jika memang Pak Akhtara senakal itu, beliau benar-benar akan kusuruh menikahi Sabrina yang asli dan memintanya menghentikan pernikahan kontrak kami. Sesama perempuan bukankah harus saling mendukung?"Mbak, mau pesan apa?" Aku langsung menoleh ke arah pramusaji yang bertanya. Duh ... mengganggu saja!"Ehm ... cappucino dingin
"Bukan urusanmu!" ucapku ketus dengan menajamkan tatapan. Aku berusaha menguasai diri dan bersikap waspada pada sosok wanita yang berdiri di hadapanku ini. Wanita dengan penampilan luar biasa meski usianya hampir sama dengan Pak Akhtara. Menenteng tas seperti milik para artis namun dengan jenis KW, mengenakan dres malam selutut warna hitam, dengan make up sedikit lebih menantang, dan rambut direbonding lurus berkilau. Kemudian dia menatapku dari atas hingga bawah dengan tatapan menhina dan senyum sinis yang merendahkan. "Ngacangin siapa kamu, perempuan murahan?" tanyanya lalu bersedekap hingga terpampang dengan jelas merk duplicate tas kecilnya. "Jaga mulutmu!" "Ngapain harus dijaga kalau emang kamu tuh perempuan murahan? Biar semua orang tahu lah kalau kamu itu pe-la-kor!" ucapnya dengan menunjuk wajahku. Aku makin menajamkan tatapan dengan perasaan geram dihina seperti itu. Beruntung di depan rumah makan ini hanya ada kami berdua yang sedang terlibat pertengkaran. Setidakn
Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah Pak Akhtara aku hanya sibuk mengompres bibir yang sedikit robek dan terasa bengkak dengan kaleng minuman dingin yang masih utuh itu. Sialan sekali wanita dari lelaki yang telah menjadi masa laluku itu! Apes nasibku malam ini gara-gara bertemu dengannya. Begitu tiba di rumah Pak Akhtara, aku segera masuk ke dalam kamar usai mengucapkan banyak terima kasih pada beliau. Entah bagaimana nasibku tanpa bantuan Pak Akhtara tadi. Beliau seperti spiderman saat menyelamatkan Marry Jane yang hampir terjatuh. "Terima kasih banyak, Pak, udah nolong saya," ucapku tulus. "Sama-sama." "Saya istirahat dulu, Pak." Kemudian berlalu ke kamar. Baru saja aku membuka tiga kancing kemeja kerja sembari fokus menatap pantulan bibir yang membengkak dari cermin meja rias, sebuah ketukan di pintu membuatku reflek berkata ... "Masuk!" ucapku dengan tetap memandangi bibir yang bengkak. Sedang tanganku tetap membuka kancing kemeja kerja satu demi satu. Hingga pint
“Saya nggak mau bahas masa lalu, Pak,” ucapku dengan wajah tetap menunduk. “Oke. Maaf kalau saya tanya-tanya.” “Apa boleh saya ke kamar, Pak?” tanyaku dengan menatap Pak Akhtara. Lagi pula kami sudah selesai makan malam dan aku tidak mau berlama-lama bersama Pak Akhtara. Jangan sampai beliau beranggapan aku senang dengan moment seperti ini. Beliau bisa besar rasa dan menganggapku jatuh cinta padanya. Huek! “Silahkan.” Aku berdiri dari duduk kemudian mengambil cek pelunasan bonus pernikahan kontrak kami yang tergeletak di atas meja. “Terima kasih banyak, Pak, untuk cek-nya.” “Iya.” Kemudian aku berlalu ke kamar kemudian menyimpan cek berharga ini lalu merebahkan diri. Sungguh, aku lelah dengan apa yang terjadi hari ini dan ingin segera melelapkan mata. *** Bila cek berisi uang sebesar empat puluh lima juta ini sudah di tangan, buat apa menunggu lebih lama lagi untuk melunasi cicilan perumahan yang ditinggali Mama dan Papa? Bukankah jika cicilan itu sudah lunas setidaknya aku
"Siapa yang nyari aku, Bik?" "Ehm ... saya juga nggak tahu, Mbak. Orangnya nggak mau bilang namanya." "Laki-laki apa perempuan?" tanyaku dengan perasaan was-was. Khawatir jika yang bertamu adalah wanita dari lelaki masa laluku. Tapi tahu dari mana dia jika aku tinggal bersama Pak Akhtara? Mungkinkah dia membuntuti mobil Pak Akhtara saat kami pulang? Ah ... mana mungkin sedalam itu? Permasalahannya sekarang, jangan sampai Pak Akhtara mengetahui siapa wanita itu. Karena dia dan suaminya adalah masa lalu kelamku yang tidak perlu diangkat lagi ke permukaan. "Dia nunggu dimana, Bik?" "Di ruang tamu, Mbak." "Jangan bilang Pak Akhtara ya, Bik. Rahasiain ini." Ini masih tiga jam lagi dari jam kepulanganku dari kantor. Namun rasanya seperti se-abad!!! Tadi pagi baru saja bertengkar dengan Pak Akhtara masalah pemberian izin keluar kantor yang teramat alot hingga aku seperti berkejar-kejaran dengan waktu. Sekarang, ada lagi masalah yang menyambangi. Ada perempuan yang tetiba bertamu
“Duduk aja di situ! Bentar lagi Pak Akhtara juga datang. Aku capek! Mau istirahat!” ucapku setengah kesal. Lalu tanpa memperdulikan Sabrina, aku segera melangkah ke dalam rumah lalu menemui Bik Wati dan Rani yang sedang berbincang lirih di dapur. Melihat kehadiranku, kedua asisten rumah tangga Pak Akhtara itu langsung berdiri dari duduk lalu sedikit membungkukkn badan. “Ada yang bisa kami bantu, Mbak Jihan?” Aku menggeleng lalu menarik satu kursi yang berada di meja makan mini di dapur. Kemudian mendudukinya. “Kesel banget sama tamu yang itu, Bik! Masak baru datang langsung ngajak ribut?!” Bik Wati kemudian menatap Rani sekilas. “Mbak Jihan, saya minta maaf. Sebenarnya, Mbak Sabrina udah di sini dari tadi siang. Mendadak minta ketemu sama Mbak Jihan tapi saya nggak boleh ngasih tahu identitasnya.” “Bik Wati kenal Sabrina?” Kepala Bik Wati mengangguk pelan, “Kenal, Mbak.” Dengan menumpukan kedua tangan di meja, aku menatap Bik Wati dan Rani yang masih berdiri. “Berarti tahu do
"Saya juga nggak tahu, Han!" Kemudian Pak Akhtara mendesah lelah sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. Masih dengan kemeja kerja yang melekat di tubuhnya. Lalu kakinya menendang angin untuk meluapkan kekesalan. "Nikah kontrak sama kamu itu takut suatu saat kalau ketahuan bisa berabe. Nggak nikah sama kamu nanti saya dijodohin. Mau nyari pengganti Sabrina itu nggak mungkin secepat membalikkan telapak tangan. Semuanya kacau, Han!" Pak Akhtara kembali mendesah lelah sambil berkacak pinggang. Ekspresi wajahnya juga menyiratkan kelelahan batin yang membuatnya merasa tersiksa. Baru kali ini aku melihat beliau selelah ini. Meski pekerjaan di kantor itu berat dan penuh tanggung jawab, namun belum pernah sekalipun aku mendengar keluh kesah beliau seperti ini. Berbeda ketika beliau dihadapkan pada masalah asmara yang melibatkan keluarga besarnya. "Dan sekarang, ditambah Sabrina ngamuk nggak ketulungan! Saya capek banget!" Sedetik kemudian aku melihat kedatangan Sabrina ditengah kerema